Dukung Program Edukasi yang Terakreditasi, Apical Group Jalin Kerjasama dengan Politeknik LPP Yogyakarta
Goriau.com | Selasa, 26 Oktober 2021
Dukung Program Edukasi yang Terakreditasi, Apical Group Jalin Kerjasama dengan Politeknik LPP Yogyakarta
Apical Group, salah satu eksportir minyak sawit berkelanjutan terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), turut ikut serta dalam acara Link and Match salah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta dengan IDUKA (Industri dan Dunia Kerja). Kepala Bidang Riset dan Teknologi APROBI yang juga berperan sebagai Biofuel Commercial Senior Manager di Apical Group, Jummy Bismar Martua Sinaga mewakili APROBI, turut serta menandatangani program kerja sama melalui penandatanganan MoU hari ini. Hal itu dilakukan untuk meperkuat langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam merealisasikan program edukasi yang terakreditasi. Penandatanganan berlangsung di Perguruan Tinggi dengan IDUKA di Politeknik LPP Yogyakarta. Program Link and Match ini merupakan salah satu kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam meningkatkan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dan khususnya dunia industri. Program ini bertujuan mendorong peningkatan kualitas SDM yang diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi. Topik yang dibahas pada acara ini adalah antara lain “Workshop Penyusunan Kurikulum MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dan Migrasi Program D3 ke D4 dalam Rangka Link and Match Politeknik LPP Yogyakarta dengan IDUKA. Jummy, mengatakan bahwa program Link and Match Politeknik LPP Yogyakarta dengan IDUKA, sangat baik bagi APROBI. Dimana dengan adanya program tersebut APROBI akan mendapatkan dukungan tenaga kerja yang handal. “Pertama-tama bersama dengan Politeknik LPP Yogyakarta tentu kita akan melakukan inventarisasi SDM di fakultas LPP dengan melibatkan APROBI dan sejumlah pakar Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia. Sinergi ini nantinya akan melakukan kerja sama untuk menyusun kurikulum serta inventaris sumber daya dan fasilitas yang akan mendukung keberlangsungan program tersebut”, ujar Jummy. Kegiatan APROBI di usahakan untuk selalu mengutamakan program pemerintah, terutama yang berhubungan dengan industri sawit. “Kami berharap dengan diadakannya program Link and Match ini dapat semakin mendukung industri sawit dan membuka kesempatan bagi para generasi muda di Indonesia untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai pentingnya industri kelapa sawit dan keberlanjutannya”, tambah Jummy.
Suarapemredkalbar.com | Selasa, 26 Oktober 2021
Kontribusi Industri Hilir Sawit dalam Mendukung Pencapaian SDGs
Kementerian perindustrian menilai sektor industri sawit menjadi salah satu prioritas nasional yang patut diperhatikan. Satu di antara bentuk perhatian yang dimaksud adalah dengan menjaga kualitas keberlanjutan pertumbuhan industri sawit.Data Kementerian Perindustrian mencatat, pada 2020, total produksi minyak sawit nasional mencapai 52,14 juta ton. Dengan capaian produksi tersebut, sektor industri sawit mampu menyumbang devisa ekspor lebih dari Rp300 triliun.Bukan cuma itu, menurut Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika industri sawit juga mampu menyerap tenaga kerja hingga 5,2 juta, dan memberi kehidupan 22 juta orang.“Capaian kualitatif sektor ini menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi di luar jawa, menggerakan aktivitas produktif di daerah terluar, terpencil dan tertinggal. Serta menjaga kedautalan ekonomi dan teritorial di perbatasan,” kata Putu dalam webinar Kontribusi Industri Hilir Sawit dalam Mendukung Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) kemarin.Menurut Putu, sektor pengolahan sawit di Indonesia berpredikat unggul pada tahun 2020 dengan rasio volume ekspor produk hilir jadi dengan baku CPO dan CPKO mencapai 85 persen.Persentase tersebut terdiri dari lebih 160 jenis produk hilir yang telah mampu diproduksi dalam negeri untuk kebutuhan pangan, nutrisi, bahan komia, oleokimia, dan bahan bakar terbarukan (biodiesel). Seluruhnya diserap dalam negeri dengan orientasi ekspor. Adapun nilai ekonomi sektor sawit mencapai Rp750 triliun per tahun.Sementara itu, Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sunari mencatat kinerja sektor industri sawit terhadap perekonomian memiliki peranan dan sumbangsih besar sebagai tulang punggung perekonomian nasional.Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan perolehan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan kedua mencapai 7,07 atau mengalami kondisi lonjakan akibat low based effect. PDB sektor pertanian berperan besar dalam peningkatan PDB, khususnya sektor perkebunan, dengan spesifikasi kelapa sawit.“Nilai ekspor rata-rata per tahun itu mencapai USD21,4 miliar yang artinya peran kelapa sawit ini sudah sekitar 14,9 persen terhadap ekspor non migas,” ujarnya.Sunari menjelaskan industri sawit memiliki estimasi kontribusi penerimaan pajak dalam kisaran Rp14 triliun sampai Rp20 triliun. Selain itu, sektor sawit dianggap memiliki peran penting dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).“Kalau dilihat 190 kabupaten/kota yang didominasi sektor sawit telah memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional. Ini memberikan pengaruh positif dan signifikan terahdap PDRB daerah,” tuturnya.Di tempat yang sama, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), Paulus Tjakrawan menyampaikan program biodiesel sudah dimulai risetnya sejak tahun 1980-an dan memiliki cukup banyak manfaat. Pada aspek lingkungan hidup misalnya, kata dia biodiesel memiliki sifat biodegradable yang tidak beracun dan diproduksi dari tanaman yang berkesinambungan. Tidak hanya itu, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan juga lebih kecil.“Kita akan mengalami masalah ketahanan energi kalau kita tergantung impor (fosil) yang besar sekali,” ujar Paulus. Dari aspek keekonomian, implementasi program biodiesel dapat menghemat devisa dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.Dalam 20 tahun terakhir, pertumbuhan penggunaan bahan bakar nabati dunia meningkat sepuluh kali lipat. Produksi bahan bakar nabati di Asia Pasifik cukup besar yang didorong oleh kebutuhan hidup manusia.Di Indonesia, produksi biodiesel sudah dimulai sejak tahun 2006, hingga akhir tahun 2020, kapasitas produksi industri biodiesel Indonesia sudah mencapai 12,4 juta kiloliter. Sementara itu, sepanjang Januari – Oktober 2021, kapasitas produksi biodiesel sudah mencapai 14 juta kiloliter.
Agrofarm.co.id | Selasa, 26 Oktober 2021
Akreditasi Edukasi Kelapa Sawit, Apical Group Kolaborasi dengan Politeknik LPP Yogyakarta
Apical Group, salah satu eksportir minyak sawit berkelanjutan terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), turut ikut serta dalam acara Link and Match salah satu Perguruan Tinggi di Yogyakarta dengan IDUKA (Industri dan Dunia Kerja). Kepala Bidang Riset dan Teknologi APROBI yang juga berperan sebagai Biofuel Commercial Senior Manager di Apical Group, Jummy Bismar Martua Sinaga mewakili APROBI, turut serta menandatangani program kerja sama melalui penandatanganan MoU hari ini. Hal itu dilakukan untuk meperkuat langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam merealisasikan program edukasi yang terakreditasi. Penandatanganan berlangsung di Perguruan Tinggi dengan IDUKA di Politeknik LPP Yogyakarta. Program Link and Match ini merupakan salah satu kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam meningkatkan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja, dunia usaha, dan khususnya dunia industri. Program ini bertujuan mendorong peningkatan kualitas SDM yang diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi. Topik yang dibahas pada acara ini adalah antara lain Workshop Penyusunan Kurikulum MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dan Migrasi Program D3 ke D4 dalam Rangka Link and Match Politeknik LPP Yogyakarta dengan IDUKA. Jummy, mengatakan bahwa program Link and Match Politeknik LPP Yogyakarta dengan IDUKA, sangat baik bagi APROBI. Dimana dengan adanya program tersebut APROBI akan mendapatkan dukungan tenaga kerja yang handal. Pertama-tama bersama dengan Politeknik LPP Yogyakarta tentu kita akan melakukan inventarisasi SDM di fakultas LPP dengan melibatkan APROBI dan sejumlah pakar Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia. Sinergi ini nantinya akan melakukan kerja sama untuk menyusun kurikulum serta inventaris sumber daya dan fasilitas yang akan mendukung keberlangsungan program tersebut, ujar Jummy. Kegiatan APROBI di usahakan untuk selalu mengutamakan program pemerintah, terutama yang berhubungan dengan industri sawit. Kami berharap dengan diadakannya program Link and Match ini dapat semakin mendukung industri sawit dan membuka kesempatan bagi para generasi muda di Indonesia untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai pentingnya industri kelapa sawit dan keberlanjutannya, tambah Jummy. Diketahui Apical Group adalah salah satu pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di Indonesia, memiliki dan mengendalikan spektrum yang luas dari rantai nilai bisnis minyak sawit dari sumber hingga distribusi. Perusahaan ini juga terlibat dalam penyulingan, pemrosesan, dan perdagangan minyak sawit untuk keperluan domestik dan ekspor internasional. Operasinya berlokasi di Indonesia, Cina dan Spanyol, dan mencakup enam kilang, tiga pabrik biodiesel, pabrik kimia oleo, dan pabrik penghancur kernel.
BERITA BIOFUEL
Investor Daily Indonesia | Rabu, 27 Oktober 2021
Inggris Ikut Jegal biodiesel Indonesia
Inggris memutuskan menerapkan bea masuk (BM) imbalan (contervailing duty) impor biodiesel dari Indonesia, setelah negara itu keluar dari Uni Eropa (UE). Itu artinya, Inggris mengikuti kebijakan UE terhadap biodiesel Indonesia. Kebijakan ini akan ditetapkan ketika Inggris menjalankan sistem tindakan balasan mandiri,” ujar Sekretaris Perdagangan Internasional Inggris Lizz Trus, seperti dikutip dari laman resmi pemerintah Inggris, Selasa (26/10/2021). Dia menuturkan, kebijakan ini bisa batal jika UE mencabutnya, sebelum diterapkan di Inggris. Kebijakan ini bertujuan mencegah kerugian pemain minyak nabati Inggris akibat serbuan barang impor. Setelah penyelidikan terhadap tuduhan subsidi biodiesel yang dilakukan Indonesia, Komisi Uni Eropa akhirnya menetapkan tarif bea masuk imbalan berkisar 8-18% pada Desember 2019, sama seperti tarif sementara pada Agustus 2019. Komisi Uni Eropa memperkirakan pasar biodiesel di kawasan tersebut mencapai 9 miliar euro atau sekitar 10 miliar dolar AS. Indonesia mengisi pasar biodiesel di Uni Eropa sebesar 400 juta euro. Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, rencana penghentian ekspor minyak Kelapa Sawit mentah (crude palm oil/CPO) dilakukan untuk memacu hilirisasi komoditas unggulan Indonesia tersebut. Pengembangan industri pengolahan minyak sawit diharapkan dapat memacu nilai tambah ekonomi dari bahan baku lokal tersebut “Selama ini, hilirisasi dapat bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah terhadap perekonomian nasional, di antaranya peningkatan pada investasi, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan industri manufaktur di dalam negeri,” ujar Menperin, belum lama ini. Melalui kebijakan hilirisasi, lanjut dia, pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produsen produk turunan minyak sawit di dunia pada tahun 2045. Hal ini juga akan membuat Indonesia menjadi penentu harga CPO global. Pasalnya, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor CPO di kancah global sebesar 55%. Di samping itu, kata Menperin, kenaikan harga komoditas CPO, diharapkan bisa menjadi peluang untuk pengembangan industri hilirnya. Hal ini akan ber- dampak positif pada multiplier effectyang luas bagi perekonomian nasional, khususnya penerimaan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa Indonesia harus bisa menghentikan ekspor CPO agar komoditas tersebut dapat diolah menjadi produk turunan yang bernilai tambah tinggi. “Di suatu titik nanti, setop yang namanya ekspor CPO. Harus jadi kosmetik, harus jadi mentega, harus jadi biodiesel, dan turunan lainnya,” ujar dia. Presiden mengatakan, Indonesia harus memiliki keberanian untuk menghentikan ekspor bahan mentah, meskipun terdapat potensi gugatan hingga ke Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). “Indonesia harus bersiap menghadapi segala hambatan dalam proses hilirisasi sumber daya alam,” tegas dia. Dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan Kelapa Sawit meningkat signifikan, dari 20% di tahun 2010 menjadi 80% pada 2020. Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir Kelapa Sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No 13 Tahun 2010. Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofar-maka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodie-sel FAME. Sementara pada tahun 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir CPO. Pit Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menyebutkan, program yang telah dijalankan oleh Kemenperin terkait hilirisasi berbasis minyak sawit (CPO/CPKO), antara lain dengan mempertahankan kebijakan tarif pungutan ekspor secara progresif berdasarkan harga CPO internasional dan rantai nilai industri. “Sebab, tarif pungutan ekspor untuk bahan baku CPO/ CPKO jauh lebih tinggi daripada produk antara dan produk hilir. Upaya ini sebagai insentif bagi industri pengolahan dalam negeri,” jelas dia. Menurut Putu, insentif tarif pungutan ekspor telah mendorong investasi di sektor industri hilir pengolahan minyak sawit di dalam negeri. Adapun tarif pungutan ekspor progresif terdiri atas tarif pungutan dana perkebunan (levy) dan tarif bea keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan.
Okezone.com | Selasa, 26 Oktober 2021
RI Produksi Biodiesel, Erick Thohir: Tekan Impor Bahan Bakar
Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan bahwa produksi biodiesel dalam negeri mampu menekan impor bahan bakar. Bahkan diprediksi bisa menghemat devisa sebesar Rp56 triliun pada 2021. Saat ini pemanfaatan energi alternatif, seperti biodiesel, menjadi fokus pemerintah. Hal itu sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar Indonesia bisa menekan impor bahan bakar dengan memanfaatkan energi alternatif. “Di segala sektor termasuk sektor energi, ketergantungan kita terhadap produk impor harus ditekan semaksimal mungkin. Sesuai dengan arahan Presiden, industri energi nasional yang mandiri adalah pondasi penting bagi kedaulatan energi,” ujar Erick dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/10/2021). Erick pun mengapresiasi langkah tegas Presiden yang terus mendorong Indonesia untuk mampu mengolah bahan mentah menjadi produk jadi. Dengan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang semakin baik hingga didukung dengan infrastruktur yang memadai, menjadi momentum bagi Indonesia untuk mampu mengolah industri siap pakai. “Pengolahan kelapa sawit yang mana Indonesia kini tak lagi mengimpor bahan mentah, melainkan mengolahnya menjadi bahan jadi,” katanya. Sebelumnya, Kepala Negara menegaskan pentingnya hilirisasi dan industrialisasi kelapa sawit untuk dilakukan di Tanah Air mengingat potensinya yang sangat besar. “Hilirisasi, industrialisasi harus dilakukan dan harus kita paksa untuk dilakukan,” kata Presiden Jokowi. Menurutnya, penguatan industri biodiesel merupakan pilihan yang sangat strategis di masa mendatang dalam rangka meningkatkan ketahanan energi nasional serta menekan besarnya defisit neraca perdagangan akibat impor solar. “Artinya kalau kita sudah bisa memproduksi sendiri biodiesel di sini dijadikan campuran menjadi solar, impor kita juga akan turun drastis. Sehingga ini catatan saya di tahun 2020 menghemat devisa sebesar Rp 38 triliun, diperkirakan di tahun 2021 akan menghemat devisa Rp56 triliun,” ucapnya.
The Jakarta Post | Rabu, 27 Oktober 2021
Jokowi floats CPO export ban, experts call it inf easible
High biodiesel prices, trade barriers key challenges for plan. The government is considering banning the export of crude Palm Oil (CPO) to force the development of a downstream Palm Oil industry in the country, but experts say economic constraints keep a viable downstream sector a distant dream. President Joko “Jokowi” Widodo said in a speech on Oct. 13 that the government would “at some point” ban CPO exports so that the commodity could be processed, into higher-value derivatives, such as cosmetics, food products and biodiesel for both domestic use and export. However, experts, business leaders and regulators have said that high biodiesel prices, relatively low domestic CPO demand and biodiesel trade barriers, among other issues, make it challenging for Indonesia to develop a full downstream Palm Oil industry. Institute for Essential Services Reform (IESR) executive director Fabby Tumiwa said that plans to stop CPO exports needed to address the fact that current domestic CPO demand could not absorb full production. He estimated that domestic CPO demand, largely driven by mandatory biodiesel blending policies, would reach only 20 million tons by 2022, less than half of the expected production of 53 million to 54 million tons in the same year. “[CPO] export opportunities are still wide open,” Fabby told The Jakarta Post on Monday, adding that pushing for the development of other CPO derivatives for export was just as important as pushing for biodiesel exports. Jokowi\’s announcement comes as the government pursues a “massive downstreaming” policy to develop the country\’s industrial capacity. The policy involves banning the export of key com- modities and forcing companies to develop downstream facilities. The government banned nickel ore exports starting in 2020 and is slated to ban exports of bauxite and copper anode slime in 2023. Indonesia is one of the world\’s biggest producers of these three metals. Indonesia is also the world\’s largest producer of palm oil, yielding 51.63 million tons of the commodity last year, according to Indonesian Oil Palm Association (GAPKD data. The second-largest producer is neighboring Malaysia The government implemented a mandatory 20 percent biodiesel blending (B20) program in 2016 to boost domestic Palm Oil consumption and cut oil imports. The program was escalated to 30 percent (B30) in December 2019. The policy has made Indonesia the world\’s biggest biodiesel producer, with a total production of 9.2 million kiloliters (kl) annually, exceeding the production of the United States and Brazil, with 6.5 million kl and 5.5 million kl respectively, Indonesia Oil Palm Plantation Fund Management Agency (BPDPKS) data shows. As of September, domestic biodiesel distribution had reached 6.64 million kl, or 72.17 percent of the annual target, according to Energy and Mineral Resources Ministry data. Indonesian biofuel Producers Association (Aprobi) chairman Paulus Tjakrawan predicted that biodiesel exports would reach 1 million kl by the end of the year. However, he acknowledged that trade barriers, including environmental concerns, forgone energy subsidies and dumping allegations, remained significant challenges. “We all want our products to be sustainable to boost exports,” he said on Thursday, referring to the European Commission\’s decision in March 2019 to completely phase out palm oil-based biofuels by 2030 because of concerns that oil palm cultivation was causing mass deforestation. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) energy economist Alloysius Joko Purwanto said the government needed to consider diverting diesel subsidies to biodiesel to cover the latter\’s higher price tag. He added that developing other types of palm oil-based biofuels, such as BioAvtur and B40, was crucial to raising domestic biofuel consumption, which through biodiesel alone had only reached 20 percent of total CPO production. “Depending solely on biodiesel to develop the CPO downstream sector won\’t be enough,” he told the Post on Thursday. Furthermore, biodiesel is subsidized through export levies imposed on CPO. If CPO exports are halted, the funding for the subsidies will be lost, said the energy ministry\’s bio-energy director, Andrian Feby Mis-nah on Friday. Energy and Mineral Resources Ministry Renewables Director General Dadan Kusdiana said the ministry was evaluating the Palm Oil industry\’s ability to pay higher export levies and that the advancement to B40 might not take place next year because of price constraints. “We are continuing to carry out studies to ensure that B4O can be implemented,” he said during a virtual press conference on Thursday. BPDPKS president director Eddy Abdurrachman said Indonesia\’s current biodiesel output capacity was 13 million kl, which would be enough td meet the expected domestic consumption of 10 million kl by 2022. He added that BPDPKS was prioritizing domestically produced biodiesel to meet domestic demand. “This is in line with the target of 23 percent new and renewable energy in the national energy mix by 2025,” he said.
CNBCIndonesia.com | Selasa, 26 Oktober 2021
Heboh Solar Langka, RI Kena Krisis Energi Kaya Singapura?
Beberapa daerah di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Jawa, belakangan ini mengeluhkan kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Solar. Lantas, mungkinkah RI terkena krisis energi seperti yang dialami Singapura yang mengalami kelangkaan pasokan gas? Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Soerjaningsih mengatakan, meski belakangan ini ada kelangkaan, namun pasokan Solar di Pertamina secara nasional maupun region aman. “Sebenarnya dari sisi pasokan yang kami pantau setiap hari pasokan Pertamina cukup aman secara nasional dan secara per MOR atau per region,” ungkapnya dalam konferensi pers, Senin (25/10/2021). Namun dia mengakui, di beberapa lokasi ada penyalahgunaan Solar bersubsidi oleh pihak yang seharusnya tidak berhak menggunakan BBM bersubsidi. “Namun di beberapa tempat ada shifting dari penggunaan yang berhak menerima subsidi jadi yang tidak berhak. Ada indikasi ke arah sana dan mudah-mudahan sekarang sudah kembali normal,” ujarnya. Dia mengatakan, antrian panjang Solar belakangan ini terjadi karena dipicu semakin meningkatnya permintaan akibat pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), termasuk aktivitas pertambangan di tengah lonjakan harga sejumlah komoditas. “Pasokan Solar dan Pertalite yang akhir-akhir ini terjadi antrian. Kalau kami amati bahwa kita tahu saat ini harga minyak naiknya cukup naik tajam. Kemudian, aktivitas masyarakat itu juga sudah kembali normal,” tuturnya. “Tadinya pada masa PPKM, sekarang jadi lebih longgar, kita kembali normal sama seperti kondisi sebelum Covid dari sisi konsumsi,” imbuhnya. Hal senada diungkapkan Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman. Saleh mengakui bahwa belakangan ini terjadi kelangkaan Solar bersubsidi di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, Jambi, dan Jawa. Secara umum, dia menyebut saat ini kondisi sudah berangsur normal dan diupayakan segera kembali normal. “Jadi memang kita alami beberapa kejadian kelangkaan (Solar) di Sumatera Utara, Jambi, dan Jawa. Secara umum semua kondisi telah normal, diupayakan normal,” ungkapnya dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Senin (25/10/2021). Dia pun mengatakan, adanya pelonggaran PPKM membuat permintaan Solar melonjak. Pada bulan Januari sampai Juni konsumsi harian Solar masyarakat rata-rata 35.000 kl. Akan tetapi, saat PPKM dilonggarkan, terjadi peningkatan konsumsi. Pada September 2021, konsumsi Solar masyarakat rata-rata naik menjadi 44.000 kl per hari. “Kemudian kita lihat perkembangan, Januari – Juni konsumsi harian 35.000 kl. Pasca PPKM dilonggarkan konsumsi naik, di bulan September naik jadi 44.000 kl per hari,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, setelah terjadi lonjakan konsumsi ini, BPH Migas melakukan koordinasi dengan badan usaha penerima penugasan. Saleh menyebut, penyaluran Solar subsidi dilakukan secara ketat, dari kabupaten, kota, provinsi, hingga penyalur. BPH Migas pun pada Selasa pekan lalu (19/10/2021), telah memutuskan untuk memberikan relaksasi distribusi Solar bersubsidi di mana PT Pertamina Patra Niaga diberikan kewenangan untuk pengaturan kuota lebih lanjut. Namun, jangan sampai melebihi kuota Solar subsidi tahun ini sebesar 15,8 juta kilo liter (kl). “Yang dimaksud relaksasi itu juga di beberapa kabupaten. Gak bisa langsung di switch lapor dulu ke BPH, karena sudah diatur dan diketahui badan usaha, relaksasi 17 Oktober Pertamina dipersilahkan menyesuaikan kondisi di lapangan,” jelasnya. Mengenai stok Solar, Saleh sebut saat ini masih aman. Berdasarkan laporan tanggal 24 Oktober 2021, kondisi stok masih 1,3 juta kl, atau aman untuk 17 hari ke depan. “Kondisi yang kita dapatkan menurut saya bahwa kondisi kelangkaan ini bersifat..(sementara), pasca relaksasi, pasca Pertamina diberikan penyesuaian, akan lebih baik ke depan,” ucapnya. Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika bercerita, bulan lalu saat dia melakukan kunjungan ke Dapil, banyak laporan dari masyarakat yang menyebut terjadi kelangkaan. Mengenai kelangkaan ini dia mengaku sudah berkomunikasi dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BPH Migas. Menurutnya, jawaban dari dua pihak ini adalah kelangkaan akibat adanya masalah cash flow di Pertamina. “Masalah BBM ini pilarnya ada tiga yakni Menteri ESDM, Pertamina, dan BPH Migas. Waktu saya tanya satu-satu semuanya saling menghindar, Pertamina bilang dari BPH, BPH bilang karena Pertamina, saya ke Menteri juga komunikasi,” ucapnya dalam kesempatan yang sama. Menurutnya, masalah utama energi yang tidak boleh terjadi adalah kelangkaan. Kejadian kelangkaan ini menurutnya terjadi karena kurangnya antisipasi pemerintah dan badan usaha. Dia mencontohkan, di Jawa saat ini sedang musim panen, di mana petani sudah tidak lagi memanen padi dengan tangan, namun dengan mesin yang membutuhkan Solar. Kondisi ini dia sebut tidak diantisipasi, sehingga terjadi kelangkaan. “Pelaut tidak melaut karena gak ada Solar karena keadaan yang begini,” sesalnya.