Bangun PLTN Bukti Perubahan RI dalam Antisipasi Dini Pandemik Energi
Pewarta Indonesia | Rabu, 8 April 2020
Pandemik virus Covid-19 akan mengubah dunia! Dan akan mengubah pola hidup manusia dalam hal untuk selalu menjaga lingkungan menjadi bersih dan sehat! Karena musuh terbesar yang paling mematikan manusia adalah VIRUS! Satu satunya cara mengantisipasi dalam pencegahan perkembangbiakannya hanya dengan menjaga stamina tubuh serta lingkungan yang harus selalu bersih. Bersih dalam arti udara yang kita hirup. Karena udara yang kotor akan sangat mempengaruhi kesehatan pernafasan. Entah berhubungan atau tidak, yang jelas Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), beberapa tahun kebelakang telah mengharuskan pengurangan PLTU Batubara sebanyak 80 persen pada tahun 2030. Selain untuk mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5 derajat Celcius, juga yang terpenting adalah menekan emisi gas rumah kaca yang membahayakan kesehatan pernafasan. Tetapi, Wabah Covid-19 datang lebih cepat dari himbauan IPCC di dalam menyadarkan manusia akan pentingnya lingkungan udara yang bersih. Terkait dengan IPCC, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengkontribusi penurunan emisi gas karbon sebesar 29% pada tahun 2030. Sementara, Jepang juga bertekad untuk mengurangi emisi karbon 26 % dari kadar tahun 2013, pada tahun 2030. Perancis dan Swedia sudah jauh lebih dulu membuat lingkungan hidup yang nyaman, yang dicapai 10 sampai 20 tahun. China dalam proses dan berjanji 2050 menjadi zero emisi gas rumah kaca. Efek kiat ini telah menekan laju expor batubara Indonesia ke China.
Apa yang dilakukan Jepang?
Janji menekan emisi gas rumah kaca bukanlah hal yang mudah bagi Jepang. Apalagi paska Fukushima. Kontribusi nuklir yang sebelumnya mencapai 40% hingga 2011, dan sempat menjadi zero setelah kejadian Fukushima, telah mengangkat naik kontribusi fossil dan migasnya. Tapi di 2017, peran nuklir dengan cepat telah lahir kembali menjadi 3%. Sementara kontribusi energi terbarukan sekitar 16%. Selain itu, menekan harga produksi energi terbarukan menjadi lebih murah menjadi target penelitian dan pengembangannya. Jepang berkiat memangkas emisi gas rumah kaca pada 2030 dengan menaikan penggunaan energi terbarukan dari 16 menjadi 24%, yang tentunya akan memperkecil persentasi kontribusi Batubara dan Gas Alam. Sementara nuklir nya diupayakan untuk beroperasi kembali seperti semula.
Bagaimana dengan Indonesia?
58.000 MW Pembangkit listrik Indonesia, 61% didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbasis Batubara (PLTU-Batubara). Konsekuensinya, emisi rumah kaca yang dikeluarkan sebesar 168 juta ton per tahunnya. Angka yang fantastik! Yang artinya setiap MW meng-emisi gas rumah kaca sekitar 6.000 ton per tahun nya. Rencana pemerintah membangun 27.000 MW PLTU Batubara, sudah bisa dibayangkan akan adanya kenaikan emisi rumah kacanya menjadi dua kali lipat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan komitmen penanggulangan krisis iklim. Pelanggaran janji. Apalagi di masa pandemik Covid-19 ini, menjadi kombinasi yang sangat buruk bagi gangguan pernapasan. Lebih penting mana, mengutamakan kesehatan masyarakat atau terpenuhinya energi tetapi dengan bonus rakyat dengan gangguan pernafasan? Masih ada PLTU-Uranium atau PLTN!
Kita bukan bangsa yang Nuklidiot!
Indonesia punya banyak ahli yang dengan sengaja disekolahkan ke luar negeri untuk memahami teknologi PLTN, dibiayai negara. Seperti ke Jepang, Korea dan Amerika, pada saat Prof. Habibie menjadi MenRistek. Dengan teraihnya gelas Doktor, tentunya mempunyai pengetahuan dan kemampuan terkait PLTN yang bisa diandalkan. Tipe PLTN yang sudah dipakai di 23 negara di dunia adalah juga sejenis PLTU. Mengapa PLTU? Karena memang pembangkitan listriknya berasal dari tenaga Uap. Dimana dalam mekanisme kerjanya, uap menjadi tenaga penggerak turbin hingga menghasilkan listrik. Perbedaannya hanya pada jenis pemanas (bisa diibaratkan sebagai kompor), yang dipakai untuk merubah air menjadi uap, dalam jumlah ribuan meter kubik. Dimana bahan bakar kompor ini bisa berbasis pada pembakaran Batubara, gas alam, minyak bumi atau Uranium. Jadi, semua fasilitas pendukungnya, mulai dari proses penguapan air hingga menghasilkan listrik, adalah sama! Pendek kata, komponen yang dipakai mulai dari turbin hingga menjadi listrik, sama persis untuk kedua PLTU-Batubara dan PLTU-Uranium.
Desain kompornya, tentunya di buat untuk mudah dioperasikan dan aman. Bebas dari kemungkinan terjadi kecelakaan atau meledak. Semua terlengkapi dengan pemantik, pengatur besar kecilnya suhu atau pemanas, dan juga sistim pendinginannya agar tidak membahayakan. So, No Different! Malah, penggunaan PLTU-Uranium satu-satunya yang sangat mempertimbangkan emisi gas rumah kaca. Sehingga keselamatan pekerja dan masyarakat sekitar terjamin. Desainnya begitu ketat dan diawasi Badan Internasional IAEA (International Atomic Energy Agency). Inilah yang membuat PLTU-Uranium, bebas emisi. Sehingga, keberadaannya tidak menyebabkan gangguan pernafasan! Beda bahan bakar, akan membedakan desain kompor. Sehingga luasan lahan yang dibutuhkan menjadi berbeda. PLTU-Batubara (Paiton) 4.600 MW membutuhkan lahan 400 ha, sedangkan PLTU-Uranium Fukushima 4.400 MW sekitar 150 ha. Hanya kurang dari 40%nya. Disini terlihat adanya efisiensi lahan.
Bagaimana dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ramai digadang pemerintah?
EBT adalah sumber energi yang tidak akan habis, dan bisa terus dihasilkan. Ada 8 (delapan) sumber energi terbarukan, yakni matahari, angin, biofuel, biomassa, panas bumi, air, gelombang laut dan pasang surut air laut. Studi terkait potensi penerapan energi terbarukan di Indonesia telah dilakukan. Dan jelas terjabarkan bahwa tiap lokasi di Indonesia itu unik dan perlu studi lebih rinci dari sisi ekonomi, untuk memilih sumber energi mana yang paling tepat diterapkan untuk skala besar. Apakah tenaga angin menjanjikan? 30 kincir angin raksasa di Sidrap, Sulsel hanya menghasilkan 75 MW. Itu pun dicapai hanya dalam kondisi puncak, dimana kecepatan anginnya paling optimal. Jika tidak, produk energi listriknya pasti lebih kecil. Total potensi energi bayu yang terprediksi tak terlalu besar, hanya sekitar 978 MW. Bagaimana dengan gelombang laut? Masih dalam taraf kajian. Potensinya dikabarkan luar biasa, bisa mencapai 41 GW. Tapi belum jelas kapan aktualisasinya. Terus bagaimana dengan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA)? Listrik dari PLTA potensinya 75 GW. Sangat besar. Tapi yang terealisasi kurang dari 7 persen. Sehingga porsinya dalam bauran EBT nasional masih sangat kecil. Itupun akan jauh berkurang pada musim kemarau. Potensi energi panas bumi sangat besar: 29,215 GW. Sebagian sudah teraktualisasi. Meski baru mencapai 1,948 GW. Tahun 2020, target utilisasi energi panas bumi 2,2 GW. Jumlah ini pun masih jauh dari target bauran EBT nasional, 23 persen di tahun 2025 dan 31 persen tahun 2050. Dari gambaran bauran tersebut, tercermin bahwa EBT belum bisa menjadi tempat bersandar pemenuhan kebutuhan energi yang dicanangkan pemerintah. Ditambah lagi ada tantangan dari sisi ekonomi yang mengharuskan Menteri ESDM me-reinventarisasi realisasi EBT yang sudah dijalankan. Kesimpulannya, bauran energi PLTU-Batubara, PLTU-migas, PLT EBT – PLTGL, PLTA sudah dipastikan tidak mungkin. Yang paling mungkin hanya dari PLTU-Uranium atau PLTN. Celakanya saat ini Indonesa belum punya PLTN satu pun. Ironis kan?
PLTN Aman dan Murah!
Ketakutan terkait bencana yang akan ditimbulkan PLTN sangat tidak logis. Selama kurang lebih 60 tahun beroperasi di 30 negara, baru ada tiga “bencana” dari ratusan PLTN yang beroperasi di dunia. Ketiganya adalah Chernobyl (Ukraina), Three Miles Island (Amerika Serikat), dan Fukushima (Jepang). Yang terakhir ini, terjadi pada Maret 2011. Harap dicatat, bencana PLTN-nya sendiri tidak menimbulkan korban. Jatuhnya korban disebabkan karena tsunami dan gempa itu sendiri. Karena tidak menimbulkan polusi udara, sehingga tidak menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Biaya asuransi kesehatan menjadi rendah. Dengan demikian, secara total biaya PLTN menjadi murah. Memang PLTN selalu menjadi isu kontroversial. Perhitungan optimistik (murah) selalu dilontarkan oleh kalangan industri nuklir dan pihak-pihak yang pro. Sedangkan, pihak yang antinuklir menyajikan perhitungan biaya listrik PLTN yang pesimistik (mahal). Padahal dibandingkan PLTD (Diesel) yang bisa mencapai 60 Cent USD per KWh, PLTN menjadi kompetitif. Tetapi mengapa PLTD tidak pernah dipermasalahkan? Ada permainan apa?
Investasi awal PLTN memang lebih mahal dibandingkan PLTU Batubara. Ini karena laju produksi yang rendah. Tapi dalam proses perjalanannya, harga tinggi itu akan terkompensasi. Karena PLTN atau PLTU-Uranium tak menimbulkan dampak negatif yang mahal dibanding saudara tuanya – Batubara.
Biaya pembangunan PLTN dapat ditekan di Korea dan China. Karena kemandirian dalam memanufaktur. Juga, biaya pekerjanya murah. Dampaknya luar biasa: Harga listrik di Korea dan China hanya seperenam dari Amerika. Perancis dan Swedia adalah dua negara yang paling bersih dari emisi gas rumah kaca. Kondisi ini dicapai, setelah kedua negara tersebut menggantikan seluruh pembangkit listrik yang menggunakan fossil (batu bara, minyak, dan gas bumi) dengan Uranium atau nuklir. Dimana penggantian ini memakan waktu 15 tahun untuk Perancis, dan 20 tahun untuk Swedia. China mempunyai target zero emisi gas rumah kaca pada tahun 2050. Oleh karena itu, berusaha membangun PLTN untuk memenuhi kebutuhan listriknya, dan menekan jam operasi PLTU-Batubaranya. Saat ini China punya 31 PLTN. Luar biasa! Pengalaman beberapa negara di atas, memberikan pelajaran bahwa menciptakan lingkungan hidup sehat dan tidak menimbulkan gangguan pernafasan serta nyaman, memerlukan usaha yang luar biasa. Juga komitmen pimpinan tertinggi negara yang amat sangat. Komitmen jangka Panjang!
Jika bangsa kita tidak bisa melepaskan diri dari mafia batubara dan migas, nyaris tak mungkin muncul kebijakan tegas untuk membangun PLTU-Uranium atau PLTN. Tidak akan mungkin tercipta lingkungan hidup yang sehat terbebas dari gangguan pernafasan. Maka selamanya PLTN tetap akan menjadi isu politik yang selalu kontroversial. Wabah pandemik Covid-19 tidak akan pernah memberikan pelajaran yang positif bagi kita. Jika PLTU-Batubara masih mendominasi, maka “pandemik energi” di 80 tahun kedepan akan menjadi lebih tragis efeknya dibandingkan Covid-19. Karena Batubara Indonesia akan habis pada masa itu. Mudah-mudahan rakyat Indonesia dapat tersadar lebih cepat. Sudah waktunya menolong diri sendiri. Mengangkat martabat bangsa dengan membangun PLTU-Uranium atau PLTN.