Jokowi Instruksikan Jajarannya Penuhi Kebutuhan Energi Dalam Negeri
Republika.co.id | Selasa, 4 Januari 2022
Jokowi Instruksikan Jajarannya Penuhi Kebutuhan Energi Dalam Negeri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ia mengatakan, pemerintah mewajibkan perusahaan swasta, BUMN beserta anak perusahaannya yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, maupun pengolahan sumber daya alam lainnya untuk menyediakan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor. Menurut Presiden, hal tersebut sesuai dengan amanat konstitusi, yakni Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. “Bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Jokowi saat memberikan keterangannya di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (3/1). Terkait pasokan batu bara, Presiden memerintahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) agar segera mencari solusi terbaik demi kepentingan nasional. Ia mengatakan, pemenuhan kebutuhan dalam negeri untuk PLN dan industri dalam negeri menjadi prioritas utama. Jokowi mengatakan, sudah ada mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) yang mewajibkan perusahaan tambang memenuhi kebutuhan pembangkit PLN. Karena itu, ia pun menegaskan mekanisme tersebut tak dilanggar dengan alasan apapun. “Ini mutlak. Jangan sampai dilanggar dengan alasan apapun. Perusahaan yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bisa diberi sanksi. Bila perlu, bukan cuma tidak mendapatkan izin ekspor, tapi juga pencabutan izin usahanya,” ujarnya. Kedua, terkait pasokan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG), Jokowi juga meminta produsen LNG baik Pertamina maupun perusahaan swasta agar mengutamakan kebutuhan di dalam negeri. “Selain itu, saya perintahkan Kementerian ESDM, Kementerian BUMN untuk mencari solusi permanen dalam menyelesaikan masalah ini,” tambah dia. Ketiga, terkait minyak goreng, Presiden memerintahkan Menteri Perdagangan menjamin stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Kenaikan harga minyak goreng ini disebabkan oleh harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar ekspor yang sedang tinggi. “Sekali lagi, prioritas utama pemerintah adalah kebutuhan rakyat. Harga minyak goreng harus tetap terjangkau. Jika perlu, Menteri Perdagangan melakukan lagi operasi pasar agar harga tetap terkendali,” kata Jokowi.
https://www.republika.co.id/berita/r555d8457/jokowi-instruksikan-jajarannya-penuhi-kebutuhan-energi-dalam-negeri
Sawitindonesia.com | Senin, 3 Januari 2022
Strategi Pemanfaatan B40
Kementerian ESDM bersama stakeholder lain telah mempersiapkan peningkatan bauran biodiesel menjadi B40. Semua kajian telah dirancang dari aspek teknis dan non teknis Pemerintah mengapresiasi program Biodiesel berbasis sawit yang hingga saat ini berjalan lancar. Tentu program ini tidak dipersiapkan dalam waktu singkat dan melalui kerjasama dengan berbagai pihak. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, dalam webinar Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel : Indonesia Menuju B40, yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, pada Selasa (30 Desember 2021). Disampaikan Dadan, program Biodiesel yang dikembangkan dari bahan minyak nabati sawit sejalan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon. Dan, komitmen ini juga disampaikan di berbagai pertemuan Internasional di antaranya UNFCCC – COP26, pada November lalu dan Leaders Summit on Climate, pada April 2021. “Pengembangan Biofuel di dalam negeri mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo,” ujarnya. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan komposisi konsumsi energi nasional, pada 2010 masih didominasi oleh sektor industri sebesar 46%, sementara jika melihat di 2020 terjadi pergeseran didominasi oleh sektor transportasi sebesar 43%. Sedangkan impor dan konsumsi domestik bahan bakar nabati mengalami perubahan sejak 2010 – 2020. Impor diesel oil (solar) mengalami penurunan dari 10,6 juta KL pada 2010, dan 3,2 juta KL pada 2020. Sedangkan, konsumsi Diesel Oil (solar) mengalami peningkatan dari 19,1 juta KL pada 2010, dan 27,5 juta KL pada 2020. “Hal itu terjadi karena pemanfaatan Biodiesel cukup besar mulai dari B10, B15, B20 dan B30,” kata Dadan. Mengenai tahapan, target, realisasi dan pemanfaatan Biodiesel, Dadan mengatakan pemanfaatan Biodiesel berbasis sawit untuk sektor PSO (usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi dan pelayanan umum) dan transportasi non PSO, pembangkit listrik, industri dan komersial. ”Sedangkan untuk target dan realisasi, sejak 2018 progress meningkat bahkan di tahun 2020 yaitu 8,4 juta KL melebihi target RUEN (8 juta KL). Sementara, untuk produksi, konsumsi dan ekspor hingga November 2021 yaitu produksi 8,1 juta KL, konsumsi domestik 7,8 juta KL dan ekspor 123,877 KL. Realisasi pemanfaatan Biodiesel, grafiknya terus meningkat. Tetapi kalau ekspor angkanya tidak stabil karena tahapannya konsumsi dalam negeri yang dipenuhi baru kemudian untuk ekspor,” jelasnya. Dari sisi produksi di dalam negeri kapasitas unit produksi terpasang memang masih didominasi di wilayah Jawa, Sumatera, tetapi dalam 1 – 2 tahun ini ada di Kalimantan dan 1 unit produksi ada di Sulawesi dan akan terus di dorong di wilayah Papua. Hal ini untuk ketepatan pengiriman dan sisi efisiensi biaya pengiriman. Untuk pengembangan Biofuel berbasis sawit terus dilakukan dan diupayakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM. Salah satunya peningkatan campuran terhadap minyak solar, ada beberapa opsi yang dilakukan. Dan, pengembangan Biofuel pada 2021-2040, sebagai kelanjutan dari Bioavtur serta peningkatan campuran yang dicampurkan pada minyak solar. Ada beberapa opsi untuk masuk ke generasi berikutnya baik dari sisi pemanfaatan Biofuels yaitu pengembangan Co-Proccesing Green Diesel di Pertamina RU II Dumai ditargetkan akan mulai berproduksi secara komersial pada 2022. “Terkait dengan Bensa (bensin sawit). Kami memang mendorong bensin sawit. Dari sisi kualitas, kami mengikuti apa yang menjadi kebutuhan konsumen, bagaimana meningkatkan keekonomian dan nilai tambah. Misalnya produksi Biodiesel tahun ini 10 juta KL maka akan mempunyai produk gliserin yang sangat banyak. Kami mendorong pemanfaatan Biodiesel memberikan nilai tambahan terhadap industri sawit,” terang Dadan. Selain itu, pemanfaatan hasil sawit non CPO yaitu mengembangkan advancegeneration biofuels dengan prinsip berkelanjutan baik dari sisi produksi maupun dari sisi proses, meningkatkan keterlibatan petani, standar mutu yang semakin baik, proses yang semakin efisien dan harga yang stabil serta terkendali.
Uji B40
Terkait dengan pemanfaatan peningkatan campuran terhadap solar, di tahun mendatang dari B30 menjadi B40, Dadan menjelaskan upaya-upaya yang sedang dilakukan oleh Kementerian ESDM. Pihaknya sudah melakukan uji lab terkait dengan B40 dengan tiga komposisi, B40 dengan menggunakan FAME yang berlaku saat ini yaitu B30 (FAME) ditambah dengan DPME 10%. Dan, B30 (FAME) ditambah dengan HVO 10% dengan uji karakteristik fisika kimia B30 + HVO10 dengan aspek kinerja (angka setana dan nilai kalor), aspek lingkungan/emisi (kandungan sulphur), kemudian handling & storage (kandungan air, stabilitas oksidari, angka asam, titik nyala dan titik kabur) dan aspek kebersihan/filter plugging (FBT, kontaminasi partikulat, cleanliness). “Hasilnya semua bisa berjalan di dalam engine (mesin), tetapi dari sisi rekomendasi yang kami usulkan untuk B40, B30 FAME + DPME10% menunjukan penurunan torsi dan daya 1,1 – 2,1% dan diikuti dengan peningkatan konsumsi 1,1% dan penurunan opasitas gas buang 1,6 – 3,2%. Sedangkan B30 FAME + HVO10% memberikan nilai tambah pada daya maksimal 0,6% dan torsi maksimal 2,6%,” jelasnya. “Dari hal tersebut kami berpendapat, produksi FAME mencukupi untuk penerapan B40 dari sisi kapasitas. Tetapi, apabila memilih B30 + DPME10% dari sisi produsen masih memerlukan waktu untuk melakukan destilasi ulang terkait untuk penurunan kandungan air. Kemudian untuk Pertamina mulai memproduksi HVO dalam jumlah besar mulai tahun 2024,” imbuh Dadan.
CNBCIndonesia.com | Senin, 3 Januari 2022
Masih Lama! RI Baru Bisa Bebas Impor BBM 2030
Dewan Energi Nasional (DEN) mencatat, bahwa Indonesia baru bisa bebas impor Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2030. Strategi pemerintah untuk menyetop impor tahun 2017 dinilai akan sulit terlaksana. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Senin (3/1/2022). “Karena pandemi 2021 lalu, kemungkinan pembangunan kilang kita agak terlambat dan kemungkinan paling cepat 2027 kita tidak impor bensin lagi, atau mungkin mundur sampai 2030. Itu yang di dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) kita,” jelas Djoko. Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa program untuk mengurangi impor bensin di Indonesia, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2019, akan digantikan dengan kendaraan listrik dan menggalakkan bahan bakar gas (BBG). Kemudian, pemerintah saat ini, kata Djoko sedang membangun pabrik biofuel dan sedang dilakukan uji coba bahan bakar rendah emisi A20 untuk menggantikan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin. Adapun bahan bakar A20 adalah campuran bensin dengan metanol 15% dan 5% etanol. A20 merupakan program bersama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang disupport oleh Pertamina. Adanya BBM jenis A20 disebut sebagai salah satu peluang untuk menggeser BBM jenis bensin. Namun, penggunaan bahan bakar A20 secara komersial belum dilakukan, karena masih tahap uji coba. “Kita juga sedang bangun pabrik katalis Merah Putih, kerjasama Pertamina, PT Pupuk Indonesia dan ITB (Institut Teknologi Bandung) sebagai katalisator untuk produksi 100% green fuel yang berbahan baku dari minyak sawit,” jelas Djoko. “Jadi itu yang ada di dalam program RUEN maupun green strategy nasional kita,” ujarnya lagi. Sebelumnya, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan pemerintah bersama otoritas terkait telah menyiapkan strategi untuk tidak lagi melakukan impor BBM jenis bensin pada 2027 mendatang. Salah satu strategi yang digunakan adalah menggunakan kendaraan listrik dan meningkatkan penggunaan biodiesel dengan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dalam negeri. Dalam grand strategi pengurangan impor BBM, penggunaan mobil listrik ditargetkan mencapai 2 juta unit dan 13 juta unit motor pada 2030, sementara biodiesel 30% (B30) juga dipertahankan dan juga mengoptimalkan produksi BBN. Menurut Arifin, implementasi biodiesel sudah sukses berjalan selama 15 tahun, dan menjadikan Indonesia sebagai pelopor dalam penerapan pencampuran (blending rate) BBN berupa fatty acid methyl esters (FAME) pada diesel berbasis minyak fosil hingga mencapai 30% atau B30. Namun demikian, tak hanya akan berhenti pada B30, pemerintah juga berencana akan meningkatkannya menjadi B40 atau 40% campuran FAME pada diesel berbasis fosil. “Saat ini Kementerian ESDM juga sedang menyusun pengembangan B40 dengan menerapkan bahan bakar hijau,” katanya dalam Webinar “Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel: Indonesia Menuju B40”, Selasa (30/11/2021).
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220103180853-4-304255/masih-lama-ri-baru-bisa-bebas-impor-bbm-2030