Faisal Basri: Biodiesel Bukan Solusi Menekan Impor Minyak
Tempo.co | Sabtu, 6 Maret 2021
Faisal Basri: Biodiesel Bukan Solusi Menekan Impor Minyak
Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan penerapan biodiesel bukan solusi, karena salah satu tujuan pengembangan biodiesel adalah untuk menekan impor minyak, sehingga memperbaiki transaksi perdagangan dan current account deficit. “Kenyataannya justru bertolak belakang,” kata Faisal Basri dalam diskusi virtual, Sabtu, 6 Maret 2021. Dia mengatakan berdasarkan perhitungan opportunity cost, penerapan biodiesel justru mengakibatkan defisit perdagangan bertambah menjadi Rp 72,1 triliun pada 2018 dan Rp 85,2 triliun pada 2019. “Pemerintah hendak merealisasikan secara penuh program B30, B40, bahkan B100, ini sudah ngawur sekali. Ngawurnya super ngawur. Saya sudah melakukan kajian yang membuktikan bahwa ini bukan solusi, buat APBN juga bukan solusi,” ujarnya. Petani sawit, kata dia, juga sangat dirugikan karena harga jual sawit di tingkat petani tertekan. “Pengusaha biodiesel menikmati rente atau zero sum game,” ujarnya. Subsidi, kata dia, juga beralih dari bahan bakar minyak ke biodiesel. Akibatnya subsidi sudah dianggarkan tahun ini untuk program B-30 sebesar Rp 2,78 triliun. Selain itu, dibutuhkan tambahan lahan sekitar 5 juta hektare untuk merealisasikan program biodiesel B30 dan B40 secara penuh.
Kontan.co.id | Sabtu, 6 Maret 2021
Demi pulihkan ekonomi nasional, Kemenperin terus menarik investasi baru
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian fokus untuk terus meningkatkan investasi di tanah air. Sebab, upaya strategis tersebut dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional akibat dari dampak pandemi Covid-19. “Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, bahwa kunci pertumbuhan ekonomi kita adalah di investasi. Maka itu, Kemenperin aktif berkontribusi dalam menarik investasi baru, khususnya sektor industri,” terang Menteri Perindustrain Agus Gumiwang Kartasasmita dalam siaran pers di situs Kementerian Perindustrian, Sabtu (6/3). Kemenperin mencatat,terdapat 81 proyek dengan total nilai investasi sebesar Rp 921,84 triliun yang akan dipacu realisasinya untuk pengembangan proyek hilirisasi dalam kurun waktu tahun 2023-2030. Dari total investasi tersebut, diperkirakan bakal menyerap tenaga kerja sebanyak 125.286 orang. “Dari investasi ini, tentunya akan menciptakan lapangan kerja yang banyak. Hal ini yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Selain itu juga akan mengurangi tingkat pengangguran, baik itu karena pandemi atau angkatan kerja baru,” papar Agus. Di sektor hilirisasi petrokimia, Kemenperin terus mendorong realisasi investasi pengembangan industri petrokimia PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, yang akan menghasilkan produk olefin dan aromatik. Berikutnya, Kemenperin memacu hilirisasi nikel dalam rangka meningkatkan nilai tambah bahan baku nikel dan kobalt yang tersedia di Indonesia. Bahan baku ini dapat digunakan dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. “Saat ini, secara total kita punya 30 smelter yang beroperasi, kemudian yang sedang konstruksi 20 smelter, dan dalam tahap feasibility study sebanyak sembilan smelter,” sebut dia. Smelter ini berperan untuk menguatkan struktur industri dalam negeri agar lebih berdaya saing di kancah global. Agus menuturkan, implikasi dari kebijakan hilirisasi tersebut adalah tumbuhnya industri logam dasar di tahun 2020 sebesar 5,87%. Ekspor dari industri logam juga tumbuh 30% di tahun lalu, bahkan mampu menyumbang devisa negara hingga US$ 22 miliar.
Saat ini, Indonesia memiliki 30% dari cadangan bijih nikel dunia, sehingga menjadi jaminan bahan baku untuk investasi di sektor baterai kendaraan listrik yang pada akhirnya akan menarik investasi di sektor kendaraan listrik. Beberapa perusahaan yang akan memproduksi bahan baku baterai listrik nikel-kobalt, di antaranya adalah PT QMB (Sulawesi Tengah), PT. Halmahera Persada Lygend (Pulau Obi), PT Weda Bay Nickel (Maluku Utara), dan PT Smelter Nikel Indonesia (Banten). Sedangkan, untuk hilirisasi minyak sawit, pemerintah telah mendorong program B30 yakni berupa pencampuran 70% BBM diesel dengan 30% FAME/Biodiesel. Upaya simultan pemerintah ini untuk mengurangi impor BBM diesel sekaligus mengendalikan emisi pencemaran udara. Agus mengemukakan, realisasi penanaman modal sektor industri di tanah air tumbuh 26%, dari tahun 2019 yang mencapai Rp 216 triliun menjadi Rp 272,9 triliun pada 2020. “Kami memberikan apresiasi kepada pelaku industri atas komitmennya merealisasikan investasinya di Indonesia,” ujarnya. Sektor industri masih konsisten memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional melalui realisasi penanaman modal. Sepanjang tahun 2020, investasi manufaktur mampu menunjukkan geliat positif, meskipun di tengah terpaan yang cukup berat akibat pandemi Covid-19. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada Januari-Desember 2020, sektor industri menggelontorkan dananya sebesar Rp 272,9 triliun atau menyumbang 33% dari total nilai investasi nasional yang mencapai Rp 826,3 triliun. Hasilnya, realisasi investasi secara nasional pada tahun lalu melampaui target yang dipatok sebesar Rp 817,2 triliun atau menembus 101,1%.
Kontan.co.id | Sabtu, 6 Maret 2021
Target rampung akhir 2021, Proyek Green Refinery Kilang Pertamina Cilacap dikebut
Ditargetkan beroperasi pada akhir Desember 2021, pengembangan Green Refinery dengan produk-produk energi hijau, seperti Green Diesel dan Green Avtur di Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap masih berlangsung. Proyek energi hijau tersebut berbahan dasar minyak kelapa sawit. Corporate Secretary Subholding Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional, Ifki Sukarya menerangkan uji coba Green Diesel (D 100) sukses dilakukan pada Januari 2021 dengan komposisi Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) sebesar 100%. “RBDPO adalah minyak kelapa sawit yang sudah melalui proses penyulingan untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan bau,” jelasnya dalam keterangan resmi Sabtu (6/3). Sedangkan Green Avtur menggunakan Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), yakni minyak inti kelapa sawit. Di mana, uji coba Green Avtur sudah berhasil dilakukan, bahkan sudah diuji di laboratorium GMF (Garuda Maintenance Facility). Selain itu, kapasitas produksi akan terus ditingkatkan untuk Green Diesel dan Green Avtur yang diproduksi di Unit Treated Distillate Hydro Treating (TDHT). Kapasitas produksi Green Avtur sebesar 8 ribu barel per hari dan Green Diesel sebesar 3 ribu barel per hari, dan berpotensi terus ditingkatkan dengan melihat kebutuhan pasar, mulai 2023.
Produksi Green Diesel dan Green Avtur di Kilang Pertamina Cilacap dilaksanakan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dilakukan pengolahan RBDPO sebesar 3000 barel per hari untuk menghasilkan Green Diesel D100 yang direncanakan onstream pada akhir Desember 2021. Selanjutnya di tahap kedua, akan dilakukan pengolahan CPO sebesar 6000 barel per hari untuk menghasilkan Green Diesel D100 atau Green Avtur yang direncanakan onstream pada akhir Desember 2022. Diketahui, pengembangan Green Energy ini dilakukan sebagai implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan memaksimalkan potensi sumber daya energi baru terbarukan, dalam hal ini minyak kelapa sawit yang melimpah. “Ini adalah wujud nyata komitmen Pertamina untuk memenuhi kebutuhan alternatif feed stock sumber bahan baku. Memanfaatkan potensi energi dalam negeri, mengurangi impor crude, penggunaan energi ramah lingkungan karena sifatnya yang baru terbarukan,” terang Ifki. Sebelumnya, Pertamina RU IV sudah berhasil memproduksi Green Gasoline sejak April 2020. “Green Gasoline yang launching di RU III Plaju, kami duplikasi di RU IV dan pada April 2020 sudah dicoba dengan 20 persen bahan baku menggunakan RBDPO. Pengolahan di kilang RFCC menjadi Green Gasoline dengan kualitas Oktan sekelas Pertamax,” tandasnya.