Airlangga: RI Kuasai 55% Sawit Dunia, Biofuel Harus Digas!

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

CNBCIndonesia.com | Rabu, 6 Oktober 2021

Airlangga: RI Kuasai 55% Sawit Dunia, Biofuel Harus Digas!

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia adalah negara terbesar yang menguasai pasar sawit dunia hingga 55%. Melihat potensi besar ini, maka pemerintah mendorong agar pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) terus digencarkan. Dalam “Seremoni Keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB Menggunakan Campuran Bahan Bakar Bioavtur 2,4% (J2.4)”, Rabu (06/10/2021), dia mengatakan sawit berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja sebesar 16 juta orang dan berkontribusi pada ekspor sebesar 15,6%. “Sebagai sumber energi bersih dan terbarukan, B30 berkontribusi turunkan gas rumah kaca 23,3 juta ton CO2 di 2020 dan pengurangan impor solar. Penghematan devisa implementasi B30 US$ 8 miliar. Pemerintah dorong B30 tahun ini 9,2 juta kilo liter (kl),” ungkapnya. Kemudian, di sisi pemanfaatan lahan, sawit jauh lebih efisien dari komoditas pesaing lainnya. Airlangga merinci, untuk memproduksi 1 ton sawit dibutuhkan lahan 0,3 ha. Sementara rapeseed oil 1,3 ha, sunflower oil 1,5 ha, dan soybean oil seluas 2,2 ha. “Indonesia adalah negara besar, terbesar yang kuasai 55% pasar sawit dunia dan dibandingkan komoditas pesaing, sawit lebih efisien,” jelasnya. Lebih lanjut dia mengatakan Indonesia berkomitmen di dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Salah satu upaya Indonesia dalam mendorong transisi energi adalah melalui pengembangan biofuel. “Transisi energi melalui pembangunan biofuel, industri berbasis baterai lithium, dan implementasi kendaraan listrik,” paparnya. Salah satu pemanfaatan BBN adalah melui bioavtur, di mana saat ini PT Pertamina (Persero) sudah berhasil memproduksi bioavtur 2,4% atau Jet Avtur 2,4 (J2.4). Airlangga menyebut pangsa pasar dari bioavtur J2.4 diperkirakan mencapai Rp 1,1 triliun. “Pangsa pasar J2.4 diperkirakan mencapai Rp 1,1 triliun,” ungkapnya. Menurutnya dengan kebijakan dari pemerintah yang telah memberikan super deduction tax, maka kegiatan ini bisa mendapatkan inovasi tax terhadap korporasi yang memberikan sponsor seperti PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau PTDI dan PT Pertamina (Persero). “Dan pemerintah bisa berikan sampai 300% oleh karena itu clearing dari Ristek BRIN,” paparnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20211006183100-4-281943/airlangga-ri-kuasai-55-sawit-dunia-biofuel-harus-digas

 

Medcom.id | Rabu, 6 Oktober 2021

Menteri ESDM Dorong Penyusunan Roadmap Komersialisasi Bioavtur J2.4

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengharapkan dukungan semua pihak dalam tahapan uji berikutnya bahan bakar nabati bioavtur J2.4 buatan PT Pertamina (Persero), termasuk penyusunan roadmap untuk komersialisasi. Menurut dirinya, industri aviation biofuel dapat terwujud apabila ada sinergi positif antara pemerintah sebagai regulator, lembaga-lembaga penelitian, produsen bioavtur, dan para pengguna aviation biofuel yaitu pihak operator penerbangan. “Hari ini sejarah telah tercipta, berkat dukungan dan kerja sama seluruh stakeholder yang terlibat, penerbangan perdana menggunakan bahan bakar nabati, campuran bioavtur 2,4 persen yang telah dinanti Bangsa Indonesia, akhirnya terlaksana menempuh jarak Bandung-Jakarta menggunakan pesawat CN235,” ujar Arifin, Rabu, 6 Oktober 2021. Adapun uji terbang pesawat berbahan bakar bioavtur berhasil dilakukan. Seremonial uji terbang dilakukan pada pesawat CN235-220 FTB (Flying Test Bed) milik PT Dirgantara Indonesia di Hanggar 2 PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMF), Tangerang. Proses uji terbang ini dimulai melalui sinergi penelitian antara Pertamina Research & Technology Innovation (Pertamina RTI) dan Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (PRK-ITB) dalam pengembangan katalis merah putih untuk mengkonversi minyak inti sawit menjadi bahan baku bioavtur pada 2012.

Selanjutnya kerja sama diperluas bersama PT KPI (Kilang Pertamina Internasional) untuk melakukan uji produksi co-processing skala industri di Refinery Unit (RU) IV atau Kilang Cilacap untuk mengolah campuran Refined, Bleached, and deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO) dan kerosin menggunakan katalis merah putih. Pada pengujian ini telah berhasil diproduksi bioavtur 2,4 persen-v yang disebut dengan J2.4. Selanjutnya serangkaian uji teknis dilakukan, hingga pelaksanaan uji terbang dari 8 September hingga 6 Oktober 2021, termasuk pengujian In-flight Engine Restarting. Keberhasilan ini akan menjadi tahap awal dalam peningkatan kontribusi bioavtur di sektor transportasi udara. “Tentunya kita tidak akan berhenti dan berpuas diri di tahapan ini, penelitian dan pengembangan akan terus dilakukan untuk nantinya dapat menghasilkan produk J100 dan penggunaan bioavtur dilakukan pada seluruh maskapai Indonesia, dan bahkan mancanegara,” tutur Arifin. Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Novie Rianto sangat mengapresiasi pencapaian pengembangan bahan bakar alternatif untuk pesawat udara. Hal ini sejalan dengan roadmap Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang mendorong penggunaan bahan bakar alternatif untuk pesawat udara. “Penggunaan bahan bakar nabati untuk pesawat merupakan wujud upaya menurunkan emisi karbon di sektor penerbangan, sesuai kebijakan yang dikeluarkan oleh ICAO,” kata Novie. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015 telah mengatur kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur dengan persentase sebesar tiga persen pada 2020, dan pada 2025 akan meningkat menjadi bioavtur lima persen.

https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/GbmodYxK-menteri-esdm-dorong-penyusunan-roadmap-komersialisasi-bioavtur-j2-4

 

Okezone.com | Rabu, 6 Oktober 2021

Bioavtur Jadi Bahan Bakar Pesawat, Menteri ESDM: Sejarah Tercipta

Industri penerbangan mencatatkan sejarah baru setelah pemerintah berhasil melakukan pemanfaatan energi terbarukan untuk bahan bakar pesawat. Hal ini terbukti dari keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB (Flying Test Bed) milik PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menggunakan campuran bahan bakar bioavtur di Hanggar 2 PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMF), Tangerang. “Hari ini sejarah telah tercipta, berkat dukungan dan kerjasama seluruh stakeholder yang terlibat, penerbangan perdana menggunakan bahan bakar nabati, campuran Bioavtur 2,4% yang telah dinanti Bangsa Indonesia, akhirnya terlaksana menempuh jarak Bandung – Jakarta menggunakan pesawat CN235,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Rabu (6/10/2021). Arifin mengatakan, dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015 telah mengatur kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur dengan persentase sebesar 3% pada tahun 2020. Pada tahun 2025 akan meningkat menjadi bioavtur 5%. Dirinya berharap dukungan semua pihak dalam tahapan-tahapan uji berikutnya, termasuk penyusunan roadmap untuk komersialisasi. “Industri aviation biofuel dapat terwujud apabila ada sinergi positif antara Pemerintah sebagai regulator, lembaga-lembaga penelitian, produsen bioavtur, dan para pengguna aviation biofuel yaitu pihak operator penerbangan,” katanya. Perjalanan panjang telah dilalui untuk sampai di tahap keberhasilan uji terbang. Dimulai melalui sinergi penelitian antara Pertamina Research & Technology Innovation (Pertamina RTI) dan Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (PRK-ITB) dalam pengembangan katalis “MerahPutih” untuk mengkonversi minyak inti sawit menjadi bahan baku bioavtur pada tahun 2012. Selanjutnya kerja sama diperluas bersama PT KPI (Kilang Pertamina Internasional) untuk melakukan uji produksi co-processing skala industri di Refinery Unit (RU) IV Cilacap untuk mengolah campuran RBDPKO (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil) dan kerosin menggunakan katalis merah putih, sebagai salah satu inovasi karya terbaik anak bangsa. Pada pengujian ini telah berhasil diproduksi bioavtur 2,4%-v yang disebut dengan J2.4. Selanjutnya serangkaian uji teknis dilakukan, hingga pelaksanaan uji terbang dari tanggal 8 September hingga 6 Oktober 2021 termasuk pengujian In-flight Engine Restarting. Keberhasilan ini akan menjadi tahap awal dalam peningkatan kontribusi bioavtur di sektor transportasi udara dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Kegiatan ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Hilirisasi Industri Katalis dan Bahan Bakar Biohidrokarbon yang dikoordinasikan oleh Kementerian ESDM, serta termasuk dalam etalase Prioritas Riset Nasional (PRN) Pengembangan Teknologi Produksi Bahan Bakar Nabati berbasis Minyak Sawit dan Inti Sawit, yang dikoordinasikan oleh Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN). “Semua keberhasilan ini dimulai dari ambisi, kepercayaan diri dan keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara, tentunya kita tidak akan berhenti dan berpuas diri di tahapan ini, penelitian dan pengembangan akan terus dilakukan untuk nantinya dapat menghasilkan produk J100 dan penggunaan bioavtur dilakukan pada seluruh maskapai Indonesia, dan bahkan mancanegara,” ujar Arifin. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Rianto mengapresiasi pencapaian pengembangan bahan bakar alternatif untuk pesawat udara. Hal ini sejalan dengan roadmap Direktorat Jenderal Perhubungan Udara yang mendorong penggunaan bahan bakar alternatif untuk pesawat udara. “Penggunaan bahan bakar nabati untuk pesawat merupakan wujud upaya menurunkan emisi karbon di sektor penerbangan, sesuai kebijakan yang dikeluarkan oleh ICAO,” ujar Novie.

https://economy.okezone.com/read/2021/10/06/320/2482119/bioavtur-jadi-bahan-bakar-pesawat-menteri-esdm-sejarah-tercipta

 

Infosawit.com | Kamis, 7 Oktober 2021

Pengembangan Bioavtur Campuran Sawit J2.4 Dukung Kemandirian Energi Nasional

Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit yang menguasai sekitar 55% pangsa pasar sawit dunia. Dibandingkan komoditas pesaing lainnya, produksi kelapa sawit lebih efisien dan produktivitas yang lebih tinggi dalam pemanfaatan lahan. Sebab itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah berkomitmen untuk mendukung program B30 pada 2021 dengan target alokasi penyaluran sebesar 9,2 juta Kilo Liter. Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga minyak sawit mentah (CPO). “Dengan kebijakan tersebut, target 23% bauran energi yang berasal dari Energi Baru Terbarukan pada 2025 sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional akan dapat tercapai,” ujar Airlangga pada acara “Seremonial Keberhasilan Uji Terbang Dengan Bahan Bakar Campuran Bahan Bakar Bioavtur 2,4% (J2.4)” yang dilakukan secara virtual, Rabu (6/10/2021). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan rendah karbon. Program B30 telah berkontribusi dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk sekitar 23,3 juta ton karbondioksida (CO2) pada tahun 2020. Program ini juga berdampak positif pada penghematan devisa negara dengan pengurangan impor solar sebesar kurang lebih US$8 miliar. Menko Airlangga Hartarto juga menyampaikan arahan dari Presiden Joko Widodo bahwa keterbukaan dan kesiapan Indonesia untuk mendukung investasi dan transfer teknologi termasuk investasi untuk transisi energi melalui pembangunan biofuel, industri baterai lithium, dan implementasi dari kendaraan listrik. Keberhasilan uji terbang bioavtur ini telah memberikan kepercayaan tinggi terhadap kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya domestik, khususnya minyak sawit, untuk dimanfaatkan sebagai upaya membangun kemandirian energi nasional. “Melalui terobosan ini diharapkan dapat berdampak pada pengurangan ketergantungan energi dari impor, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.” Tutur Airlangga.

https://www.infosawit.com/news/11385/pengembangan-bioavtur-campuran-sawit-j2-4-dukung-kemandirian-energi-nasional

 

Bisnis.com | Rabu, 6 Oktober 2021

Jadi Bahan Bakar Alternatif, Begini Cara Pembuatan Biodiesel

Pemanfaatan biodiesel menjadi salah satu alternatif upaya yang bisa dilakukan agar bisa menekan impor bahan bakar minyak (BBM) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Biodiesel merupakan  bahan bakar terbarukan berbahan baku lemak hewani maupun nabati berupa metil ester asam lemak (Fatty Acid Methyl Ester/ FAME) yang telah lama disebut sebagai pengganti minyak bumi. Lalu bagaimana sebenarnya cara memproduksi BBN? Dikutip dari laman smart-tbk.com, pembuatan biodiesel pertama kali dilakukan pada 1853 oleh E. Duffy dan J. Patrick, sebelum mesin diesel pertama kali ditemukan. Empat puluh tahun kemudian, Rudolf Diesel berhasil merakit mesin diesel pertama pada tahun 1893 di Augsburg, Jerman, yang kemudian diperkenalkan di World’s Fair di Paris, Prancis. Saat itu, mesin diesel masih dioperasikan menggunakan biodiesel yang terbuat dari minyak kacang tanah. Kini, biodiesel dapat dibuat dari berbagai bahan baku dan menggunakan bermacam-macam teknik, termasuk esterifikasi dan trans-esterifikasi. Salah satu minyak nabati penghasil bahan bakar biodiesel adalah minyak kelapa sawit. Sebagai sumber minyak nabati yang paling produktif, 1 hektare tanaman kelapa sawit mampu menghasilkan 3,5 ton minyak nabati. Jumlah itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman paling produktif kedua setelah kelapa sawit, yaitu kanola yang 1 hektarenya hanya mampu menghasilkan 0,8 ton minyak nabati. Sinar Mas Agribusiness and Food memproduksi biodiesel untuk pasar domestik Indonesia yang secara bertahap memperluas mandat biodieselnya. Ketertarikan Indonesia dalam mengembangkan biodiesel sangat berlawanan dengan kekhawatiran Eropa tentang penggunaan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar itu. Minyak kelapa sawit yang diproduksi secara berkelanjutan pun diyakini berperan penting dalam penyediaan energi terbarukan, baik dalam menyediakan bahan bakar domestik di negara-negara penghasilnya, maupun  membantu berbagai negara penggunanya untuk beralih ke bahan bakar yang lebih rendah polusi, terutama di sektor transportasi. Dalam memproduksi biodiesel dari minyak kelapa sawit yang berkelanjutan, Sinar Mas Agribusiness and Food menggunakan metode transesterifikasi, dengan cara sebagai berikut: Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) diproses menjadi refined, bleached, and deodorized palm oil (RBDPO). Setelah itu, RBDPO dicampur dengan methanol dan sodium methylate di mesin mixer. Hasil campuran itu kemudian didiamkan selama 1–2 jam hingga endapan FAME dan gliserin terpisah dengan sendirinya. FAME kemudian melewati proses pencucian untuk menghilangkan berbagai senyawa yang dapat mempengaruhi kualitasnya. Untuk meningkatkan kualitas biodiesel, komponen air dikeringkan dengan cara pemanasan pada suhu 130 derajat celcius selama 10 menit. Pada tahap terakhir, biodiesel akan melewati tahap penyaringan mekanik untuk menghilangkan partikel dan molekul kotor, sehingga menghasilkan produk akhir dengan kualitas yang luar biasa.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20211006/44/1451027/jadi-bahan-bakar-alternatif-begini-cara-pembuatan-biodiesel

CNBCIndonesia.com | Rabu, 6 Oktober 2021

2 Kilang Pertamina Siap Produksi BBM Berbasis Sawit!

Pemerintah terus mendorong pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel, mulai dari biodiesel hingga bioavtur. PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilangnya untuk mendukung produksi biofuel ini. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa persero menyiapkan dua kilang untuk produksi biofuel, yakni Kilang Dumai, Riau dan Kilang Cilacap, Jawa Tengah. “Kita harus siapkan kilang-kilang Pertamina untuk siap produksi bioavtur sesuai regulasi dan standar internasional. Kita akan siapkan dua kilang, yang siap Dumai dan Cilacap,” ungkapnya dalam konferensi pers “Seremoni Keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB Menggunakan Campuran Bahan Bakar Bioavtur 2,4% (J2.4)”, Rabu (06/10/2021). Saat ini Pertamina telah berhasil memproduksi bioavtur 2,4% atau yang biasa dinamakan Jet Avtur 2,4 (J2.4). Setelah produksi bioavtur 2,4%, Nicke menyebut Pertamina akan segera memproduksi bioavtur 5% atau J5. Bioavtur ini merupakan produksi avtur dari minyak inti sawit refined bleached degummed palm kernel oil (RBDPKO) dengan menggunakan katalis “merah putih” buatan ITB dicampur dengan kerosene (co-processing) di Kilang Cilacap Pertamina. Khusus J2.4 artinya campuran RBDPKO di kilang co-processing ini mencapai 2,4%.  “Pertamina sudah menjalankan program B30 mulainya dari 2,5% dan hari ini semua mandatori B30, secara teknis kilang sudah bisa B100. Produk kedua yakni avtur mulai 2,5%, setelah turn around Kilang Cilacap, bisa tingkatkan jadi 5% dalam waktu dekat bisa diproduksi J5,” paparnya.

Nicke mengakui bahwa pengembangan bioavtur ini cukup terlambat, sehingga diharapkan peningkatan akan bisa dilakukan dengan lebih cepat. Dengan demikian, ini akan mengurangi ketergantungan impor. “Kurangi ketergantungan pada impor, meski solar dan avtur gak impor sejak Mei 2019, kan dengan kurangi bisa produksi yang lain,” lanjutnya. Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan dengan program J2,4, maka dalam setahun kira-kira volume bioavtur yang butuh diproduksi mencapai sebesar 120 ribu kilo liter (kl) per tahun dengan asumsi konsumsi avtur per tahun sekitar 5 juta kl. Dadan menjelaskan, BBN jenis biodiesel dulu pemanfaatannya juga dilakukan secara bertahap, mulai dari biodiesel 2,5% sampai dengan biodiesel 30% yang saat ini berjalan. Pengalaman yang ada akan diimplementasikan ulang untuk bioavtur. “Biodiesel kita ada pengalaman, yang akan kita lakukan ulang untuk ini (bioavtur). Mulai dari uji engine, setelah itu dengan Pertamina dan industri sawit dari sisi hulu untuk bahan baku akan dipastikan dari sisi produksi. Misal 2,4% kali 5 juta kl, untuk bioavtur berarti 120 ribu kl kira-kira perlunya setahun,” ungkapnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20211006191114-4-281958/2-kilang-pertamina-siap-produksi-bbm-berbasis-sawit

Bisnis.com | Rabu, 6 Oktober 2021

Baru Diuji Coba, Kementerian ESDM Yakin Pengembangan Bioavtur Bisa Lebih Cepat

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) optimistis pengembangan bahan bakar nabati untuk transportasi udara, yaitu bioavtur bisa dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan biodiesel. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa pengembangan avtur dengan campuran palm kernel oil (PKO) atau minyak inti sawit 2,4 persen memang berjalan terlambat. Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12/2015 telah mengatur kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam avtur dengan persentase sebesar 3 persen pada 2020, dan meningkat jadi 5 persen di 2025. “Kalau bicara waktu saat ini kan kita punya pengalaman, jadi lebih cepat dibandingkan dengan biodiesel dulu,” katanya dalam Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB Menggunakan Campuran Bahan Bakar Bioavtur J2,4, Rabu (6/10/2021). Dadan menuturkan, pihaknya bakal menerapkan skema yang sama pada saat pengembangan biodiesel. Kajian-kajian teknis dan keekonomian akan dipelajari lebih lanjut untuk nantinya bisa diproduksi untuk kebutuhan komersial. Dari aspek teknis, katanya, pengembangan bioavtur telah melewati setengah jalan. Namun, proses untuk memastikan keekonomian bioavtur diperkirakan akan membutuhkan waktu lebih lama. “Keekonomian itu kan tidak selalu harus lebih murah dari avtur, bukan itu artinya ya. Jadi keekonomian itu nanti kita lihat kalau dicampurkan, kalau misalkan lebih mahal seberapa mahal, dan dampaknya seperti apa terhadap yg lain. Banyak pihak yang terlibat di sini,” jelasnya. Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan bahwa nantinya bioavtur J2,4 diharapkan bisa dikomersialisasikan seperti B30 pada biodiesel. Dia menyebut, pihaknya akan mengakselerasi pengembangan bioavtur guna mengejar keterlambatan, sehingga bisa cepat mencapai campuran sebesar 5 persen. Meski begitu, Nicke menyebut bahwa Pertamina membutuhkan kepastian pasokan bahan campuran PKO agar program itu bisa berjalan secara berkelanjutan. Dia pun meminta pasokan khusus yang dialokasikan untuk pengembangan bioavtur. “Tentu kami berharap ada komitmen, seperti volume yang memang dialokasikan untuk bioavtur ini dan syarat komersialisasi,” ujarnya. Nicke juga menyatakan, fasilitas kilang Pertamina sudah siap untuk memproduksi bioavtur sesuai dengan regulasi dan memiliki standar internasional. Rencananya, bioavtur akan diproduksi dari Kilang Dumai dan Kilang Cilacap. “Bagaimana keberlangsungannya? Tentu kami berharap ada suatu kebijakan dari hulu ke hilir untuk bisa sama-sama kita jaga bagaimana produk ini bisa sustain dari sisi komersialnya maupun availability-nya,” katanya.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20211006/44/1451120/baru-diuji-coba-kementerian-esdm-yakin-pengembangan-bioavtur-bisa-lebih-cepat

Tempo.co | Rabu, 6 Oktober 2021

ESDM: Bioavtur Indonesia Berproses 6 Tahun, Kini Baru Separuh Jalan

Peneliti Indonesia telah berhasil membuat bioavtur J2.4 setelah riset selama enam tahun. Setelah melewati uji pemakaian di pesawat terbang, masih banyak tahapan untuk komersialisasi. “Spesifikasi dan SNI (bioavtur) sudah terbit, dari sisi keteknikan sudah separuh jalan,” kata Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) di acara seremoni keberhasilan uji terbang menggunakan bioavtur, Rabu 6 Oktober 2021, di hanggar Garuda Maintenance Facility. Pengembangan bioavtur ke depan, menurutnya, telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 12 tahun 2015. Regulasi itu memuat peta jalan penggunaan energi terbarukan seperti biodiesel, bioethanol. “Sekarang bioavtur mulai 2,4 persen kita selesaikan dulu aspek teknis, secara bertahap melakukan kajian termasuk keekonomian,” ujar Dadan. Dari sisi kebijakan, menurutnya, tidak lama. Bagian agak lama kemungkinan terkait dengan harga bioavtur yang ditaksir lebih mahal daripada avtur berbahan fosil. “Lebih mahal seberapa dan dampaknya ke yang lain karena banyak pihak yang terlibat,” kata Dadan. Menurutnya, pembuatan bioavtur punya konteks mengurangi polusi lingkungan dan meningkatkan produksi kelapa sawit di dalam negeri sebagai energi terbarukan. Dia mengatakan, Indonesia punya pengalaman riset hingga penggunaan biodiesel. Dari buku keluaran ESDM berjudul “Biodiesel, Jejak Panjang Sebuah Perjuangan”, risetnya dilakukan sejak 1990-an. Namun B30, campuran 30 persen minyak sawit dan 70 persen solar, itu baru diterapkan penggunaannya per 1 Januari 2020. ”Waktu biodiesel agak panjang, sekarang (bioavtur) akan lebih cepat persiapannya,” kata Dadan. Seremoni ditutup oleh pengisian bahan bakar bioavtur yang mengandung 2,4 persen minyak dari sawit ke tangki pesawat uji CN-235 PT Dirgantara Indonesia untuk terbang pulang ke Bandung. Bioavtur merupakan campuran minyak dari fosil dengan bahan nabati dari kelapa sawit. Pertamina telah siap memproduksi hasil riset bersama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

https://tekno.tempo.co/read/1514402/esdm-bioavtur-indonesia-berproses-6-tahun-kini-baru-separuh-jalan/full&view=ok

 

Gatra.com | Rabu, 6 Oktober 2021

Pemerintah Klaim Program B30 Turunkan Emisi GRK 23,3 Juta Ton CO2

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut program biodiesel 30 (B30) efektif menurunkan gas rumah kaca (GRK). Pada 2020, kebijakan B30 berkontribusi dalam penurunan GRK sebesar 23,3 juta ton karbondioksida (CO2). “Selain itu, implementasi B30 juga mengurangi impor solar atau penghematan devisa sebanyak US$8 miliar,” ungkap Airlangga dalam sambutannya di ‘Seremoni Keberhasilan Uji Terbang CN235 dengan Bioavtur 2,4%’, Rabu (6/10). Airlangga menambahkan, pemerintah terus mendorong program B30 dengan target 9,2 juta kiloliter di tahun ini. Upaya ini dilakukan untuk mendukung pencapaian bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% di tahun 2025 dapat terwujud. “Kelapa sawit juga berkontribusi untuk pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), dalam bentuk penciptaan lapangan kerja hingga 16 juta tenaga kerja bergantung pada sektor ini,” kata Airlangga. Indonesia merupakan negara terbesar yang menguasai 55% pasar sawit dunia. Dia mengatakan, komoditas kelapa sawit turut berkontribusi 15,6% terhadap ekspor Indonesia. Terlebih, harga sawit tengah masuk komoditas supercycle bersama dengan crumb rubber, nikel, cooper, batubara, dan komoditas lain. “Harganya sedang tinggi yaitu US$1.200 per ton, serta memberikan nilai tukar petani Rp1.800 sampai Rp2.200 tandan buah segar per kilogram. Ini juga merupakan harga tertinggi, sehingga pertumbuhan ekonomi di Sumatra dan Kalimantan tercermin sudah positif,” ujarnya. Menurut Airlangga, kelapa sawit memiliki efisiensi dan produktivitas yang lebih baik daripada minyak nabati lainnya. Dia mencatat, 1 ton minyak sawit hanya butuh 0,3 hektar (ha) lahan, sedangkan minyak rapseed memerlukan 1,3 ha, minyak biji bunga matahari 1,5 ha, bahkan minyak kedelai mencapai 2,2 ha.

https://www.gatra.com/detail/news/525036/info-sawit/pemerintah-klaim-program-b30-turunkan-emisi-grk-233-juta-ton-co2

CNBCIndonesia.com | Rabu, 6 Oktober 2021

Sukses di 2,4%, Pertamina akan Produksi Avtur Campuran CPO 5%

PT Pertamina (Persero) bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah berhasil memproduksi bioavtur 2,4% atau yang dinamakan Jet Avtur 2,4 (J2.4). Tidak berhenti di J2.4, Pertamina akan segera memproduksi bioavtur 5% atau J5. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam acara “Seremoni Keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB Menggunakan Campuran Bahan Bakar Bioavtur 2,4% (J2.4)”, Rabu (06/10/2021). Bioavtur ini merupakan produksi avtur dari minyak inti sawit refined bleached degummed palm kernel oil (RBDPKO) dengan menggunakan katalis “merah putih” buatan ITB dicampur dengan kerosene (co-processing) di Kilang Cilacap Pertamina. Khusus J2.4 artinya, campuran RBDPKO di kilang co-processing ini mencapai 2,4%. “Pertamina sudah menjalankan program B30 mulainya dari 2,5% dan hari ini semua mandatori B30, secara teknis kilang sudah bisa B100. Produk kedua yakni avtur mulai 2,5%, setelah turn around (perawatan) Kilang Cilacap, bisa tingkatkan jadi 5% dalam waktu dekat bisa diproduksi J5,” kata Nicke dalam konferensi pers, Rabu (06/10/2021). Nicke mengakui pengembangan dari bioavtur ini cukup terlambat, sehingga diharapkan peningkatan akan bisa dilakukan dengan lebih cepat. Dengan demikian, ini bisa mengurangi ketergantungan impor. “Kurangi ketergantungan pada impor, meski solar dan avtur nggak impor sejak Mei 2019, kan dengan kurangi, bisa produksi yang lain,” lanjutnya. Lebih lanjut dia mengatakan, peran Pertamina dengan katalis yang dihasilkan oleh ITB adalah menyediakan kilang untuk uji coba dan produksi. Setelah itu, akan dijual dalam bentuk produk. “Ini akan dijual dalam produk, sekarang biodiesel, nanti akan sama ada produk bioavtur setelah tahapan-tahapan dan perizinan,” jelasnya. Dia menjelaskan, latar belakang Pertamina mengembangkan bioavtur adalah berdasarkan pada komitmen Indonesia di Perjanjian Paris untuk menurunkan karbon emisi dan mencapai net zero emisi pada 2060. Kemudian, ini diterjemahkan pada penurunan emisi karbon 29% pada 2030. Oleh karena itu, perseroan mencari alternatif sumber energi primer lainnya yang ada di Indonesia. “Dalam kerangka ini, Pertamina ikut mendukung ke arah sana, dari UU energi yang harus dicapai bukan hanya ketahanan energi saja, tapi juga kemandirian energi,” tuturnya. Kemudian, di dalam Peraturan Menteri ESDM No.12 tahun 2015, pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) pada avtur ditargetkan mencapai persentase 3% pada 2020, dan pada 2025 ditingkatkan lagi menjadi 5%. “Kita lakukan bertahap dengan dasar ini Pertamina sebagai BUMN harus mendukung program-program pemerintah, sudah mulai sudah B30 mulainya dari 2,5% dan hari ini semua mandatori gunakan B30 secara teknis kilang kita bisa B100. Produk bioavtur juga akan kita tingkatkan secara bertahap,” tuturnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20211006170423-4-281925/sukses-di-24-pertamina-akan-produksi-avtur-campuran-cpo-5