Etanol: Bukan Cuma BBM, Tapi Simbol Ketahanan Energi Nasional

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp
Rahasia Etanol: Bukan Cuma BBM, Tapi Simbol Ketahanan Energi Nasional. Sumber: VIVA

Etanol atau bioetanol kini menjadi perbincangan hangat, melampaui isu teknis bahan bakar. Senyawa alkohol nabati yang dicampurkan ke dalam bensin (gasoline), membentuk gasohol (seperti E5 atau E10), kini dipandang sebagai instrumen strategis yang menghubungkan kedaulatan pangan, ketahanan energi, dan komitmen iklim nasional.

Secara teknis, etanol adalah pahlawan lingkungan dan peningkat kualitas bahan bakar. Berasal dari fermentasi tanaman bergula seperti tebu atau singkong, pembakarannya menghasilkan emisi yang lebih bersih dan membantu mengurangi polusi udara dibandingkan bensin murni. Keunggulan utamanya adalah angka oktan yang tinggi, yang mencegah engine knocking dan membuat mesin bekerja lebih efisien. Inilah yang membuat etanol menjadi solusi kunci untuk memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca.

Etanol: Pilihan Politik, Bukan Sekadar Alat

Menurut Prof. Andy N. Sommeng, ahli energi dari Universitas Indonesia, pilihan negara terhadap bioetanol adalah “energi politis.” Sejarah global membuktikan hal ini:

  • Brazil menggunakan tebu untuk bioetanol sebagai instrumen diplomasi energi setelah krisis minyak 1970-an.
  • Amerika Serikat menjadikan campuran E10 sebagai standar untuk menopang lobi agrikultur dan menyerap surplus jagung.

Fenomena ini menunjukkan bahwa di balik setiap kadar campuran (blending) etanol, terselip narasi tentang bagaimana sebuah bangsa menghadapi persoalan iklim, memperlakukan petaninya, dan membangun kemandirian energi.

Tantangan dan Dampak Etanol

Meskipun strategis, etanol membawa tantangan pada kinerja kendaraan, terutama pada kadar campuran yang tinggi:

  1. Konsumsi Lebih Boros: Etanol memiliki kandungan energi (LHV) yang lebih rendah. Hal ini membuat kendaraan membutuhkan volume bahan bakar sedikit lebih banyak untuk tenaga yang sama, yang berarti konsumsi bisa sedikit lebih boros.
  2. Cold Start Problem: Pada suhu dingin, etanol sulit menguap, sehingga mesin berpotensi lebih sulit dinyalakan saat pagi hari.
  3. Kesiapan Infrastruktur: Etanol bersifat korosif dan higroskopis (mudah menyerap air), menuntut kesiapan infrastruktur penyimpanan dan distribusi.

Indonesia: Membangkitkan Kembali Program Bioetanol

Indonesia memiliki sejarah pasang surut dengan bioetanol, programnya sempat terhenti karena isu pasokan bahan baku. Namun, saat ini, pemerintah secara serius mencanangkan mandatori E10 (campuran 10% etanol) yang ditargetkan berlaku pada tahun 2027.

Langkah ini didukung oleh berbagai regulasi dan upaya di sektor hulu:

  • Pemerintah menyiapkan lahan luas untuk pengembangan tebu, singkong, dan bahkan potensi non-pangan seperti aren, demi mengamankan pasokan.
  • Pertamina telah meluncurkan produk Pertamax Green 95 (mengandung E5) sebagai uji coba pasar.
  • Kebijakan ini diharapkan mampu mengurangi impor BBM yang membebani anggaran negara, sekaligus mendorong ekonomi daerah melalui penyerapan hasil tani.

Keberhasilan program E10 di Indonesia sangat bergantung pada koordinasi lintas-kementerian (ESDM, Pertanian, ATR/BPN), kesiapan industri dari hulu ke hilir, serta kejelasan regulasi fiskal (cukai) agar etanol untuk BBM tidak terhambat. Etanol bukan sekadar bensin, tapi cerminan pilihan strategis untuk langkah nyata yang akan menentukan apakah kita ingin menjadi bangsa yang mandiri pangan dan berdaulat energi, atau tidak.