Bioavtur (SAF) Indonesia Jadi Pahlawan Dunia

Indonesia menegaskan posisinya sebagai kekuatan utama dalam pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bioavtur global. Dengan kekayaan sumber daya nabati, Indonesia tidak hanya berambisi menerapkan SAF di sektor penerbangan. Tetapi juga membangun industri SAF nasional berbasis inovasi dan pemanfaatan sumber daya lokal yang melimpah. Khususnya dari komoditas sawit dan limbahnya.
Jurnal PASPI Monitor (2025) menekankan bahwa pengembangan SAF sawit menjadi kunci untuk “langit yang lebih hijau”. Yang pasti dengan memanfaatkan minyak inti sawit, produk samping (by-product), dan limbah sawit.
Minyak Sawit dan Keunggulan Teknologi HEFA
Minyak sawit adalah salah satu bahan baku utama yang sangat potensial untuk produksi bioavtur. Asam lemak dalam minyak inti sawit secara kimiawi mirip dengan hidrokarbon bahan bakar fosil. Melalui teknologi hydro-processed esters and fatty acid (HEFA), asam lemak ini dapat diolah menjadi SAF.
- Inovasi Riset dan Komersialisasi: Melalui program Grant Riset Sawit (GRS) BPDP, riset intensif telah menghasilkan inovasi teknologi seperti Katalis Merah Putih. Hasilnya, Kilang Pertamina Internasional (KPI) Cilacap berhasil memproduksi bioavtur J2.4 (campuran 2,4% bioavtur dengan avtur fosil) menggunakan minyak inti sawit (RBDPKO) dengan teknologi co-processing.
- Kinerja Teruji: Bioavtur J2.4 telah lulus uji penerbangan pada pesawat CN-235 (2021) dan Garuda Indonesia (2023, rute Jakarta-Solo). Hasilnya, menunjukkan kinerja mesin yang stabil tanpa perbedaan signifikan dibandingkan avtur konvensional.
- Kesiapan Industri: Faktor pendukung utama komersialisasi bioavtur di Indonesia adalah ketersediaan bahan baku sawit, kematangan teknologi HEFA, serta kapabilitas kilang co-processing KPI yang mencapai 347 juta kiloliter per tahun.
Minyak Jelantah & PFAD: Limbah Bernilai Tinggi untuk SAF Berkelanjutan
Selain minyak sawit primer, Indonesia memiliki potensi besar dari limbah dan produk sampingan sawit. Tentunya memberikan keuntungan signifikan dalam aspek keberlanjutan: minyak jelantah (Used Cooking Oil / UCO) dan Palm Fatty Acid Distillate (PFAD).
- Pengurangan Emisi Maksimal: Karena UCO dan PFAD dianggap sebagai limbah atau produk samping, pengurangan emisi siklus hidup (SAF berbasis limbah) lebih signifikan. Penggunaan UCO sebagai bahan baku SAF memiliki nilai Indirect Land Use Change (ILUC) nol, yang menghasilkan penghematan emisi karbon (carbon intensity) paling rendah, yaitu sekitar 84% dibandingkan avtur fosil (ICAO, 2021).
- Sertifikasi CORSIA: Baik UCO maupun PFAD termasuk dalam positive list sebagai CORSIA eligible fuel, karena nilai Life Cycle Assessment (LCA) yang rendah dan tidak terkait dengan konversi lahan. Ini memastikan SAF Indonesia diakui secara global sebagai bahan bakar pesawat yang berkelanjutan.
- Ekonomi Sirkular: Pemanfaatan minyak jelantah mendukung ekonomi sirkular. Di mana limbah rumah tangga dan komersial yang diproyeksikan mencapai 3,9 juta ton per tahun (Kemenko Marves, 2024). Ini diubah menjadi energi bernilai tinggi yang memenuhi kriteria keberlanjutan CORSIA.
Potensi Masa Depan: POME dan TKKS
Potensi feedstock tidak berhenti di sana. Produk sampingan sawit lainnya, seperti Palm Oil Mill Effluent (POME) dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), juga tergolong sebagai limbah yang berpotensi memenuhi kriteria CORSIA eligible fuel.
- POME: Limbah cair kaya senyawa organik ini berpotensi diolah menjadi SAF menggunakan teknologi jalur HEFA.
- TKKS: Biomassa padat ini potensial dimanfaatkan melalui teknologi Fischer-Tropsch atau Alcohol-to-Jet untuk produksi bioavtur di masa mendatang.
Kekayaan sumber daya ini, didukung kematangan teknologi HEFA dan inovasi Katalis Merah Putih. Hasilnya, menempatkan Indonesia pada posisi strategis untuk menjadi pemimpin global dalam produksi dan pengembangan bioavtur atau SAF.