Biodiesel Sawit Indonesia Jadi Pahlawan Iklim Global

Biodiesel sawit Indonesia menjadi pahlawan iklim global. Dalam dua dekade terakhir, dunia telah menyaksikan lonjakan masif dalam pengembangan bahan bakar nabati (biofuel). Fenomena ini, seperti yang diuraikan oleh FAO (2008) dalam laporannya The State of Food and Agriculture, bertujuan mulia: mencapai penghematan energi fosil (keamanan energi), pengurangan emisi (mitigasi perubahan iklim), dan pengembangan pertanian pedesaan. Lebih jauh, tujuan ini semakin relevan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang telah menjadi peta jalan pembangunan global 2015-2030.
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) melalui laporan risetnya di tahun 2021 berjudul Minyak Sawit Menyediakan Bahan Bakar Nabati (Biofuelling) bagi Dunia secara gamblang menyatakan bahwa pengembangan biofuel, khususnya yang berbasis minyak sawit, mampu berkontribusi pada setidaknya empat tujuan SDGs: SDG-1 (Tanpa Kemiskinan), SDG-7 (Energi Bersih dan Terjangkau), SDG-8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), dan SDG-13 (Penanganan Perubahan Iklim). Ini menunjukkan bahwa biofuel bukan hanya solusi energi, tetapi juga motor penggerak pembangunan berkelanjutan.
Biodiesel Global: Sawit Pimpin Pasar Bahan Baku
Salah satu produk biofuel yang paling gencar dikembangkan di seluruh dunia adalah biodiesel. Produksinya sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku (feedstock) di masing-masing negara. Misalnya, Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina yang surplus kedelai mengembangkan biodiesel berbahan dasar minyak kedelai. Uni Eropa, sebagai produsen minyak rapeseed terbesar dunia, fokus pada biodiesel dari rapeseed. Sementara itu, Indonesia dan Malaysia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar global, secara alami menjadi pemimpin dalam pengembangan biodiesel berbahan baku minyak sawit.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam laporan OECD-FAO Agricultural Outlook 2020-2029 (2020) menggarisbawahi bahwa pengembangan biofuel, termasuk biodiesel, di berbagai negara terbukti sangat berkelanjutan dengan pertumbuhan positif yang signifikan. Hal ini didorong oleh berbagai kebijakan suportif seperti mandat pencampuran (obligatory blending), pajak preferensial, dan subsidi. Dukungan kebijakan ini terbukti efektif dalam memicu permintaan dan memengaruhi harga, menghasilkan tren produksi biodiesel global yang positif.
Biodiesel Indonesia di Barisan Depan Produsen Biodiesel Dunia
Lima tahun terakhir menjadi saksi bisu pertumbuhan pesat industri biodiesel global. Data United States Department of Agriculture (USDA) dalam laporan Biofuel Annual (Cross Country) (2020) menunjukkan bahwa produksi biodiesel dunia meningkat dari 31,1 juta kiloliter pada 2015 menjadi 44,7 juta kiloliter pada 2020.
Dalam daftar produsen biodiesel terbesar dunia, Uni Eropa memimpin dengan pangsa 36%, diikuti Amerika Serikat (17%), dan kemudian Indonesia serta Brasil yang sama-sama menyumbang 11%. Argentina menyusul dengan 7%. Kelima negara ini secara kolektif menguasai 82% pangsa pasar produksi biodiesel global.
Yang menarik, minyak sawit mendominasi sebagai bahan baku biodiesel yang paling banyak digunakan secara global, diikuti oleh minyak kedelai, minyak rapeseed, used cooking oil (UCO), tallow, dan minyak kelapa. Peran minyak sawit sebagai feedstock biodiesel dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan volume penggunaan yang melonjak dari 6,2 juta ton pada 2015 menjadi 13,9 juta ton pada 2020. Pangsa minyak sawit dalam pasar feedstock industri biodiesel global juga naik signifikan, dari 23% menjadi 36% dalam periode yang sama. Peningkatan ini didorong oleh keunggulan utama minyak sawit: harga yang kompetitif serta volume pasokan yang relatif besar dan stabil.
Biodiesel: Pahlawan Lingkungan dan Kesehatan Manusia
Pengembangan biofuel, khususnya biodiesel berbahan baku minyak nabati, terbukti memainkan peran krusial dalam aspek lingkungan dan kesehatan. Penelitian Khan et al. (2013) berjudul Impacts of Biodiesel on the Environment menemukan bahwa biodiesel secara signifikan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon di atmosfer bumi. Data USDA (2020) memperkuat hal ini. Produksi dan penggunaan biodiesel menghasilkan emisi CO2 78,5% lebih sedikit dibandingkan bahan bakar fosil. Selain itu, penggunaan biodiesel mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 41%. Dampaknya menekan polutan berbahaya dan meminimalisir dampak kerusakan lingkungan akibat pelepasan gas beracun.
Dari sisi kesehatan, Khan et al. (2013) juga menemukan bahwa biodiesel lebih aman untuk dihirup manusia. Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa emisi biodiesel menurunkan kadar semua hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH). Senyawa ini dikenal sebagai pemicu kanker. Lebih lanjut, biodiesel tidak beracun dan mudah terurai secara hayati, menjadikannya pilihan yang lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Dengan memproduksi biodiesel dari feedstock domestik, Indonesia tidak hanya berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim dan peningkatan kualitas udara, tetapi juga memperkuat ketahanan energi nasional. Ini adalah bukti nyata bahwa biofuel, terutama yang berbasis sawit, adalah investasi masa depan bagi Indonesia dan dunia.