Bioetanol Bakal Bikin Indonesia ‘Sultan’ Energi Baru

Pemerintah Indonesia tengah bergerak cepat mewujudkan kemandirian energi dengan meluncurkan program ambisius: pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) bioetanol sebesar 5% (E5) ke dalam bensin. Langkah strategis ini diharapkan dapat secara signifikan menekan impor bahan bakar fosil yang selama ini membebani APBN.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Ibu Eniya Listiani Dewi, memproyeksikan bahwa program ini akan mulai berjalan antara tahun 2025 atau 2026. Regulasi mandatory bioetanol ini nantinya akan diatur melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM yang terpisah. “Dari sini kita akan mengeluarkan keputusan Menteri. Jadi keputusan Menteri akan terpisah untuk memandatorikan,” jelas Ibu Eniya dalam acara Coffee Morning CNBC Indonesia (16/5/2025).
Melawan Hambatan: Mengurai Benang Kusut Regulasi Bioetanol

Meski memiliki potensi besar, pengembangan bioetanol selama ini menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu hambatan utama adalah pungutan bea cukai yang masih dikenakan pada etanol, meskipun penggunaannya ditujukan untuk campuran bahan bakar. Ibu Eniya mengakui bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebenarnya telah menetapkan cukai hanya dikenakan pada minuman beralkohol, namun masalah muncul pada klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang dinilai masih berbelit-belit. “Ini kalau dari PMK sendiri, peraturan Kementerian keuangan itu sudah mengeluarkan, hanya menetapkan cukai itu di minuman saja. Jadi kalau untuk bahan bakar tidak. Tetapi ada sedikit KBLI yang berbelit. Jadi nanti harus di clear kan di nomor KBLI nya,” tegas beliau.
Senada dengan itu, CEO Pertamina New and Renewable Energy (PNRE), Bapak John Anis, menyuarakan pentingnya membedakan etanol untuk bahan bakar dengan alkohol konsumsi. Beliau menekankan bahwa bioetanol untuk kendaraan tidak hanya bertujuan mengurangi impor, tetapi juga menekan emisi karbon. “Ini kan untuk mobil, untuk kendaraan, jadi seharusnya sih sudah pasti penurunan emisi juga, seharusnya lebih straightforward ya bahwa ini dengan administrasi singkat itu bisa segera diberikan exception karena per titik juga,” kata Bapak John.
Mendorong Pertumbuhan: Harapan Insentif dan Kebijakan Khusus

Penghapusan pungutan cukai untuk etanol yang digunakan sebagai bahan bakar diyakini akan sangat membantu. Namun, Bapak John Anis juga berharap adanya dukungan lain seperti penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk bioetanol. Selain itu, keringanan PPN untuk hasil pencampuran bahan bakar. Selain itu, insentif seperti tax holiday atau tax incentive juga diharapkan dapat diberikan untuk pembangunan pabrik dan impor peralatan yang dibutuhkan.
Tak hanya itu, Bapak John Anis menilai perlunya kebijakan khusus seperti Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk industri bioetanol. Hal ini serupa dengan yang telah berhasil diterapkan pada industri batu bara dan sawit.
Dukungan ini diamini oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Bapak Sugeng Suparwoto. Menurutnya, penetapan DMO dan DPO sangat krusial agar proyek pengembangan bioetanol dapat berjalan lancar. “Maka sebagaimana juga di batubara untuk keperluan listrik saya kira untuk CPO dan juga tadi molase dan sebagainya untuk etanol saya kira harus ada kebijakan yang aktif. Satu DMO, dua DPO Domestic Price Obligation seperti di batubara, DMO-nya 25%. DPO-nya adalah 70 dolar per ton untuk harga tertinggi,” jelas Bapak Sugeng.
Bioetanol: Fungsi Ganda untuk Emisi dan Keberlanjutan
Bapak Sugeng Suparwoto juga menegaskan bahwa pengembangan biofuel, termasuk bioetanol, memiliki dua fungsi utama. Pertama, menekan emisi gas rumah kaca, dan kedua mendukung keberlanjutan. Mengingat komitmen Indonesia mencapai net zero emission pada tahun 2060, peran bioetanol dalam menggantikan impor BBM untuk kendaraan dan kebutuhan industri menjadi sangat vital.
“Memang sektor transportasi cukup menyumbang besar. Disinilah peran biodiesel, biofuel itu yang sangat penting untuk menggantikan dan untuk mengurangi fossil fuel,” katanya.
Kunci Utama: Akses Pendanaan dan Peningkatan Produktivitas Tebu
Direktur Utama PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau Sugar Co, Subholding Komoditi Gula PTPN III (Persero) Holding Perkebunan, menilai bahwa akses pendanaan bagi petani tebu menjadi salah satu kunci utama kelancaran pengembangan bioetanol di dalam negeri. “Pertama kalinya adalah akses pendanaan. Akses pendanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) ini tentunya harus dipermudah, supaya petani kemudian bergairah untuk melakukan peremajaan ke mereka,” ujarnya.
Selain peremajaan, pemerintah juga perlu fokus pada pembenahan varietas tebu yang digunakan petani. Varietas yang banyak digunakan saat ini dinilai belum ideal untuk mencapai produktivitas optimal. Dengan membereskan persoalan-persoalan ini, beliau optimistis bahwa dalam 2-3 tahun ke depan, produktivitas tebu nasional dapat kembali ke masa kejayaan. Hal ini tidak hanya akan berdampak pada swasembada gula, tetapi juga pada swasembada energi melalui pengembangan bioetanol.
Pengembangan bioetanol bukan hanya sekadar diversifikasi energi, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk mewujudkan kemandirian energi. Hal ini mengurangi dampak perubahan iklim, dan menciptakan nilai ekonomi baru bagi Indonesia. Dengan dukungan regulasi yang jelas, insentif yang memadai, dan perhatian pada rantai pasok dari hulu ke hilir, Indonesia siap menjadi pemain utama dalam industri bioetanol global.