Anggaran BPDPKS 89% Untuk Biodiesel, Padahal Tak Ada Mandat
Infosawit.com | Jum’at, 18 Maret 2022
Anggaran BPDPKS 89% Untuk Biodiesel, Padahal Tak Ada Mandat
Belum lama ini petani kelapa sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyoroti penggunaan dana kelapa sawit yang tidak sesuai dengan UU Perkebunan. Serta melaporkan dugaan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU). Perusahaan yang dilaporkan diantaranya, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT SMART, Tbk dan PT Musim Mas sebagai Para Terlapor. Diketahui, bahwa total Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sejak tahun 2015-2019 sebesar Rp. 47,28 triliun. Mayoritas total dana ini dialokasikan bukan untuk kepentingan petani, melainkan industri biodiesel. Ketimpangan alokasi itu tergambar jelas pada realisasi anggaran pada 2015-2019, di mana 89,86% dari total dana atau sebesar Rp30,2 triliun dialokasikan untuk insentif biodiesel. Ironisnya, saat pandemi Covid-19 mulai merebak, pemerintah menggelontorkan dana subsidi sebesar Rp 2,78 triliun untuk biodiesel. Diungkapkan Syahrul Fitrah dari Greenpeace Indonesia, mengemukakan baginya, laporan ini bernilai strategis bagi petani yang selama ini dirugikan. Syahrul menilai, penguasaan sektor hulu dan hilir oleh segelintir perusahaan kian meminggirkan posisi petani. Dominasi perusahaan ini didukung oleh kebijakan yang melahirkan privilese. “Hasil riset Greenpeace Indonesia di Papua menunjukkan hal itu. Selain prosedur perijinan dilanggar, terdapat pula perijinan bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan. Ia menilai minimnya kebijakan pemerintah terkait biodiesel berimbas pada pangan. Dalam persiangan usaha, mestinya industri berkompetisi secara sehat,” tuturnya dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT. Sementara, Marcelinus Andri dari SPKS menilai, terkait sisi anggaran, hampir 90% dana BPDPKS untuk biodiesel dan sebagian besar disalurkan ke 3 perusahaan terlapor. Padahal perkebunan rakyat menguasai 40% sawit nasional. Dalam Subsidi untuk biodiesel bagi perusahaan tersebut mengangkangi peraturan. Dalam UU Perkebunan, tidak ada mandat agar dana sawit dialokasikan bagi biodiesel. Terkait ketimpangan lahan, ia menilai, ada kewajiban bagi perusahaan untuk membangun kebun dengan prosentase 20%, namun aturan ini juga tidak dipenuhi. Ini memperkuat monopoli penguasaan lahan oleh perusahaan. Lantas, Direktur TUK Indonesia, Edy Sutrisno menilai, terkait laporan ini, KPPU seharusnya bisa dengan mudah menelusuri hal ini, karena KPPU memang sudah memiliki banyak kajian yang mengindikasikan adanya monopoli dari segelintir perusahaan tersebut. Selain penguasaan lahan, yang melampaui regulasi pengelolaan sebesar 100 ribu hektar, perusahaan tersebut juga menguasai supplier buah, sehingga mereka dengan mudah mengatur harga TBS di level petani.
https://www.infosawit.com/
Antaranews.com | Kamis, 17 Maret 2022
Soal kelangkaan biosolar dan minyak goreng, F-PAN DPRD Riau tindaklanjuti ke DPR RI
Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Riau Sahidin merasa sedih dan ironis atas kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis biosolar dan minyak goreng di wilayahnya. Masyarakat dibuat kesulitan dengan kondisi itu bahkan harus rela mengantre berjam-jam untuk mendapatkan solar bersubsidi dan minyak goreng di provinsi penghasil migas dan sawit terbesar di Indonesia tersebut. “Kita sangat prihatin, mengapa di daerah penghasil minyak bumi dan sawit justru solar dan minyak goreng langka. Dua-duanya itu ada di Riau. Kita yang punya, di atas minyak,di bawah minyak. Rasanya aneh, ibarat itik berenang tapi mati kehausan,” kata Sahidin di Pekanbaru, Kamis. Dikatakannya, kondisi ini menjadi sorotan serius Fraksi PAN DPRD Riau. Pihaknya akan menggunakan jalur politik untuk mengatasi kelangkaan dua komoditi yang sangat dibutuhkan masyarakat itu. Salah satunya, melalui komunikasi dengan Sekjen PAN Eddy Soerparno yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI. “Kami sangat serius memandang kelangkaan ini. Akan kami komunikasikan dengan Sekjen PAN yang juga merupakan wakil ketua Komisi VII DPR RI, Bapak Eddy Soeparno. Minimal solar ini bagaimana solusinya, apakah ada penambahan kuota untuk Riau. Ini yang coba kita dorong,” ucap Sahidin. Sahidin mengatakan imbas dari kelangkaan solar dan minyak goreng ini dapat melumpuhkan sektor perekonomian masyarakat sebab perputaran ekonomi sangat bergantung pada moda transportasi. “Dunia usaha hampir kolaps. Baik angkutan, bus dan truk-truk semuanya yang menggunakan solar. Kalau dialihkan ke dexlite otomatis rentetannya pada lonjakan harga. Mulai dari bahan bangunan hingga ke sembako akan ikut naik. Yang terbebani siapa? Ujung-ujungnya masyarakat yang menanggung. Ini yang tidak kita inginkan,” kata legislator asal Kampar itu. Untuk itu, Fraksi PAN mendorong kebijakan agar kelangkaan ini dapat segera diakhiri. Mengingat sebentar lagi akan memasuki bulan suci Ramadhan. Harusnya masyarakat dapat menjalankan ibadah suci Ramadhan dengan tenang tanpa ada rasa khawatir. “Bapak-bapak supir yang antre di SPBU bisa sampai seharian. Biasanya ke Sumatera Barat hanya ditempuh dengan waktu 5 jam sekarang bisa sampai sepuluh jam. Karena waktu mereka tersita di SPBU. Belum lagi kekhawatiran ibu-ibu akan lonjakan harga sembako. Dimana sebentar lagi akan masuk bulan suci Ramadhan,” kata Sahidin.
Antaranews.com | Kamis, 17 Maret 2022
Kebijakan Pemerintah Penyebab Antrian Solar Dan Minyak Goreng
Ada apa sebenarnya dengan kelangkaan produk atau bahan pokok dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang tengah berlangsung sejak akhir tahun 2021 atas minyak goreng dan solar yang juga Bahan Bakar Minyak (BBM)? Terlebih masalah ini berulang kali terjadi disaat menjelang ummat Islam, warga negara mayoritas di Negara Kesatuan Republik Indonesia akan menyambut ibadah sucinya di bulan Ramadhan dan Idul Fitri? Kekhusu’an dan kekhidmatan ibadah mereka tentu saja terganggu disebabkan oleh pengaruh kelangkaan kebutuhan sehari-hari tersebut. Fenomena kelangkaan kedua produk kebutuhan hajat hidup orang banyak itu tentulah tidak sama karakteristik-nya meskipun pengaruh terjadinya antrian ditempat penjualan tampak jamak terjadi. Pertanyaan yang muncul kemudian, adalah kenapa polemik kelangkaan minyak goreng dan BBM solar dengan banyaknya kasus antrian diberbagai tempat sampai bulan Maret 2021 masih berlangsung. Ada apakah sebenarnya dengan kapasitas produksi dan konsumsi bagi penyediaannya ke masyarakat konsumen? Lalu, sampai kapan polemik atas kelangkaan minyak goreng dan BBM solar ini berlangsung? Kenapa minyak goreng yang langka cenderung harganya mahal, sementara BBM solar tidak Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang terus bermunculan di kalangan masyarakat konsumen disebabkan oleh keberadaan minyak goreng dan BBM solar yang sulit dicari di tempat penjualan atau di berbagai Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Paling tidak, ada 2 hal yang mempengaruhi gejolak ketersediaan produk ini terkait karakteristiknya di tengah masyarakat konsumen, yaitu kelangkaan dan sensitifitas harganya.
Kelangkaan (Scarcity)
Terminologi langka (Scarce) atau kelangkaan (Scarcity) umumnya dimaknai sebagai sesuatu yang jarang didapat atau ditemukan terkait sumberdaya yang dibutuhkan. Ada 2 (dua) faktor yang merupakan latarbelakang penyebab terjadinya kelangkaan, yaitu yang pertama, tersedianya sumberdaya dalam jumlah terbatas dan tidak banyak yang menghasilkan produk tersebut disebabkan oleh kebutuhan penggunaan peralatan berteknologi tinggi (hightech technology). Kelangkaan untuk kasus ini, biasanya terjadi pada produk-produk yang berasal dari sumberdaya alam atau industri pertambangan dan energi yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak dan gas yang berasal dari fosil (fossil oil), batubara, bauksit, nikel, emas. Yang kedua, sumberdaya alam sebagai bahan bakunya tersedia cukup melimpah dan kebutuhan penggunaan teknologinya bisa lebih sederhana . Maka, penyebab kelangkaan produk pada kelompok yang kedua ini umumnya dilatarbelakangi oleh adanya permasalahan adanya celah (gap) antara jumlah produksi dari produsen dan konsumsi masyarakat konsumen. Sementara, produk-produk ini berada dalam pasar persaingan sempurna yang berarti sangat dipengaruhi oleh hukum ekonomi, yaitu jika permintaannya besar dan penawarannya kecil harga cenderung naik. Sebaliknya, jika penawaran produknya berjumlah besar, sedangkan permintaannya kecil di pasar harga cenderung turun. Kelangkaan pada faktor yang pertama dapat dimengerti sebagai keterbatasan yang dapat disediakan oleh produsen dan umumnya terjadi pada pasar persaingan tidak sempurna, yangmana faktor permintaan dan penawaran relatif tidak saling berpengaruh pada harga. Karena sifatnya yang inelastis terhadap harga, maka biasanya pada industri tertentu ada ketentuan pengaturan yang ketat (rigid) oleh Negara, bahkan penguasaan pasarnya pun bisa bersifat monopoli dan adanya kebijakan subsidi untuk produk jenis tertentu untuk membantu kelompok masyarakat miskin. Dalam hal kelangkaan yang terjadi pada BBM jenis solar inilah, dapat dimaknai adanya pembatasan pasokan dikarenakan adanya kenaikan harga minyak mentah dunia sampai US$100 per barrel dihulu, sementara produk jual pada konsumen akhir tidak mengalami perubahan ditengah meningkatnya Harga Pokok Produksi (HPP). Dengan HPP yang semakin meningkat berasal dari bahan baku atau minyak mentahnya tentu ketiadaan kompensasi yang sama atas subsidi akan berdampak pada kinerja BUMN Pertamina melalui sub holding PT.Pertamina Patra Niaga (C&T). Melalui harga jual solar subsidi yang tidak berubah inilah kemudian memunculkan antrian diberbagai SPBU yang berpotensi terjadinya penyimpangan penerima manfaatnya. Apalagi, terdapat disparitas harga solar subsidi dengan non subsidi sampai Rp6.000 per liter, dengan kondisi perekonomian yang masih belum stabil karena adanya pandemi Covid-19, maka migrasi konsumen sangat mungkin terjadi. Disinilah seharusnya tugas pokok dan fungsi pengawasan dari Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BP-Migas) dipertanyakan efektifitasnya atas antrian yang terjadi di berbagai SPBU.
Sensifitas Harga
Lalu, bagaimana halnya dengan minyak goreng yang mengalami kelangkaan? Dalam berbagai kesempatan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menyampaikan penjelasan untuk menanggapi pertanyaan kelangkaan minyak goreng yang berdampak pada mahalnya harga produk tersebut. Bahkan, untuk memastikan perkembangan pasar, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi sempat meninjau langsung harga dan pasokan barang kebutuhan pokok di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, pada Hari Rabu tanggal 9 Maret 2022. Tidak hanya itu, pada awal Januari 2022, pemerintah telah membuat kebijakan dengan menetapkan kebijakan subsidi minyak goreng. Pemerintah kemudian menetapkan kebijakan kewajiban memenuhi pasar dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) dan kewajiban harga dalam negeri atau Domestic Price Obligation (DPO) per tanggal 1 Februari 2022. Dalam kebijakan DMO, perusahaan minyak goreng wajib memasok minyak goreng sebesar 20% dari volume ekspor mereka. Kemudian dalam kebijakan DPO, pemerintah menetapkan harga CPO Rp 9.300 per kilogram. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Sawit juga dicantumkan HET minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Namun, anehnya HET tidak bisa sepenuhnya berjalan di lapangan lantaran langkanya minyak goreng disebabkan oleh ketiadaan pengawasannya. Berdasarkan UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan pada pasal 26 dinyatakan, bahwa Kemendag menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor/impor dalam rangka menjamin stabilisasi harga kebutuhan pokok. Fungsi stabilitas harga yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan tentu saja terkait pula dengan penyimpangan yang terjadi atas pelanggaran HET. Inipun tidak cukup, apabila stabilitas produksi dan konsumsi di dalam negeri juga tidak menjadi perhatian utama (concern) Menteri Perdagangan. Pasalnya, 5 (lima) tahun terakhir telah terjadi peningkatan konsumsi CPO di dalam negeri disatu sisi, sementara disisi lain harga CPO dunia juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, harga CPO dunia sempat menembus level tertinggi pada pekan kedua Januari 2022 di posisi Rp12.736 per liter. Harga itu lebih tinggi 49,36 persen dibandingkan dengan kondisi pada bulan Januari 2021. Dilain pihak, konsumsi CPO didalam negeri pada Tahun 2021 adalah sejumlah 18,42 juta ton, sedangkan produksinya Tahun 2021 sejumlah 46,88 juta ton. Dari data produksi dan konsumsi ini terdapat selisihnya sebesar 28,46 juta ton, dan merupakan jumlah CPO yang diekspor oleh produsen. Artinya, ketersediaan CPO untuk memenuhi konsumsi minyak goreng dalam negeri lebih sedikit disebabkan oleh adanya ekspor yang jumlahnya terlalu besar. Andaikan ekspor CPO dapat dikendalikan lebih optimal, maka kebutuhan konsumsi minyak goreng dalam negeri kaitannya dengan kenaikan harga CPO dan kelangkaan minyak goreng tentu dapat diantisipasi sejak dini. Kementerian Perdagangan dengan data yang tersedia tampak tidak memahami tugas dan tanggungjawabnya dalam mengantisipasi sensifitas harga yang terjadi pada CPO dan minyak goreng. Seharusnya data produksi, konsumsi dan ekspor CPO sejak Tahun 2016-2020 dapat digunakan dalam mengambil kebijakan penyediaan minyak goreng bagi kebutuhan dalam negeri. Faktanya, Kementerian Perdagangan lebih mementingkan porsi ekspor CPO yang lebih besar rata-rata 61-77 persen, sedangkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri hanya sebesar 23-38 persen saja. Hal ini menunjukkan bukti, bahwa indikasi terjadinya kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh kepentingan kebijakan ekspor CPO dalam porsi yang lebih besar. Atas kasus kelangkaan yang terjadi pada solar subsidi dan minyak goreng itu, tambah diperburuk oleh adanya kebijakan penugasan (mandatory) kepada BUMN Pertamina untuk menyediakan Biodiesel B30, yaitu bahan bakar minyak yang berasal dari campuran minyak sawit 30% dan minyak solar 70%. Wajar saja, minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri semakin berkurang ketersediaannya di pasaran. Sebab, selain untuk memproduksi minyak goreng, minyak sawit juga dipergunakan sebagai bahan campuran bagi BBM jenis biodiesel yang otomatis mengurangi porsi untuk olahan minyak goreng. Berapakah harga minyak sawit yang ditetapkan untuk mengolah biodiesel B30 ini, tentu perlu dikonfirmasi kepada pembelinya, dalam hal ini Pertamina. Mengacu kepada permasalahan kelangkaan solar subsidi dan minyak goreng diberbagai tempat penjualan, maka sensitifitas harga yang terjadi sangat terkait sekali dengan pengambilan kebijakan pemerintah. Pada kasus solar subsidi terlihat, bahwa pemerintah melakukan pembiaran atas penyimpangan konsumsi oleh bukan kelompok sasaran sehingga melebihi kuota wilayah. Sedangkan dalam kasus minyak goreng sensifitas harga lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membiarkan porsi ekspor CPO lebih besar dibandingkan dengan konsumsi dalam negeri. Tentu saja, pemerintah tidak bisa beralasan adanya penimbunan yang membuat kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng atas porsi CPO untuk ekspor yang lebih besar tersebut. Atau, mungkin saja pemerintah sendiri lah yang “bermain” atas kelangkaan serta sensitifitas harga solar subsidi dan minyak goreng ini bersama kelompok yang memiliki kepentingan bisnis dan politik sekaligus, sementara kepentingan masyarakat dipinggirkan!?
Neraca.co.id | Kamis, 17 Maret 2022
Diduga Ada Monopoli pada Industri Biodiesel
Pada hari Rabu Tanggal 15 Maret 2022, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Koperasi Karya Mandiri dan Koperasi Perkebunan Renyang Bersatu bersama tim Advokasi Keadilan Perkebunan telah melaporkan dugaan adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU), yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT SMART, Tbk dan PT Musim Mas sebagai Para Terlapor. Menurut koordinator kuasa hukum PELAPOR, Janses E. Sihaloho, terdapat beberapa perbuatan perusahaan yang diduga terkait dengan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yakni oligopsoni dan/atau integrasi vertikal terhadap industri bahan bakar nabati jenis biodiesel. Janses menambahkan bahwa, mekanisme penunjukan langsung terhadap jumlah alokasi biodiesel hanya ditujukan kepada Para Terlapor melalui anak-cucu perusahaannya. Hal tersebut terbukti dengan adanya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 1935K/10/MEM/2018, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 2018k/10/MEM/2018, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 195K/10/MEM/2020 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor: 252.K/10/MEM/2020 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar. Indikasi lain yang disampaikan Janses adalah adanya peningkatan lahan kelapa sawit setiap tahun milik para terlapor yang melampaui 100 ribu hektar menurut aturan. Peningkatan lahan ini menunjukkan adanya peningkatan permintaan pasar terhadap pasok TBS Sawit. Seharusnya kesejahteraan para pekebun swadaya dan pekebun kemitraan-pun juga semakin meningkat, namun faktanya tidak demikian. Masih banyak pekebun swadaya dan pekebun kemitraan yang dirugikan atas harga jual TBS sawitnya. Hal tersebut diduga telah memenuhi unsur pada Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UU No. 5/1999 yakni penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, tim Pelapor juga menyoroti penggunaan dana kelapa sawit yang tidak sesuai dengan UU Perkebunan. Diketahui, bahwa total Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola oleh BPDP-KS sejak tahun 2015-2019 sebesar Rp. 47,28 triliun. Mayoritas total dana ini dialokasikan bukan untuk kepentingan petani, melainkan industri biodiesel. Ketimpangan alokasi itu tergambar jelas pada realisasi anggaran pada 2015-2019, di mana 89,86% dari total dana atau sebesar Rp30,2 triliun dialokasikan untuk insentif biodiesel. Ironisnya, saat pandemi Covid-19 mulai merebak, pemerintah menggelontorkan dana subsidi sebesar Rp2,78 triliun untuk biodiesel. Dari berbagai uraian di atas, laporan Pelapor kepada KPPU cukup berdasar dan beralasan. PARA TERLAPOR diduga telah melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yakni oligopsoni dan/atau integrasi vertikal sesuai Pasal 13 dan Pasal 14 UU 5/1999 ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU). Gunawan dari Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) berharap bahwa laporan ini tidak hanya membongkar praktik oligopsoni dalam biodiesel, tetapi juga melihat ketidakadilan rantai pasok sawit secara keseluruhan, yang juga berimbas pada ketersediaan produk makanan, seperti krisis minyak goreng yang terjadi akhir-akhir ini. Syahrul Fitrah dari Greenpeace Indonesia juga mengemukakan hal yang sama. Baginya, laporan ini bernilai strategis bagi petani yang selama ini dirugikan. Syahrul menilai, penguasaan sektor hulu dan hilir oleh segelintir perusahaan kian meminggirkan posisi petani. Dominasi perusahaan ini didukung oleh kebijakan yang melahirkan privilese. Hasil riset Greenpeace Indonesia di Papua menunjukkan hal itu. Selain prosedur perijinan dilanggar, terdapat pula perijinan bagi perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan. Ia menilai minimnya kebijakan pemerintah terkait biodiesel berimbas pada pangan. Dalam persiangan usaha, mestinya industri berkompetisi secara sehat. Marcelinus Andri dari SPKS menilai, terkait sisi anggaran, hampir 90% dana BPDPKS untuk biodiesel dan sebagian besar disalurkan ke 3 perusahaan terlapor. Padahal perkebunan rakyat menguasai 40% sawit nasional. Dalam Subsidi untuk biodiesel bagi perusahaan tersebut mengangkangi peraturan. Dalam UU Perkebunan, tidak ada mandat agar dana sawit dialokasikan bagi biodiesel. Terkait ketimpangan lahan, ia menilai, ada kewajiban bagi perusahaan untuk membangun kebun dengan prosentase 20%, namun aturan ini juga tidak dipenuhi. Ini memperkuat monopoli penguasaan lahan oleh perusahaan. Edy Sutrisno, Direktur TUK Indonesia, menilai, terkait laporan ini, KPPU seharusnya bisa dengan mudah menelusuri hal ini, karena KPPU memang sudah memiliki banyak kajian yang mengindikasikan adanya monopoli dari segelintir perusahaan tersebut. Selain penguasaan lahan, yang melampaui regulasi pengelolaan sebesar 100 ribu hektar, perusahaan tersebut juga menguasai supplier buah, sehingga mereka dengan mudah mengatur harga TBS di level petani. Gunawan menilai potret realisasi anggaran BPDPKS yang timpang juga menggambarkan ruang penentuan kebijakan yang minim bagi petani. Hal ini mengonfirmasi struktur BPDPKS yang didominasi oleh orang-orang perusahaan. Terhadap laporan ini, Kuasa Hukum Pelapor, Sdr. Janses, mengharapkan agar KPPU dapat mengeluarkan denda yang optimal, bila perlu pencabutan usaha bagi perusahaan yang jelas-jelas melakukan praktik monopoli. Selain itu, diharapkan, KPPU dapat mendorong agar terjadi perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang lebih pro terhadap petani. Gunawan dari Dewan Nasional SPKS berharap ke depan, kebijakan di perkebunan sawit perlu mengubah petani untuk tidak hanya sebagai aktor budidaya, tetapi juga pengelola buah. Syahrul dari Greenpeace Indonesia berharap, laporan ini tidak hanya membuka ketidakadilan dalam hal ekonomi, tetapi juga dampak buruk bagi lingkungan. Tindakan perusahaan dalam mengekspansi lahan membawa dampak pada deforestasi hutan, sehingga aturan dalam UU Cipa Kerja yang memberikan pengampunan kepada perusahaan yang beroperasi dalam kawasan hutan dapat dibenahi segera.
https://www.neraca.co.id/