ISPO Produk Hilir, Beban Baru Atau Peluang?
Sawitindonesia.com | Senin, 15 Maret 2021
ISPO Produk Hilir, Beban Baru Atau Peluang?
Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) melibatkan rantai pasok sawit sampai kepada produk hilir. Kementerian Perindustrian berharap sertifikasi tidak membebani industri pengolahan. Asosiasi hilir sawit mendukung penuh sertifikasi ini. “Saat ini Kemenperin sedang menyusun draf ISPO hilir sawit dengan seluruh pemangku kepentingan industri hilir CPO. Namun masih perlu masukan dari pakar serta tenaga ahli khususnya yang mengetahui substansi sustainability dan traceability di sektor hilir,” ujar Abdul Rochim, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian RI, dalam pesan singkat, Jumat (5 Februari 2021). Munculnya, usulan ISPO dalam sistem rantai pasok sawit merujuk kepada aturan ISPO terbaru. Dalam Permentan ISPO Nomor 38/Tahun 2020 di pasal 4 dijelaskan penerapan transparansi meliputi sistem rantai pasok yang mampu telusur. Selanjutnya dalam pasal 28 disebutkan Lembaga Sertifikasi melakukan penilaian rantai dalam rangka menjamin ketelusuran bahan baku TBS yang diolah menjadi minyak sawit, minyak inti sawit, dan produk samping. Nantinya, ketelusuran akan dilakukan untuk ruang lingkup kebun, pengolahan kelapa sawit, dan bulking. Berikutnya model penelusuran rantai pasok melalui model segregasi dan mass balance. Abdul Rochim menuturkan Kemenperin menganggap penting ISPO Hilir karena nantinya akan mengatur aspek sustainable sistem industri dan sistem rantai pasok pengolahan minyak sawit dengan bantuan teknologi 4.0 untuk menjamin traceability SPO (Sustainable Palm Oil). Edy Sutopo, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan BahanPenyegar Kemenperin RI, menjelaskan bahwa pembahasan sertifikasi ISPO produk hilir setelah adanya pernyataan Deputi II Bidang Pertanian dan Pangan Kemenko Perekonomian yang memerintahkan penyusunan sertifikasi sampai keindustri hilir pengolahan. Dengan pertimbangan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil) telah mengadopsi model tersebut. “Implementasi sertifikasi produk hilir sebaiknya lebih mudah. Proses sertifikasi dalam penyusunan prinsip dan kriteria ISPO hilir akan berpegang kepada prinsip sustainability UN SDG’s. Kalau pun dibutuhkan pengetatan prinsip dan kriteria, ISPO untuk hilir dapat direvisi sesuai kebutuhan,” ujarnya saat membawakan presentasi dalam diskusi webinar “Sosialisasi New ISPO untuk Mendukung Pencapaian Target Sertifikasi ISPO Bagi Seluruh Anggota GAPKI” pada pertengahan Februari 2021,.
Nantinya, penilaian kesesuaian ISPO dilakukan sesuai peraturan berlaku dengan mematuhi tujuh prinsip. Antara lain rasional dan dapat diterapkan, progresif, praktek lazim, efisiensi biaya, keberterimaan ,jaminan, dan peningkatan kemampuan. “Itu sebabnya, ISPO hilir akan disusun dalam bentuk rancangan Peraturan Menteri Perindustrian. Regulasi ini menjadi turunan pengaturan teknis ISPO hilir dari Perpres ISPO Nomor 44/2020. Karena di sektor hulu sudah lebih dulu terbit Permentan Nomor 38/2020,” jelas Edy. Ia mengakui ada dua kutub pemikiran dalam pembahasan ISPO produk hilir. Pertama, ada usulan supaya sertifikasinya mengadopsi RSPO. Lalu, ada pemikiran lain supaya sertifikasi sifatnya agak pragmatis sebagaimana MSPO. “Jadi, kami akan adjustment dari kedua model sertifikasi tadi. Prinsip sustainability tetap dipegang asalkan tidak membebani industri sepenuhnya,” pinta Edy. Dalam pelaksanaannya, sertifikasi ISPO hilir ini akan berlaku bagi perusahaan yang memproses, memproduksi, memasok, dan/atau mengekspor produk minyak sawit dengan menggunakan bahan baku dari perkebunan sawit bersertifikat ISPO. Dan/atau berasal dari kepemilikan sah dan secara fisik menangani produk minyak sawit bersertifikat ISPO di rantai pasok. Itu sebabnya, prinsip dan kriteria sertifikasi ISPO produk hilir mengacu 17 principles UN SDG’s yang akan menjadi acuan tertinggi norma sustainability. Selain itu, dilakukan pendekatan keseimbangan push-pull berupa push untuk menetapkan prinsip serta kriteria yang sejalan acuan tertinggi. Lalu pull dengan mempertimbangkan kemudahan implementasi dan sertifikasi di lapangan. Edy menambahkan bahwa sertifikasi di sektor pengolahan hilir tetap menjaga daya saing industri, memperkuat akses pasar, dan keberterimaan produk. Tanpa menciptakan beban baru bagi industri. Selain itu, penggunaan teknologi sangatlah penting maka bagi perusahaan yang menanamkan investasi dapat diberikan kompensasi berupa insentif fiscal dan non fiskal.”Tuntutan global terhadap produk hilir sawit menjadi pendorong Indonesia memiliki sertifikasi hilir agar lebih bersaing di pasar ekspor,” harapnya. Hary Hanawi, Wakil KetuaUmum APROBI mendukung penuh sertifikasi produk hulu sampai hilir sawit. “Kami pasti dukung penuh,” ujarnya. Begitu pula Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, mengatakan sertifikasi ini harus dipakai sebagai kondisi memenuhi pasar. Itu sebabnya, substansi sertifikasi sebaiknya mengikuti prinsip SDG’s. Memang banyak tantangan berkaitan tudingan kredibilitas minyak sawit dengan ISPO.
BERITA BIOFUEL
Antaranews.com | Senin, 15 Maret 2021
Pertamina pastikan kuota Biosolar untuk Bengkulu cukup
Pihak Pertamina memastikan kuota Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Biosolar untuk Provinsi Bengkulu cukup, meski saat ini terjadi antrean yang cukup panjang hampir diseluruh SPBU. Unit Manager Communication, Relation & CSR MOR II Umar Ibnu Hasan mengatakan Pertamina telah menetapkan sebanyak 14,9 ribu kilo liter (KL) kuota Biosolar untuk Bengkulu selama tahun 2021 sesuai dengan usulan Pemerintah Provinsi Bengkulu sendiri. Kuota tersebut akan disalurkan ke 34 dari 43 lembaga penyalur atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang menyediakan BBM jenis Biosolar di Provinsi Bengkulu. “Kuota BBM itu diyakini mencukupi kendati antrean terjadi di SPBU, karena pendistribusiannya juga telah dijadwalkan setiap sore hari dan kami sebagai operator menyalurkan BBM jenis Biosolar ke setiap SPBU, sesuai dengan kuota yang telah ditentukan pemerintah,” kata Umar saat dihubungi, Senin. Umar juga memastikan tidak ada pelanggaran yang ditemukan pihaknya selama melakukan pengawasan terkait penyaluran BBM khususnya di area SPBU. Pengawasan yang dimaksud seperti mencatat nomor polisi kendaraan pengangkut BBM, data pelanggan dan volume pengisian BBM. Namun, kata dia, jika ada pelanggaran diluar area SPBU itu bukan menjadi tanggung jawab pihak Pertamina, sebab pengawasan diluar area SPBU menjadi kewenangan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. “Jika terjadi penyimpangan di luar wilayah SPBU, menjadi kewenangan pemerintah daerah, termasuk partisipasi aparat penegak hukum setempat,” paparnya.
Umar menjelaskan, berdasarkan Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 disebutkan kriteria kendaraan yang tidak boleh menggunakan BBM solar bersubsidi yaitu kendaraan dinas BUMN/BUMD, kendaraan dinas TNI/Polri, kendaraan dinas pemerintah. Kemudian kendaraan alat berat, genset penerangan, dan mobil barang roda enam baik yang beroperasi pengangkut hasil pertambangan seperti batu, pasir dan tanah serta pengangkut hasil perkebunan. Namun, kata Umar, ada pengecualian seperti mobil ambulance, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran, mobil pengangkut sampah, berhak mendapatkan solar bersubsidi “Lalu usaha pertanian, perikanan, genset rumah sakit tipe C dan D, panti asuhan, dan panti jompo untuk penerangan, berhak mendapatkan solar bersubsidi dengan rekomendasi SKPD setempat,” ucapnya. Sementara itu, salah seorang warga Kota Bengkulu Susanto mengeluhkan sulitnya mendapatkan BBM bersubsidi di Bengkulu. Jika pun ada, kata dia, harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkannya. “Saya berharap ada solusi dari pihak terkait, seperti pemerintah daerah dan pertamina agar dapat menambah kuotanya untuk Bengkulu. Apalagi saat ini untuk mendapatkan BBM jenis Biosolar itu, ketika masuk ke SPBU harus mengantri berjam-jam,” demikian Susanto.