4 Faktor Ini Ubah Nasib Biodiesel Indonesia

Nasib biodiesel di Indonesia semakin bersinar. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) mengidentifikasi empat faktor utama yang menjadi landasan keberhasilan program biodiesel di Indonesia. Penjelasan ini disampaikan oleh Ketua Bidang Sustainability APROBI, Rapolo Hutabarat, dalam presentasinya pada Workshop Jurnalis Industri Hilir Sawit yang diselenggarakan oleh Majalah SAWIT INDONESIA dengan dukungan BPDP, APROBI, dan GIMNI di Bogor.
Nasib Biodiesel Indonesia
Faktor pertama yang ditekankan adalah konsistensi pemerintah sebagai inisiator program Bahan Bakar Nabati (BBN). Dukungan pemerintah yang berkelanjutan terhadap program ini menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan industri biodiesel.
Kedua, dukungan kuat dari sektor industri. Industri biodiesel, Pertamina dan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BU BBM), industri otomotif, asosiasi industri dan pengguna alat berat, serta PT Kereta Api Indonesia, semuanya berperan aktif dalam mendukung program ini melalui partisipasi dalam uji coba dan penggunaan BBN.
Ketiga, keterlibatan aktif dari pusat-pusat riset. Lembaga Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Litbang ESDM, Badan Standardisasi Nasional (BSN), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan berbagai perguruan tinggi lainnya berkontribusi signifikan dalam pengembangan dan pengujian BBN.
Keempat, dukungan pendanaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) yang memainkan peran krusial dalam mendukung riset, uji kinerja, dan uji jalan biodiesel.
Komitmen Pemerintah
Rapolo Hutabarat menegaskan bahwa para pelaku usaha terus berkomitmen untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan mandatori biodiesel. Ia memaparkan bahwa kapasitas terpasang biodiesel terus mengalami peningkatan sejak tahun 2005, dan pada tahun 2024 telah mencapai lebih dari 20 juta kilo liter (k/l).
Selain biodiesel, Rapolo juga menyoroti pentingnya pengembangan bahan bakar energi terbarukan lainnya, seperti bioetanol dan bioavtur. Ia mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan bioetanol yang tergabung dalam APROBI belum dapat menjalankan program bioetanol sesuai dengan regulasi yang ditetapkan. Meskipun demikian, di beberapa daerah seperti Jawa Timur, program pencampuran bioetanol telah berjalan. APROBI mendorong agar program bioetanol dapat berjalan dengan baik, baik dari bahan baku kelapa sawit maupun minyak nabati lainnya.
Rapolo juga menekankan pentingnya pengembangan bioavtur sebagai kebutuhan energi ramah lingkungan di masa depan. Ia menyoroti bahwa Uni Eropa akan mewajibkan penggunaan bioavtur untuk semua penerbangan yang mendarat di wilayahnya mulai tahun 2026 atau 2027. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera mendorong penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku bioavtur untuk mendukung ketahanan energi nasional.
“Kembali ke ketahanan energi, kami kira perlu didorong memblending, menggunakan sawit untuk bioavtur. Karena dalam waktu kedepan 2026 atau 2027 harus semua penerbangan yang mendarat ke Eropa menggunakan bioavtur,” ucapnya.
Peran APROBI dalam Pengembangan Biofuel
Sebagai asosiasi yang mewadahi produsen biofuel di Indonesia, APROBI memiliki peran penting dalam mendorong pengembangan industri biofuel yang berkelanjutan. APROBI aktif menjalin kemitraan dengan pemerintah, industri, dan lembaga riset untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan biofuel. APROBI juga berperan dalam mendorong inovasi teknologi dan peningkatan kualitas biofuel, serta memperjuangkan kepentingan anggotanya dalam menghadapi berbagai tantangan industri.
Keberhasilan program biodiesel di Indonesia tidak terlepas dari dukungan kuat dari berbagai pihak. Konsistensi pemerintah, dukungan industri, keterlibatan pusat riset, dan dukungan pendanaan dari BPDPKS menjadi pilar-pilar utama dalam mencapai kemajuan industri biodiesel. APROBI terus berkomitmen untuk mendukung pengembangan biofuel yang berkelanjutan dan berkontribusi pada ketahanan energi nasional.