Erick Thohir Bakal Luncurkan Stasiun Bahan Bakar Bioetanol

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas.com | Selasa, 14 Februari 2023

Erick Thohir Bakal Luncurkan Stasiun Bahan Bakar Bioetanol

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana meluncurkan stasiun pengisian bahan bakar bioetanol di Surabaya. Erick bilang, hal ini merupakan salah satu langkah untuk mengurangi impor BBM RI. “Kita sudah uji coba juga, di PTPN untuk produksi etanol yang nantinya akan ada Pom (Bioetanol) akan kita luncurkan di Surabaya,” kata Erick dalam Rapat Terbatas dengan Komisi VI DPR RI, Senin (13/2/2023). Erick mengatakan, Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Namun, sayangnya tidak ada road map yang digarap secara serius. Seperti misalnya B35 plus etanol, yang bisa menekan impor BBM. “Kalau kita dorong, B35 plus etanol, ini akan mengurangi impor BBM,” lanjut mantan Presiden Inter Milan itu. Erick mengatakan, dalam upaya menekan impor BBM tidak cukup hanya dengan membangun ekosistem kendaraan listrik saja. Tapi juga mengembangkan alternatif BBM di dalam negeri. “Kalau kita konsisten membangun ekosistem kendaraan listrik, bisa menekan impor BBM secara signifikan,” lanjut dia. Dia mengatakan, B35 memiliki bentuk yang tidak beda jauh dengan etanol. Karena, etanol berasal dari tumbuhan dengan proses logistik yang lebih kompleks. “B35 sama etanol ini mirip, dari tumbuhan. Dia punya proses logistik yang lebih kompleks dibandingkan yang dari hasil bumi. 3-4 bulan lagi akan uji coba di Surabaya,” tegasnya. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan tim riset Institut Teknologi Bandung (ITB) dan United States Grains Council (USGC) berhasil meluncurkan roadmap atau peta jalan strategis Percepatan Implementasi Bioetanol di Indonesia. Direktur Bioenergi Edi Wibowo mengatakan, kajian peta jalan yang mulai disusun sejak 2021 tersebut berguna untuk mendukung program implementasi penggunaan bioetanol pada bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan mempersiapkan industri bioetanol di Indonesia. “November 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meluncurkan program bioetanol tebu untuk mendukung ketahanan energi. Dengan demikian, saya ingin mengucapkan terima kasih atas inisiasi tim riset ITB untuk membuat kajian peta jalan percepatan implementasi bioetanol. Semoga kolaborasi ini terus berjalan baik, sehingga program bioetanol dapat sesuai dengan harapan,” ungkap Edi dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (7/12/2022).

https://money.kompas.com/read/2023/02/14/111200426/erick-thohir-bakal-luncurkan-stasiun-bahan-bakar-bioetanol

 

Tribunnews.com | Selasa, 14 Februari 2023

Program Biodiesel B35 Bisa Jadi Penyelamat Harga TBS Sawit di Tengah Penurunan Ekspor

Petani kelapa sawit menyambut gembira berlakunya program biodiesel B35 karena terbukti berhasil mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) di tengah penurunan ekspor. Menurut Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung, program B35 menjadi penyelamat ekonomi petani karena harga sawit naik secara progresif sejak awal Februari lalu.  Padahal sejak November 2022 kuantitas ekspor CPO (minyak sawit mentah) dan turunannya merosot. Hal itu terdeteksi dari harga CPO yang kian turun sejak November 2022 hingga Januari 2023. “Indikator penurunan ekspor dapat juga dilihat dari menurunnya pasokan DMO (domestic market obligation) di aplikasi Simirah,” katanya saat dihubungi, Selasa (14/2/2023). DMO dan ekspor memiliki keterkaitan karena dengan ekspor akan muncul DMO, dengan rasio 1:6 yaitu ekspor enam kali lipat dari kewajiban memasok dalam negeri. “Jika tidak ada enam, maka satu (DMO) tidak akan ada. Coba jika tidak ada B35 awal Februari lalu, maka penurunan kuantitas ekspor pasti akan menjatuhkan harga TBS kami. Dengan B35 akan menyerap CPO domestik dan TBS petani sawit pun akan terserap oleh PKS-PKS (pabrik kelapa sawit),” papar Gulat. Penguatan harga TBS tersebut dapat dilihat di Posko Harga TBS Apkasindo selama satu minggu terakhir (4-11 Februari) yang menunjukkan naiknya harga CPO dari Rp11.200 per kg menjadi Rp 11.950 per kg. Data itu menunjukkan rerata harga TBS di 22 provinsi sebesar Rp 2.331 per kg. Harga tertinggi berada di Riau Rp 2.600 per kg dan terendah di Sulawesi Selatan Rp 2.025 per kg (harga PKS). Perbedaan harga tersebut berbeda karena waktu penetapan harga TBS Dinas Perkebunan juga berbeda. Yang luar biasa, lanjut Gulat, harga TBS petani swadaya di beberapa PKS ada yang di atas harga penetapan Dinas Perkebunan dan semua berhubungan dengan penyerapan domestik melalui program B35. Program tersebut juga dinilai bukan penyebab kelangkaan minyak goreng (MinyaKita), karena pemerintah telah mengantisipasi penurunan pasokan DMO akibat perlambatan ekspor dengan meningkatkan wajib pasok kebutuhan MinyaKita (DMO) dari 300 ribu ton menjadi 450 ribu ton. “Kami sangat mengapresiasi semua perusahaan yang bergotong royong untuk kebijakan pemerintah ini,” kata Gulat. Dia menyayangkan seringnya sejumlah pihak menyalah-artikan istilah subsidi yang menguntungkan korporasi produsen biodiesel atau FAME (fatty acid methyl esther). Program biodiesel justru menguntungkan semua pihak, khususnya masyarakat pengguna biodiesel (B35), petani sawit dan menghemat devisa negara. Selain itu juga dapat mengurangi dampak lingkungan karena biodiesel adalah green energy (reversible) sedangkan minyak fosil adalah hasil bumi yang tidak pernah kembali lagi (irreversible). Gulat menambahkan, subsidi yang dibayar BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) tersebut adalah selisih antara biodiesel dengan HIP (harga indeks pasar) solar yang ditetapkan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). Sebagai informasi, lebih dari enam bulan terakhir BPDPKS tidak sepeserpun menggelontorkan dananya untuk membayar selisih biodiesel dengan HIP solar. Hal itu karena harga solar fosil lebih mahal ketimbang harga biodiesel. BPDPKS akan mengucurkan dananya jika harga HIP biodiesel lebih tinggi dibanding HIP solar. “Jika Pun nanti harga biodiesel lebih tinggi dari HIP solar, yang menerima manfaatnya adalah masyarakat sebagai konsumen biodiesel,” jelasnya.

https://www.tribunnews.com/bisnis/2023/02/14/program-biodiesel-b35-bisa-jadi-penyelamat-harga-tbs-sawit-di-tengah-penurunan-ekspor?page=all

 

Katadata.co.id | Selasa, 14 Februari 2023

ESDM: Permintaan Tambahan Insentif Pertamina untuk B35 Belum Mendesak

Kementerian ESDM belum melihat urgensi penambahan insentif untuk implementasi biodiesel B35 sebesar Rp 110 per liter yang diminta Pertamina. Insentif tersebut untuk meningkatkan kapasitas fasilitas penunjang distribusi seperti tempat penyimpanan dan pipa penyalur. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (migas), Tutuka Ariadji, menyampaikan bahwa Kementerian ESDM telah melakukan pemeriksaan fasilitas distribusi B35 dengan hasil yang positif. Fasilitas penunjang distribusi seperti pipa penyalur dinilai masih mumpuni untuk mendukung implementasi B35. “Kami cek ke instalasi pengisian Pertamina itu bisa, sementara ini kami masih belum melihat permasalahan,” kata Tutuka saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR Jakarta pada Selasa (14/2). Kendati demikian, Kementerian ESDM akan menindaklanjuti usulan Pertamina soal permintaan tambahan insentif tersebut. Hal itu berangkat dari penambahan kapasitas campuran biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit menjadi 35% yang berpotensi memengaruhi kinerja pipa Pertamina. Sebelumnya diberitakan, PT Pertamina mengajukan insentif tambahan sebesar Rp 110 per liter untuk pelaksanaan mandatori biodiesel B35 yang mulai berjalan sejak Februari 2023. Tambahan insentif ini untuk menekan beban pembangunan infrastruktur tambahan seperti pengadaan tempat penyimpanan hingga pipa penyalur. Selain itu, alokasi insentif juga ditujukan untuk menutup biaya pencampuran atau blending kilang. Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan bahwa infrastruktur kilang milik Pertamina hanya mampu mengolah campuran FAME minyak kelapa sawit maksimum 30% ke dalam komposisi BBM solar. Di sisi lain, B35 berimplikasi pada peningkatan FAME sebesar 1,4 juta kiloliter (kl). “Ketika ditambah menjadi B35 dan B40 tentu kami memerlukan tambahan penyimpanan, lalu pipanya juga diperbesar. Artinya ada infrastruktur tambahan yang harus kami bangun,” kata Nicke saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Selasa (7/2). Nicke menambahkan, sejauh ini Pertamina belum mendapatkan insentif dari implementasi biosolar, terutama pada pelaksanaan program B30 dan B35. Insentif pada program biodiesel hanya diterima oleh para pengusaha FAME ketika terdapat selisih harga antara harga FAME dan solar. Adapun selisih harga tersebut dilunasi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Pertamina membeli FAME itu seharga maksimum harga solar. “Kami perlu insentif baru karena yang eksisting kami belum mendapatkan apapun,” kata Nicke. Program mandatori B35 mulai diterapkan secara bertahap mulai awal tahun ini. Tahap pertama telah berjalan sejak Februari di empat wilayah operasi Pertamina. Empat wilayah tersebut yakni wilayah I Sumatera Bagian Utara, wilayah II Sumatera Bagian Selatan, wilayah VIII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan sebagaian wilayah V Bali dan Nusa Tenggara. Selanjutnya, periode kedua atau perluasan akan dijalankan mulai Agustus di wilayah III Jawa Bagian Barat, wilayah IV Jawa Tengah, wilayah VII Sulawesi Selatan serta sebagian wilayah V Jawa Timur dan Madura. Selisih waktu enam bulan ini ditujukan untuk melakukan penyesuaian infrastruktur.

https://katadata.co.id/happyfajrian/berita/63eb3ebce3e49/esdm-permintaan-tambahan-insentif-pertamina-untuk-b35-belum-mendesak

 

Detik.com | Selasa, 14 Februari 2023

Program B35 Disebut Mampu Dongkrak Harga TBS Sawit Milik Petani

Program biodiesel B35 mendapat respons positif dari para petani kelapa sawit. Sebab, program ini dinilai berhasil mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) di tengah penurunan ekspor. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung pun menyebut program B35 menjadi penyelamat ekonomi petani karena harga sawit naik secara progresif sejak awal Februari lalu. Padahal, lanjut Gulat, sejak November 2022 kuantitas ekspor CPO (minyak sawit mentah) dan turunannya merosot. Hal ini terlihat dari harga CPO yang semakin turun sejak November 2022 hingga Januari 2023. “Indikator penurunan ekspor dapat juga dilihat dari menurunnya pasokan DMO (domestic market obligation) di aplikasi Simirah,” kata Gulat dalam keterangan tertulis, Selasa (14/2/2023). Lebih lanjut, Gulat mengungkapkan DMO dan ekspor memiliki keterkaitan. Pasalnya, lewat ekspor akan muncul DMO dengan rasio 1:6, yaitu ekspor enam kali lipat dari kewajiban memasok dalam negeri. “Jika tidak ada enam, maka satu (DMO) tidak akan ada. Coba jika tidak ada B35 awal Februari lalu, maka penurunan kuantitas ekspor pasti akan menjatuhkan harga TBS kami. Dengan B35 akan menyerap CPO domestik dan TBS petani sawit pun akan terserap oleh PKS-PKS (pabrik kelapa sawit),” ungkap Gulat. Gulat menambahkan penguatan harga TBS tersebut dapat dilihat pada Posko Harga TBS Apkasindo selama satu minggu terakhir (4-11 Februari). Adapun data tersebut menunjukkan naiknya harga CPO dari Rp 11.200 per kg menjadi Rp 11.950 per kg. Data tersebut juga menunjukkan rerata harga TBS di 22 provinsi sebesar Rp 2.331 per kg. Adapun harga tertinggi berada di Riau Rp 2.600 per kg, sedangkan terendah di Sulawesi Selatan Rp 2.025 per kg (harga PKS). Gulat mengatakan perbedaan harga tersebut berbeda karena waktu penetapan harga TBS Dinas Perkebunan yang juga berbeda. Meski demikian, Gulat mengatakan harga TBS petani swadaya di beberapa PKS ada yang berada di atas harga penetapan Dinas Perkebunan dan semua berhubungan dengan penyerapan domestik melalui program B35. Namun, ia menilai program tersebut dinilai bukan menjadi penyebab langkanya minyak goreng (MinyaKita). Sebab, pemerintah telah mengantisipasi penurunan pasokan DMO akibat perlambatan ekspor dengan meningkatkan wajib pasok kebutuhan DMO (MinyaKita) dari 300 ribu ton menjadi 450 ribu ton. “Kami sangat mengapresiasi semua perusahaan yang bergotong royong untuk kebijakan pemerintah ini,” urai Gulat. Terkait hal ini, Gulat pun menyayangkan adanya sejumlah pihak yang kerap mengartikan istilah subsidi sebagai sesuatu yang menguntungkan korporasi produsen biodiesel atau FAME (fatty acid methyl esther). Padahal, program biodiesel justru menguntungkan semua pihak, khususnya masyarakat pengguna biodiesel (B35), petani sawit dan menghemat devisa negara. Selain itu, program ini juga dapat mengurangi dampak lingkungan karena biodiesel adalah green energy (reversible). Sementara minyak fosil adalah hasil bumi yang tidak pernah kembali lagi (irreversible). Gulat juga mengungkapkan,subsidi yang dibayar BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) merupakan selisih antara biodiesel dengan HIP (harga indeks pasar) solar yang ditetapkan Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral). “Jika pun nanti harga biodiesel lebih tinggi dari HIP solar, yang menerima manfaatnya adalah masyarakat sebagai konsumen biodiesel,” pungkasnya. Sebagai informasi, lebih dari enam bulan terakhir, BPDPKS tidak sepeserpun menggelontorkan dana untuk membayar selisih biodiesel dengan HIP solar. Hal itu karena harga solar fosil lebih mahal ketimbang harga biodiesel. Adapun, BPDPKS akan mengucurkan dananya jika harga HIP biodiesel lebih tinggi dibanding HIP solar.

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6568240/program-b35-disebut-mampu-dongkrak-harga-tbs-sawit-milik-petani

 

Gridoto.com | Selasa, 14 Februari 2023

Dampak Biosolar B35 Terhadap Filter Bahan Bakar, Ini Jawaban Lemigas

Penggunaan Biosolar B35 yang efektif diluncurkan 1 Februari lalu oleh berbagai kalangan ditenggarai memiliki pengaruh terhadap filter bahan bakar.  Hal ini diungkap Erick Budiman pemilik bengkel Jakarta Diesel Squad (JDS). Menurutnya, pada Biosolar B30, idealnya jadwal penggantian filter solar sekitar 10.000 km. “Kalau ditambah 5% lagi ada kemungkinan filter solar lebih cepat kotor, walaupun enggak signifikan,” tambahnya. Dirinya juga belum bisa memastikan berapa lama jadwal ganti filter solar jika menggunakan Biosolar B35. Sebagai informasi, filter solar bertugas menyaring endapan bahan bakar agar tidak masuk ke injektor dan ruang bakar. Filter solar yang kotor akan terlihat ada jelaga hitam di elemen kertasnya. Menjawab hal ini, Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi Lemigas, Ditjen Migas Kementerian ESDM memastikan Bahan Bakar Nabati pada B35 diuji komprehensif. Beberapa aspek diuji seperti higroskopis, efek pelarutan, stabilititas oksidasi dan potensi prespitasi dan menunjukkan B35 telah lolos uji kualitas mutu. “Dalam meningkatkan kualitas bahan bakar, aditif jenis cold-flow improver atau CFI yang digunakan untuk memperbaiki karakteristik bahan bakar B35”, ungkap Ariana Soemanto, Kepala Lemigas.

https://www.gridoto.com/read/223693032/dampak-biosolar-b35-terhadap-filter-bahan-bakar-ini-jawaban-lemigas

 

Investor Daily Indonesia | Rabu, 15 Februari 2023

Apkasindo: Program B35 Angkat Harga Tandan Sawit

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendukung penuh program biodiesel 35% (B35)yang dilaksanakan per 1 Februari 2023. Sebab, program tersebut mampu mengangkat harga tandan buah segar (TBS) sawit milik para petani di Tanah Air. Rerata harga TBS di Provinsi Riau dan Sumatra Barat untuk penetapan pekan ini masing-masing naik Rp 45 per kilogram (kg) menjadi Rp 2.676 per kg dan Rp 119 per kg menjadi Rp 2.675 per kg dibandingkan pekan sebelumnya. Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung menjelaskan, petani sawit menyambut gembira berlakunya program B35 karena terbukti berhasil mendongkrak harga TBS di tengah penurunan ekspor. Program B35 menjadi penyelamat ekonomi para petani sawit dan memberikan efek ganda secara nasional. “Kami menyambut gembira program B35. Karena, harga sawit naik secara progresif sejak awal Februari lalu. Untung saja ada program B35, ini yang membuat harga TBS terdongkrak naik,” kata Gulat di Jakarta, Selasa (14/02/2023). Gulat menjelaskan, sejak November 2022, kuantitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya merosot, hal ini terdeteksi dari harga CPO yang semakin melorot sejak November 2022 hingga Januari 2023. Indikator penurunan ekspor tersebut juga dapat dilihat dari menurunnya pasokan DM0 (domestic market obligation) di aplikasi Simirah. Menurut Gulat, antara DM0 dan ekspor minyak sawit itu saling berhubungan, karena dengan eksporlah maka ada DM0. “Ekspor 6 maka wajib pasok 1. Jika tidak ada 6 maka 1 (DM0) tidak akan ada. Coba jika tidak ada B35 pada awal Februari lalu, penurunan dari kuan- Gulat ME Manurung titas ekspor pasti akan menjatuhkan harga TBS petani sawit. Dengan program B35 maka CPO domestik akan terserap, pun TBS petani sawit juga akan dibeli oleh para pabrik Kelapa Sawit (PKS),” papar Gulat Posko Harga TBS Apkasindo melaporkan, pada pekan lalu (4-11 Februari 2023), harga CPO naik dari Rp 11.200 per kg menjadi Rp 11.950 per kg. Dengan harga CPO itu, rerata harga TBS di 22 provinsi (cabang Apkasindo) mencapai Rp 2.331 per kg, tertinggi di Riau Rp 2.600 per kg dan terendah di Sulawesi Selatan Rp 2.025 per kg (harga PKS). Untuk penetapan pekan ini oleh Dinas Perkebunan (Dis-bun) Riau, harga TBS naik Rp 45 per kg dari pekan lalu menjadi Rp 2.676 per kg, sedangkan oleh Disbun Sumatra Barat naik Rp 119 per kg dari pekan lalu menjadi Rp 2.675 per kg. Posko Harga TBS Apkasindo juga melaporkan, rerata harga TBS berbagai provinsi cabang Apkasindo untuk Senin (13/02/2023) dan Selasa (14/02/2023) di PKS naik Rp 20-85 per kg. “Dan analisa kami, harga akan cenderung naik progresif,” jelas Gulat. Menurut Gulat, harga TBS di masing masing-masing provinsi memang bervariasi, penyebabnya adalah waktu penetapan harga TBS Disbun yang berbeda-beda. “Ada yang satu kali per bulan seperti di Sulawesi Selatan dan ada yang tiap minggu seperti di Sumatra Barat. Jika satu kali per bulan, harga rata-rata CPO ditarik satu bulan ke belakang, jika tiap minggu harga CPO ditarik satu minggu ke belakang. Yang luar biasa, harga TBS petani swadaya di beberapa PKS malah ada yang di atas harga penetapan Disbun dan ini semua berhubungan ke serapan domestik yang meningkat melalui program B35,” ungkap Gulat. Tidak Ganggu Migor Dengan kondisi di lapangan yang demikian, Apkasindo berpendapat bahwa tidak benar apabila program B35 menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng (migor) merek Min-yakita. “Dari sini, kami berargumen bahwa tidak benar program B35 menyebabkan kelangkaan Minyakita,” jelas dia. Pemerintah sudah mengantisipasi menurunnya pasokan DM0 karena ekspor melambat dengan menaik- kan wajib pasok kebutuhan Minyakita dari 300 ribu ton menjadi 450 ribu ton per bulan. “Petani sawit sangat mengapresiasi semua perusahaan yang sudah bergotong royong untuk kebijakan pemerintah ini dan kami petani sawit ada di sana,” tegas Gulat. Gulat menyatakan, tantangan kebijakan biodiesel relatif banyak, meski bertujuan sangat bagus, seperti menjaga deposit minyak sawit domestik dan global. Di minyak fosil, juga biasa dilakukan upaya memperlambat produksi minyak bumi supaya harganya naik. Hanya saja, seringkali di biodiesel terdapat hal-hal yang disalahmengertikan. Misalnya, terkait subsidi, beberapa pembahasan menyatakan yang diuntungkan dari program biodiesel adalah korporasi yang memproduksi fatty acid methyl ester (FAME). “Padahal, semua diuntungkan dari program ini, khususnya masyarakat pemakai biodiesel (B35), petani sawit, dan negara karena menghemat devisa. Juga mengurangi dampak lingkungan karena biodiesel itu green energy (reversible) dan minyak fosil adalah hasil bumi yang tidak pernah kembali lagi (irreversible),” tutur dia. Gulat mengungkapkan, yang dibayar pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) adalah selisih antara biodiesel dengan HIP (harga indeks pasar) solar dari fosil yang ditetapkan Kementerian ESDM. “Sudah lebih enam bulan ini, dana BPDPKS tidak sepeser pun untuk membayar selisih biodiesel dengan HIP solar. Karena, harga solar dari fosil lebih mahal dari biodiesel. Dana BPDPKS keluar jika harga HIP biodiesel lebih tinggi dari HIP solar fosil. Jika nanti harga biodiesel lebih tinggi dari HIP solar fosil, yang menerima manfaatnya adalah masyarakat sebagai konsumen biodiesel,” kata dia.

 

Bisnis Indonesia | Rabu, 15 Februari 2023

MASALAH B35 MULAI MENGINTAI (BAHAN BAKAR NABATI)

Beban penyesuaian infrastruktur yang ditanggung PT Pertamina (Persero) dalam implementasi B35 tidak langsung mendapat respons baik dari pemerintah. Insentif sebesar Rpl 10 per liter untuk penyaluran B35 yang diminta perseroan pun dipertanyakan. Pemerintah menegaskan bakal melakukan evaluasi terkait dengan kebutuhan penyesuaian infrastruktur Pertamina dalam pelaksanaan program B35 tahap kedua yang rencananya dilakukan pada Agustus tahun ini. Dalam evaluasi tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bakal mengecek aspek teknis apa saja yang diperlukan untuk memuluskan program tersebut. Pasalnya, sebelumnya Pertamina menyampaikan kepada pemerintah bahwa program B35 bisa dijalankan dengan baik. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan bahwa sebelum B35 diterapkan, pemerintah telah melakukan pengecekan secara teknis di laboratorium, tes jalan pada kendaraan roda empat, hingga melihat instalasi yang dimiliki oleh Pertamina. Pengecekan instalasi milik Pertamina dilakukan untuk melihat kemampuan pipa punya badan usaha milik negara holding minyak dan gas bumi atau migas itu dalam menyalurkan fatty acid methyl ester (FAME) yang lebih dikenal sebagai biodiesel untuk program B35. “Kami masih belum melihat urgensinya kalau Pertamina mengajukan tambahan [insentif] itu untuk apa. Itu yang akan kami tanya ke Pertamina,” katanya, Selasa (14/2). Program B35 sendiri diakui efektif menekan impor bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis Solar. Selama ini, pemerintah harus mengimpor selisih antara konsumsi yang mencapai 1,3 juta barel per hari dan produksi kilang nasional yang sekitar 800.000 barel per hari. Tutuka menjelaskan bahwa program B35 mampu mengurangi konsumsi BBM dari yang semula 1,3 juta barel per hari menjadi 1,22 juta barel per hari. Dengan begitu, impor yang diperlukan makin sedikit karena mampu disubstitusi dengan FAME yang dicampurkan ke dalam Solar untuk menjadi Biosolar. “Jadi memang cukup signifikan penghematan impor yang dihasilkan dari B35 ini. Itu tinggal kita kalikan saja harganya,” ujarnya. Menurutnya, keberhasilan pemerintah menerapkan B35 telah menjadikan Indonesia sebagai negara percontohan dalam implementasi bahan bakar nabati untuk kendaraan bermotor. Alasannya, saat ini Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak memanfaatkan bahan bakar nabati untuk kendaraan bermotor. “Kita menjadi percontohan bagi negara-negara lain, dan kita memang perlu terus menjaga keamanan kendaraan yang menggunakannya [B35],” jelasnya. Pertamina sendiri mengeklaim implementasi B35 tahap pertama di region 1, 2, 8, dan sebagian region 5 dapat dilaksanakan dengan lancar. Akan tetapi, implementasi tahap keduanya membutuhkan penyesuaian sejumlah infrastruktur di terminal bahan bakar minyak (TBBM) perseroan. Implementasi B35 tahap kedua rencananya akan dilakukan di region 3, 4, 7, dan sebagian region 5 pada Agustus tahun ini. Dibutuhkan waktu setidaknya 6 bulan untuk menyesuaikan infrastruktur milik Pertamina agar bisa mengakomodir kebutuhan FAME sebesar 1,4 juta kiloliter untuk program tersebut. Pertamina pun meminta dukungan berupa insentif untuk mencampur Solar dengan FAME sebagai kompensasi dari penugasan perseroan dalam program tersebut. Dalam rinciannya, Pertamina mengaku butuh RpllO per liter untuk implementasi B35 yang akan digunakan untuk meningkatkan infrastruktur yang selama ini ditanggung oleh perseroan. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati membeberkan bahwa selama ini perseroan memang tidak mendapatkan insentif dari pelaksanaan B35. Insentif atau kompensasi dari pemerintah dalam program tersebut hanya diberikan oleh pelaku usaha yang memproduksi FAME. “Ketika ada selisih harga antara FAME dan Solar, gap-nya dibayarkan oleh BPDPKS [Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit],” katanya. Pertamina, katanya, membeli FAME dari produsen dengan harga maksimum yang sama dengan harga Solar. Padahal, BUMN holding migas itu masih harus melakukan pencampuran atau blending terhadap FAME yang dibeli dengan Solar sebelum dijual di SPBU.

INFRASTRUKTUR

Menurutnya, kapasitas fasilitas pencampuran FAME dengan Solar yang dimiliki Pertamina saat ini hanya untuk 30% atau B30 saja. Hal itu membuat Pertamina harus menyesuaikan sejumlah infrastrukturnya agar bisa menjalankan program pemerintah terkait dengan biodiesel. “Ketika akan ditambah B35 dan selanjutnya B40, tentu kita memerlukan tambahan storage, dan pipanya juga diperbesar. Intinya ada infrastruktur tambahan yang kami bangun,” jelasnya. Adapun, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dalam kesempatan terpisah mengakui masih banyak tantangan yang harus diselesaikan dalam implementasi B35, karena persiapannya hanya dilakukan 1 bulan. Proses blending menjadi salah satu persoalan yang terus disiasati oleh pemerintah dan badan usaha, khususnya untuk wilayah Balikpapan, Kalimantan Timur. “Saat ini kami masih mencampurnya dari kapal ke kapal. Dari sisi safety seharusnya bisa dilakukan di darat, tetapi kami belum siap untuk hal tersebut,” katanya ketika itu. Tantangan lainnya adalah biaya logistik yang masih perlu terus ditekan dengan mendorong adanya produsen biodiesel di Papua. Meski ada kebun sawit di tanah Papua, hingga kini belum ada pabrik biodiesel di wilayah tersebut. Sementara itu, BPDPKS menyediakan anggaran sebesar Rp31 triliun untuk program mandated B35 pada tahun ini. Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman menyampaikan, anggaran tersebut untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada badan usaha yang menjual FAME, apabila harga FAME lebih tinggi dari Solar. Dia mencontohkan apabila harga indeks pasar (HIP) biodiesel lebih tinggi dari HIP Solar, Pertamina yang menyerap FAME akan membeli dengan harga Solar, sehingga BPDPKS akan membayar kepada badan usaha FAME untuk kekurangan pembayaran Pertamina. “Jadi sesuai regulasi yang ada, fungsi BPDPKS itu membayar selisih harga indeks pasar Solar dan FAME. Tahun ini kita anggarkan Rp30 triliun-Rp31 triliun untuk 13,15 juta kiloliter biodiesel,” ujar Edy. Namun, apabila harga FAME lebih rendah dibandingkan dengan Solar, BPDPKS tidak membayar sepeser pun, seperti yang terjadi pada Juli hingga Desember 2022. Sementara itu, pada 2021, Edy mengatakan bahwa BPDPKS membayar Rp51 triliun lantaran harga Solar lebih tinggi dibanding biodiesel. “Pada Januari ini FAME-nya lebih tinggi dibandingkan dengan Solar meski tidak terlalu besar. Jika berlangsung seperti itu, 2023tidak akan terlalu terjadi banyak fluktuasi harga, baik FAME ataupun Solarnya, maka kami tetapkan Rp30 triliun-Rp31 triliun,” tutur Edy. Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Apro-bi) memastikan mampu mencukupi kebutuhan FAME sebanyak 13,15 juta kiloliter untuk implementasi program mandated B35. Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan mengatakan, kebutuhan FAME tersebut akan tercukupi karena kapasitas produksi FAME oleh industri saat ini sudah mencapai 17,5 juta kiloliter. Kapasitas produksi itu pun ke depannya akan terus bertambah. “Produksi kita 17,5 juta kiloliter, dan alokasi 13 juta kiloliter. Jadi 75% dari kapasitas produksi, sehingga teorinya cukup. Tapi kapasitas sebanyak ini sudah 17 tahun kita tingkatkan, dan pada 2023, 2024 akan bertambah terus kapasitas volumenya,” ujarnya. Menurutnya, proses pencampuran FAME dengan Solar harus terus diperbaiki, karena selama ini masih dilakukan di kapal-kapal. Untuk itu, pemerintah dan Pertamina harus segera memperbaiki fasilitas penyangga yang diperlukan agar implementasi B35 bisa berjalan mulus.

BUTUH INFRASTRUKTUR

Penerapan B35 membutuhkan peyesuaian infrastruktur agar proses blending FAME dengan Solar bisa dilaksanakan dengan baik. Perbaikan infrastruktur itu juga diharapkan bisa mempertahankan kualitas Biosolar yang dijual di SPBU.