Bioetanol E5 dan E10 Jadi Bahan Bakar Masa Depan

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp
Bioetanol E5 dan E10 Jadi Bahan Bakar Masa Depan. Sumber: Navigasi Surabaya

Pemerintah Indonesia, bersama para pemangku kepentingan energi, kembali memprioritaskan pengembangan bioetanol sebagai langkah strategis dalam peta jalan transisi energi. Bioetanol dipandang sebagai kunci ganda untuk menekan impor BBM. Selain itu, menjadi instrumen vital dalam mengurangi emisi karbon di sektor transportasi, demi mencapai kemandirian energi nasional.

Meskipun memiliki rekam jejak panjang sejak Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006, yang mendorong penggunaan Bahan Bakar Nabati (Biofuel), implementasi bioetanol sempat mengalami pasang surut. Namun, kini ia kembali mendapatkan momentum penting.

Pertamax Green dan Kualitas Udara

Kebutuhan akan bahan bakar dengan oktan tinggi (High Octane Mogas Component/HOMC) di Indonesia terus meningkat seiring tingginya pertumbuhan kendaraan bermotor. Bioetanol menawarkan solusi yang menguntungkan dari dua sisi:

  1. Performa Mesin: Etanol memiliki angka oktan (RON) tinggi (sekitar 128). Ketika dicampurkan dengan bensin dasar (seperti pada Pertamax Green 95 dengan campuran 5% bioetanol atau E5), ia secara langsung meningkatkan kualitas pembakaran mesin, menjadikannya lebih responsif dan efisien.
  2. Lingkungan: Pencampuran bioetanol secara langsung menurunkan emisi gas berbahaya seperti karbon monoksida, mendukung upaya perbaikan kualitas udara dan penurunan emisi GRK.

Pertamina telah meluncurkan produk Pertamax Green 95, yang bersumber dari molases tebu, sebagai langkah konkret menuju target E10 di masa depan dan bagian dari peta jalan besar menuju Net Zero Emission (NZE) 2060.

Tantangan Feedstock dan Inovasi Teknologi

Potensi agraris Indonesia, khususnya tanaman penghasil gula dan pati seperti tebu, singkong, dan jagung, menjadi bahan baku utama bioetanol generasi pertama. Secara fundamental, bioetanol dihasilkan dari fermentasi gula yang kompleks, diawali dari pra-perlakuan bahan baku hingga fermentasi oleh ragi.

Namun, tantangan terbesar terletak pada ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan (feedstock security). Pemerintah harus memastikan peningkatan produksi bioetanol dari tebu tidak mengganggu stok gula untuk kebutuhan pangan nasional (food security).

Oleh karena itu, penguasaan teknologi menjadi kunci. Terdapat dorongan global untuk beralih ke teknologi bioetanol generasi kedua. Yang memungkinkan penggunaan limbah pertanian seperti jerami atau biomassa lignoselulosa (seperti limbah kayu) yang tidak bersaing dengan bahan pangan. Teknologi ini dinilai jauh lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sinergi antara Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, dan BUMN menjadi mutlak diperlukan. Langkah-langkah seperti ekstensifikasi lahan tebu dan diversifikasi sumber bahan baku harus dilakukan secara konsisten. Agar program bioetanol nasional dapat berjalan berkelanjutan dan menyokong ketahanan energi Indonesia.