Aprobi: RI Tidak Perlu Tambah Lahan Sawit untuk Menuju B50

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Investor Daily Indonesia | Rabu, 17 November 2021

Aprobi: RI Tidak Perlu Tambah Lahan Sawit untuk Menuju B50

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menyatakan, Indonesia tidak perlu menambah lahan perkebunan sawit untuk mengimplementasikan program biodiesel B40 maupun B50. Suplai minyak sawit untuk memenuhi program pengembangan bahan bakar nabati (BBWbiofuel) berbasis sawit itu bisa diambilkan dari porsi ekspor dengan mengedepankan semangat mendahulukan kebutuhan dalam negeri. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan memberikan ilustrasi dengan menyampaikan peta produksi dan distribusi minyak sawit nasional 2020. Pada 2020, Indonesia menghasilkan minyak sawit 51,58 juta ton dengan serapan domestik 17,35 juta ton (34%) dan 34 juta ton (66%) untuk pasar ekspor. Dari serapan domestik itu, penggunaan oleh industri biodiesel 7,23 juta ton, pangan dan produk olahan seperti lipstik dan margarin 8,43 juta ton, serta oleokimia 1,69 juta ton. Sedangkan dari serapan ekspor, sebanyak 21,10 juta ton dalam bentuk pangan dan produk olahan, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak kernel (palm kernel oil/PKO) sebesar 9 juta ton, dan oleokimia 3,87 juta ton. Paulus menjelaskan, produksi biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri hanya mengambil 14% dari produksi minyak sawit nasional 2020. Untuk tahun ini, produksi biodiesel domestik diperkirakan menggunakan 15,20% dari produksi minyak sawit RI pada 2021. Saat ini, Indonesia tengah menggulirkan program biodiesel 30% (B30) sedangkan program B40 masih tahap persiapan. “Pasar domestik hanya memakai 34% dari produksi sawit nasional, kecil, sedangkan ekspornya besar sekali, 66%. Kalau kita ingin (menerapkan) B40, B50, bisa nggak? Bisa. Perlu tambahan lahan nggak? Nggak perlu, kita bisa ambil dari ekspor,” kata Paulus dalan workshop bertema Pangan VS Energi: Menelaah Kebijakan Bahan Bakar Nabati Indonesia yang digelar secara daring, Selasa (16/11). Menurut Paulus, setiap menambah serapan 10% maka pasar domestik membutuhkan tambahan minyak sawit 2,50 juta ton dan porsi sebesar itu bisa diperoleh dari pengurangan ekspor. “Ekspor CPO masih 9 juta ton, dalam bentuk pangan 21 juta ton, apakah kita mengurangi ekspor, betul, kalau kita terpaksa mengurangi karena kita harus mendahulukan keperluan dalam negeri,” jelas dia. Dihitung secara dampak ke ekonomi, jauh lebih menguntungkan mengurangi ekspor sawit untuk kebutuhan dalam negeri ketimbang harus mengimpor minyak dan bahan bakar minyak (BBM). “Kita perlu impor 28 juta kiloliter (kl) minyak dan BBM, jadi lebih baik (kurangi ekspor untuk digunakan di domestik) daripada impor, di dalam negeri jelas berputar, kalau impor perlu dolar, Pertamina butuh US$ 44 juta per hari untuk membeli minyak, itu juga yang membuat kurs rupiah kita tidak terlalu baik,” jelas Paulus. Kalaupun harus menambah lahan sawit, kata Paulus, tidaklah terlalu besar. Asumsinya, apabila Indonesia pada tahun depan atau dua tahun kemudian menerapkan B50 maka diperlukan sekitar 16 juta kl atau 13,92 juta ton minyak sawit. Rata-rata kebun sawit di Indonesia menghasilkan 3,25 ton minyak sawit per hektare (ha) per tahun maka total B50 membutuhkan 4,28 juta ha dan dari B30 ke B50 diperlukan tambahan biodiesel 5,39 juta ton yang butuh 1,66 juta ha. “Untuk saat ini tidak bisa dan tidak perlu menambah lahan karena program intensifikasi dan dapat (dengan) mengurangi ekspor,” ujar dia. Sementara itu, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indarto menuturkan, idealnya pengembangan bahan bakar nabati (BBN/biofuel) di Indonesia tidak hanya mengandalkan sawit sebagai bahan bakunya (feedstock). “Biofuel utamanya biodiesel itu bukan hanya sawit, kalau itu yang terjadi maka itu menyempitkan arti BBN itu sendiri dan akan menyulitkan Indonesia dalam pemenuhan komitmen iklim secara riil dari upaya pemanfaatan BBN,” ujar Giorgio. Pemerintah Indonesia telah menjadikan pemanfaatan BBN terutama yang berbahan baku sawit sebagai salah satu upaya sentral pengurangan dampak perubahan iklim atau pencapaian komitmen iklim. Di sisi lain, kata dia, pengembangan BBN di Tanah Air hingga saat ini masih menemui banyak tantangan sehingga ke depan perlu dibuat kerangka jalan yang jelas. Salah satu tantangannya adalah harga BBN yang belum optimal dan perlu upaya agar harga BBN bisa bersaing dengan minyak bumi dan hal ini akan sulit terealisasi tanpa adanya insentif ekonomi. Saat ini, di Indonesia juga belum ada integrated land used planning yang khusus didedikasikan untuk feedstock. “Dan khusus BBN berbahan baku sawit, perlu juga ke depan dibuat ambang batas kapan berhenti membuka lahan sawit karena apabila stok membeludak maka tidak mudah untuk menciptakan serapan-nya,” jelas dia.

Perpres NEK

Pada bagian lain, pemerintah telah merilis Perpres No 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional yang diteken Presiden Joko Widodo dan berlaku pada 29 Oktober 2021. Pemberlakuan Perpres tersebut sekaligus menghapus dan mencabut Perpres No 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Perpres No 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca. Dalam salinan Perpres itu, Bab IV tentang Tata Laksana Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) mengatur tentang pelaksana penyelenggara NEK (pasal 46) dan perdagangan karbon (pasal 48). Pasal 54 (1) dari Perpres tersebut menyebutkan, perdagangan karbon dalam negeri dan atau luar negeri dilakukan dengan mekanisme pasar karbon melalui Bursa Karbon dan atau perdagangan langsung. Pasal 54 (2) menyatakan, perdagangan karbon melalui mekanisme pasar kabon dilakukan dengan pengembangan infrastruktur perdagangan karbon, pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon, dan atau administrasi transaksi karbon. Sedangkan pasal 58 mengatur tentang pungutan atas karbon.

Borneonews.com | Rabu, 17 November 2021

Aprobi: Lahan Sawit Tak Perlu Diperluas untuk Implementasi B50

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan luas kebun kelapa sawit Indonesia tidak perlu ditambah untuk implementasi biodiesel B40 sampai B50. “Kita masih bisa menggunakan biodiesel B40 dan B50 tanpa perlu menambah luas lahan kebun kelapa sawit. Karena kita bisa mengambil dari ekspor, ini akan kita lakukan jika memang harus,” kata Paulus dalam webinar “Pangan vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia”, Selasa 16 November 2021. Paulus mengatakan pada 2020 produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 51,58 juta ton. Dari nilai itu sebanyak 66 persen produksi diekspor dan 34 persen dikonsumsi di dalam negeri. Dari jumlah kelapa sawit yang dikonsumsi di dalam negeri, sebanyak 1,69 juta ton digunakan untuk industri oleokimia dan 8,42 juta ton untuk bahan industri makanan olahan. Sementara itu, baru 7,22 juta ton atau 14 persen dari total produksi minyak kelapa sawit yang digunakan untuk bahan campuran biodiesel B30. “Kalau kita harus mengurangi ekspor, akan kita kurangi karena kebutuhan dalam negeri harus didahulukan. Jadi lebih baik kita pakai minyak kelapa sawit ekspor untuk biodiesel daripada kita mengimpor BBM (Bahan Bakar Minyak),” ucapnya. Pada 2021 ini, ia memperkirakan penggunaan minyak kelapa sawit akan meningkat menjadi sekitar 15,2 persen dari total produksi minyak kelapa sawit nasional. Menurutnya, saat ini pemerintah, peneliti, dan pelaku usaha juga sedang melakukan berbagai penelitian untuk mendiversifikasi campuran Bahan Bakar Nabati (BBN) agar tidak hanya berasal dari minyak kelapa sawit. Bahan campuran tersebut antara lain minyak nabati yang berasal dari tebu, singkong, mikroalgae, dan aren. “Banyak sekali penelitian-penelitian yang sekarang sedang berjalan baik Pertamina dan pelaku usaha lain, kami selalu kerja sama untuk penelitian-penelitian ini,” katanya. Untuk memastikan keberlanjutan dari industri kelapa sawit dan lingkungan, ujar dia, pemerintah dan pelaku usaha terus berupaya memperluas sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) bagi perkebunan. “Saat ini Kantor Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sedang menyiapkan ISPO Hilir dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan Indonesia Bioenergy Sustainable Indicator (IBSI),” imbuhnya.

https://www.borneonews.co.id/berita/244201-aprobi-lahan-sawit-tak-perlu-diperluas-untuk-implementasi-b50

Wartaekonomi.co.id | Rabu, 17 November 2021

Biodiesel B50 Dapat Diimplementasikan dengan Luas Lahan yang Ada, Begini Caranya

Biodiesel B40 dan B50 dapat diimplementasikan dengan mengambil porsi dari ekspor minyak kelapa sawit dalam negeri. Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) mengatakan pada Selasa (16/11/2021). “Kita masih bisa memanfaatkan biodiesel B40 sampai B50 dengan luas lahan kebun sawit yang ada. Karena kita bisa mengambil dari ekspor, ini akan kita lakukan jika memang harus,” kata Paulus dalam webinar “Pangan vs Energi: Menelaah Kebijakan BBN di Indonesia”, di Jakarta. Pada 2020, menurut Paulus, produksi minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia mencapai 51,58 juta ton. Sebanyak 66 persen produksi itu diekspor, sedangkan 34 persen sisanya dikonsumsi dalam negeri. Jika dirinci lebih lanjut, konsumsi sawit dalam negeri sebanyak 1,69 juta ton digunakan untuk industri oleokimia dan 8,42 juta ton untuk bahan industri makanan olahan. Sementara itu, baru 7,22 juta ton atau 14 persen dari total produksi minyak sawit yang digunakan untuk bahan campuran biodiesel B30. “Kalau kita harus mengurangi ekspor, akan kita kurangi karena kebutuhan dalam negeri harus didahulukan. Jadi lebih baik kita pakai minyak kelapa sawit ekspor untuk biodiesel daripada kita mengimpor BBM,” ucap Paulus. Paulus mengatakan, pada 2021 diperkirakan penggunaan minyak sawit akan meningkat menjadi sekitar 15,2 persen dari total produksi minyak sawit nasional. Menurutnya, saat ini pemerintah, peneliti, dan pelaku usaha juga sedang melakukan berbagai penelitian untuk mendiversifikasi campuran Bahan Bakar Nabati (BBN) agar tidak hanya berasal dari minyak sawit. Bahan campuran tersebut antara lain minyak nabati yang berasal dari tebu, singkong, mikroalga, dan aren. “Banyak sekali penelitian-penelitian yang sekarang sedang berjalan baik Pertamina dan pelaku usaha lain, kami selalu kerja sama untuk penelitian-penelitian ini,” kata dia. Untuk memastikan keberlanjutan dari industri sawit dan lingkungan, ujar dia, pemerintah dan pelaku usaha terus berupaya memperluas sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) bagi perkebunan. “Saat ini Kantor Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sedang menyiapkan ISPO Hilir dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyiapkan Indonesia Bioenergy Sustainable Indicator (IBSI),” pungkas Paulus.

https://wartaekonomi.co.id/read374856/biodiesel-b50-dapat-diimplementasikan-dengan-luas-lahan-yang-ada-begini-caranya

BERITA BIOFUEL

Bisnis.com | Rabu, 17 November 2021

Target Produksi 10 Juta Kilo Liter Biofuel Bisa Tercapai pada 2022, Asalkan..

Produksi bahan bakar nabati (BBN) diproyeksikan dapat menembus target 10 juta kilo liter pada 2022 apabila pandemi mereda pada tahun depan. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai Covid-19 ikut mempengaruhi produksi biofuels termasuk penyerapan dalam negeri. Kondisi ini krusial untuk menentukan target tahun depan. “Kalau sudah berjalan normal baik mendekati normal dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan, saya kira realistis [target 10 juta kilo liter],” katanya kepada Bisnis, Rabu (17/11/2021). Meski begitu, pemerintah harus mengatur tata kelola biodiesel terlebih dulu untuk mencapai target tersebut. Pasalnya selama ini harga FAME masih terbilang tinggi sehingga pengembangan bahan bakar nabati dapat terhambat. Dia menilai tingginya harga FAME akan memberikan beban biaya tersendiri dalam pengembangan biofuel. Melalui tata kelola tersebut, pengembangan biodiesel dapat berkembang dengan baik, bahkan menjadi potensi ekspor. “Misalnya tidak terserap biodiesel di dlm negeri, kita punya opportunity ekspor ke negara tetangga,” terangnya. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan penyerapan bahan bakar nabati atau biofuel hingga akhir tahun ini diperkirakan melebihi target 9,2 juta kiloliter. Kondisi ini diakibatkan meningkatnya mobilitas masyarakat seiring dengan pemulihan ekonomi sejak beberapa bulan terakhir. Berdasarkan rencana umum energi nasional (RUEN), kapasitas BBN akan ditingkatkan menjadi 10 juta kiloliter pada 2022.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20211117/44/1467338/target-produksi-10-juta-kilo-liter-biofuel-bisa-tercapai-pada-2022-asalkan

Kontan.co.id | Kamis, 18 November 2021

Pemerintah masih akan salurkan B30 tahun depan

Pemerintah masih akan menyalurkan Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel 30% alias B30 pada tahun depan. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah telah menetapkan sebanyak 22 Badan Usaha (BU) BBN untuk pengadaan biodiesel dalam program penyaluran BBN tahun depan pada 14 Oktober 2021 lalu. Sementara untuk Badan Usaha Bahan Bakar Minyak (BBM), Direktorat Jenderal (Ditjen) Minyak dan Gas (Migas) telah mengusulkan sebanyak 18 BU Bahan Bakar Minyak (BBM) di tanggal 23 Oktober 2021. Rencananya, volume penyaluran biodiesel tahun depan berjumlah 10,1 juta kiloliter (KL). “(Keputusan Menteri ESDM untuk program penyaluran BBN tahun depan) masih diproses,” ujar Dadan kepada Kontan.co.id, Kamis (18/11). Sebagai pembanding, volume alokasi penyaluran biodiesel di tahun 2021 ditetapkan sebesar 9,2 juta kilo liter (KL). Besaran tersebut akan digunakan untuk pencampuran biodiesel sebesar 30% ke dalam BBM jenis solar (B30). Dalam program penyaluran BBN tahun 2021 itu, pemerintah menunjuk 20 BU BBM dan BU BBN sebagai pemasok biodiesel. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 252.K/10/MEM/2020 yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2020 lalu. PT Wilmar Nabati Indonesia menjadi BU BBN yang ditunjuk dengan alokasi pengadaan biodiesel paling besar, yaitu sebanyak 1,37 juta KL. Selain itu, ada pula PT Wilmar Bioenergi Indonesia dengan alokasi pengadaan 1,32 juta KL, PT Musim Mas dan PT Cemerlang Energi Perkasa yang akan mendistribusikan biodiesel masing-masing sebesar 882 ribu KL dan 483 ribu KL, serta 16 BU BBM lainnya yang juga ditunjuk dalam pengadaan biodiesel tahun 2021. PT Pertamina (Persero) menjadi BU BBM dengan total alokasi serapan biodiesel paling banyak, yaitu 7,81 juta KL. Selain Pertamina, terdapat pula PT AKR Corporindo Tbk dengan alokasi serapan biodiesel 623.304 KL serta 18 BU BBM lainnya dengan alokasi serapan yang bervariasi. “Realisasi (penyaluran BBN) per tanggal 9 November 2021 sebesar 83,29% di seluruh sektor,” ujar Dadan.

Pengembangan B40

Seiring berjalannya program B30, pemerintah juga masih terus mengawal program pengembangan B40. Dadan berujar, saat ini telah dilakukan kajian teknis pemanfaatan biofuel di atas B30. Tahapan berikutnya akan dilanjutkan dengan uji jalan atau road test yang melibatkan pemangku kepentingan setelah spesifikasi bahan bakar B40 untuk road test disepakati. Sosialisasi B40 baru akan dilakukan setelah tahapan road test dilaksanakan. “Implementasi akan dilaksanakan setelah unit produksi penghasil bahan bakar nabati tersebut dapat memproduksi sesuai dengan spesifikasi dan volume,” pungkas Dadan.

https://industri.kontan.co.id/news/pemerintah-masih-akan-salurkan-b30-tahun-depan

Bisnis.com | Rabu, 17 November 2021

Soal Biodiesel, Pemerintah Mesti Selesaikan Perkara Harga FAME

Pemerintah dinilai perlu menyelesaikan kendala harga bahan bakar solar campuran fatty acid methyl ether (FAME) biodiesel untuk mengembangkan bahan bakar nabati tersebut hingga B100. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa selama ini penyerapan biodiesel telah berjalan cukup optimal. Kalangan industri termasuk transportasi juga telah mulai menggunakan bahan bakar nabati tersebut. Kendati demikian, harga FAME masih terbilang tinggi sehingga pengembangan dapat menghambat pengembangan biodiesel. Apalagi biodiesel menjadi salah satu bahan bakar dalam kelompok energi baru dan terbarukan (EBT). “Apalagi kita punya program B100. Agar program FAME ini bisa diatur tata niaganya lah sehingga tidak terlalu memberatkan produsen seperti Pertamina dalam membuat biodiesel,” katanya kepada Bisnis, Rabu (17/11/2021). Menurutnya, penanganan berlarut-larut ini akan menyebabkan harga biodiesel menjadi kalah ekonomis dibandingkan dengan solar murni. Pengaturan harga ini diperlukan untuk memberi kepastian pada pengembangan B40 – B100. “Ada beban sendiri yang harus ditanggung, apakah akan ditanggung badan usaha dalam hal ini Pertamina atau menjadi tanggungan kementerian atau APBN kita. Itu yang saya khawatirkan,” terangnya. Penetapan harga tersebut diberikan lantaran pemerintah untuk menjamin keberlanjutan industri yang membutuhkan komoditas tersebut. Mamit menyebut, penetapan harga FAME juga perlu dilakukan seperti komoditas batu bara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan penyerapan bahan bakar nabati atau biofuel hingga akhir tahun ini diperkirakan melebihi target 9,2 juta kiloliter. Kondisi ini diakibatkan meningkatnya mobilitas masyarakat seiring dengan pemulihan ekonomi sejak beberapa bulan terakhir. Berdasarkan rencana umum energi nasional (RUEN), kapasitas BBN akan ditingkatkan menjadi 10 juta kiloliter pada 2022. “Biodiesel ini diproduksi dari proses-proses yang berkelanjutan juga. Sudah jelas kalau biodiesel masuk dalam energi terbarukan. Tapi prosesnya pun harus bisa ditunjukan kepada publik bahwa ini proses yang berkelanjutan,” kata Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat webinar, Selasa (16/11/2021).

https://ekonomi.bisnis.com/read/20211117/44/1467184/soal-biodiesel-pemerintah-mesti-selesaikan-perkara-harga-fame

Gatra.com | Rabu, 17 November 2021

Indonesia Dapat Optimalkan 613 Ribu Ha Lahan Sawit untuk Biodiesel

Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat, luas izin usaha sawit di Indonesia mencapai 22,2 juta hektar (ha) per tahun 2020. Setelah memperhatikan aspek ekologi, potensi konflik, dan fokus tutupan lahan, masih tersisa lahan seluas 1,16 juta ha diizin sawit. Secara rinci, ada sisa lahan sebanyak 470,7 ribu ha di Kalimantan Timur, 392,3 ribu ha di Kalimantan Tengah, 95,6 ribu ha di Kalimantan Barat, dan 21,6 ribu ha di Kalimantan Utara. Kemudian, sejumlah 36,5 ribu ha terletak di Jambi, 36,1 ribu ha di Sumatera Selatan, serta 29,4 ribu ha di Papua. “Ternyata dari luasan 1,16 juta hektar ini, masih terdapat banyak tumpang tindih. Hal tersebut meliputi beberapa izin, yang paling besar terhadap izin minerba 264,6 ribu hektar,” ungkap Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani, Fadli Ahmad Naufal, pada Rabu (17/11). Fadli menambahkan, seluas 222,4 ribu ha tumpang tindih dengan izin migas, 91,1 ribu izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK HTI), dan 61,1 ribu ha IUPHHK pada hutan alam. Selain itu, ada 19,4 ribu ha food estate singkong, 7,5 ribu ha PIPPIB, serta 5,2 ribu ha perhutanan sosial bersertifikat. “Kalau lahan ini kita filter lagi yang memang tidak tumpang tindih, maka yang tersisa itu sekitar 613 ribu hektar. Itu adalah area detail izin sawit saat ini, yang kemungkinan clean dan clear terhadap izin konsesi yang memang betul-betul dikeluarkan,” imbuhnya. Menurut Fadli, luasan lahan tersebut bisa dioptimalkan jika sawit menjadi pilihan untuk feedstock bahan bakar nabati (BBN) biodiesel. Terlebih, beberapa komoditas lain yang dikembangkan untuk BBN masih menghadapi tantangan yang perlu disiapkan, dengan tetap mempertimbangkan aspek lingkungan dan komitmen mitigasi perubahan iklim. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim, program biodiesel 30 (B30) telah menghemat devisa hingga Rp56,24 triliun pada tahun 2021. Kemudian, juga meningkatkan nilai tambah (CPO menjadi biodiesel) sebesar Rp11,26 triliun dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 24,4 juta ton setara CO2. Diketahui, kontribusi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi primer 2020 baru mencapai 11,2% dari target 23% di tahun 2025. Sebanyak 35% kontribusi EBT tahun 2020 berasal dari pemanfaatan biodiesel (B30).

https://www.gatra.com/detail/news/528840/info-sawit/indonesia-dapat-optimalkan-613-ribu-ha-lahan-sawit-untuk-biodiesel

Bisnis.com | Rabu, 17 November 2021

Dahsyat! Program B30 Diproyeksi Hemat Devisa Negara hingga Rp56 Triliun Tahun Ini

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memperkirakan program Biodiesel 30 atau B30 akan menghemat devisa negara hingga Rp56 triliun pada tahun ini. “Industri sawit ini selain mendorong kemandirian energi, mengurangi emisi gas, juga mengurangi impor solar atau diesel sebesar Rp38 triliun di tahun 2020, sedangkan tahun ini dengan adanya program B30 diperkirakan terjadi penghematan devisa sebesar Rp56 triliun,” ungkap Airlangga dalam Pekan Riset Sawit Indonesia, yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) secara virtual, Rabu (17/11/2021). Airlangga juga menuturkan program mandatori Biodiesel B30 juga mendorong stabilitas harga sawit dan membuat sawit masuk dalam supercycle dengan harga sebesar US$1,283 per ton. Hal ini memicu nilai tukar kepada petani untuk harga Tandan Buah Segar (TBS) naik relatif paling tinggi selama periode ini, yaitu antara Rp2.800 sampai Rp3.000 rupiah per TBS. Di sisi lain, kontribusi sawit pada perekonomian adalah sebesar 15,6 persen terhadap total ekspor non-migas, dan 3,5 persen terhadap PDB nasional. Industri sawit juga memperkerjakan 16,2 juta pekerja. Ke depannya, Airlangga juga berharap adanya proses perbaikan secara terus-menerus terutama dari hulu mulai dari perbaikan benih/varietas, pupuk, alat mesin, kultur budidaya, cara-cara teknik panen, sampai dengan hilir. Hal ini bisa berupa pengembangan produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, memperluas pasar, serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Sayangnya, pemerintah belum dapat meningkatkan program Biodiesel dari campuran nabati 30 persen menjadi 40 persen pada tahun depan. Masalah pendanaan menjadi salah satu faktor yang mengganjal. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan dana dari penyertaan dari ekspor sawit yang digunakan saat ini hanya cukup untuk mendanai program B30. Menurut Dadan, untuk mengembangkan B40 dibutuhkan pungutan dana yang lebih besar sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan untuk meningkatkan kualitas B30. “Kami melihat seberapa besar kemampuan industri untuk men-support dari pungutan ekspor dan besarannya itu yang sekarang sedang disusun dan dikaji,” katanya dalam paparan yang digelar pada Jumat (22/10/2021).

https://ekonomi.bisnis.com/read/20211117/9/1467154/dahsyat-program-b30-diproyeksi-hemat-devisa-negara-hingga-rp56-triliun-tahun-ini