Ketua PGRI DIY Ajak Insan Pendidikan Dorong Generasi Muda Kaji Aspek Ilmiah Kelapa Sawit
Ininlahjogja.com | Selasa, 28 September 2021
Ketua PGRI DIY Ajak Insan Pendidikan Dorong Generasi Muda Kaji Aspek Ilmiah Kelapa Sawit
BADAN Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bekerjasama dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar kegiatan Palm Oil Edutalk dengan tema Kupas Tuntas Mitos dan Fakta Kelapa Sawit beberapa waktu lalu di Yogyakarta. Ketua PGRI DIY, Kadarmanta Baskara Aji dalam sambutannya menyampaikan agar para guru dan siswa dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengetahui secara mendalam tentang fakta obyektif kelapa sawit. “Mungkin selama ini yang menarik mitosnya, tetapi fakta tentang kelapa sawit itu yang perlu diketahui bersama. Selama ini sangat banyak informasi yang didapat para guru dan siswa tentang kelapa sawit yang itu kemungkinan besar ada informasi yang salah,” ungkap Baskara Aji. “PGRI DIY sangat mendorong diselenggarakannya acara ini agar tidak ada salah persepsi terhadap perkebunan dan pemanfaatan kelapa sawit,” imbuhnya. Baskara Aji menambahkan, faktanya kelapa sawit merupakan komoditas yang bisa memberikan devisa bagi negara dan memberikan dorongan besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. “Dan juga PDRB yang tentunya akan membuat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik,” katanya. Dia mengimbau agar para siswa yang berperan dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dapat dikenalkan dengan perkebunan dan industri kelapa sawit, supaya bisa mensosialisasikan informasi positif terkait kelapa sawit di lingkungan sekolah. Sehingga semua peserta didik memiliki persepsi yang benar tentang kelapa sawit. Wakil Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Suherman mengapresiasi penuh atas berlangsungnya kegiatan ini. “Dengan kegiatan ini diharapkan, para siswa sebagai generasi muda bisa mendapatkan informasi yang detil dan ilmiah tentang kelapa sawit. Sehingga dapat menumbuhkembangkan pemikiran-pemikiran baru pengelolaan potensi kekayaan alam Indonesia,” terangnya. Suherman mengatakan, para guru dapat berperan menjadi motivator dan PGRI sebagai fasilitator, sementara siswa dapat menerima dengan baik informasi tentang sawit yang obyektif dan menjadikan suatu sinergi yang sangat baik sekali. Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua PGRI DIY, Sudarto, yang mendukung apabila nantinya informasi tentang kelapa sawit dapat menjadi bagian dari kurikulum pembelajaran di instansi pendidikan. “Seandainya tidak memungkinkan dalam artian khusus kelapa sawit, materi tersebut nantinya bisa menjadi suplemen dalam mata pelajaran tertentu. Kita sesuaikan dengan ciri khas mata pelajaran masing-masing di tingkat sekolah,” tuturnya. Dia menyampaikan, informasi tentang sawit dalam bentuk infografis sederhana maupun banner dapat dipasang di lingkungan sekolah sebagai bentuk dukungan kampanye positif kelapa sawit. Meskipun kelapa sawit berkontribusi besar terhadap kehidupan masyarakat dunia dan perekonomian nasional, tetapi masih saja menghadapi banyak tantangan. Selain persaingan ekonomi global, maraknya isu-isu negatif dan belum dipahaminya manfaat kelapa sawit secara menyeluruh menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan di dalam negeri. Hal itu tidak hanya berdampak pada munculnya persepsi negatif di masyarakat awam, stigma negatif sawit ini secara terstruktur juga menyasar generasi muda dan peserta didik di sekolah. Dalam kegiatan ini, sebagai upaya menyampaikan fakta obyektif tentang kelapa sawit, BPDPKS menghadirkan narasumber dari praktisi kelapa sawit yaitu Plt. Direktur Kemitraan BPDPKS, Edi Wibowo; Bidang Sustainability Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Bandung Sahari; Bidang SDM dan Internasional DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Djono Albar Burhan; Ketua Bidang Pemasaran Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Irma Rachmania; dan CSR Officer PT Sinarmas Agribusiness and Food, Donni Indra.
BERITA BIOFUEL
Investor Daily Indonesia | Selasa, 28 September 2021
Badan Usaha BBN Wajib Sediakan Cadangan Pasokan Biodiesel
Pemerintah mewajibkan badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) untuk menyediakan cadangan biodiesel guna menjamin ketersediaan pasokan. Kewajiban ini tercantum dalam beleid terbaru mengenai mandatori pencampuran biodiesel, yakni Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 24 Tahun 2021. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, ada beberapa pertimbangan pemerintah merevisi regulasi tentang mandatori biodiesel. Salah satunya yakni untuk menjamin ketersediaan pasokan biodiesel nasional. Untuk itu, pihaknya menambahkan sejumlah persyaratan bagi BU BBN yang mengikuti proses pengadaan. “Ditambahkan syarat untuk BU BBN yang akan mengikuti pengadaan berupa pernyataan kemampuan produksi bulanan dan kesanggupan menyediakan cadangan atau stok biodiesel,” kata dia kepada Investor Daily, akhir pekan lalu. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 7 Ayat 2. Dalam pasal ini disebutkan bahwa BU BBN yang akan mengikuti proses pengadaan harus menyampaikan permohonan kepada Ditjen EBTKE dengan melampirkan sejumlah persyaratan. Rincinya, bukti bahwa biodiesel yang diproduksi atau disalurkan memenuhi standar kualitas atau spesifikasi yang ditentukan, surat pernyataan jaminan menyediakan biodiesel sesuai dengan kuota alokasi dan cadangan pasokan, serta surat pernyataan kemampuan produksi bulanan biodiesel. Pertimbangan lainnya, lanjut Dadan, revisi beleid ini membuka adanya fleksibilitas proses pengadaan. “Pengadaan biodiesel sangat dinamis sehingga perlu adanya fleksibilitas dalam proses pengadaan tersebut,” ujarnya. Ketentuan ini disebutnya diatur dalam Pasal 13 Permen 24/2021 ini. Sesuai Pasal 13, Menteri melalui Ditjen EBTKE dapat mengubah penetapan BU BBN dan/ atau alokasi volume biodiesel pada periode pengadaan yang sedang berjalan. Perubahan penetapan ini dapat dilakukan ketika terjadi kegagalan pengiriman biodiesel, BU BBN tidak beroperasi, ada perubahan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar, dan perubahan titik serah badan usaha BBM. Perubahan penetapan ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi tim evaluasi pengadaan biodiesel. Dadan menambahkan, Permen 24/2021 juga mengubah badan usaha BBM yang wajib mencampur biodiesel. Sesuai beleid ini, seluruh badan usaha BBM yang memiliki izin usaha pengolahan migas yang menghasilkan solar, wajib menjalankan pencampuran biodiesel. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan minyak solar dalam negeri. Sebelumnya kewajiban ini terbatas pada badan usaha BBM yang memiliki kilang dan memproduksi solar. “Selain itu, pelaksana verifikasi berpindah dari Ditjen Minyak dan Gas Bumi ke Ditjen EBTKE,” tutur Dadan. Verifikasi ini mencakup volume dan kuali- tas dari biodiesel.
Perluasan Relaksasi
Permen 24/2021, sebut Dadan, juga memperluas relaksasi mandatori pencampuran biodiesel. “Ditambahkan pasal untuk beberapa sektor yang mendapat relaksasi penggunaan biodiesel,” jelasnya. Sebelumnya, pengecualian mandatori pencampuran biodiesel ini belum diatur dalam regulasi tertentu. Mengacu Pasal 4 beleid tersebut, pengecualian mandatori biodiesel ini diberikan untuk pembangkit listrik yang belum dapat menggunakan campuran biodiesel, kebutuhan solar untuk operasional di ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan dengan suhu di bawah 15 derajat celsius, kebutuhan alat utama sistem pertahanan, bahan bakar untuk kebutuhan engine performance test oleh pabrikan mesin atau bahan bakar pada mesin yang akan diekspor, penggunaan langsung solar bukan sebagai bahan bakar, serta solar CN 51. Masih dalam pasal yang sama, peruntukkan tertentu yang dikecualikan tersebut hanya dibolehkan untuk kepentingan sendiri dan tidak diperjualbelikan. Kemudian, setiap bulan, badan usaha BBM juga wajib melaporkan penyaluran solar untuk peruntukkan tertentu ini kepada Dirjen Migas dan Dirjen EBTKE. Hingga Juni lalu, realisasi serapan biodiesel 30% (B30) tercatat sebesar 4,3 juta kiloliter (KL) dari target 9,2 juta KL. Pe- nyaluran biodiesel ini naik dari 2,75 juta KL pada 2017 menjadi 3,75 juta KL pada 2018,6,39 juta KL pada 2019, dan mencapai 8,46 juta KL pada tahun lalu. Sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), penyaluran biodiesel ini diproyeksikan terus naik pada beberapa tahun mendatang. Target serapan biodiesel ditetapkan naik menjadi 10 juta KL pada 2022, 11,2 juta KL pada 2023,12,5 juta KL pada 2024, serta mencapai 13,9 juta KL pada 2025.
Gatra.com | Selasa, 28 September 2021
Bahan Bakar Minyak Sawit Berperan dalam Transisi Penggunaan Energi Bersih
Dalam pertemuan para Menteri Energi yang tergabung dalam grup 20 negara perekonomian terbesar dunia, atau G20, setahun lalu, berhasil dicapai kesepakatan Komunike Bersama Menteri Energi G20 yang dituangkan dalam dokumen Circular Carbon Economy (CCE) Platform. Dalam dokumen CCE Platform tersebut, para Menteri Energi G20 sepakat bahwa biofuel adalah salah satu komponen penting untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui teknologi dan inovasi (elemen reduce), serta menetralkan emisi karbon melalui proses alami dan dekomposisi (elemen recycle). Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan, terkait pemanfaatan biofuel, Indonesia tengah melakukan upaya membangun kemandirian dan kedaulatan energi nasional dengan mendorong peningkatan pemanfaatan biofuel. Salah satu inovasi yang berhasil dilakukan adalah implementasi Biodiesel 30% (B30) di sektor transportasi, yang diperkirakan dapat menurunkan emisi sebesar 16,9 juta ton CO2e. “Program pemanfaatan biodiesel ini menjadi bentuk nyata partisipasi aktif Indonesia dalam aksi penurunan emisi GRK global,” jelas Arifin. Selain itu, Indonesia juga telah menemukan katalis yang efektif dalam proses produksi fraksi (jenis bentukan) minyak bumi dengan bahan bakar minyak sawit atau green fuels di kilang Pertamina, yakni Katalis Merah Putih. Kemampuan biodiesel sawit dalam menurunkan emisi juga telah diuji dan dibuktikan oleh banyak penelitian baik dalam skala nasional maupun internasional. Hasil perhitungan komisi Uni Eropa melalui The European Council’s Directive 2009/28/EC menunjukkan, produksi biodiesel sawit (tanpa proses produk yang spesifik) mampu menghemat emisi sebesar 36 persen. Sementera, produksi biodiesel sawit yang feedstock-nya berasal dari perkebunan yang telah mengimplementasikan teknologi methane capture dalam pengolahan POME, memiliki kemampuan dalam emission saving lebih tinggi, yakni mencapai 62 persen. Kemampuan biodiesel sawit (dengan methane capture) tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan biodiesel rapa, biodiesel kedelai, dan biodiesel bunga matahari dalam menghemat emisi gas rumah gaca. Karena itulah, Biofuel diyakini dapat memainkan peranan unik dalam percepatan transisi energi menuju sistem energi yang lebih bersih di masa depan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kontan.co.id | Selasa, 28 September 2021
Dorong program biodiesel, kemitraan dengan petani sawit terus didorong
Pemerintah saat ini tengah mengkaji kenaikan program mandatory biodiesel dari B30 ke B40. Sebagaimana diketahui, program ini menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menekan impor solar dan serta bisa menghemat devisa negara. Sesuai dengan data dari Kementerian ESDM bahwa sampai dengan tahun 2020 program biodiesel mampu menghemat devisa negara sebesar Rp 63,39 triliun serta menjadi pasar baru untuk CPO Indonesia sekitar 8-9 juta ton CPO. Tetapi dibalik keberhasilan yang telah ditorehkan dalam pelaksanaan program biodiesel B30 tersebut pelibatan petani sawit melalui kemitraan antara petani sawit dengan perusahaan yang terlibat dalam industri biodiesel masih sangat minim. Berdasarkan data Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di 4 Kabupaten di Provinsi Riau seperti Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu menyingkap fakta kalau pada radius 5 Km dari pabrik kelapa sawit yang menjadi bagian dari produksi biodiesel, nyatanya petani sawit belum memiliki skema kemitraan yang jelas. Guna memperkuat pengembangan program biodiesel ke tahap selanjutnya, diperlukan langkah konkret pemerintah dalam menentukan arah kebijakan yang mengatur pola kemitraan antara petani dengan perusahaan agar program biodiesel bisa berjalan sesuai dengan visi dari presiden jokowi. Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan, Juri Ardiantoro mengatakan bahwa pemanfaatan biodiesel bukan hanya mengantisipasi akan hilangnya energi yang berbasis fosil tetapi juga dalam konteks lingkungan. “Jangan sampai petani menjadi subordinasi dalam mata rantai biodiesel. Industri seperti ini tidak boleh mengabaikan kepentingan pemerintah secara umum yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat”, tegas Juri. Vice Presiden Pertamina Patra Niaga, Budi Hutagaol mengatakan bahwa alokasi FAME sebagai blending component dari solar meningkat setiap tahunnya sejak tahun 2018 (3.2 Juta Kilo Liter) dan di tahun 2021 menjadi 7.815 juta Kilo Liter. Apabila ditotal jumlah FAME yang digunakan dalam implementasi biodiesel dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2021 berada di angka 32.98 juta Kilo Liter.
Pengembangan program biodiesel yang menanjak ke B 40 dan seterusnya, praktis menjadi penciri bahwa program ini dijalankan untuk jangka panjang dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi EBTKE Kementerian ESDM, Elis Heviati mengutarakan bahwa pengembangan program mandatori BBN bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang memiliki 40% dari total lahan perkebunan sawit nasional. “Dalam grand strategi energi nasional dimana pengembangan biofuel pada tahun 2040 ditargetkan mencapai 15.2 juta Kilo Liter dimana biodiesel sebesar 11.7 juta kilo liter dan pengembangannya tidak terbatas pada pengusaha skala besar, melainkan didorong berbasis ekonomi kerakyatan”, ujar Elis. Kritik soal pelibatan petani dalam pengembangan program biodiesel datang dari, Sekjen SPKS, Mansuetus Darto. Ia mengutarakan bahwa pemerintah sebaiknya jangan terburu-buru mengambil kebijakan menaikkan biodiesel B30 ke B40. “Perlu ada evaluasi dari implementasi B30 saat ini dengan melihat manfaat kepada petani sawit ini sesuai dengan visi presiden, kita perlu melibatkan petani sawit swadaya dalam program ini. Jika dijalankan secara benar dan serius tentu Pak Presiden akan bangga kalau program biodiesel turut disukseskan oleh petani kecil”, ujarnya. Mansuetus mengatakan kalau selama ini petani swadaya sama sekali tidak menerima manfaat dari program biodiesel karena petani tetap saja menjual TBS ke tengkulak dengan loss income sekitar 30%. Hal ini terjadi karena tidak ada kemitraan terutama dengan perusahaan-perusahaan biodiesel. Belum lagi program biodiesel ini sudah menghabiskan uang dana sawit dari BPDPKS sampai tahun 2020 sekitar 57,72 triliun, Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan, menyatakan bahwa kebijakan mandatori biodiesel termasuk kebijakan yang progresif. Target yang terus diperbaharui dengan blending rate dan user groups yang semakin meningkat. Alin menegaskan jika skenario yang ditetapkan semakin progresif maka semakin cepat dan besar defisit CPO yang terjadi mengingat keterbatasan pada sisi supply. “Dengan asumsi tidak adanya replanting kalau kita melakukan skenario B 50 maka kebutuhan lahan untuk memenuhi defisit tersebut mencapai 70% dari luas lahan yang saat ini ada”, tandas Alin.
Untuk itu program peremajaan sawit mendesak dilakukan. Hal ini disampaikan Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Kementerian Pertanian. “Lambatnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) karena banyak yang berada di dalam kawasan hutan, sehingga koordinasi kami dengan Kemenkoperkonomian maupun KLHK tetap intensif agar persoalan ini dapat diselesaikan”, pungkas Heru. Ia menambahkan juga bahwa yang ikut PSR banyak petani swadaya, sehingga pemerintah tetap merangkul petani plasma dan petani swadaya karena memang proses bisnis sawit harus dengan kemitraan yang kuat. Dalam sesi terakhir workshop ini, Sekjen Jokowi Centre, Imanta Ginting mengungkapkan bahwa diskusi ini membahas bagaimana realisasi pola kemitraan petani sawit dengan program implementasi mandatory biodiesel yang sudah berjalan sejak tahun 2015 sampai dengan saat ini, kekurangan dan kelebihan serta skema kemitraan yang terbaik dalam menyukseskan transisi B30 ke B40. “Kegiatan ini murni untuk menghimpun pemikiran dari para stakeholders terkait dalam program mandatory biodiesel di Indonesia yang berguna untuk kebijakan pengembangan biodiesel sebagai salah satu upaya mewujudkan ketahanan energi nasional”, tutur Imanta. Sebagai indformasi, Jokowi Centre menyelenggarakan workshop bertajuk ”Formula Kemitraan Petani Sawit Rakyat Dalam Rantai Pasok Industri Biodiesel” ini pada 28 September 2021. Kegiatan ini merupakan rangakaian diskusi rutin dalam upaya untuk memastikan target presiden Jokowi dalam program mandatory biodiesel B30 bisa mensejahterakan sekitar 2,7 juta petani petani sawit terutama petani sawit swadaya di Indonesia.
Gatra.com | Selasa, 28 September 2021
GM: Kalau Mau Moratorium Lancar, Biodiesel Bersinar, Lakukan Ini. Jangan Berhalusinasi!
Makin hari, lelaki 48 tahun ini makin tak habis pikir menengok kelakuan oknum-oknum yang terus-terusan ‘meneror’ sawit. Saking getolnya teror itu, sampai-sampai ada yang bilang kalau sawit itu bukan pohon. Sementara 21 tahun lalu, Robert Henson, seorang ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat memastikan bahwa kemampuan kelapa sawit menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen, lebih besar ketimbang hutan alam. Dalam The Benefit Of Palm Oil to The Environment di jurnal The Rough Guide to Climate Change yang dia tulis, satu hektar kebun kelapa sawit bisa menyerap 64,5 ton karbon dioksida dan menghasilkan sekitar 18,7 ton oksigen. Angka ini lebih besar ketimbang satu hektar hutan tropis yang hanya mampu menyerap karbon dioksida sebanyak 42,4 ton dan menghasilkan 7,09 ton oksigen. “Itu bukan hasil penelitian ahli di Indonesia lho, tapi ahli dari negeri ‘Adi Daya’. Tapi kemampuan kelapa sawit itu justru tak dianggap, yang ada malah dibilang bukan pohon, mudah-mudahan yang bilang itu tidak sedang berhalusinasi,” rutuk Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung saat berbincang dengan Gatra.com melalui sambungan telepon, tadi siang. Kebetulan satu jam lagi, Doktor Lingkungan jebolan Universitas Riau ini harus terbang ke Jakarta tujuan Bogor, Jawa Barat. Apa yang dibilang oleh sosok yang akrab disapa GM ini sesungguhnya hanya satu dari sederet kebaikan kelapa sawit. Kalau kelapa sawit menjadi penyelamat ekonomi Negara sepanjang pandemi covid-19, tak usah ditanya lagi. Sumber ekonomi lebih dari 21 juta jiwa, sudah pasti. “Dan satu hal yang paling penting dicatat, tidak hanya pohon sawit yang menyelamatkan lingkungan lewat serapan karbon dan produksi oksigennya, tapi minyaknya yang diolah menjadi biodiesel, juga ikut mengurangi emisi gas rumah kaca. Di muka bumi ini, hanya Indonesia yang sudah membikin Bauran (B)30 dan sebentar lagi B40. Ini berarti Indonesia satu-satunya Negara yang paling care mengurangi emisi akibat penggunaan energi fosil. Luar biasanya lagi biodiesel ini membuat petani sumringah, sebab sejak mandatori B30, harga Tandan Buah Segar (TBS) naik meroket,” ujarnya.
Hanya saja kata GM, Biodiesel ini sekarang sedang terancam. Sebab produksi minyak sawit Indonesia yang masih tergolong rendah, memicu dilema. Di satu sisi, kalau B30 dipertahankan, yang mau diekspor tak banyak. Sementara dari ekspor lah Negara bisa menambah pundi-pundi. Mau menambah luasan kebun sawit yang saat ini sudah mencapai 16,38 juta hektar, kayaknya masih mustahil lantaran meski moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit sudah habis 10 hari lalu, tapi naga-naganya masih akan diperpanjang. Di satu sisi kata GM, kalau pun dilakukan perpanjangan moratorium, itu keputusan yang sangat bagus jika sederet persoalan pada eksisting kebun sawit yang 16,38 juta hektar tadi diberesi. Misalnya, kebun kelapa sawit yang diklaim dalam kawasan hutan, segera dilepas dan legalitasnya dikuatkan. Terus produktivitas ditingkat. “Kalau hanya menggadang-gadangkan moratorium tanpa memberesi persoalan yang ada pada sawit yang sudah eksisting, itu namanya bunuh diri. Sama saja kita terperangkap dalam scenario pembenci sawit yang bergentayangan itu,” GM mengingatkan. Dan sebetulnya kata GM, jauh-jauh hari Presiden Jokowi sudah merancang intesifikasi ini. Itulah makanya kata GM, Presiden Jokowi meluncurkan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang kemudian dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ada sekitar 540 ribu hektar yang menjadi target peremajaan hingga tahun depan. “Tapi sayang, Presiden Jokowi kayaknya enggak tahu kalau program PSR ini terancam gagal, 84% petani gagal usul lantaran kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. Lagi-lagi ego sektoral yang ada. Kementerian Pertanian dan BPDPKS bertungkus lumus menyukseskan program ini, tapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru asyik menghitung denda dan PNBP. Apa-apaan ini? Umur PP turunan UUCK sudah 8 bulan, coba cek berapa hektar klaim kawasan hutan itu yang sudah diberesi,” GM bertanya.
Seharusnya kata GM, KLHK dan Kementan paduserasi memberesi semua persoalan yang ada. Sebab PSR itu programnya Presiden. “Ingat, presidennya KLHK dan Kementan itu satu, Jokowi. Jadi yang ada itu visi misi presiden, bukan kementerian,” sergah GM yang merupakan Ketua Bravo-5 Riau, Relawan Jokowi. Sekali lagi kata GM, moratorium diperpanjang, monggo. Tapi perbaiki eksisting sawit yang ada beserta produktifitasnya. “Kalau ini jalan, maka moratorium lancar, biodiesel bersinar. Tapi kalau dua kementerian ini tak bisa paduserasi, maka nasib sawit Indonesia akan menyusul tanaman unggulan Indonesia masa silam yang sekarang cuma tercatat di museum,” GM mengingatkan. Soal omongan sawit bukan pohon tadi, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Sudirman Yahya bilang begini; mencampuradukkan antara pengertian botani dan manajemen adalah keliru. Coba cek tumbuhan yang tidak berkambium (monokotil) seperti aren, pinang, palam raya, palam merah, siwalan, lontar, rotan, sagu, kelapa, nipah, kelapa sawit, salak dan lain-lain, apakah semua bukan tumbuhan kehutanan?. Dari sisi manajemen, bukankah beberapa tanaman HTI seperti Karet, akasia dan eukaliptus boleh monokultur, terus gimana pula dengan jati, damar, pinus, sengon, apakah harus polikultur? Di situlah tidak konsistennya defenisi yang disampaikan salah seorang Dirjen di KLHK itu dan dibilang pula Malaysia tidak ilmiah mendefenisikan sawit masuk dalam kelompok tumbuhan kehutanan. Definisi pohon “tree” lebih menyangkut morfologi; antara lain ukuran tinggi batang, percabangan dan lain-lain, tidak menyangkut anatomi, seperti berkambium. Jadi si Dirjend itu hanya sekedar mencari pembenaran sendiri saja.
Gatra.com | Selasa, 28 September 2021
Uni Eropa Temukan Biodiesel Sawit Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca
Berbagai penelitian baik di Indonesia maupun di Eropa, menunjukkan bahwa dengan menggunakan Life Cycle Analysis penggantian bahan bakar diesel/solar dengan biodiesel sawit akan mengurangi emisi Green House Gas (Gas Rumah Kaca/GRK) dari mesin diesel sekitar 50-60 persen. Bahkan menurut European Commission, apabila biodiesel sawit yang dihasilkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan methane capture pengurangan emisi GRK dapat mencapai 62 persen. Hasil penelitian Mathews and Ardyanto (2015), juga mendukung temuan Uni Eropa tersebut bahwa penggunaan biodiesel sawit sebagai pengganti diesel dapat menurunkan GRK di atas 60 persen. Penghematan emisi GRK akibat penggunaan biodiesel berbahan baku sawit tersebut, lebih tinggi dibandingkan dengan penghematan emisi yang diperoleh dari biodiesel berbahan baku minyak rapeseed, minyak kedelai maupun minyak bunga matahari. Dengan kata lain, penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel dapat menurunkan emisi GRK yang lebih besar dibandingkan dengan jika digunakan biodiesel berbahan baku kacang kedelai, rapeseed maupun minyak bunga matahari.
Tribunnews.com | Selasa, 28 September 2021
Pertamina Sulawesi: Antrean Truk Karena Lonjakan Konsumsi Solar
Pertamina Sulawesi mengungkapkan, fenomena antrean panjang kendaraan diesel di Manado bukan karena adanya kelangkaan solar. Taufiq Kurniawan, Senior Supervisor Communication and Relation PT Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi menjelaskan, hal itu justru disebabkan karena lonjakan permintaan solar. “Seiring dengan berlakunya PPKM level 2, di beberapa daerah di Sulut memang terjadi peningkatan konsumsi solar akibat geliat industri yang mulai aktif,” ujar Taufiq kepada tribunmanado.co.id, Selasa (28/9/2021). Katanya, kuota solar sudah diatur BPH Migas untuk setahun. Penyaluran kuota disesuaikan dengan kondisi permintaan di masyarakat. “Jadi ketika ada penurunan permintaan, SPBU menyesuaikan. Begitu pula terjadi peningkatan. Kuota harus cukup untuk setahun,” katanya lagi. Ia menjelaskan, kondisi serupa tidak hanya terjadi di Sulut. “Pantauan kami di lapangan, kondisi ini fluktuatif. Kemarin di Bantaeng Bulukumba, di Sulbar juga sempat antre tapi turun,” jelasnya. Pertamina sendiri telah mengajukan permintaan penambahan kuota biosolar ke BPH Migas. “Kita suda sudah izin. Nyatanya di lapangan memang konsumsinya seperti itu. “Itu di luar faktor kendali kita,” Taufik menegaskan, berdasarkan pemantauan pihaknya, selama ini tidak ada kondisi kritis solar di Sulut. Pertamina memantau kondisi stok solar melalui sistem Digitalisasi SPBU secara real time. “Tidak ada kondisi kritis atau kelangkaan. Disebut kelangkaan bila ada kondisi force majeur,” katanya. Ia mengakui, di lapangan masih banyak masyarakat yang menggunakan biosolar (solar subsidi). Pertamina mengimbau masyarakat dan industri menggunakan BBM gasoil sesuai pada peruntukannya “Karena biosolar untuk kendaraan roda enam. Ke bawah. Di atas dari itu menggunakan Pertamina Dex dan Dexlite,” ujarnya.