Indonesia Mau Pakai Biodiesel B100? Mahalnya Minta Ampun!

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Detik.com | Minggu, 18 Februari 2024

Indonesia Mau Pakai Biodiesel B100? Mahalnya Minta Ampun!

Penggunaan bioenergi atau energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik terus digaungkan di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Namun usai euforia B30, apakah Indonesia benar-benar bakal melompat ke B100? Ya jika ditanya ada keinginan tentu saja pengin, namun berani bayar mahal? Menurut literasi Kementerian ESDM, B30 merupakan program pemerintah yang mewajibkan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis solar, yang menghasilkan produk Biosolar B30. Program ini diberlakukan mulai Januari 2020 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Sementara B100 adalah istilah untuk biodiesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. Proses transesterifikasi adalah proses pemindahan alkohol dari ester, namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau methanol. Proses pembuatan biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa (NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam lemak dengan produk ikutan gliserol. Menurut Santosa, CEO Astra Agro Lestari, penggunaan sawit untuk biodiesel B35 diperkirakan bakal meningkat hingga 2 juta ton ke depannya. “Namun kalau pertanyaannya, apakah kita bisa bikin dari B35 lalu lanjut ke B100? Jawabannya, bisa! Namun biayanya yang jadi soal,” ujarnya saat berbincang dengan media di Bandung, Jawa Barat Jumat (16/2/2024). “Saya pernah uji coba produksi 100 liter B100 untuk (pameran otomotif) GIIAS. Ini sengaja kita lakukan untuk riset, dan berhasil. Tetapi itu saja jika dihitung rata-rata, biaya per liternya Rp 15 juta,” Santosa melanjutkan. Jadi secara teknis, Indonesia mampu membuat biodiesel B100. Tetapi soal biaya ini yang menjadi PR besar, dengan harga per liter Rp 15 juta, berapa harga jual ke konsumen? Ataupun akan jadi seberapa bengkak subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah? Selain biodiesel, pemerintah sejatinya juga telah mengatur BBN jenis lainnya yakni bioetanol yang dikenal dengan istilah E100 dan minyak nabati murni atau dengan istilah O100. Untuk pemakaiannya, biodiesel dan bioetanol akan dicampurkan dengan bahan bakar fosil pada persentase tertentu. Dalam hal ini, untuk biodiesel dicampurkan dengan solar, sedangkan bioetanol dicampurkan dengan bensin.

https://finance.detik.com/energi/d-7199276/indonesia-mau-pakai-biodiesel-b100-mahalnya-minta-ampun

Kontan.co.id | Minggu, 18 Februari 2024

Kalau Ada Program B100, Minimal Butuh Pasokan CPO 36 Juta Ton Per Tahun

Pemerintah terus menggenjot program pencampuran biodiesel B35. Progam B35 adalah mencampur biodiesel dari fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 35% ke dalam komposisi bahan bakar minyak (BBM) solar. Mulai awal tahun 2023, pemerintah menaikkan kadar biodiesel dari yang sebelumnya B30 menjadi B35. Hal tersebut tentu membuat jatah minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk ekspor menjadi berkurang karena penggunaan untuk domestik bertambah. Direktur Utama Astra Agro Lestari Tbk (AALI) Santosa mengatakan adanya kenaikan kadar biodiesel tersebut akan menyedot pasokan kelapa sawit di dalam negeri karena program B35 membutuhkan 12 juta ton CPO setiap tahunnya. “Adanya program B35 tiap tahunnya membutuhkan 12 juta CPO, terus untuk bahan makanan baik konsumer atau B2B (business to business) kita kira-kira 8 juta, berarti 21 juta ton. Sedangkan produksi Indonesia hanya 51 juta ton,” kata Santosa dalam acara Talk To CEO 2024, Jumat (16/2).  Sementara itu, ada wacana untuk mengimplementasi B100 sebagai bahan bakar kendaraan. Rencana ini muncul seiring dengan kebutuhan energi yang lebih ramah lingkungan.  Terkait program B100 tersebut, Santosa menilai akan merugikan pengusaha kelapa sawit di Indonesia. Pasalnya,  semakin tingginya kadar biodiesel, maka semakin tinggi produksi CPO Indonesia yang diberikan untuk program tersebut.  “Pasti setidaknya butuh 36 juta ton per tahun untuk menghasilkan B100 itu, dengan begitu nantinya porsi ekspor CPO akan terus turun,” kata dia  Dengan menurunnya porsi CPO untuk dieskpor, maka tentunya akan berdampak juga pada berkurangnya anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) untuk subsidi biodiesel yang ditopang oleh pungutan ekspor. “Kalau enggak ada ekspor, nanti yang nombok siapa? Buat saya hitungan ini saja, secara ekonomis begitu. Kecuali kalau harga sawitnya sedang jatuh sekali,” ujarnya. Wacana program B100 mulanya diusung capres nomor urut 02, Prabowo Subianto. Prabowo optimis Indonesia bisa mencapai swasembada energi dengan B100 untuk solar, dan etanol 100% (E100) untuk bensin. Optimisme itu muncul karena Indonesia saat ini bergantung kepada impor minyak mentah dan BBM untuk kebutuhan dalam negeri, lantaran minimnya produksi hulu migas yang mengalami penurunan alamiah (natural decline).

https://industri.kontan.co.id/news/kalau-ada-program-b100-minimal-butuh-pasokan-cpo-36-juta-ton-per-tahun

 

Bisnis.com | Sabtu, 17 Februari 2024

Bos Astra Agro Lestari Blak-blakan Peluang RI Kembangkan BBM 100% Sawit

Pemerintah terus mendorong pengembangan bioenergi lewat bahan bakar minyak (BBM) campuran solar dan minyak kelapa sawit 35% atau yang dikenal sebagai program mandatori biodiesel B35. Bahkan, ke depannya Indonesia digadang-gadang mampu menghasilkan BBM yang 100% berasal dari minyak sawit alias B100. Lantas, mungkinkah Indonesia dapat mencapai swasembada energi lewat biofuel? Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) Santosa blak-blakan menyampaikan pandangannya soal ambisi swasembada energi lewat bahan bakar berbasis tanaman. Menurutnya, kapasitas produksi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) menjadi pertimbangan dalam mewujudkan ambisi tersebut. Santosa menyebut bahwa produksi minyak sawit Indonesia mengalami stagnasi di kisaran 51 juta ton per tahun. Adapun, untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga dan industri dalam negeri sekitar 8 juta ton minyak sawit. Sementara untuk program B35 dalam setahun dibutuhkan sekitar 12 juta ton minyak sawit. Dia pun menghitung untuk memproduksi B100 setidaknya diperlukan volume minyak sawit tiga kali lipat lebih banyak, yakni mencapai 36 juta ton. Peningkatan konsumsi minyak sawit untuk bioenergi dianggap dapat menggerus volume ekspor. “Terus kita ekspor dari mana?” ujar Santosa dalam Talk the CEO di Bandung, Jumat (16/2/2024). Menurut Santosa, apabila seluruh produksi minyak sawit digunakan untuk kebutuhan domestik alias tanpa ekspor, maka implementasi dan pengembangan biodiesel akan sulit. Musababnya, program mandatori biodiesel selama ini pun juga didanai sebagian oleh BPDPKS dari pungutan ekspor minyak sawit. “Kalau enggak ada ekspor, yang nombok siapa? Kecuali kalau harga sawitnya jatuh sekali, harga minyaknya luar biasa tinggi enggak perlu disubsidi lagi. Tapi kalau dalam kondisi hari ini, untuk biodiesel itu perlu support dari pungutan ekspor,” jelasnya. Sebelumnya, berdasarkan catatan Bisnis.com, Kamis (23/11/2023), Calon Presiden Prabowo Subianto menginginkan agar Indonesia tidak bergantung pada impor BBM. Menurutnya, Indonesia mampu menghasilkan BBM berbasis tanaman yang bebas emisi dan tidak merusak lingkungan. Prabowo pun optimistis lewat BBM hijau itu nantinya Indonesia tidak impor BBM lagi dan mencapai swasembada energi. “Nantinya kita akan menjadi satu-satunya negara di dunia yang bisa menghasilkan BBM dari tanaman dan ini kan sehat,” ujar Prabowo.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20240218/44/1741805/bos-astra-agro-lestari-blak-blakan-peluang-ri-kembangkan-bbm-100-sawit

 

Kumparan.co.id | Sabtu, 17 Februari 2024

Mungkinkah Indonesia Swasembada Energi Lewat B100? Ini Kata Bos AALI

Pemerintah terus menggencarkan bioenergi, salah satunya biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit. Saat ini, Indonesia sudah memasuki tahapan B35 alias solar dicampur dengan 35 persen Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dari minyak kelapa sawit. Mulai tahun 2023, pemerintah menaikkan kadar biodiesel dari B30 menjadi B35. Hal ini otomatis meningkatkan kebutuhan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dalam negeri. Menurut perhitungan Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), Santosa, kenaikan kadar biodiesel tersebut membutuhkan 12 juta ton CPO setiap tahunnya. “Dengan B35 itu menjadi 12 juta ton setahun, terus untuk bahan makanan baik konsumer atau B2B (business to business) kita kira-kira 8 juta, berarti 21 juta ton. Sementara produksi Indonesia 51 juta ton,” ungkapnya saat Talk To CEO 2024, Jumat (16/2). Seiring kebutuhan energi yang lebih ramah lingkungan, teknologi kini mampu menciptakan biodiesel murni alias B100. Indonesia digadang-gadang bisa mengimplementasi B100 sebagai bahan bakar kendaraan. Salah satunya ide yang diusung Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. Dalam berbagai kesempatan kampanye, dia optimistis Indonesia bisa mencapai swasembada energi dengan B100 untuk solar, dan etanol 100 persen (E100) untuk bensin.Pasalnya, Indonesia kini bergantung pada impor minyak mentah dan BBM untuk kebutuhan dalam negeri, karena minimnya produksi hulu migas yang mengalami penurunan alamiah (natural decline). Menurut Santosa, semakin tingginya kadar biodiesel, maka semakin tinggi produksi CPO Indonesia yang dikerahkan untuk program tersebut. Setidaknya, butuh 36 juta ton per tahun untuk menghasilkan B100. Dengan demikian, porsi ekspor CPO akan terus menurun seiring meningkatnya kebutuhan biodiesel tersebut. Hal ini akan berdampak pula pada berkurangnya anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) untuk subsidi biodiesel yang ditopang oleh pungutan ekspor. “Kalau enggak ada ekspor, yang nombok siapa? Buat saya hitungan ini saja, secara ekonomis begitu. Kecuali kalau harga sawitnya jatuh sekali, harga minyaknya luar biasa tinggi, kan emang enggak perlu disubsidi, enggak perlu ada support,” tegasnya. “Kalau dalam kondisi hari ini, untuk biodiesel itu perlu di-support pungutan ekspor yang dikumpulkan BDPKS dan itu di-generate karena ekspor, kalau nanti 100 persen dipakai di situ, yang support siapa? Ini kan industri support industri sendiri,” tambah Santosa. Sebelumnya, Prabowo Subianto yakin Indonesia dalam waktu dekat bisa swasembada energi. Keinginan tersebut bisa terwujud kalau ada kemauan memanfaatkan peluang keunggulan yang dimiliki Indonesia “Sebagai contoh saya baru berbicara dengan pakar pakar kita, dengan political will, dengan kehendak politik yang baik, yang tegas, yang teguh, dan yang berani, dengan manajemen yang baik kita nanti tidak lama lagi kita bisa swasembada energi, kita tak perlu impor BBM lagi dari luar Indonesia,” kata Prabowo saat menghadiri acara Relawan Gerakan Ekonomi Nasional Prabowo-Gibran (Genderang), Senin (29/1). Prabowo mengungkapkan nantinya BBM di Indonesia akan banyak dari tanaman dan menjadi energi bersih. Ia mengungkapkan beberapa pakar dari luar negeri seperti Brasil sudah mempelajari kemungkinan Indonesia beralih ke energi bersih. “Dari mana? solar bisa 100 persen dari kelapa sawit, kemudian bensin bisa dari tebu, dari singkong, dari aren kita bisa 100 persen bensin dari dalam negeri,” tambahnya.

https://kumparan.com/kumparanbisnis/mungkinkah-indonesia-swasembada-energi-lewat-b100-ini-kata-bos-aali-22BPBkdcAIb/full