Dianggap Lebih Stabil, Penerapan Biodiesel 40% (B40) Akan Gunakan Campura HVO atau DPME
Infosawit.com | Minggu, 23 Januari 2022
Dianggap Lebih Stabil, Penerapan Biodiesel 40% (B40) Akan Gunakan Campura HVO atau DPME
Merujuk informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2022 ditargetkan kapasitas produksi biodiesel sawit Indonesia bakal mencapai 18,16 juta kL yang berasal dari FAME dan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil). “Pada tahun 2025, kami menargetkan total kapasitas produksi dari FAME dan HVO sebesar 19,11,” tutur Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, dalam seminar minyak sawit Internasional akhir tahun 2021 lalu. Lebih lanju tutur Dadan, dari hasil studi tentang campuran biodiesel sawit 40% (B40) menggunakan spesifikasi B30 dan meningkatkan pencampuran hingga 40%. Karakteristik dari B30 + HVO10 memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan B30, yaitu stabilitas penyimpanan B40 dalam 30 hari akan menghasilkan lebih banyak kandungan air dan nilai asam (FAME>DPME atau Distilled Palm Oil Methyl Ester>HVO). “Pengendapan residu yang dibentuk dalam B40 lebih tinggi daripada B30,” katanya. Periode penyimpanan yang lebih panjang dengan suhu rendah akan menghasilkan pengendapan residu yang lebih tinggi. Berdasarkan tes performa terbatas pada B40 berdasarkan kombinasi antara B30+DPME10 dibandingkan dengan B30, terdapat pengurangan torsi dan kekuatan, konsumsi yang lebih tinggi, serta pengurangan dalam kapasitas gas buang. Sementara, untuk B30+HVO10 menunjukkan tambahan nilai yang lebih tinggi pada kekuatan maksimum 0.6% dan torsi maksumum sebesar 2.6%. Sebeb itu pemerinth bakal merekomendasikan untuk implementasi B40 melalui dua cara campuran, yakni dengan pencampuran 30% FAME dan 10% HVO atau 30% FAME dan 10% DPME. “Pemerintah akan menyiapkan regulasi pencampuran B40,” katanya. Lantas membuat studi tentang penyimpanan dan penanganan B40, serta membuat studi tentang infrastruktur yang terintegrasi, termasuk fasilitas penyimpanan di area distribusi B40. “Kemudian membuat studi regional penggunaan DPME 10% pada pencampuran biodiesel karena penawaran DPME tidak dapat membendung skala nasional,” tandas Dadan.
https://www.infosawit.com/news/11872/dianggap-lebih-stabil–penerapan-biodiesel-40—b40–akan-gunakan-campura-hvo-atau-dpme
Tribunnews.com | Sabtu, 22 Januari 2022
Olah Minyak Jelantah Jadi Biodiesel, Mahasiswa Universitas Brawijaya Bisa Dirikan Perusahaan
Di saat banyak masyarakat mencari minyak goreng untuk kebutuhan sehari-hari, di sisi lain ada anak-anak kreatif yang justru mencari limbah minyak goreng atau jelantah untuk kebutuhan mereka juga. Anak-anak itu adalah para mahasiswa Universitas Brawijaya yang mendirikan perusahaan bernama PT Zerolim Tekno Lestari pada 2021. Zerolim adalah kependekan dari Zero Limbah. Sebuah gerakan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan dan memperbaiki manajemen pengelolaan sampah di Indonesia. PT Zerolim beralamat di Jl. Perusahaan Raya No 8, Singosari, Kabupaten Malang. PT Zerolim didirikan oleh anak-anak muda berstatus mahasiswa. Mereka terdiri atas Fadli Robbi dari Fakultas Pertanian, lalu Fawwaz Daffa Muhammad dari Fakultas Ilmu Komputer, Rendy Teguh Bayu Asmoro dari Fakultas MIPA dan Trisa Oktavianti dari Fakultas Pertanian. Meskipun semuanya berasal dari disiplin ilmu yang berbeda, namun mereka memiliki kesamaan visi dan misi, terutama tentang pengelolaan minyak jelantah. Fadli, saat ditemui di Kota Batu menjelaskan, mereka belajar tentang minyak jelantah dan potensi ekonomisnya dari Google. “Karena kami mahasiswa banyak keponya, makannya kami googling. Kami berguru ke Mbah Google. Dari situ, kami tahu permasalahan di lapangan seperti apa dan potensinya bagaimana.” Ujar Fadli. Hasilnya, minyak jelantah yang diolah menjadi Biodiesel telah diekspor ke pasar Eropa. Negara-negara yang menerimanya seperti Jerman dan Belanda. Sebelum menjadi seperti saat ini, PT Zerolim adalah nama tim yang mengikuti lomba tingkat nasional mewakili Universitas Brawijaya pada 2019. Empat orang di atas adalah kelompok mahasiswa yang mengikuti kompetisi. Di dalam kompetisi tersebut, para peserta harus bisa memecahkan persoalan sosial dan membuka wirausaha. Dari kompetisi itu, mereka memenangkan pendanaan sehingga memacu perkembangan. “Hasilnya kami menang, lalu kami dapat dana hibah. Jadi starting point-nya di situ,” ujar Fadli. Apalagi masih tidak banyak pihak yang bergerak di sektor pengolahan jelantah. Seiring waktu, Zerolim semakin berkembang dengan pendampingan universitas di bawah badan inovasi dan inkubator. Menjadi pertanyaan banyak orang, mengapa harus jelantah? Fadli menjawab bahwa jelantah adalah persoalan lingkungan yang kerap ia temui di lingkungannya, terutama lingkungan perguruan tinggi. Di sejumlah tempat dekat perguruan tinggi, banyak dibuka warung-warung makan. Di sana, banyak sekali jelantah yang dibuang sembarang. Padahal, pembuangan jelantah sembarangan tersebut tidak baik bagi lingkungan. “Karena banyak ditemukan warung makan pinggir jalan. Itu banyak sekali di sekitar universitas, mahasiswa makan di situ. Dulu kami tidak berpikir jelantah, kami berpikir menyelesaikan masalah lingkungan, ketika kami datang, ternyata permasalah lingkungan yang berpotensi jelantah ini,” ungkapnya. Berdasarkan pengalaman Fadli di lapangan, masih banyak pengelola warung yang bingung mengelola jelantah. Ada yang dibuang langsung, ataupun dimasukan terlebih dahulu ke botol. “Jelantah bisa mencemari biota di sungai. Cahaya matahari juga tidak bisa masuk ke perairan. Semakin asam karena sering dipakai menggoreng, itu berbahaya bagi makhluk hidup. Kalau dibuang ke tanah, tanah menjadi tidak subur,” terangnya. Sejak saat itu, konsen terhadap pengelolaan jelantah didalami. Berbagai program dijalankan, terutama menyasar kepada kesadaran masyarakat. Mereka menggandeng para ibu-ibu rumah tangga untuk menjadi pahlawan, yakni orang-orang yang mengumpulkan minyak jelantah lalu ditukarkan dengan uang kepada PT Zerolim. “Jadi ibu-ibu bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari limbah yang tidak terpakai. Di sisi lain tidak perlu modal. Ini yang kami angkat di publik, ini benar-benar bisa menghasilkan penghasilan sendiri,” terangnya. Saat ini, PT Zerolim bisa menampung 50 ton jelantah per bulan. Pasokan itu berasal dari masyarakat, skala industri besar, lalu home industri. Mereka mendapat kepercayaan mengelola limbah jelantah. “Awalnya, justru kami yang dihubungi. Kami telah membangun personaliti melalui sosial media. Kami membranding itu, sehingga banyak perusahaan yang menghubungi kami untuk mengelola limbah. Ada beberapa perusahaan, tapi kami juga fokus di masyarakat,” ujarnya. Sampah-sampah jelantah yang terkumpul itu berasal dari Kota Malang, Kota Batu, dan sedang dalam tahap penjajakan di Kabupaten Blitar dan Lamongan. Seiring semakin moncernya PT Zerolim, dari yang semula hanya empat orang, saat ini telah ada 20 orang karyawan. Untuk mengembangkan bisnisnya, dalam waktu dekat ini, PT Zerolim juga berencana mengelola limbah sampah plastik. Mereka bekerjasama dengan perusahaan untuk mengelola limbah bijih plastik. Di akhir wawancara, Fadli menegaskan komitmen untuk menjadi platform solusi manajemen sampah di Indonesia. “Gerakan sosial banyak dilakukan karena bencana alam, sementara masih belum banyak yang peduli dengan alam. Kami ingin masyarakat bisa menaruh kepedulian terhadap lingkungan atau alam,” tutup lelaki berusia 22 tahun tersebut.
https://jatim.tribunnews.com/2022/01/23/olah-minyak-jelantah-jadi-biodiesel-mahasiswa-universitas-brawijaya-bisa-dirikan-perusahaan?page=all