BPDPKS Promosikan Sawit dan Demo Pembuatan Coklat Sawit ke Guru dan Siswa di Jawa Timur

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 7 April 2022

BPDPKS Promosikan Sawit dan Demo Pembuatan Coklat Sawit ke Guru dan Siswa di Jawa Timur

Dalam komitmen perjuangan Pendidikan, guru memiliki peran yang sangat penting dalam menjembatani informasi-informasi kepada peserta didik, termasuk informasi tentang kelapa sawit. Ketua PGRI Provinsi Jawa Timur, Teguh Sumarno pada kegiatan Palm Oil Edutalk Provinsi Jawa Timur dengan tema Kupas Tuntas Mitos dan Fakta Tentang Kelapa Sawit pada Jum’at (18/03/2022) di Surabaya menyampaikan, perkebunan sawit di Pulau Sumatera seperti di Provinsi Jambi, Palembang, dan Lampung menjadi sektor yang berkontribusi besar terhadap kehidupan masyarakat sekitar dan perekonomian daerah.  Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Jawa Timur untuk promosi positif kelapa sawit kepada Insan Pendidikan. Kegiatan ini diikuti oleh Guru dan siswa dari 38 kabupaten/kota se-Jawa Timur yang berlangsung secara hybrid. “UMKM-UMKM bersama SMA, SMK, guru bisa menciptakan perubahan-perubahan ekonomi sehingga ini meningkatkan martabat kabupaten/kota di Indonesia, terutama yang menjadi sentra sawit,” kata Teguh Sumarno.  Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Wahid Wahyudi menyatakan dukungan dan apresiasinya atas terselenggaranya kegiatan ini. “Kelapa sawit di Jawa Timur ini masih sedikit asing. Saya tahu semuanya sering mendengar yang namanya kelapa sawit. Tapi, tidak banyak yang tahu bahwa kelapa sawit itu adalah komoditas strategis Indonesia,” kata Wahid Wahyudi.  Lebih lanjut disampaikan Wahid Wahyudi, sektor pertanian khususnya perkebunan kelapa sawit tidak lagi identik dengan kemiskinan. Bahkan saat ini, sektor perkebunan sawit pada setiap hektar lahannya mampu menghasilkan sekitar Rp3 juta – Rp4 juta per bulannya. Dikatakan Wahid, kelapa sawit memiliki peranan besar dalam pengentasan kemiskinan. Lantaran, 42 persen lahan perkebunan sawit di Indonesia dimiliki oleh petani-petani kecil. “Dan di Jawa Timur banyak SMA/SMK Pertanian yang perlu dimasuki komoditas kelapa sawit ini. Di Jember juga ada SMK yang ada bidang studi atau kompetensi keahlian Pertanian yang juga bisa dimasuki kelapa sawit ini,” ungkap Wahid Wahyudi. Wahid juga mengajak Insan Pendidikan di Provinsi Jawa Timur untuk mendalami, mengembangkan, hingga menganalisis bahwa sektor industri perkebunan kelapa sawit merupakan objek pekerjaan yang sangat menguntungkan.  Hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Divisi Komunikasi dan Media Sosial DPP APKASINDO, Maria Goldameir Mektania menyampaikan, dari 6,72 juta hektar kebun sawit yang dikelola petani Indonesia, sekitar 86 persen diusahakan petani swadaya dan 14 persen sisanya merupakan petani plasma. Sebagai petani sawit generasi kedua, Goldameir menyampaikan, “Dengan perkembangan yang ada, dari tahun 2000-an, harga tandan buah segar (TBS) berkembang pesat, yang tadinya di bawah Rp1.000 per kg, sekarang bisa sampai Rp3.000 per kg. Dari sinilah kami bisa mengenyam Pendidikan tinggi sampai ke luar negeri”.  Lebih lanjut disampaikan Goldameir, sejak tahun 2000, sektor industri perkebunan sawit telah berkontribusi membantu 10 juta orang lepas dari garis kemiskinan. “Kabupaten yang memiliki perkebunan sawit, itu tetap mengalami perkembangan,” kata Goldameir.  Tidak hanya itu, dalam rangka memupuk jiwa kewirausahaan para siswa, dalam kegiatan ini juga dilakukan demo produksi coklat dan sabun berbahan minyak sawit. Demo dipraktekkan oleh Hendy Firmanto dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia yang berlokasi di Jember. Meskipun berkontribusi besar terhadap kehidupan masyarakat dunia dan perekonomian nasional, kelapa sawit masih saja menghadapi banyak tantangan. Selain persaingan ekonomi global, maraknya isu-isu negatif dan belum dipahaminya manfaat kelapa sawit secara menyeluruh menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan di dalam negeri. Tidak hanya berdampak pada munculnya persepsi negatif di masyarakat awam, stigma negatif sawit ini secara terstruktur juga menyasar generasi muda dan peserta didik di sekolah. Dalam kegiatan ini, sebagai upaya menyampaikan fakta objektif tentang kelapa sawit, BPDPKS juga menghadirkan narasumber dari praktisi kelapa sawit yaitu Plt. Direktur Kemitraan BPDPKS Kabul Wijayanto, Bidang Sustainability Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bandung Sahari, CSR Officer PT Sinarmas Agribusiness and Food Donni Indra, serta Ketua Bidang Pemasaran dan Promosi Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Irma Rachmania.

https://wartaekonomi.co.id/read405910/bpdpks-promosikan-sawit-dan-demo-pembuatan-coklat-sawit-ke-guru-dan-siswa-di-jawa-timur?page=all

 

 

 

BERITA BIOFUEL

 

 

Neraca.co.id | Kamis, 7 April 2022

Pasokan CPO Untuk Minyak Goreng Terdampak Produksi Biofuel

Meningkatnya permintaan global akan bahan bakar nabati atau biofuel berbasis minyak sawit berpotensi berpengaruh pada pasokan crude palm oil/CPO yang dibutuhkan untuk produksi minyak goreng di Indonesia. “Adanya peningkatan pangsa produksi CPO untuk bahan bakar nabati sebesar 24 persen dari tahun 2019 hingga 2020, akan mengakibatkan penurunan pangsa CPO yang diolah menjadi komoditas pangan seperti minyak goreng di Indonesia,” jelas Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, seperti dikutip dalam keterangannya, kemarin. Indonesia kini menerapkan kebijakan keharusan mencampurkan minyak diesel dengan 30 persen bahan berdasar minyak sawit (B30). Program yang dilaksanakan sejak Januari 2020 tersebut mewajibkan pencampuran 30 persen biodiesel dengan 70 persen solar untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar impor dan mendorong peralihan ke energi baru dan terbarukan (EBT). Data Kementerian ESDM menunjukkan, realisasi B30 adalah 9,3 juta kiloliter dengan sekitar 14% produksi minyak sawit Indonesia dialokasikan untuk biodiesel di 2021. Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 12/2015 ini berjalan dengan adanya jaminan pemerintah dan subsidi jika harga domestik lebih rendah daripada harga internasional. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan produsen kelapa sawit cenderung mendistribusikan CPO untuk produksi biodiesel. Produksi CPO di Indonesia menunjukkan kecenderungan penurunan sejak tahun 2019. Produksi kembali turun di 2021 sebesar 0,9 persen menjadi 46,89 juta ton. Laporan Outlook 2022 Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC)  menunjukkan stok akhir CPO di Indonesia tahun 2021 berada dibawah tingkat rata-rata 4 juta ton. Data kebutuhan CPO untuk produksi biofuel dapat dilihat dari jumlah konsumsi CPO untuk biofuel. Antara 2019-2021, produksi CPO untuk biofuel meningkat dari 5,83 juta ton menjadi 7,38 juta ton. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat pada 2022 seiring dengan meningkatnya konsumsi biodiesel yang diperkirakan GAPKI berjumlah 8,83 juta ton. Minyak goreng di Indonesia umumnya dihasilkan dari CPO yang harganya berkorelasi langsung dengan harga CPO internasional. Sepanjang 2021, harga CPO internasional naik  36,3 persen dibandingkan 2020 dan hingga Januari 2022, sudah mencapai Rp15.000/ kilogram. Indeks Bulanan Rumah Tangga (Indeks BuRT) CIPS menunjukkan, pada Maret, harga minyak goreng di Jakarta naik 32,18 persen menjadi Rp18.505/liter dari Rp14.000/liter pada Februari 2022. Terdapat peningkatan sebesar 39,69 persen dari Rp 13.247/liter dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun lalu. Tingginya  harga tersebut disebabkan, diantaranya, oleh kekurangan pasokan di tengah meningkatnya permintaan di banyak bagian dunia karena belum pulihnya ekonomi akibat gelombang kedua Covid-19. Invasi Rusia ke Ukraina semakin menambah ketidakpastian kondisi minyak dan perekonomian dunia secara umum. Sementara itu, kelangkaan pasokan di dalam negeri disebabkan oleh penurunan produktivitas perkebunan sawit milik BUMN, swasta dan petani kecil di kedua negara produsen utama minyak sawit dunia, yaitu Indonesia dan Malaysia, yang setidaknya menyumbankan 85 persen dari pasokan global. “Peningkatan produktivitas melalui perbaikan pengelolaan sumber daya dan adopsi praktik pertanian yang baik dan berkelanjutan menjadi kunci dalam pemenuhan permintaan minyak sawit dunia yang diprediksi akan meningkat sebesar 6,5 persen pada tahun 2022. Permintaan minyak sawit yang diolah menjadi minyak goreng untuk konsumsi rumah tangga juga diperkirakan meningkat,” terang Felippa.

https://www.neraca.co.id/article/161530/pasokan-cpo-untuk-minyak-goreng-terdampak-produksi-biofuel

 

Katadata.co.id | Kamis, 7 April 2022

Minyak Jelantah Bisa Jadi Bahan Baku Biodiesel Rendah Emisi

Terdapat sejumlah peluang pemanfaatan minyak goreng bekas atau UCO yang perlu diperhatikan sebagai bahan baku komplementer biodiesel. Indonesia mengembangkan biodiesel sebagai upaya peralihan dari sumber energi fosil ke energi baru dan terbarukan, sekaligus untuk mengurangi emisi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), persentase Energi Baru Terbarukan (EBT) Tanah Air mencapai 11 persen dari total bauran energi primer dan biodiesel menyumbang 35 persen dari total EBT tersebut. Minyak sawit (crude palm oil/CPO) dipilih sebagai bahan baku biodiesel karena produksinya yang besar di Tanah Air. Namun, penggunaan CPO sebagai bahan baku tunggal biodiesel justru berisiko terhadap lingkungan. Minyak goreng bekas atau Used Cooking Oil (UCO) dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan tersebut, sekaligus menjadikan biodiesel semakin berkelanjutan dan rendah emisi. Dalam diskusi IDE Katadata 2022 yang bertajuk “Green Circular Economy: Utilizing Used Cooking Oil (UCO) as a Low Emission Feedstock for Sustainable Biofuel” pada Kamis (7/4), Research Manager Traction Energy Asia Fariz Panghegar menyebutkan, ketika CPO menjadi bahan baku utama biodiesel, justru akan mengakibatkan timbulan emisi yang tinggi. Bahkan, penggunaannya dapat melampaui emisi dari solar konvensional. Hal ini diakibatkan oleh perluasan perkebunan sawit ke hutan dan lahan gambut, serta limbah dari sistem produksi yang tidak berkelanjutan. Untuk tetap memenuhi kebutuhan biodiesel, UCO sebagai limbah cair dari kegiatan memasak dapat menjadi bahan baku komplementer. Berdasarkan hasil riset Traction Energy Asia, penggunaan UCO sebagai bahan baku biodiesel dapat menurunkan timbulan emisi hingga 49 juta Kg CO2 eq. Adapun pemerintah menargetkan penurunan emisi sektor energi 2022 sebesar 91 juta ton CO2. Dalam diskusi ini, Traction Energy Asia memperlihatkan dua skenario dan hasilnya. Pertama, biodiesel dengan campuran CPO dan UCO dapat menurunkan emisi 8 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika persentase biodiesel UCO ditambahkan sebanyak 10-30 persen dalam produksi B30 saat ini. Kedua, biodiesel yang terdiri dari masing-masing B30 dari CPO dan B30 dari UCO mampu menurunkan emisi 2,4 sampai 24 persen dari total target penurunan emisi sektor energi jika menambahkan 10 sampai 100 persen bahan baku biodiesel UCO dalam produksi B30. “Jadi, terkait capaian kebijakan BBN nasional, angka penurunan emisi GRK di sektor energi dapat meningkat dengan menambahkan produk berbahan bakar berbasis UCO,” ucapnya. Fariz menambahkan, terdapat sejumlah manfaat penggunaan UCO sebagai bahan baku komplementer biodiesel. Selain dapat menghemat anggaran pengadaan BBN nasional mencapai Rp 4 triliun, pemanfaatan UCO juga merupakan kegiatan ekonomi sirkular. Kegiatan ini dapat memberikan penghasilan tambahan bagi unit rumah tangga dan usaha penghasil UCO. “Potensi ketersediaan rumah tangga dan unit bisnis skala mikro mencapai 1,2 juta kilo liter per tahun. Kami asumsikan, ini dapat menghasilkan 954.751 kilo liter UCO sebagai bahan baku pengganti biodiesel,” katanya. Menurut Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Alin Halimatussadiah, rumah tangga memiliki peran strategis untuk menyalurkan minyak jelantahnya. Sebab, rumah tangga juga akan merasakan manfaat lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu, Alin menyebutkan bahwa perilaku rumah tangga dalam pengumpulan UCO perlu diantisipasi. Terdapat biaya tertentu yang perlu dikeluarkan untuk mengumpulkan UCO dari kualitas yang bervariasi, titik pengambilan yang beragam, dan kemauan untuk menjual yang berbeda-beda. “Sehingga, para pemain perlu memperhatikan berbagai hal terkait perilaku rumah tangga, sistem logistik dan insentif yang akan diberi nantinya,” ucap Alin. Oleh sebab itu, peluang penggunaan UCO sangat besar. Namun masih terkendala ketiadaan regulasi menetapkan UCO sebagai limbah yang dapat menjadi bahan baku komplementer BBN. Di sisi lain, pemerintah tengah melakukan sejumlah upaya. Pemerintah, melalui Kementerian ESDM saat ini mengembangkan BBN berkelanjutan dengan menerapkan Indonesian Bioenergy Sustainability Indicators (IBSI). Di dalamnya terdapat sejumlah indikator terkait lingkungan, sosial, dan ekonomi yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk mewujudkan biodiesel berkelanjutan. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo dalam kesempatan yang sama juga menjelaskan bahwa pengaturan insentif untuk biodiesel berbasis UCO memang perlu disempurnakan. Ke depannya perlu ada sinergi penta-helix dari berbagai pihak seperti pemerintah daerah dan pusat, pelaku usaha, badan penelitian dan pengembangan, media, hingga masyarakat. Ia juga menyebutkan terdapat sejumlah regulasi yang perlu disiapkan oleh pemerintah pusat. “Pemerintah pusat perlu menyiapkan beberapa regulasi terkait kebijakan pemanfaatan UCO untuk biodiesel seperti tata niaga, standar, registrasi, serta setifikasi produsen biodiesel dan insentifnya,” katanya. Dari sisi pemain, Pertamina kini tengah mengembangkan biorefinery atau kilang hijau yang menjadi strategi mempercepat target bauran EBT nasional pada 2025. Biorefinery merupakan proyek energi bersih Pertamina dengan pengolahan kilang menggunakan bahan baku terbarukan dari minyak sawit, termasuk UCO. Specialist II Renewable Energy Development Research Pertamina Bayu Prabowo menyebutkan, UCO berpotensi besar menjadi bahan baku komplementer. Namun, ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan sebelum mengembangkannya. Sebab, pengembangannya membutuhkan rute yang lebih panjang karena ada proses yang perlu ditambahkan, yaitu proses water removal menghilangkan unsur air dari UCO dan esterifikasi. Bayu menyebutkan, hal ini akan berimplikasi ke peningkatan harga karena membutuhkan energi dua kali lipat lebih besar. “Ini bukan untuk menutup peluang, tapi untuk mempertimbangkan aspek yang perlu diantisipasi dan ke depannya akan dikembangkan bersama-sama,” ujarnya.

https://katadata.co.id/hanna/berita/624ee2f7e1fb5/minyak-jelantah-bisa-jadi-bahan-baku-biodiesel-rendah-emisi

Katadata.co.id | Kamis, 7 April 2022

Pemanfaatan Minyak Jelantah Bisa Hemat Pengadaan Biodiesel Rp4 Triliun

Pemanfaatan minyak jelantah sebagai alternatif bahan baku biodiesel dapat menghemat pengadaan BBN hingga Rp 4 triliun per tahun. Riset Traction Energy Asia menunjukkan bahwa potensi pemanfaatan minyak goreng bekas atau minyak jelantah (used cooking oil/UCO) mampu menghasilkan potensi penghematan anggaran pengadaan bahan bakar nabati (BBN) untuk biodiesel sebesar Rp 4 triliun. Fariz Panghedar, Manager Riset Traction Energy Asia, menjelaskan angka ini didapat dari perhitungan alokasi biodiesel UCO sebesar 10% dari total alokasi pengadaan BBN tahun 2020 yang mencapai 9,5 juta kilo liter. Lebih lanjut, kata Fariz, dari total BBN ditemukan potensi UCO dari rumah tangga dan unit bisnis skala mikro sebesar 1,2 juta kilo liter. Dari jumlah tersebut, diasumsikan bahwa 954.751 kilo liter digunakan sebagai feedstock komplementer biodiesel. “Maka rata-rata pembayaran selisih kurang Harga Indeks Pasar (HIP) BBN dengan HIP Solar tahun 2020 sekitar Rp 4.064 per liter, maka jika dikalikan akan ada penghematan Rp 4 triliun rupiah apabila alokasi biodiesel UCO sebesar 10% dari total alokasi tersebut,” kata Fariz dalam Katadata IDE 2022, kamis (7/4). Fariz menambahkan, total potensi UCO dari rumah tangga dan unit usaha mikro di kota-kota besar seperti Pulau Jawa dan Bali mencapai 207.170,65 KL per tahun. Sementara total potensi UCO dari rumah tangga dan unit usaha mikro di level nasional sebesar 1.243.307,7 KL per tahun. “Total potensi ini hanya di rumah tangga dan unit usaha mikro, apabila diluaskan ke unit skala kecil, sedang dan menengah di sektor makanan, termasuk juga sektor hotel dan restoran serta kafe maka jumlahnya akan 3 juta kilo liter per tahun. Itu yang bisa dimanfaatkan sebagai BBN,” jelasnya.   Adapun pemanfaatan UCO sebagai bahan baku biodiesel dapat menurunkan timbulan emisi hingga 49 juta Kg CO2 dengan perhitungan 30% UCO + 0% FAME. Capaian ini didapatkan dari scenario pengadaan dua jenis biodiesel yang terdiri dari masing-masing B30 dengan CPO dan B30 dengan bahan baku UCO. “Pemerintah dapat menunrunkan 2,4-24% dari total target penurunan emisi sektor energi jika penambahan feedstock UCO Biodiesel dilakukan sebanyak 10-100% dalam produksi B30,” kata Fariz. Pemanfaatan biodiesel dari UCO ini dinilai menjadi solusi ganda. Selain menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah, juga menghindarkan kerusakan lingkungan dan kualitas air tanah dari pembungan minyak mentah ke selokan maupun saluran air. Sementara itu, Direktorat Bionergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo mengatakan biodiesel yang diproduksi dari minyak jelantah memiliki kualitas yang hampir sama dengan biodiesel. Menurut catatan dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), ada dua perusahaan yang mengembangkan biodiesel berbasis minyak jelantah. Satu diantaranya adalah PT Bali Hijau Biodiesel yang sebagian hasil produksinya digunakan untuk bahan bakar bus sekolah dan genset di beberapa hotel di Bali. Adapun kapasitas produksi sejumlah 360 liter per tahun. “Ini memang masih kecil mungkin karena keterbatasan bahan baku dan biaya produksi,” ujar Edi. Selanjutnya ada PT Alpha Global Cinergy yang sejak tahun 2014 hingga 2018 mampu memproduksi biodiesel sebesar 2.765 KL.  “Selain menjadi energi, UCO juga bisa diolah kembali menjadi oli dan sabun,” tukasnya.

https://katadata.co.id/happyfajrian/ekonomi-hijau/624f137697a41/pemanfaatan-minyak-jelantah-bisa-hemat-pengadaan-biodiesel-rp4-triliun

Gridoto.com | Jum’at, 8 April 2022

Standar Euro 4 Berlaku, Pakai Bahan Bakar Biodiesel Masih Relevan?

Kendaraan mesin diesel di Indonesia per 7 April 2022 diwajibkan memenuhi standar Euro 4. Lantas apakah penggunaan bahan bakar biodiesel untuk standar emisi Euro 4 masih relevan? Menurut Abdul Latief, Technical Consultant Scania PT United Tractors, Tbk., pihaknya mengklaim bahwa truk Scania comply dengan bahan bakar biodiesel B30 hingga B100 untuk memenuhi standar Euro 4. “Ada aftertreatment yang disematkan untuk menekan emisi gas buang agar memenuhi standar Euro 4,” sebutnya. “Salah satunya dengan teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR),” sambungnya. SCR diperlukan sebagai filter gas buang yang dikeluarkan sebelum masuk ke Exhaust Gas Resirculation (EGR). Sehingga kadar gas buang yang balik masuk ke ruang bakar bisa lebih bersih dan menekan emisi. “Emisi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar biodiesel bisa ditekan dan tetap memenuhi standar Euro 4,” tekan Latief. Begitu juga menurut Tri Yuswidjajanto Zaenuri, Ahli Konversi Energi Fakultas Teknik dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), bahwa memang benar teknologi aftertreatment yang digunakan bisa menekan kadar emisi gas buang lebih baik. “Ini bisa mensiasati kadar polutan yang dihasilkan dari penggunaan biodiesel,” ujarnya. “Dari segi emisi gas buang memang bisa saja memenuhi standar Euro 4,” imbuhnya. Hanya saja untuk standarisasi bahan bakar Euro 4, Tri menilai biodiesel yang tersedia belum memenuhi dari kadar sulfur maksimal 50 ppm hingga cetane number 53 dan unsur nabati 5 persen. “Jika teknologi aftertreatment bisa memenuhi standar emisi gas buang Euro 4 penggunaan biodiesel masih bisa,” tutup Tri.

https://www.gridoto.com/read/223223661/standar-euro-4-berlaku-pakai-bahan-bakar-biodiesel-masih-relevan?page=all

 

Detik.com | Kamis, 7 April 2022

Mengatasi Kelangkaan Biosolar

Kelangkaan bahan bakar jenis Biosolar yang dimulai sejak sebulan lalu di luar Jawa belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera teratasi, bahkan daerah yang mengalami kelangkaan telah semakin meluas. Di beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa masih saja terjadi antrean panjang untuk mendapatkan Biosolar. Pengemudi truk terpaksa banyak yang sampai harus rela menginap di sejumlah SPBU demi untuk mendapatkan Biosolar. Sebenarnya pemerintah, Pertamina, dan BPH Migas perlu berterus terang kepada masyarakat tentang apa yang sedang terjadi. Jangan semua pihak hanya berusaha mengeluarkan pernyataan berupa pembelaan terhadap institusinya masing-masing saja, namun tidak ada yang berusaha memperbaiki keadaan. Bagi masyarakat pengguna Biosolar yang paling dibutuhkan adalah bagaimana caranya agar Biosolar selalu tersedia dan pembeli tidak perlu mengantre hingga berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkannya, daripada harus mendengar keterangan yang berbeda-beda dari pemerintah, Pertamina, dan BPH Migas.

Alternatif

Sebenarnya ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan agar kuota Biosolar bisa mencukupi kebutuhan masyarakat. Antara lain adalah Biosolar hanya dijual kepada semua jenis angkutan umum darat, sungai dan laut, para petani dan nelayan saja dan tidak diperuntukkan bagi semua jenis kendaraan pribadi. Namun agar distribusi Biosolar bersubsidi bisa dilaksanakan dengan benar, pemerintah perlu membentuk satuan tugas pengawasan yang tidak hanya terdiri dari orang dari pemerintahan dan Pertamina saja, melainkan harus terdiri dari berbagai elemen yang ada di masyarakat seperti misalnya melibatkan para pemilik SPBU, Asosiasi Angkutan Orang, Asosiasi Angkutan Barang, Asosiasi Petani, Asosiasi Nelayan, dan Masyarakat Transportasi Indonesia. Perlu juga diberikan sanksi yang tegas dan jelas bagi SPBU jika ada yang terbukti menyalurkan Biosolar kepada yang tidak berhak. Atau, pemerintah harus berani mencabut subsidi Biosolar jika memang punya alasan tidak mau APBN tekor gara-gara kenaikan harga minyak dunia yang sudah hampir mencapai 100 persen (dari 65 dolar AS menjadi di atas 100 dolar AS per barel ) Alternatif selanjutnya, jika memang pemerintah tetap tidak mau mencabut subsidi namun tidak mau tekor lebih banyak lagi akibat kenaikan harga minyak dunia, maka bisa saja menetapkan misalnya hanya sanggup mensubsidi Rp 2.000 per liter saja –berarti menaikkan harga Biosolar tanpa harus melepas subsidi sepenuhnya. Daripada, harga Biosolar tetap sedangkan harga minyak dunia sudah naik sangat signifikan, sehingga subsidi pemerintah membengkak dan tidak mau APBN jebol dengan mengambil opsi mengurangi pasokan Biosolar yang justru mempersulit masyarakat yang membutuhkan. Kita bisa belajar dari kasus minyak goreng yang membuat rakyat merasa bingung;, ketika pemerintah mencabut patokan harga eceran terendah, tiba-tiba kelangkaan berakhir dan minyak goreng segera membanjiri pasaran. Memang seperti itulah sejatinya dunia perdagangan, tidak ada orang yang mau merugi.

https://news.detik.com/kolom/d-6020619/mengatasi-kelangkaan-biosolar