Baru dimanfaatkan 8 persen, pemerintah siap kebut pengembangan panas bumi
Wartaekonomi | Selasa, 31 Maret 2020,
Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) melalui Direktorat Panas Bumi mencatat, dari total 23,9 gigawatt (GW) panas bumi, baru 8,9 persen atau 2.130 MW yang dimanfaatkan. Untuk itu, pemerintah akan mempercepat pengembangan panas bumi sebagai salah satu energi baru untuk menyuplai kebutuhan listrik nasional dengan mempersiapkan peta jalan (roadmap) pengembangan panas bumi, yang selaras dengan Peraturan Presiden 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kepala Subdit Pengawasan Eksplorasi dan Eksploitasi Direktorat Panas Bumi Ditjen EBTKE Budi Herdiyanto mengatakan, peta jalan pengembangan panas bumi meliputi 46 proyek dengan total kapasitas sebesar 1.222 MW. “Saat ini proyek-proyek eksisting berada di 16 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Pada 2019 seluruh WKP mampu memproduksi listrik hingga 13.978 Giga Watt Hour (GWh) dari 101,5 juta ton produksi uap. Kami menargetkan peningkatan pemanfaatan panas bumi menjadi 7.241,5 MW atau 16,8% di 2025,” ungkapnya.
Seperti diketahui, energi panas bumi merupakan energi terbarukan yang telah mulai dikembangkan selama hampir 100 tahun di Indonesia. Pengeboran sumur panas bumi pertama di Kamojang, Garut, Jawa Barat, telah dilakukan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sejak 1926 dan PLTP pertama telah beroperasi sejak tahun 1983. Namun, pengembangan energi panas bumi tidak terlalu signifikan karena belum dapat bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil yang relatif murah. Di tengah menipisnya produksi dan ketersediaan bahan bakar fosil, perkembangan teknologi di bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) telah membuat biaya pengembangan Pembangkit EBT terus menurun dan dapat bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil. Oleh karena itu, lanjut Budi, tantangan pengembangan panas bumi ke depan adalah harga keekonomian proyek panas bumi dan efisiensi biaya pengembangan proyek PLTP. “Pemerintah telah melakukan upaya penyederhanaan perizinan dan deregulasi dalam rangka mempermudah investasi dan meningkatkan ease in doing business di Indonesia. Selain itu, untuk menarik investasi di bidang panas bumi, Pemerintah telah menerbitkan beberapa insentif fiskal,” tambahnya. Upaya pemerintah dalam menurunkan harga listrik dari PLTP antara lain dengan cara pengeboran eksplorasi yang dilakukan oleh Pemerintah pada wilayah terbuka. Upaya lain adalah melalui penerapan Reimbursement Biaya Eksplorasi untuk 12 Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi/ PSPE (sebesar 831,5 MW) dan 19 Pemegang Izin Panas Bumi/IPB yang belum PPA (sebesar 1.250 MW). Namun, untuk tahapan ini perlu diatur terlebih dahulu melalui regulasi. Terdapat juga program Geothermal Fund yang merupakan fasiltas pembiayaan untuk penyediaan data dan informasi panas bumi melalui kegiatan eksplorasi panas bumi utuk memitigasi risiko hulu melalui Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP) dan Geothermal Resource Risk Mitigation (GREM). GEUDP dilakukan oleh Pemerintah melalui penugasan kepada PT. SMI dengan sumber dana APBN dan Hibah World Bank sedangkan GREM ditawarkan kepada BUMN dan Swasta dengan sumber dana terdaftar dalam bluebook. Saat ini, Kementerian ESDM tengah mengusulkan Perpres sebagai kebijakan untuk pembelian harga beli listrik yang berasal dari energi terbarukan yang diharapkan dapat menjadi stimulus dalam pengembangan energi terbarukan kedepan.