DPR Temukan Potensi Penyimpangan dalam Program Biodiesel
CNNIndonesia.com | Selasa, 7 Februari 2023
DPR Temukan Potensi Penyimpangan dalam Program Biodiesel
Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mengungkap potensi penyimpangan dalam program biodiesel B35. Menurutnya, ada pelanggaran dalam alokasi dana dalam bentuk subsidi kepada perusahaan sawit. Herman merasa apa yang dilakukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah jauh dari ruh pembentukan awal badan tersebut. Sejatinya, ia menyebut dana BPDPKS diperuntukkan bukan untuk mensubsidi harga biodiesel. “BPDPKS sudah jauh dari ruhnya. Saya semakin aneh karena kok kalau melihat alokasi anggaran sekarang menyimpang, dari sebelumnya untuk peremajaan dan peningkatan produktivitas petani sawit malah sekarang lebih banyak digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel,” katanya dalam acara peluncuran laporan Raksasa Penerima Subsidi di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (7/2). Herman mengutip laporan keuangan BPDPKS 2021 yang komposisinya sudah sangat jauh, di mana Rp51 triliun untuk subsidi selisih harga biodiesel dan hanya Rp1,3 triliun untuk peremajaan lahan sawit. Ia menegaskan aturan soal BPDPKS tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Kemudian, lahir Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. “Jenis kelamin BPDPKS ini gak jelas. Karena dia tidak masuk di Komisi IV, juga tidak masuk di Komisi VI. BPDPKS nyaris tidak ada pengawasan secara khusus terhadap pelaksanaan karena di bawah langsung Kemenko Perekonomian. Ini yang menurut saya pelanggarannya semakin jauh,” ungkap Herman. “Kalau sekarang sebagian besar dananya digunakan untuk subsidi selisih harga biodiesel, sekali lagi saya pastikan ini adalah pelanggaran. Pelanggaran keuangan yang sesungguhnya sudah diamanatkan di dalam UU bahwa dana ini bukan untuk mensubsidi terhadap selisih harga biodiesel,” sambungnya. Sementara itu, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman sempat menjelaskan bahwa fungsi mereka adalah membayar selisih harga indeks pasar (HIP) antara solar dan biodiesel yang ada. Jika harga biodiesel lebih tinggi dari solar, maka subsidi diberikan melalui BPDPKS alias badan tersebut yang membayar. Eddy menyebut jika selisih antara harga solar dan biodiesel di pasar tinggi, alias harga biodiesel lebih mahal, maka dana yang digelontorkan BPDPKS membengkak, seperti yang terjadi di 2021. Eddy menuturkan pengeluaran BPDPKS pada 2021 menembus Rp51 triliun. Hal itu disebabkan harga fatty acid methyl esters (FAME) atau biodiesel meningkat tajam, sedangkan di sisi lain harga solar turun. Sementara itu, Eddy menyebut ada perbedaan sejak Juli 2022. Ia menuturkan bahwa harga solar naik dan harga biodiesel relatif lebih rendah. “Selisihnya gak ada, negatif bahkan. Oleh karena itu BPDPKS sejak Juli-Desember (2022) lalu kami tidak membayar (selisih HIP) karena memang tidak ada selisihnya,” ungkap Eddy dalam acara Energy Corner Special B35 Implementation di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Selasa (31/1). Meski begitu, Eddy mengatakan bahwa awal 2023 ini terlihat harga biodiesel tampak bergerak lebih tinggi dari solar. Hanya saja, selisih HIP tidak terlalu besar. Sebab itu, ia yakin tidak akan terjadi fluktuasi harga yang terlalu ekstrem. “Pada 2023 mungkin tidak akan terjadi fluktuasi harga. Kami sudah memproyeksikan dengan penyaluran 13,15 juta KL, anggaran atau dana yang diperlukan itu kurang lebih Rp30 triliun sampai Rp31 triliun,” katanya. “Itu telah diputuskan oleh komite pengarah dan BPDPKS telah mengalokasikan dana tersebut untuk memenuhi kewajiban pembayaran selisih HIP solar dengan HIP biodiesel,” sambung Eddy. CNNIndonesia.com telah berupaya menghubungi Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman untuk menanggapi pernyataan Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron. Namun, belum ada jawaban dari Eddy hingga berita ini tayang.
Infosawit.com | Selasa, 7 Februari 2023
Raksasa Sawit Terima Subsidi Biodiesel
Keberadaan minyak sawit mentah (CPO) yang mendapat tekanan dari Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) kian memberatkan petani kelapa sawit. Keberadaan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), sayangnya sebagian besar disalurkan kepada perusahaan sawit besar yang juga memiliki industri biodiesel. Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) M. Darto, menjelaskan hasil studi SPKS yang mengamati penyaluran dana BPDPKS kepada perusahaan besar sawit ini. Menurutnya, raksasa sawit ini telah menggerus uang milik petani kelapa sawit yang dikutip pemerintah melalui pungutan ekspor. “Pemerintah Indonesia lebih mementingkan korporasi besar dibandingkan petani kelapa sawit,” ungkap Darto, lebih lanjut, “hampir 90℅ dana BPDPKS hanya digunakan untuk menyubsidi perusahaan raksasa sawit”. Berdasarkan studi yang dilakukan SPKS berjudul “Raksasa Penerima Subsidi”, keberadaan peremajaan kebun sawit rakyat hanya mendapatkan porsi pendanaan paling sedikit. Lebih lanjut, juru kampanye Greenpeace, Arie Rompas, mengungkapkan keberadaan petani kelapa sawit yang masih jauh dari kesejahteraan. Menurutnya, keberadaan kehidupan petani masih banyak memiliki kekurangan. Sebab itu, Arie berharap adanya dukungan dan keberpihakan dari pemerintah. “Seharusnya masyarakat luas khususnya petani kelapa sawit dapat hidup lebih sejahtera dari hasil panen perkebunan kelapa sawit,” ungkap Arie dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Selasa (7/2/2023). Senada dengan itu, peneliti dari Traction Energy, Febrian, mengungkapkan adanya penelusuran data yang menggambarkan kondisi timpang dari keberpihakan pemerintah. “Dana BPDPKS disalurkan sebagian besar hanya kepada pengusaha besar,” kata Rian menjelaskan. Lebih lanjut, advokat Janses, mengatakan akan membawa persoalan ini kepada ranah hukum. Dia menegaskan akan mengadukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) supaya mendapatkan perhatian pemerintah. “Seharusnya dana BPDPKS yang dikutip dari CPO bisa digunakan lebih besar bagi petani kelapa sawit,” tandasnya.
https://www.infosawit.com/
Katadata.co.id | Selasa, 7 Februari 2023
Pertamina Minta Tambahan Insentif Rp 110/Liter Untuk Biodiesel B35
PT Pertamina (Persero) mengajukan insentif tambahan sebesar Rp 110 per liter untuk pelaksanaan mandatori biodiesel B35 yang mulai berjalan sejak Februari 2023. Tambahan insentif ini untuk menekan beban pembangunan infrastruktur tambahan seperti pengadaan tempat penyimpanan hingga pipa penyalur. Selain itu, alokasi insentif juga ditujukan untuk menutup biaya pencampuran atau blending kilang. Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan bahwa infrastruktur kilang milik Pertamina hanya mampu mengolah campuran biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit maksimum 30% ke dalam komposisi BBM solar. Di sisi lain, B35 berimplikasi pada peningkatan FAME sebesar 1,4 juta kiloliter (kl). “Ketika ditambah menjadi B35 dan B40 tentu kami memerlukan tambahan penyimpanan, lalu pipanya juga diperbesar. Artinya ada infrastruktur tambahan yang harus kami bangun,” kata Nicke saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Selasa (7/2). Nicke menambahkan, sejauh ini Pertamina belum mendapatkan insentif dari implementasi biosolar, terutama pada pelaksanaan program B30 dan B35. Insentif pada program biodiesel hanya diterima oleh para pengusaha FAME ketika terdapat selisih harga antara harga FAME dan solar. Adapun selisih harga tersebut dilunasi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Pertamina membeli FAME itu seharga maksimum harga solar. “Kami perlu insentif baru karena yang eksisting kami belum mendapatkan apapun,” kata Nicke. Program mandatori B35 mulai diterapkan secara bertahap mulai awal tahun ini. Tahap pertama telah berjalan sejak Februari di empat wilayah operasi Pertamina. Empat wilayah tersebut yakni wilayah I Sumatera Bagian Utara, wilayah II Sumatera Bagian Selatan, wilayah VIII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan sebagaian wilayah V Bali dan Nusa Tenggara. Selanjutnya, periode kedua atau perluasan akan dijalankan mulai Agustus di wilayah III Jawa Bagian Barat, wilayah IV Jawa Tengah, wilayah VII Sulawesi Selatan serta sebagian wilayah V Jawa Timur dan Madura. Selisih waktu enam bulan ini ditujukan untuk melakukan penyesuaian infrastruktur.
Republika.co.id | Selasa, 7 Februari 2023
Dukung B35, Pertamina Tambah Capex
Pemerintah resmi memberlakukan biodiesel 35 persen atau B35 sejak 1 Februari 2023. Untuk bisa memenuhi kebutuhan ini, PT Pertamina (Persero) akan meningkatkan kapasitas blending dan tangki penyimpanan khususnya di regional Indonesia timur. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Alfian Nasution menjelaskan, untuk tahap pertama, Pertamina akan memfokuskan penyaluran B35 di wilayah Regional 1, 2, 5, dan 8 yaitu wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. “Dari kebutuhan wilayah ini peningkatan kebutuhan FAME mencapai 1,4 juta kiloliter. Kita harus meningkatkan infrastruktur dan juga peningkatan kapasitas blending,” ujar Alfian di DPR, Selasa (7/2/2023). Alfian menjelaskan untuk Agustus, Pertamina baru meningkatkan penyaluran di Regional 3, 4, dan 7 yaitu wilayah Jawa Timur, Madura, dan Indonesia Timur. Menurutnya, perlu waktu enam bulan untuk membangun infrastruktur. “Kita memang perlu melakukan peningkatan infrastruktur dan kapasitas blending untuk menjaga kualitas kontrol dari B35 ini,” ujar Alfian. Alfian mengatakan, perusahaan akan merogoh kocek untuk penambahan investasi peningkatan infrasturktur dan fasilitas blending. Dia mengatakan, dengan peningkatan porsi FAME ini maka ada tambahan biaya sekitar Rp 110 per liter. “Ini kami identifikasi akan ada tambahan biaya operasional atas peningkatan investasi kami di perbaikan infrastruktur dan peningkatan fasilitas blending,” ujar Alfian. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, program B35 resmi berlaku pada 1 Februari 2023. Kebijakan B35 tersebut diharapkan dapat menyerap 13,15 juta kiloliter biodiesel bagi industri dalam negeri. Implementasi kebijakan juga diperkirakan menghemat devisa sebesar 10,75 miliar dolar AS dan meningkatkan nilai tambah industri hilir sebesar Rp 16,76 triliun. “Kebijakan B35 juga diproyeksikan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton CO2,” ujar Airlangga.
https://www.republika.co.id/
Wartaekonomi.co.id | Selasa, 7 Februari 2023
Greenpeace Indonesia: Program B50 Tidak Sejalan dengan NZE
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Ari Rompas menilai kebijakan bauran energi fosil dan nonfosil melalui pencampuran CPO dengan Solar dapat menghambat target net zero emission (NZE) pemerintah. Menurutnya, emisi yang disebabkan oleh biodiesel atau pencampuran antara CPO dan bahan bakar fosil akan sangat besar, dan berdasarkan riset yang ada B30 setidaknya akan membutuhkan sekitar 5,6 juta hektare lahan baru. “Kalau kita melihat emisi dari biodiesel akan sangat besar karena dari riset yang kami lakukan, B30 itu akan membutuhkan lahan sekitar 5,6 juta, B50 hampir 9 juta hektare kalau memang diterapkan B30-B50 itu membutuhkan lahan,” Ujar Ari dalam diskusi, Selasa (7/2/2023). Ari mengatakan, berdasarkan analisis tim Greenpeace Indonesia, juga akan ada defisit CPO karena kebutuhan lainnya terhadap produksi CPO diambil oleh beberapa industri. “Dalam konteks B30 sekitar 40 juta ton, kalau B50 sekitar 100 juta ton,” ujarnya. Lanjutnya, dari sisi ini menujukan bahwa perusahaan sawit sebetulnya juga bermasalah, di mana masalah yang ada mulai dari deforestasi, pelanggaran HAM, termasuk juga koneksi dan ketimpangan. “Dan termasuk korupsi yang kita ketahui itu katanya sangat erat dengan industri sawit termasuk biodiesel,” ungkapnya.
https://wartaekonomi.co.id/
CNNIndonesia.com | Selasa, 7 Februari 2023
Pertamina Teriak Butuh Tambahan Dana Jelang Implementasi Tahap Dua B35
PT Pertamina Patra Niaga menyampaikan masih butuh dukungan insentif dan investasi jelang implementasi program B35 tahap dua yang direncanakan dimulai Agustus 2023. Hal itu disampaikan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PPN Harsono Budi Santoso dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (7/2). Ia menyebut implementasi B35 tahap pertama yang berlaku sejak 1 Februari 2023 diterapkan di region 1, 2, 8, dan sebagian region 5 yakni Bali dan Nusa Tenggara. Harsono mengatakan program implementasi tersebut bakal meningkatkan fatty acid methyl esters (FAME) sebesar 1,4 juta KL. Dibutuhkan waktu 6 bulan untuk penyesuaian infrastruktur di terminal bahan bakar minyak (TBBM) Pertamina. “Juga untuk memastikan quality control, di mana tahap kedua di Agustus 2023 diharapkan akan berjalan di region 3, 4, sebagian region 5 yakni Jawa Timur dan Madura, dan 7. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah tambahan investasi dan biaya operasi,” kata Harsono di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (7/2). Pihaknya meminta dukungan berupa insentif blending solar dengan biodiesel alias FAME sebagai kompensasi penugasan. Harsono merinci pihaknya butuh Rp110 per liter untuk implementasi B35, di mana ini merupakan biaya peningkatan infrastruktur yang ditanggung perusahaan. Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan pihaknya memang tidak mendapatkan insentif dari negara. Pasalnya, insentif atau kompensasi diberikan kepada pengusaha FAME. Ketika ada selisih harga antara harga indeks pasar (HIP) biodiesel alias FAME dan solar, Nicke menjelaskan selisih tersebut dibayarkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Pertamina membeli FAME itu seharga maksimum sama dengan harga solar, mekanismenya. Selama ini ongkos blendingnya itu kami nggak dapat apa apa,” ungkap Nicke dalam rapat tersebut. Ia menegaskan saat ini kesanggupan infrastruktur yang dimiliki Pertamina baru mencapai B30. Dengan adanya implementasi B35 dan selanjutnya B40, pihaknya memerlukan insentif dari pemerintah. “Ketika akan ditambah 35 dan selanjutnya 40 (40 persen campuran FAME), tentu kami memerlukan tambahan storage, pipanya juga diperbesar. Intinya ada infrastruktur tambahan yang kami bangun. Karena eksisting kami belum mendapat apa-apa, kami mengusulkan,” sambungnya.
CNNIndonesia.com | Selasa, 7 Februari 2023
Petani Sebut Wilmar Untung Rp14 T, Musim Mas Rp1 T dari Program B35
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyebut program B35 menguntungkan 9 dari 12 raksasa korporasi, di mana Wilmar menjadi yang paling banyak meraup cuan hinga Rp14,42 triliun. Sekretaris Jenderal SPKS Nasional Mansuetus Darto menuturkan selain Wilmar, Musim Mas juga menjadi perusahaan yang paling banyak mendulang keuntungan dari program tersebut. Hal tersebut ia ungkapkan dalam peluncuran laporan yang berjudul “Raksasa Penerima Subsidi”. Darto menyebutkan perhitungan tersebut dilakukan SPKS berdasarkan subsidi harga indeks pasar (HIP) biodiesel yang diberikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dikurangi pungutan ekspor yang dibebankan kepada perusahaan. Data yang digunakan adalah periode 2019 hingga 2021. Pada 2021, penggunaan dana BPDPKS untuk pembayaran selisih harga biodiesel mencapai Rp51 triliun atau 97,09 persen dari total realisasi belanja BPDPKS. “Perusahaan yang paling untung itu adalah Wilmar. Dia dipungut kurang lebih hanya sekitar Rp7 triliun dan kemudian mendapatkan subsidi kurang lebih Rp22 triliun. Artinya ada sekitar Rp14 triliun dia memperoleh keuntungan, bukan lagi subsidi, tapi keuntungan dari proyek biodiesel yang dikembangkan oleh Wilmar tersebut,” kata Darto di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (7/2). Secara rinci, SPKS mencatat Wilmar mendapatkan subsidi dari BPDPKS sebesar Rp22,14 triliun. Sedangkan pungutan ekspor yang dibebankan hanya Rp7,71 triliun. Dengan begitu, Wilmar untung Rp14,42 triliun. Urutan kedua penerima subsidi terbesar adalah Musim Mas. Darto menjelaskan perusahaan ini dipungut biaya ekspor Rp10,23 triliun, tapi masih mendapatkan untung sekitar Rp1 triliun karena subsidi yang diterima mencapai Rp11,15 triliun. “Dari total dua belas kelompok korporasi yang menerima subsidi biodiesel selama 2019 hingga 2021, sembilan kelompok korporasi menerima keuntungan, antara lain Wilmar, Musim Mas, Sinar Mas, Permata Hijau, Darmex Agro, Louis Dreyfus, Sungai Budi, Best Industry, dan Jhonlin,” tulis laporan tersebut. Darto menyebut hanya dua kelompok korporasi yang tidak untung dari program B35 ini, yakni Royal Golden Eagle dan KPN Crop. Sementara itu, satu perusahaan bernama First Resources tidak bisa dikategorikan untung atau tidak karena data transaksi ekspornya tidak diketahui.