Bioetanol Jadi Penyelamat Fiskal dan Kedaulatan Energi Indonesia
Indonesia saat ini menghadapi tantangan energi yang kritis, ditandai dengan nilai impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai Rp 654 triliun pada 2024. Angka yang membebani fiskal dan neraca perdagangan ini menuntut tindakan segera. Pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk memulai substitusi BBM dengan bioetanol pada tahun 2027, melihatnya sebagai solusi strategis untuk mengurangi tekanan pada APBN dan memperbaiki keseimbangan energi nasional.
Tantangan Akselerasi Bioetanol
Meskipun potensi bioetanol sebagai agen transformasi sangat besar, jalannya tidak mudah. Diskusi Kagama Leaders Forum menyoroti bahwa akselerasi bioetanol adalah transformasi sistemik yang terhambat oleh tantangan struktural. Permasalahan utama membentang dari hulu hingga hilir, mencakup ketersediaan bahan baku (feedstock), rendahnya produktivitas pertanian, terbatasnya kapasitas pabrik, hingga kurangnya harmonisasi regulasi untuk menciptakan kepastian usaha.
Budi Basuki, Presiden Direktur Medco Papua, menegaskan bahwa titik terlemah terletak pada feedstock. Pabrik siap, namun suplai bahan baku tebu, singkong, dan jagung tersendat, menuntut intervensi regulasi pemerintah.
Krisis Produktivitas Bioetanol
Kondisi produktivitas lahan, khususnya tebu, berada pada titik yang mengkhawatirkan. Mahmudi, Direktur Utama SGN, menyebut bahwa 65% lahan tebu rakyat hanya menghasilkan 2–3 ton gula per hektar, jauh dari potensi ideal 15 ton. Krisis ini diperparah oleh varietas yang tidak seragam, kesuburan lahan yang menurun, dan usia tanaman yang sudah tua (86% lahan harus diremajakan). SGN dan Kementerian Pertanian kini berupaya keras meremajakan ratusan ribu hektare lahan tebu. Selain itu juga memperluas lahan baru untuk memperbaiki pasokan molasses dan sukrosa yang menjadi basis bioetanol.
Strategi dan Potensi Penghematan Bioetanol
Nanang Kurniawan, VP of Technology & Engineering PT Pertamina Power Indonesia, mengidentifikasi pemanfaatan molases sebagai jalur akselerasi tercepat. Indonesia memiliki sekitar 1,7 juta ton molasses yang sebagian besar belum termanfaatkan. Dalam dua tahun ke depan, kapasitas produksi bioetanol dari pabrik eksisting dan tambahan diperkirakan mencapai minimal 110 ribu kiloliter.
Pertamina juga menyiapkan strategi multi-feedstock (tebu dan sorgum langsung) untuk menjaga pasokan. Jika program E10 (campuran 10% bioetanol) berjalan penuh, Pertamina memperkirakan Indonesia dapat menghemat impor BBM lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Potensi penghematan bahkan bisa mencapai Rp 500 triliun jika skenario E50 tercapai. Dengan manfaat sebesar ini, investasi yang dibutuhkan untuk membangun ekosistem bioetanol (mencapai ratusan triliun rupiah) dianggap sebagai investasi masa depan. Yang mana untuk mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan nasional.

