Faisal Basri: Biodiesel Pemerintah Alasan Harga Minyak Goreng Mahal
CNNIndonesia.com | Sabtu, 5 Februari 2022
Faisal Basri: Biodiesel Pemerintah Alasan Harga Minyak Goreng Mahal
Ekonom Senior Faisal Basri menuding kenaikan harga minyak goreng dalam negeri akhir-akhir ini merupakan ulah pemerintah sendiri lewat komando ‘serampangan’ selama ini. Ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), harga minyak goreng pada Desember 2021 naik 34 persen dibandingkan Desember tahun sebelumnya, yaitu dari Rp15.792 per liter menjadi Rp21.125 per liter. Faisal menjelaskan pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng untuk menjinakkan harga, rinciannya minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter. HET mulai berlaku pada 1 Februari 2022. Tapi masalahnya, sambung dia, penetapan HET tidak diiringi oleh tambahan pasokan memadai sehingga harga jual masih saja mendekati Rp20 ribu per liter. “Boleh jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok yang mereka miliki diperoleh dengan harga lama. Boleh jadi pula karena memang pasokan tersendat sehingga terjadi kelangkaan di pasar,” terang dia lewat blog pribadinya, faisalbasri.com, dikutip Sabtu (5/2). Selain HET, pemerintah juga menerapkan kebijakan satu harga sebesar Rp14 ribu per liter untuk operasi pasar agar harga stabil. Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kewajiban setoran atau domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) kepada produsen CPO dan turunannya. Tujuannya untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng. Bahkan, kata Faisal pemerintah sempat ‘menggertak’ untuk melarang ekspor CPO dan turunannya. Tapi sayangnya berbagai upaya tersebut tak membuahkan hasil karena menurutnya ekspor bukan biang keladi harga minyak goreng yang meroket. Faisal mengatakan walau harga minyak sawit dunia melonjak, tapi volume ekspor CPO dan turunannya naik tipis dari 34 juta ton pada 2020 menjadi 34,2 juta ton pada 2021. Kenaikan tipis volume ekspor terjadi di saat terjadi lonjakan harga dan beriringan dengan penurunan produksi CPO dari 47,03 juta ton pada 2020 menjadi 46,89 juta ton pada 2021. Faisal menilai kenaikan harga minyak goreng di tengah penurunan produksi dan ekspor CPO dikarenakan pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Di masa lalu, pengguna CPO yang dominan di dalam negeri adalah industri pangan, termasuk minyak goreng. Namun sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. Peningkatan tajam terjadi pada 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam biosolar). “Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020 atau kenaikan sebesar 24 persen. Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020,” imbuhnya. Ia mengatakan pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu terus berlanjut pada 2021 dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel lewat Program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi. “Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan 2022 ini porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43 persen dari konsumsi CPO dalam negeri, padahal pada 2019 masih sekitar 37 persen. Dalam satu sampai dua tahun ke depan boleh jadi porsi untuk biodiesel akan melampaui porsi untuk industri pangan,” beber dia. Oleh sebab itu, ia menilai pengusaha cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu. Faisal mengatakan hingga kini sudah puluhan triliun rupiah mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS). “Itulah dilema antara CPO untuk ‘perut’ dan CPO untuk energi. Tak pelak lagi, kenaikan harga minyak goreng adalah akibat dari kebijakan pemerintah sendiri, karena selalu ada trade off (simalakama) antara CPO untuk ‘perut’ dan CPO untuk energi,” pungkasnya. Sementara itu sebelumnya Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, permasalahan minyak goreng akhir-akhir ini disebabkan oleh harga CPO internasional yang tinggi akibat kebutuhan dunia juga tinggi. Kenaikan harga CPO tersebut berpengaruh besar pada kenaikan harga minyak goreng dalam negeri. Pasalnya kendati merupakan produsen sawit utama dunia, tapi nyatanya RI selama ini belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan CPO internasional. Oleh karena itu, Oke menjelaskan saat ini pemerintah menerapkan DMO dan DPO minyak sawit untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220205115758-92-755400/faisal-basri-biodiesel-pemerintah-alasan-harga-minyak-goreng-mahal
Bisnis.com | Sabtu, 5 Februari 2022
Transisi Energi, Industri Tambang Didorong Gunakan Biodiesel dan Solar Panel
Perusahaan tambang batu bara didorong menggunakan bahan bakar ramah lingkungan seperti biodiesel maupun solar panel di lokasi penambangan seiring upaya pemerintah mulai bergerak pada transisi energi. Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan bahwa langkah tersebut berguna untuk mendukung upaya transisi energi. “Ke depan, penggunaan teknologi CCUS bisa menjadi alternatif untuk mengurangi emisi karbon. Hilirisasi sektor minerba juga saya kira perlu dilakukan,” katanya kepada Bisnis, Jumat (4/2/2022). Meski demikian, mahalnya biaya investasi untuk menerapkan energi bersih tersebut masih menjadi tantangan. Sebab itu, dukungan pemerintah diperlukan untuk mengakselerasi penerapan pengembangan energi terbarukan di lokasi tambang. Pemerintah kata Mamit harus konsisten dalam menjalankan kebijakan yang dibuat untuk mendukung transisi energi. Selain itu, pengembangan teknologi juga disadari menjadi kontributor terbesar dalam menjalankan transisi ini. “Bagaimana nanti teknologi bisa lebih murah dan bisa diimplementasi,” terangnya. Mamit mengingatkan investasi di sektor mineral dan batu bara mesti terus ditingkatkan. Hal ini mengingat komoditas Minerba sedang menjadi incaran dunia. Seluruh komoditas fosil diketahui sedang mengalami lonjakan harga sejak tahun lalu. Seiring berjalannya transisi energi, pemerintah diharapkan tetap mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada. Apalagi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) maupun pajak dari sektor Minerba terus mengalami kenaikan. Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, realisasi PNBP 2021 mencapai Rp75,16 triliun atau 192,2 persen dari target tahun lalu. Kondisi kenaikan ini terjadi akibat melonjaknya harga komoditas mineral. Kementerian membidik PNBP 2022 tembus Rp42,36 triliun. Sementara itu, Ditjen Minerba memperoleh realisasi investasi di sektor tersebut senilai US$4,52 miliar atau setara US$63,28 triliun (kurs Rp14.000 per dolar). Jumlah ini bahkan tembus 105 persen dari target. Tahun 2022, KESDM membidik investasi US$5,01 miliar.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20220204/44/1496836/transisi-energi-industri-tambang-didorong-gunakan-biodiesel-dan-solar-panel
Sawitindonesia.com | Minggu, 6 Februari 2022
GIMNI Optimis Ekspor CPO dan Olein Kembali Berjalan
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) optimis ekspor CPO dan Olein kembali normal seiring dengan penerapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang diterapkan pemerintah. Asosiasi yang menaungi 72 perusahaan produsen dan eksportir minyak nabati ini berkomitmen mendukung kebijakan stabilisasi harga minyak goreng. Bernard Riedo, Ketua Umum GIMNI, mengatakan sebagian besar anggotanya telah mengajukan persyaratan DMO kepada Kemendag sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2/2022 tentang Perubahan atas Permendag No. 19/2021 tentang Kebijakan Pengaturan Ekspor. Diharapkan, ekspor CPO dan Olein dapat berjalan normal pada minggu kedua Februari. “Sebagian anggota GIMNI sudah memasukan permohonan. Semoga ada yang keluar (izin ekspor) minggu depan. Harapan kami kegiatan ekspor berjalan kembali khusus produk CPO dan olein,” ujar Bernard melalui sambungan telepon, Sabtu (5 Februari 2022). Ia mengatakan seluruh pelaku industri ingin ekspor sawit kembali berjalan seperti biasa. Di sisi lain, kebijakan stabilisasi harga minyak goreng juga menjadi perhatian utama dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah. “Saat ini, pasokan minyak goreng mulai mengisi pasar. Produksi di pabrik minyak goreng berjalan normal dan tersalurkan. Distribusi tidak ada kendala. Curah (minyak goreng), tetap jalan,” urai Bernard. Kementerian Perdagangan sebelumnya menyebutkan distribusi minyak goreng di ritel modern sudah mencapai 4,6 juta liter per hari ini. Sekarang ini eksportir mulai memenuhi syarat DMO supaya bisa ekspor. Mekanisme kebijakan DMO sebesar 20 persen atau kewajiban pasok ke dalam negeri, berlaku wajib untuk seluruh eksportir yang menggunakan bahan baku CPO. Seluruh eksportir yang akan menjual ke luar negeri wajib memasok/mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300/kg. Izin ekspor akan diberikan kepada eksportir yang telah memenuhi kewajiban DMO dan DPO, dengan memberikan bukti realisasi distribusi dalam negeri berupa purchase order, delivery order, dan faktur pajak. Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag menjelaskan aturan DMO-DPO lebih efektif dibandingkan kebijakan minyak goreng murah dan satu harga. Pada awal Januari, Kemendag telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 1 tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun, Permendag Nomor 1/2022 tidak lagi berlaku. Selanjutnya aturan ini digantikan Permendag Nomor/2022 sebagai payung kebijakan minyak goreng satu harga untuk seluruh kemasan seharga Rp 14.000/liter.
Infosawit.com | Sabtu, 5 Februari 2022
Sawit Diusulkan Jadi Tanaman Hutan, Muncul Pro Kontra
Wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) mengkritik upaya Fakultas Kehutanan IPB University dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang menggagas karya akademik dan merekomendasikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan. “Kami tidak tau apa motifnya, tapi ini akan menjadi gagasan akademik paling kontroversial untuk dikaji lebih jauh oleh kita semua, atau memang IPB sekedar ingin menguji nalar publik. Bagi saya, hutan harus diidentifikasi sebagai sebuah ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati,” ungkap Sultan melalui keterangan resminya pada Kamis (3/2/2022). Menurutnya, upaya pengalihan status sawit sebagai komoditas perkebunan menjadi hasil hutan merupakan pintu masuk legal bagi modus deforestasi di Indonesia. Jika ini benar terjadi, lanjutnya, Indonesia akan ditertawakan dan dikucilkan dunia internasional. Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedi Mulyadi tak memungkiri, kelapa sawit komoditas sangat strategis secara ekonomi dengan menyumbang cukup besar bagi pendapatan negara dan membuka lapangan kerja. Namun kata dia, perlu diingat juga keberadaan kelapa sawit merupakan ancaman bagi keberlangsungan hutan di Indonesia terutama di daerah yang menjadi areal perkebunan kelapa sawit, seperti Sumatera dan Kalimantan. Saat ini, ujar Dedi, banyak sekali perkebunan sawit ditanam di areal hutan dengan status ilegal atau tanpa izin. Ada beberapa data yang menyebut lahan sawit ilegal di Indonesia berjumlah 713.000 hektare, ada yang menyebut 3,5 juta hektare hingga 8,3 juta hectare “Masih ada perdebatan soal luas lahan sawit ilegal perlu kami kaji secara komprehensif mana yang benar. Tapi bukan hanya persoalan data, tapi ini fakta bahwa sawit sudah mulai merambah hutan strategis bahkan ditanam di areal hutan lindung,” katanya seperti dilansir Detik. Sementara Peneliti Konservasi Sumber Daya Hutan, Universitas Gadjah Mada, Hero Marhaento, alih-alih bermanfaat, peralihan status ini (sawit menjadi tanaman kehutanan) justru berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian bagi Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia masih berjuang untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Pada 2019, lembaga nirlaba yang berfokus pada pelestarian lingkungan, Yayasan Kehati, mengemukakan ada 3,4 juta hektare (ha) kebun sawit dalam kawasan hutan. Dari angka tersebut, hanya sekitar 700 ribu ha yang dikelola oleh petani skala kecil (smallholders). Sisanya diduga dikuasai oleh korporasi maupun pelaku usaha individu dengan kapasitas finansial yang besar. Pembukaan perkebunan juga diduga tak melalui jalur legal, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ataupun skema lainnya.
Selain di kawasan hutan, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 menyebutkan, kawasan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit juga tumpang tindih dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam maupun hutan tanaman industri. Luasnya masing-masing 349 ribu ha dan 534 ribu ha. Kalimantan Timur dan Utara menjadi provinsi dengan tumpang tindih sawit dengan sektor usaha kehutanan terluas. Hal ini juga belum dihitung dengan kebun sawit yang ‘tiba-tiba muncul’ di konsesi perusahaan sektor kehutanan karena ada sebagian kawasannya yang ditelantarkan. Nah, jika pemerintah mengesahkan peralihan status sawit menjadi tanaman hutan, maka keberadaan sawit di konsesi perusahaan tersebut kemungkinan bakal menjadi legal. Hal tersebut diprediksi menciptakan peluang bisnis baru bagi perusahaan-perusahaan sektor kehutanan. “Sebagian konsesi sektor kehutanan yang belum dirambah juga berkesempatan untuk ditanami sawit baru. Hal ini berisiko melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Studi bahkan menyebutkan jumlah emisi yang terlepas akibat penanaman sawit baru, khususnya di lahan gambut, bisa mencapai dua kali lipat dibanding kebun sawit lama,” catat Hero seperti dilansir The Conversation. Bukan hanya itu, dalam segi perekonomian, upaya perluasan kebun sawit korporasi juga berpotensi mematikan petani kecil. Sebab, harga akan rawan anjlok apabila terjadi kelebihan pasokan (oversupply) tandan buah segar/TBS sawit. Hal ini membuat petani kecil semakin rentan. Bagi petani kecil, usulan ini sama sekali tidak memberikan keuntungan. Sebab, persoalan bagi sebagian besar petani sawit skala kecil adalah aspek legalitas – yang sudah ada skema jalan keluarnya melalui Perhutanan Sosial. “Dengan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan atau tidak, jika aspek legalitas lahan tidak diperhatikan, maka petani tetap akan kesulitan menjual hasil kebunnya kepada pabrik-pabrik besar yang mensyaratkan pembelian tandan sawit dari perkebunan yang legal,” tandas Hero Marhaento.
https://www.infosawit.com/news/11937/sawit-diusulkan-jadi-tanaman-hutan–muncul-pro-kontra
Infosawit.com | Sabtu, 5 Februari 2022
Kekhawatiran Kurangnya Pasokan Minyak Sawit, Kerek Index Harga Minyak Nabati FAO
Merujuk laporan FAO Vegetable Oil Price Index, pada Januari 2022 tercatat rata-rata naik 185,9 poin, atau terdapat peningkatan 7,4 poin (4,2%) bila dibandingkan denga bulan Desember 2021 lalu, kodisi ini tercatat sebagai harga tertinggi sepanjang masa. Kenaikan tersebut mencerminkan kuotasi yang lebih tinggi untuk minyak sawit, kedelai, lobak dan minyak biji bunga matahari. Setelah penurunan yang berlangsung singkat, harga minyak sawit global kembali meningkat pada bulan Januari 2022, sebagian besar didorong adanya kekhawatiran atas kemungkinan penurunan ketersediaan ekspor dari Indonesia, produsen minyak sawit utama dunia. “Serta penurunan produksi di negara-negara produsen utama,” demikian catat FAO dalam laporannya, yang didapat InfoSAWIT. Sementara harga kedelai dunia juga pulih, didukung oleh kuatnya pembelian impor, terutama dari India. Sementara itu, harga minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari masing-masing ditopang oleh masih terbatasnya pasokan dan melonjaknya permintaan impor global. Naiknya harga minyak mentah juga mendorong meningkatnya nilai minyak nabati internasional.
https://www.infosawit.com/news/11936/kekhawatiran-kurangnya-pasokan-minyak-sawit–kerek-index-harga-minyak-nabati-fao
Infosawit.com | Senin, 7 Februari 2022
Kebun Sawit Di Lahan Gambut Rentan Dampak Lingkungan
Indonesia harus berbangga mempunyai sumberdaya alam berupa kebun sawit yang mampu menyumbang sebagai salah satu dari lima komoditas utama selain batu bara, besi dan baja, otomatif dan suku cadang (spare part) dan yang terakhir barang elektronik dalam neraca surplus tertinggi perdagangan RI sebesar 35,34 milliar dolar AS, sejak tahun 2004-2021. Surplus neraca perdagangan tersebut salah satunya disumbagkan dari kebun sawit berupa produk CPO (minyak sawit) dan turunannya. Sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia sehingga ekspornya pun terbesar di dunia. Salah satu komoditas pertanian yang mampu bertahan dalam pandemi COVID-19 adalah sawit. Industri sawit Indonesia mampu menyerap tenaga kerja 16,2 juta orang. Dari statistik perekonomian, komoditas sawit berkontribusi 3.5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menurunkan inflasi 1,75 persen dan jumlah belanja negara 1,74 persen. Sawit juga membuat neraca perdagangan positif dan menjadi produk ekspor terbesar non migas. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi perkebunan kelapa sawit Indonesia melonjak selama lima tahun terakhir. Pada 2019, produksinya mencapai 48,42 juta ton atau meningkat 12,92% dari tahun sebelumnya yakni 42,88 juta ton. Perkembangan produksi kelapa sawit tercatat terus bertambah dari sebesar 31,07 juta ton pada 2015 menjadi 31,49 juta ton setahun setelahnya. Lonjakan tertinggi pada 2017-2018 yakni dari 34,94 juta ton menjadi 42,88 juta ton atau naik sekitar 22,72%. Produksi minyak sawit yang begitu spektakuler dan tinggi itu dihasilkan dari kebun sawit yang luasnya mencapai 14,60 juta hektare (ha). Areal perkebunan kelapa sawit tersebar di 26 provinsi di Indonesia. Provinsi Riau memiliki areal perkebunan kelapa sawit terluas dengan 2,82 juta ha pada 2019 atau 19,31% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di negeri ini. Sebaran kebun kebun sawit ini terletak dalam lahan kering dan lahan gambut yang mengusai tiga pulau utama yakni Sumatera dengan luas 7.944.520 hektar, Kalimantan seluas 5.820.406 ha dan Papua seluas 214.000 ha. Yang menjadi masalah sekarang bagi kebun sawit yang berada di Indonesia adalah hampir sebagian besar kebun sawit di Indonesia melakukan budidayanya berada di dalam lahan gambut yang produksi kebun sawitnya tidak sama dengan produksi kebun sawit di lahan kering. Tidak mudah melakukan budidaya kelapa sawit di lahan gambut, karena tidak semua lahan gambut, sebenarnya cocok dimaanfaatkan untuk budidaya kelapa sawit.
Sebaran Kebun Sawit Di Lahan Gambut
Berdasarkan pulau, lahan gambut paling luas terdapat di Sumatera seluas 6.436.649 ha atau 43,18% dari luas lahan gambut di Indonesia. Sedangkan yang paling sedikit terdapat di Papua seluas 3.690.921 ha atau 24,76% dari luas lahan gambut Indonesia. Secara keseluruhan, lahan gambut tipis atau kurang dari 100 cm paling luas penyebarannya, yaitu 5.241.438 ha, disusul oleh lahan gambut sedang (ketebalan 100-200 cm) seluas .915.291 ha. Di Sumatera, penyebaran lahan gambut yang paling luas terdapat di Provinsi Riau, yaitu 3.867.413 ha dan yang paling sempit di Provinsi Bengkulu seluas 8.052 ha. Berdasarkan kelas ketebalannya, lahan gambut tipis merupakan lahan gambut yang paling luas yaitu 1.767.303 ha. Di Kalimantan, lahan gambut paling luas terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 2.659.234 ha atau 55,66%. Sedangkan di Papua, lahan gambut yang paling luas terdapat di Provinsi Papua seluas 2.644.438 ha atau 71,65%. Yang perlu dicermati saat ini adalah pemanfaatan lahan gambut untuk kebun sawit di pulau Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan peta sebaran lahan gambut di Indonesia yang paling mutakhir secara spasial digambarkan dalam bentuk Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia, Skala 1:250.000 (Ritung et al., 2011), di Sumatera lahan gambut yang tipis mempunyai ketebalan 50 – 100 cm seluas 1.767.303 ha. Sementara kebun sawit di Sumatera seluas 7.944.520 ha yang berupa lahan kering 1.860.798 ha yang tersebar di Sumut dan Aceh. Sisanya seluas 5.046.205 ha merupakan kebun sawit di lahan gambut yang tersebar di Riau, Jambi dan Sumsel. Dengan demikian tidak kurang dari 3.278.903 ha kebun sawit Sumatera terletak di lahan gambut dengan ketebalan sedang – sangat tebal (100 – diatas 400 cm). Sementara, di pulau Kalimantan, hampir diatas 90 % kebun sawit terletak di lahan gambut. Dari luas 5.588.075 ha kebun sawit di Kalimantan, 1.048.611 ha merupakan gambut tipis setebal 50 – 100 cm. Dengan demikian sisanya tak kurang dari 4.539.464 ha merupakan kebun sawit Kalimantan yang terletak di lahan gambut dengan ketebalan sedang – sangat tebal (100 – diatas 400 cm). Jadi dari luas kebun sawit 14,60 juta ha di Indonesia tak kurang dari 10.634.280 ha yang berada di Sumatera dan Kalimantan terletak di lahan gambut. Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit seluas itu, 2.815.914 ha (26,47 %) merupakan kebun sawit dilahan gambut yang mempunyai ketebalan 50-100 cm. Sedangkan sisanya, 7.820.366 ha (73,53 % )merupakan kebun sawit dilahan gambut dengan ketebalan sedang samapai sangat tebal. Kesimpulannya adalah kebun sawit yang terletak dilahan gambut yang secara ekonomis kurang layak dibudidayakan karena terletak di ketebalan gambut 100 cm – diatas 400 m dan rentan terhadap lingkungan seluas tak kurang dari 7.820.366 ha atau 53,56 % dari luas total 14,60 juta ha kebun sawit yang ada di Indonesia. Dari luas kebun sawit 14,60 juta ha tersebut, masuk didalamnya adalah kebut sawit ilegal didalam kawasan hutan yang tidak dapat diproses pelepasannya seluas 1,2 – 1,7 juta ha yang nantinya akan dikembalikan lagi kenegara setelah melalui proses sanksi administratif dan diberikan wakti satu daur melalui sistem jangka benah yang telah ditetapkan melalui PP no.23/2021.
https://www.infosawit.com/news/11945/kebun-sawit-di-lahan-gambut-rentan-dampak-lingkungan
Infosawit.com | Senin, 7 Februari 2022
Strategi Menanam Sawit di Lahan Miring
Menanam sawit di lahan yang datar itu sudah biasa, kegiatan menanam pun tidak begitu sulit. Namun bagaimana bila lahan yang didapat berbukit dan didominasi dengan kemiringan tinggi? Menanam sawit memang tidak begitu sulit, terlebih pohon sawit bisa tumbuh dengan mudah. Namun bagaimana jika menanam sawit di lahan yang didominasi bukit-bukit dengan tingkat kecuraman yang tinggi, tentu saja diperlukan teknik yang baik dan benar, supaya tanaman tidak lekas tumbang akibat terkena erosi. Sebab bila menanam dengan asal bukannya untung didapat, bisa jadi bakal merugikan petani, maka itu diperlukan perhitungan matang menanam dilahan sawit dengan kontur berbukit. Menurut penuturan Direktur PT Global Mapindo, Eddie Purwanto, yang perlu diperhatikan dalam menanam ialah keteraturan tanaman dalam posisi maupun kerapatan tiap hektare (ha) untuk memudahkan pengelolaan tanaman, utamanya dikala pemanenan, pemeliharaan dan perlakuan teknis agronomisnya. Menurut Eddie, berdasarkan riset yang sudah dilakukan dengan memodifikasi dari standar yang sudah ada maka untuk kebun seluas 10 ha, dari hasil uji coba itu untuk areal bergelombang dengan kemiringan rata-rata 30 derajat atau 60%, diperoleh kerapatan tanaman mencapai 135,4 pohon/ha. “Supaya pemanenan tidak sulit perlu juga ditentukan sejak dini pembuatan jalan memotong teras maksimal jarak 150 – 200 m,” papar Eddie kepada InfoSAWIT. Namun demikian kondisi kemiringan dan kontur bukit mengakibatkan jumlah pohon sawit setiap hektare bisa berbeda-beda setiap kebun, misalnya untuk kemiringan rata-rata antara 20 derajat atau 36%, dengan mengikuti garis kontur, kerapatan tanaman bisa mencapai 136 pohon/ha, dengan jarak kontur teras minimum 6 meter dan maksimum 12 meter. Namun demikian modifikasi bisa saja dilakukan seusia dengan kondisi dilapangan. Seandainya bila jumlah kerapatan tanaman hendak diusahakan tetap dengan rata-rata kerapatan mencapai 136 pohon/ha maka cakupan areal ratarata dibagi tiap tanaman. Misalkan luas lahan yang dimiliki seluas 10 ha maka dibagi jumlah tanaman sebanyak 136, maka akan didapat areal tanam seluas 73,5 m2 atau setara dengan jarak tanam 8 m X 9,2 m pada areal datar. Lantaran areal lahan tidak datar,maka yang digunakan untuk pedomanialah luas areal, dengan luas tanammencapai ± 73,5 m2 sehingga Jarak kontur bervariasi sesuai dengan kemiringan lereng, begitu pula jarak tanaman yang bervariasi. Luas cakupan areal untuk tiap tanam kira-kira berbentuk mendekati jajaran genjang dengan jarak tinggi adalah jarak kontur dan alas jajaran genjang merupakan jarak antar tanaman dalam kontur.
https://www.infosawit.com/news/11946/strategi-menanam-sawit-di-lahan-miring
Infosawit.com | Sabtu, 5 Februari 2022
Minyak Sawit Kini Jadi Minyak Nabati Termahal
Pada Jumat (4/2/2022), para pelaku pasar minyak nabati menilai dampak pembatasan ekspor minyak sawit melalui kebijakan Domestic Market Obilgation (DMO) yang dilakukan pemerintah Indonesia, produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, telah mengejutkan pasar minyak nabati global pekan lalu, dimana kebijakan tersebut mewajibkan produsen menjual 20% dari volume ekspor mereka ke konsumen dalam negeri dengan harga yang telah ditetapkan. Penerapan kebijakan tersebut kian mengaburkan prospek pasokan minyak sawit mentah (CPO) dari Indonesia, dan memutar balikan minyak sawit yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu minyak nabati termurah, kini menjadi yang paling mahal diantara tiga minyak nabati utama yang diperdagangkan di seluruh dunia. Dilansir Nasdaq, pada kontrak minyak sawit acuan FCPOc3 untuk pengiriman April di Bursa Malaysia Derivatives Exchange ditutup naik 1,96% mencapai 5.621 ringgit (US$ 1.344) per ton. Kekhawatiran Kurangnya Pasokan Minyak Sawit, Kerek Index Harga Minyak Nabati FAO Harga minyak sawit kembali pulih pada hari Jumat (4/2/2022) setelah adanya aksi ambil untung pada hari Kamis, sementara minyak kedelai dan jagung, untuk pengiriman Maret kembali memperoleh posisi harga ditingkat yang signifikan secara psikologis, sesuai dengan jalurnya untuk mengkonsolidasikan kenaikan harga baru-baru ini. Lantas harga minyak kedelai di bursa berjangka tercatat paling aktif berada di jalur kenaikan mingguan terbesar sejak Juni 2021 lalu, dan bisa melihat tindak lanjut pembelian untuk minggu depan setelah pedagang China kembali dari liburan Tahun Baru Imlek selama seminggu, kata pedagang minyak nabati yang berbasis di Singapura.
https://www.infosawit.com/news/11940/minyak-sawit-kini-jadi-minyak-nabati-termahal
Sawitindonesia.com | Mimggu, 6 Februari 2022
Sepanjang Januari, Apical Distribusikan 30.704 Ton ke Pasar Domestik
Apical Group berkomitmen dan mendukung penuh kebijakan pemerintah dalam menyediakan bahan pokok masyarakat yaitu minyak goreng. Hal tersebut diutarakan RGE Palm Business Director, Bernard A. Riedo saat acara kunjungan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi meninjau implementasi kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur, pada Kamis (3 Februari 2022). Dikatakan Bernard perusahaan memastikan pabrik terus beroperasi agar kegiatan produksi tetap berjalan guna menjaga pasokan minyak goreng tetap ada di pasar. Dengan terus menjalankan kegiatan produksi sehingga rantai pasok terus terjaga. Dan, memastikan pabrik terus beroperasi agar kegiatan produksi tetap berjalan guna menjaga pasokan minyak goreng tetap ada di pasar. “PT Asianagro Agungjaya (AAJ) melakukan produksi sesuai dengan kapasitas terpasang pada pabrik. Saat ini, kapasitas produksi pabrik AAJ per harinya mencapai 2.300 metrik ton, atau 850.000 metrik ton per tahun. Dari jumlah itu, kapasitas produksi minyak kemasan dengan merek Camar, Harumas, dan VIP sebesar 531 metrik ton per hari, sedangkan kapasitas tahunan sebesar 180.000 metrik ton,” ujarnya. Selain itu, Apical Group memproduksi produk lain yaitu margarine dan shortening dengan merek Medalia, Vitas, kapasitas produksi harian mencapai sebesar 357 metrik ton, sedangkan per tahunnya 120.000 metrik ton. Adapun produk animal nutrition melalui merek Optima, kapasitas produksi hariannya sebesar 72 metrik ton, sedangkan kapasitas tahunan sebesar 24.000 metrik ton. Terakhir, untuk flake flats, kapasitas produksi hariannya sebesar 16 metrik ton, dan kapasitas tahunannya 5.000 metrik ton. Sejak Januari, Apical Group telah menjual lebih dari 30.704 ton minyak kemasan dan minyak curah di pasar domestik melalui saluran distribusi seperti halnya pasar tradisional, serta dan toko ritel. Hampir seluruh produk yang diproduksi Apical Group di bawah PT Asianagro Agungjaya (AJJ) dipasarkan untuk pasar domestik, dengan porsi kecil dialokasikan untuk pasar ekspor.
Sepanjang Januari, Apical Distribusikan 30.704 Ton ke Pasar Domestik