Agar Mesin Alat Berat Tambang Tampil Prima, Pana Oil Beri Edukasi Pengguna B35
Kontan.co.id | Kamis, 31 Agustus 2023
Agar Mesin Alat Berat Tambang Tampil Prima, Pana Oil Beri Edukasi Pengguna B35
PT Pana Oil Indonesia, produsen pelumas otomotif dan industri, memberikan edukasi kepada para pengguna bahan bakar biodiesel 35% (B35) agar kinerja mesin dan alat berat, khususnya di sektor pertambangan, tetap optimal. PanaOIL telah menggelar Forum Group Discussion (FGD) Pana Talk with Expert dengan tema Sifat Biodiesel B35, belum lama ini. FGD ini menghadirkan narasumber Tri Yuswidjajanto Zaenuri, pakar konversi energi dari Fakultas Teknik dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Bambang Tjahjono dan dimoderatori oleh Senior Business Development Manager PT Pana Oil Indonesia Dian Wahyu Bawono. Raymond Widjaja, Managing Director PT Pana Oil Indonesia, mengatakan bahwa implementasi B35 masih relatif baru. Oleh sebab itu, PanaOIL merasa perlu memfasilitasi edukasi tentang B35 kepada para pengguna, khususnya pengguna alat-alat berat di sektor pertambangan. Dia berharap agar Pana Talk kali ini tentang B35 dapat memberikan edukasi sekaligus solusi atas beberapa keluhan yang sering disampaikan para pengguna akibat dari penggunaan bahan bakar biodiesel dengan kadar fatty acid methyl ester (FAME) sebesar 35% ini. “Sebagai produsen pelumas dalam negeri, PanaOIL siap menerima kebijakan mandatory B35. Pana Oil aktif memberikan edukasi tentang B35 kepada para pengguna. Penjelasan dari para expert dan praktisi ini diharapkan mampu memberikan pemahaman tentang B35 sehingga dapat menjaga performa mesin dan alat berat tetap optimal,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (29/8). Raymond menambahkan, selain edukasi, PanaOIL juga terus melakukan riset untuk menghasilkan solusi dalam meningkatkan kinerja mesin dan peralatan dari pelanggannya, khususnya di sektor pertambangan. B35 merupakan bauran 65% solar dan 35% biodiesel dari FAME. Pemerintah mewajibkan B35 sejak 1 Februari 2023 dan diimplementasikan secara serentak di dalam negeri per 1 Agustus 2023. Sejak diterapkan, pengguna B35 menyampaikan beberapa keluhan, seperti lebih sering servis filter bahan bakar, banyaknya deposit/kontaminan dikarenakan pelumas, kadar air dalam B35, konsumsi bahan bakar lebih boros, dan lainnya. Director B2B PT Pana Oil Indonesia Effendy Liemuel menegaskan juga bahwa, dalam sesi Pana Talk with Expert, para pakar dan praktisi secara tegas menyampaikan bahwa tidak ada kaitan langsung antara pelumas dengan performa mesin yang menggunakan bahan bakar B35. Akan tetapi, lanjutnya, untuk menjaga kinerja mesin, terutama alat berat, para pengguna B35 perlu lebih rutin melakukan pemeliharaan. “Kami menyadari bahwa teknologi baru selalu memiliki tantangan. Pandangan pakar dan praktisi sangat clear, bahwa B35 tidak ada kaitan langsung dengan penggunaan pelumas mesin,” tutur Effendy.
Sifat FAME
Sementara itu, Tri Yuswidjajanto Zaenuri menjelaskan, FAME dari esterifikasi CPO memiliki sifat higroskopis (menyerap air), detergency (sifat pelarutan terhadap deposit yang ada di tangki bahan bakar hingga ke saluran bahan bakar yang menyebabkan kotoran menyangkut di filter dan terjadi proses sumbatan), tingkat oksidasi tinggi yang memicu deposit, dan nilai kalor FAME sebesar 37 MJ/kg lebih rendah dibandingkan solar 43 MJ/kg. Selain itu, katanya, biodiesel memiliki viskositas (kekentalan) lebih tinggi yaitu sebesar 4,15 mm2/s dibandingkan dengan solar sebesar 3,25 mm2/s. Ketika diinjeksi maka kabutnya lebih besar. Solar habis terbakar dan FAME tidak habis terbakar sehingga sebagian terbawa oleh blow by gas turun ke crankcase (bagian mesin), dan masuk ke dalam pelumas. Di sisi lain, menurutnya, dengan viskositas pelumas lebih tinggi dibandingkan dengan FAME sehingga dengan masuknya FAME menyebabkan pelumas makin encer. Oleh sebab itu, pelumas justru menjadi lebih licin karena seperti mendapatkan aditif anti-friction melalui FAME tersebut. “Sehingga sampai sekarang nggak ada keluhan soal oli dari teman-teman pengguna B35 di lapangan. Ganti oli tetap normal 250 jam atau 500 jam saja. Tapi, mereka mengeluh masalah ganti filter jadi lebih sering, power loss [kehilangan tenaga], interval injector service menjadi lebih cepat, bahan bakar lebih boros. Karena itulah di lapangan sangat jarang mendapatkan keluhan terkait pelumas,” tutur Tri. Menurutnya, di dalam pompa bahan bakar, semua komponennya dilumasi bahan bakar tidak ada yang dilumasi dengan pelumas. “Seharusnya tidak ada keluhan soal pelumas terkait dengan bahan bakar B35.” Tri menambahkan, dengan sifat higroskopis, ketika B35 di tangki timbun yang banyak ruang kosong di dalamnya, terjadi kondensasi uap air karena ada ruang udara yang diserap FAME sehingga kadar air dalam bahan bakar makin bertambah. Air yang tercampur dalam bahan bakar, lanjutnya, membentuk emulsi yang memicu bakteri dan jamur, kemudian timbul lapisan gel yang bermuara di filter bahan bakar. Akan tetapi, Tri juga menilai, program mandatory B35 memberikan banyak benefit seperti penghiliran CPO sekaligus sejalan dengan upaya pemerintah dalam menurunkan emisi karbon. Di sisi lain, dampak negatif dari B35 perlu diatasi agar program B35 berjalan lancar dan tidak merugikan pelaku industri dan pengguna. “Dalam penyimpanan B35 harus dibersihkan secara rutin, melakukan sirkulasi bahan bakar dengan mengambil dari bawah melalui filter untuk dinaikkan ke atas, modifikasi dengan menambahkan filter untuk menjaga agar bahan bakar yang masuk ke ruang bakar lebih bersih. Solusi lain dengan menggunakan zat aditif bahan bakar,” kata Tri. Hal senada disampaikan Bambang Tjahjono bahwa ada sifat negatif biodiesel seperti penggunaan bahan bakar menjadi lebih boros. Bahkan, sifat higroskopis menyebabkan kadar air dalam biodiesel cukup tinggi sehingga membahayakan mesin. “Sifat berikutnya, mudah oksidasi menyebabkan endapan, impact pada filter bahan bakar. Kemudian sifat korosif. Ini menyangkut jangka panjang yang sering dilupakan. Setelah saya kasih feedback ke pemerintah, baru muncul pedoman teknis, penyimpanan B35 maksimal 3 bulan. Setelah 3 bulan harus dites, diuji lagi,” ucap dia. Menurutnya, sebagai industri dengan pengguna B35 terbesar, Aspindo terus memberikan edukasi pemeliharaan seperti pembersihan (cleaning) rutin, flushing, sedot dengan filter kemudian dikembalikan lagi, dicegah supaya seminimal mungkin udara luar bisa terserap, Kemudian kalau menyimpan B35 dalam jangka panjang, maka tangki harus isi penuh supaya tidak ada udara. “Kemudian persentuhan FAME dan pelumas di ruang mesin dan sedikit sekali pengaruhnya, tetapi saya belum melihat ada riset. Perlu riset, apakah B35 mempengaruhi kualitas pelumas, khususnya oli mesin, misalnya dalam jangka panjang bisa memperpendek umur oli, ini perlu diriset,” ungkap dia.
Kontan.co.id | Kamis, 31 Agustus 2023
Kadar Oktan Pertalite Akan Dinaikkan, Harga Tetap Rp 10.000 Per Liter
PT Pertamina tengah mengkaji peningkatan kadar oktan bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite (RON 90) menjadi RON 92. Upaya tersebut dilakukan dengan mencampurkan Pertalite dengan ethanol 7% sehingga akan menjadi Pertamax Green 92. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyatakan hingga saat ini kajian menaikkan kadar oktan RON 90 ini masih dilakukan secara internal dan belum diputuskan. Jika nanti usulan tersebut dapat dibahas dan menjadi program pemerintah, harganya pun tentu akan diatur oleh pemerintah. “Tidak mungkin Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) harganya diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya,” terang Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (30/8). Kajian tersebut, menurut Nicke, dilakukan untuk menghasilkan kualitas BBM yang lebih baik, karena bahan bakar dengan kadar oktan yang lebih tinggi tentu akan semakin ramah lingkungan. “Kalau misalnya dengan harga yang sama, tapi masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan kadar oktan lebih baik, sehingga untuk mesin juga lebih baik, sehingga emisi juga bisa menurun. Namun ini baru usulan sehingga tidak untuk menjadi perdebatan,” jelas Nicke. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto menyatakan Pertalite tidak akan dihapus, hanya saja Pertamina akan menaikkan kadar oktannya dari RON 90 menjadi RON 92. “Pertalite tidak dihapus dan tetap dengan harganya Rp 10.000 per liter hanya saja RON dinaikkan kualitasnya jadi ke 92. Itu tidak ada penghapusan, tidak ada penghentian,” ujarnya ditemui di Gedung DPR RI, Kamis (31/8). Menteri Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM). Arifin Tasrif belum bisa memberikan tanggapan lebih jauh mengenai pengalihan subsidi Pertalite untuk Pertamax 92. “(Jika menambah unsur ethanol 7%) ongkosnya siapa dari mana. Biaya naik siapa yang mau bayar,” ujarnya di Gedung DPR RI. Arifin menyatakan, kajian internal yang diiakukan Pertamina ini untuk mencari jenis BBM yang lebih ramah lingkungan. Jika kadar oktan lebih tinggi, tentu kualitas BBM akan semakin bagus dan minim emisi gas buang. “Ini masih dikaji tetapi intinya adalah sumber (polusi) itu sendiri yang harus jadi sasaran utama (diturunkan). Dari mana sumbernya, dari transportasi kemudian juga dari industri,” terangnya.
Hati-hati fluktuasi harga bioetanol
Sementara itu, Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengatakan, Indonesia pernah beranjak ke biodiesel untuk menekan impor, tetapi dengan subsidi yang sangat besar sekitar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun. “Harus diperjelas adopsi bioetanol ini untuk kepentingan apa, dan bila ada disparitas harga, siapa yang akan menanggungnya,” ujarnya kepada Kontan.co.id lewat pesan teks. Berdasarkan Harga Indeks Pasar ESDM, harga bioetanol kerap berfluktuasi dari kisaran Rp 11.500 sampai mendekati Rp 14.800 per liter. Putra menyebut, setidaknya ada dua hal yang perlu diawasi jika rencana Pertamax Green 92 untuk menggantikan Pertalite jadi dieksekusi. Pertama, kejelasan harga dan siapa yang akan menanggung bila ada harga lebih tinggi dan berfluktuasi. Kedua, keberlanjutan bahan baku bioethanol juga harus jelas. Apa saja bahan dasarnya, efek samping seperti kompetisi dengan pangan, dan resiko pembukaan lahan harus menjadi perhatian. Terlepas dari pro dan kontra, adopsi biodiesel berlandas pada sektor kelapa sawit yang sudah lama terbangun. Namun, lanjut Putra, hal ini sangat berbeda untuk bioetanol karena Indonesia adalah salah satu importir gula terbesar dunia, bahkan bisa melebihi China, dan baru akan memulai membangun industrinya. “Biodiesel juga ditopang dana bea ekspor produk sawit dan konteksnya akan berbeda untuk bioetanol,” terangnya.
Kontan.co.id | Kamis, 31 Agustus 2023
Pemerintah akan Alihkan Konsumsi Pertalite ke Pertamax Green 92, Begini Kata Pengamat
PT Pertamina tengah mengkaji untuk meningkatkan kadar oktan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi Pertalite (RON 90) menjadi RON 92. Upaya tersebut dilakukan dengan mencampurkan Pertalite dengan etanol 7% (E7) sehingga akan menjadi Pertamax Green 92. Jika rencana ini jadi dilakukan, konsumsi bioethanol akan semakin masif dan biaya subsidi terancam membengkak. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan jika menghitung dengan biaya keekonomiannya, seharusnya Pertamax Green 92 lebih besar dari harga Pertalite saat ini yakni Rp 10.000 per liter. “Kalau mau dibuat Rp 10.000 per liter, nilai subsidinya harus ditambah setiap liternya. Apakah bisa dibuat segitu, peluangnya tetap bisa terbuka. Tetapi konsekuensi nilai subsidi perliter lebih besar dibandingkan Pertalite,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (31/8). Pencampuran Pertalite dengan bioetanol 7% akan menaikkan harga BBM. Produksi Pertalite (RON 90) 100% menggunakan minyak mentah. Sedangkan untuk produksi Pertamax Green 92 Pertamina akan mencampurkan bahan baku biomassa yang harganya 20%-30% lebih mahal dibandingkan minyak mentah. “Kalau harga mengacu ke biayanya tentu lebih besar harga di ujungnya. Kalau mau dibuat Rp 10.000 per liter subdidi nambah. Tetapi nanti di APBN tergantung berapa volume yang mau diberikan subsidi,” ujarnya. Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menambahkan pemerintah harus berhati-hati dalam mengeksekusi opsi peralihan ke Pertamax Green 92. Putra memaparkan, Indonesia pernah beranjak ke biodiesel untuk menekan impor, tetapi harus menanggung subsidi yang sangat besar sekitar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun. “Harus diperjelas adopsi bioetanol ini untuk kepentingan apa, dan bila ada disparitas harga, siapa yang akan menanggungnya,” ujarnya saat dihubungi terpisah. Berdasarkan Harga Indeks Pasar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga bioetanol kerap berfluktuasi dari kisaran Rp 11.500 sampai mendekati Rp 14.800 per liter. Putra menegaskan, setidaknya ada dua hal yang perlu diawasi jika rencana mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 jadi dieksekusi. Pertama, kejelasan harga dan siapa yang akan menanggung bila ada harga lebih tinggi dan berfluktuasi. Kedua, keberlanjutan bahan baku bioetanol juga harus jelas. Apa saja bahan dasarnya, efek samping seperti kompetisi dengan pangan, dan resiko pembukaan lahan harus menjadi perhatian. Terlepas dari pro dan kontra, adopsi biodiesel berlandas pada sektor kelapa sawit yang sudah lama terbangun. Namun, lanjut Putra, hal ini sangat berbeda untuk bioetanol karena Indonesia adalah salah satu importir gula terbesar dunia, bahkan bisa melebihi China, dan baru akan memulai membangun industrinya. “Biodiesel juga ditopang dana bea ekspor produk sawit dan konteksnya akan berbeda untuk bioetanol,” terangnya. Sebelumnya, Pertamina telah menjual secara terbatas Pertamax Green atau pencampuran Pertamax dengan ethanol 5% (E5). PT Pertamina Patra Niaga tengah mengajukan pembebasan cukai ethanol untuk pengembangan produk ini. Sebagai informasi, tarif cukai yang dikenakan terhadap etil alkohol dari semua jenis dengan kadar berapa pun adalah Rp 20.000 (per liter) baik produksi dalam negeri maupun impor. Tarif cukai etil alkohol tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2018 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat Mengandung Etil Alkohol. Di dalam Pertamax Green, pencampuran bioethanol baru sebesar 5% sehingga dikenakan cukai Rp 4.000 per liternya. Adapun produk etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan barang hasil akhir yang bukan barang kena cukai dapat dimintakan pembebasan cukai.