Membangun Kedaulatan Nasional dengan Sawit

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp
Membangun Kedaulatan Nasional dengan Sawit. Sumber: GAPKI

Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menyerukan adanya revolusi total dalam industri sawit nasional. Revolusi ini bukan hanya soal memaksimalkan hasil panen, melainkan upaya mendasar untuk mengubah mentalitas, teknologi, dan tata kelola agar petani dan pelaku UMKM tidak lagi menjadi objek bagi korporasi besar.

Melawan Stigma “Crude” dan Mentalitas Kolonial

Sahat Sinaga melontarkan kritik keras terhadap istilah “Crude Palm Oil” (CPO). Menurutnya, penggunaan kata crude (mentah) adalah warisan kolonial Belanda yang secara tidak adil memberikan stigma negatif pada produk sawit Indonesia. Sementara minyak nabati lain—seperti soybean atau sunflower oil—tidak pernah dilekatkan kata “crude.”

Stigma ini mencerminkan penyakit yang lebih dalam: mentalitas dan tata kelola yang tertinggal. “Penyakit kita bukan di pohonnya, tapi di manusianya: korupsi, manipulasi izin, dan ketidakpatuhan hukum,” tegas Sahat. Ia melihat industri saat ini masih “semrawut” dan “tidak tertib,” membuat negara kurang menarik bagi investor luar.

Teknologi Jadi Kunci Perubahan

Revolusi sawit harus didukung oleh inovasi teknologi. Sahat mendorong pergeseran dari teknologi pengolahan konvensional (wet process yang boros air dan menghasilkan limbah cair tinggi) ke teknologi dry process (pengolahan kering).

Dry process yang menggunakan suhu rendah (di bawah 85℃) memiliki dua keunggulan krusial:

  1. Ramah Lingkungan: Menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih rendah dan tidak menghasilkan limbah cair.
  2. Kualitas Superior: Mampu mempertahankan kandungan nutrisi dan menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, yaitu Degummed Palm Mesocarp Oil (DPMO).

DPMO, dengan harga $15 lebih tinggi dari CPO biasa, dipandang sebagai kunci untuk mendongkrak nilai ekonomi sawit nasional hingga mencapai Rp2.066 triliun pada tahun 2029.

Koperasi Modern sebagai Ujung Tombak

Masa depan sawit Indonesia, menurut Sahat, harus berada di tangan koperasi sawit modern yang mengadopsi teknologi dry process. Model bisnis ini dirancang untuk mengubah posisi petani dari sekadar penjual Tandan Buah Segar (TBS) menjadi pemilik pabrik mini.

“Mulai 2026, titik kemajuan sawit ada di UMKM dan koperasi,” ujarnya optimistis. Ia menggambarkan bagaimana satu koperasi dengan manajemen profesional dan teknologi yang tepat dapat menghasilkan minyak bernilai tinggi, memungkinkan petani membeli aset dan menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan, negara lain seperti Tiongkok telah menunjukkan ketertarikan untuk berinvestasi, dengan kompensasi membeli emisi karbon yang dihasilkan dari pengolahan ramah lingkungan di koperasi.

Revolusi ini menuntut dukungan penuh dari pemerintah, khususnya dalam penegakan hukum dan sertifikasi lahan yang transparan, agar tidak ada lagi yang menyebut “lahan keterlanjuran.” Mengingat sawit adalah “pohon ajaib” yang menghasilkan dua jenis minyak dan ratusan produk turunan. Industri ini adalah masa depan, asalkan dikelola dengan mentalitas dan teknologi yang maju.