Tak Lagi Defensif! Wamenlu Sampaikan Jurus Baru Indonesia Lawan Diskriminasi Sawit Global

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

 

 

Sumber: Doc. APROBI

Di tengah gempuran regulasi global terhadap komoditas sawit, Indonesia memilih tidak lagi bertahan dalam posisi defensif. Kini, diplomasi sawit mulai menempuh pendekatan baru yang lebih strategis, inklusif, dan berbasis narasi akar rumput. Hal ini menjadi sorotan utama dalam keynote speech Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno dalam Seminar Nasional “Peluang dan Tantangan Industri Bioenergi Menyongsong Indonesia Emas 2045” di Jakarta, Kamis (17/7) lalu.

Dalam kesempatan itu, Wamenlu Arif membuka paparannya dengan sebuah kisah inspiratif dari Kamojang, Jawa Barat. Dikisahkan, seorang nenek berusia 72 tahun memimpin koperasi kopi arabika yang awalnya hanya mengelola 6 hektare lahan. Kini, koperasi itu berkembang menjadi 180 hektare dengan lebih dari 100 anggota. Namun, seperti petani sawit di banyak daerah, mereka menghadapi persoalan serius: status hukum lahan yang tidak jelas. Bahkan lembaga seperti Rainforest Alliance enggan memberikan sertifikasi karena sengketa lahan ini.

“Inilah realita petani kita, bukan hanya di sawit, tapi juga di kopi, kakao, dan karet. Mereka tak bisa memenuhi standar internasional bukan karena tak mampu, tapi karena sistem belum berpihak,” ujar Wamenlu.

Indonesia, kata dia, tengah menyiapkan pendekatan baru, yakni dengan mengirim petani perempuan dari berbagai sektor ke Uni Eropa. Bukan sekadar misi dagang, tapi membawa narasi baru yang humanis dan nyata. Harapannya, kehadiran mereka mampu menggeser perspektif pembuat kebijakan Eropa dan membuka jalan untuk pendekatan yang lebih adil terhadap komoditas dari negara berkembang.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah diplomasi standar. Indonesia telah berhasil mendorong BRICS untuk menolak European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan menyepakati pembentukan standar global untuk minyak nabati berkelanjutan. Ini membuka peluang bagi Indonesia dan negara produsen lain, seperti Brasil, untuk menyusun benchmark di luar Uni Eropa.

“Kita harus masuk ke arena standard setting, bukan hanya jadi objek. Selama ini kita selalu reaktif. Kini saatnya Indonesia menciptakan norma sendiri, baik lewat FAO, BRICS, maupun CPOPC,” tegasnya.

Sementara itu, di tingkat bilateral, strategi dengan Amerika Serikat juga mendapat perhatian khusus. Wamenlu menyebut peluang kerja sama langsung dengan negara bagian AS sebagai salah satu cara untuk menembus hambatan tarif. Indonesia, katanya, bisa mencontoh Inggris, Jepang, dan Korea Selatan yang telah menjalin MoU dengan berbagai negara bagian AS, membuka akses pasar tanpa harus menunggu kebijakan federal.

Lebih jauh, perluasan pasar global juga menjadi kunci. Wamenlu menekankan pentingnya kehadiran fisik industri sawit Indonesia di Afrika. Selain menjangkau pasar baru, langkah ini bisa memberikan efek ganda: memperluas investasi sekaligus membuka lapangan kerja di negara-negara dengan tingkat pengangguran tinggi seperti Angola.

“Kalau kita bisa hadir secara industri maupun perkebunan di Afrika, misalnya di Mesir, Angola, atau Kenya, kita tidak hanya menjangkau pasar lokal tapi juga Eropa lewat Afrika Utara,” ujarnya. Contohnya, pabrik pupuk Indonesia di Aljazair yang memanfaatkan fosfat lokal dan memenuhi kebutuhan domestik Indonesia.

Menutup paparannya, Wamenlu menegaskan bahwa seluruh strategi ini hanya akan berhasil bila ada sinergi antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil. Diplomasi sawit tak bisa berjalan sendiri. Ia adalah bagian dari orkestrasi besar untuk menjaga keberlanjutan, kedaulatan pangan, dan posisi Indonesia di rantai pasok dunia.

“Selama kita bersatu, menyusun langkah bersama, saya yakin sawit Indonesia tidak hanya bertahan, tapi menjadi pionir global dalam minyak nabati berkelanjutan,” pungkasnya.