Kebijakan DMO Sawit 30% Menuai Penolakan (GIMNI keberatan dengan kebijakan DMO 30% karena membuat stok CPO melimpah)

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Harian Kontan | Senin, 14 Maret 2022

Kebijakan DMO Sawit 30% Menuai Penolakan (GIMNI keberatan dengan kebijakan DMO 30% karena membuat stok CPO melimpah)

Pemerintah telah memberlakukan kebijakan wajib pasok bahan baku sawit ke pasar domestik atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 30% kepada eksportir minyak sawit atau crude palm oii (CPO) sejak Kamis (10/3) lalu. Porsi DMO minyak sawit 30% ini lebih besar ketimbang kebyakan yang berlaku sebelumnya yang hanya sebesar 20% dari total volume ekspor. Kebijakan ini menuai polemik pro dan konlra di internal pengusaha sawit sendiri. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan pengusaha keberatan dengan kebijakan DMO 30% ini. Pasalnya, ia khawatir penerapan tersebut justru akan menganggu ekosistem dari industri sawit nasional. “Kami terus terang tidak setuju dengan DMO 30% ini memojokkan industri persawitan dan kalau ekspor macet itu semua akan macet,” jelasnya akhir pekan lalu. Sahat menyambut baik kebijakan DMO sebelumnya yang mampu mengumpulkan sekitar 415.000 ton minyak goreng sawit dalam waktu 22 hari. Adapun, jumlah realisasi DMO tersebut sudah melebihi kebutuhan selama satu bulan yaitu 330.000 ton. Artinya, seharusnya pemerintah tak perlu menaikkan kebijakan DMO menjadi 30%. “Jadi dari 20% DMO jadi 30% \’ DMO, itu ada 48% tambahan margin produk ekspor yang harus dicari itu mencarinya tak mudah,” ungkapnya Selain itu dengan menaikkan DMO akan membuat stok minyak sawit di domestik semakin melimpah. Sementara kapasitas tampung di tiap perusahaan terbatas. Adapun, kapasitas tampung tangki milik industri hanya 4,8 juta ton, namun bila DMO 30% ini diterapkan artinya butuh penampungan hingga 5,9 juta ton. Sementara Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi mendukung rencana DMO untuk minyak sawit 30% ini dan berharap ini bisa benar-benar menjadi solusi akhir terkait masalah minyak goreng. “Harapannya adalah semoga Indonesia tidak kehilangan momentum dengan harga CPO global yang masih tinggi saat ini,” ujar dia. Seperti diketahui, dengan adanya proses DMO minyak sawit 30% ini dapat dipastikan proses ekspor bakal lebih panjang. Tofan bilang eksportir harus siap untuk melaporkan pemenuhan DMO mereka ini terlebih dahulu sebelum akhirnya melaksanakan ekspor produk CPO. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indoensia (Aprobi) Paulus Tjakrawan memastikan para produsen biodiesel juga mendukung penuh rencana DMO 30% untuk minyak goreng ini. Menurutnya, kebijakan me- menuhi kebutuhan dalam negeri menjadi cukup penting agar tidak ada gejolak harga di dalam negeri. Ia memastikan kebijakan DMO ini tidak akan mengganggu pasokan bahan baku CPO untuk biodiesel nantinya.

 

BERITA BIOFUEL

 

 

Sindonews.com | Jum’at, 11 Maret 2022

Bukan untuk Minyak Goreng, Konsumsi CPO Terbanyak untuk Biodiesel

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) mencatat konsumsi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di dalam negeri didominasi untuk biodisel dengan volume setara 732.000 ton. Jumlah tersebut lebih besar dari serapan untuk kebutuhan konsumsi seperti minyak goreng. Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan konsumsi CPO terbesar adalah untuk biodiesel sebesar 732.000 ton, diikuti untuk industri pangan sebesar 591.000 ton dan oleokimia 183.000 ton. “Konsumsi minyak sawit untuk biodiesel yang melampaui untuk pangan telah terjadi sejak November 2021,” kata Mukti melalui keterangan tertulis, Jumat (11/3/2022). Selain itu konsumsi CPO dalam negeri untuk biodisel juga mengalami peningkatan di bulan Januari 2022 jika dibandingkan pada periode yang sama tahun 2021. Pada Januari 2021 konsumsi CPO untuk biodisel mencapai 448.000 ton. Jumlah tersebut melonjak menjadi 732.000 ton per Januari 2022. Sedangkan konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan justru menggambarkan hal sebaliknya alias mengalami penurunan pada Januari 2022 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021. Pada periode Januari 2021, tercatat konsumsi CPO untuk produk pangan sebesar 763.000 ton, namun pada Januari 2022 menurun menjadi 591.000 ton. Selanjutnnya konsumsi CPO untuk produk oleokimia seperti olahan sabun dan lain sebagainya juga mengalami peningkatan pada Januari tahun 2022 jika dibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu konsumsi CPO untuk oleokimia di Januari 2021 berada di angka 178.000 ton, sedangkan pada Januari 2022 mengalami peningkatan menjadi 183.000 ton. Lebih lanjut, Mukti menerangkan bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina telah mendorong naiknya harga minyak bumi lebih dari USD100 per barrel. Selain itu dampak konflik kedua negara tersebut diperkirakan membuat perusahaan kelapa sawit mengalami defisit pasokan. Oleh sebab itu, kata Mukti, pemerintah perlu mengatur secara bijak penggunaan dalam negeri dan ekspor minyak sawit untuk menjaga neraca perdagangan nasional. “Bagi pekebun, peningkatan efisiensi dan produksi merupakan dua hal yang harus terus menerus diupayakan,” tandasnya.

https://ekbis.sindonews.com/read/710089/34/bukan-untuk-minyak-goreng-konsumsi-cpo-terbanyak-untuk-biodiesel-1647007404?showpage=all

Infosawit.com | Minggu, 13 Maret 2022

Kemenperin: Industri Sawit Dukung Kemandirian Energi Lewat Mandatori Biodiesel

Industri pengolahan sawit sebagai salah satu sektor unggulan yang menopang perekonomian nasional. Kinerja ini dibuktikan antara lain melalui kontribusinya sebesar 17,6% terhadap total ekspor nonmigas pada tahun 2021. “Pada tahun 2021, ekspor produk sawit sekitar 40,31 juta ton dengan nilai ekspor US$ 35,79 miliar, meningkat sebesar 56,63% dari nilai ekspor tahun 2020,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif di Jakarta, Kamis (10/3), dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT. Selain itu, industri pengolahan sawit merupakan sektor padat karya, yang telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 4,20 juta orang dan pekerja tidak langsung hingga 12 juta orang. “Peran penting lainnya, industri sawit juga turut menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel sehingga menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan,” imbuh Febri. Program mandatory biodiesel ini juga konsisten dijalankan karena berdampak positif bagi perekonomian. Sepanjang tahun 2021, program B30 bermanfaat pada pengurangan impor BBM Diesel sebesar 9,02 juta kiloliter. Ini artinya menghemat devisa sekitar US$ 4,54 miliar atau Rp. 64,45 Trilliun. Program B30 juga mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sekitar 24,4 juta ton setara CO2. Menurut Febri, hilirisasi industri berbasis kelapa sawit merupakan salah satu keberhasilan dari kebijakan pemerintah sejak tahun 2007 yang menetapkan sektor ini sebagai program prioritas secara konsisten sampai tahun 2022. Di samping itu, dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat signifikan, dari 20% di tahun 2010 menjadi 80% pada 2020. Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No 13 Tahun 2010. Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME. Sementara pada tahun 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir CPO.

https://www.infosawit.com/news/12087/kemenperin–industri-sawit-dukung-kemandirian-energi-lewat-mandatori-biodiesel

Investor.id | Minggu, 13 Maret 2022

Penggunaan BBM Beroktan Rendah Ganggu Kinerja Mesin Kendaraan 

Kenaikan harga sejumlah produk bahan bakar minyak (BBM) beroktan tinggi sebagai imbas dari melonjaknya harga minyak dunia disinyalir akan mendorong konsumsi BBM dengan kualitas di bawahnya. Akan tetapi, migrasi ini tidak akan serta merta terjadi mengingat saat ini pemilik kendaraan sudah banyak yang menyadari bahwa spesifikasi BBM beroktan rendah akan menggangu kinerja mesin. Prof Deendarlianto, Kepala Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengungkapkan berdasarkan penelitian yang dilakukan PSE, perubahan nilai oktan pada bahan bakar akan mempengaruhi nilai kadar emisi. Bahan bakar dengan bilangan oktan lebih rendah memiliki kadar CO yang lebih tinggi. Seiring meningkatnya RPM dan kecepatan kendaraan, kadar CO juga akan terus meningkat. “Kalau bicara RON dalam implementasi ke efisiensi mesin, kami yakin pengguna Pertamax tidak akan serta merta beralih ke Pertalite karena akan berdampak ke mesin. Semakin rendah RON akan semakin tinggi emisinya,” ujar Prof Deendarlianto, saat diskusi virtual dengan wartawan, Sabtu, (12/3/2022). BBM jenis Peralite (RON90) saat ini paling banyak dikonsumsi. Di tingkat nasional, lebih dari 50% pengguna kendaraan bermotor mengonsumsi Pertalite. Selain itu, Pertamina juga menjual beberapa jenis BBM berkualitas seperti Pertamax (RON92), Pertamax Plus (RON 95), dan Pertamax Turbo (RON 98). Menurut Guru Besar Teknik Mesin UGM itu, dari sisi teknis jika ada konsumen beralih dari Pertamax ke Pertalite, mereka tentunya akan berpikir ulang karena alasan kinerja mesin tadi. Namun hal itu tidak bisa dihindari karena masih ada kalangan masyarakat yang membutuhkannya. “Isu kualitas BBM ini kan sempat ramai juga tahun lalu, katanya Premium mau dihilangkan. Saya sebenarnya setuju itu karena memang emisinya jauh lebih besar. Dari pertimbangan net zero emission harusnya Pertamina memang sudah mulai mengurangi premium sehingga kita mulai beralih,” kata dia. Dalam beberapa tahun ke depan, penggunaan BBM fosil secara umum masih akan mengalami kenaikan. Ini sesuai dengan proyeksi yang disusun pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sampai 2030. Berdasarkan data pada jurnal yang diterbitkan Elsevier, yang ditulis Deendarlianto bersama dua rekannya yakni Indra Candra Setiawan dan Indarto, pada 2030 konsumsi minyak sebagai bahan bakar transportasi masih yang terbesar dengan persentase mencapai 64%. Kemudian sektor industry (31%), komersial (1%), rumah tangga (1%) dan lainnya (4%). Lebih rinci lagi, berdasarkan jurnal bertajuk Energy Policy tersebut, BBM terbanyaj akan disedot oleh sektor transportasi darat atau jalan raya dengan persentase mencapai 90%. “Total konsumsi minyak pada 2030 akan mencapai 122,6 miliar liter dan khusus untuk kendaraan roda empat sebesar 49,5 miliar liter,” ucap dia. Deendarlianto menambahkan, PSE UGM juga telah membuat model kebutuhan energi khususnya BBM dengan mempertimbangkan bakal masuknya sumber energi lain seperti biodiesel, mobil listrik, etanol, hingga CNG. “Data ini digunakan juga oleh Kemenperin dalam merancang aturan industri automotif nasional. Beberapa tahun ke depan memang secara linier kendaraan BBM naik, mungkin sampai 2025, lalu flat dan turun karena masuknya kendaraan dengan bahan bakar lain. Tapi tidak mungkin turun sampai 0,” kata dia. Dalam kajian PSE UGM, ujar Deendarlianto, sektor aumotif ke depan akan mengarah teknologi yang didesain menghasilkan produk rendah emisi. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan lain harus melihat secara integral semua sektor terkait, mulai dari industrinya, pengembangan infrastruktur jalannya, hingga kebijakannya. “Rendah emisi berarti BBM harus ramah lingkungan. Maka saya setuju dengan penghapusan premium. Dari dulu saya setuju. Pertimbangannya pertama green energy, makanya kita masuk ke energy transisi, low karbon,” kata dia. Kendati demikian, dia mengakui bahwa untuk menghasilkan energi bersih memerlukan cost tambahan dan tidak semua golongan masyarakat mampu mengaksesnya. Sehingga, disinilah peran pemerintah untuk hadir dan memberikan subsidi bagi masyarakat tidak mampu. “Kalau kita bicara Eropa dan Amerika Serikat, mereka tidak pernah ribut masalah BBM karena daya beli cukup kuat. Ini beda dengan kita, makanya negara harus hadir,” kata dia.

https://investor.id/business/286408/penggunaan-bbm-beroktan-rendah-ganggu-kinerja-mesin-kendaraanrnnbsp

 

Infosawit.com | Senin, 14 Maret 2022

Tata Lagi Konsumsi CPO untuk biodiesel dan Pangan

Pemerintah dipandang perlu mengatur pemanfaatan minyak Kelapa Sawit mentah untuk biodiesel, pangan, dan ekspor guna menjaga neraca dagang dan stok minyak nabati global. Konsumsi minyak Kelapa Sawit mentah atau CPO untuk program biodiesel pada Januari 2022 melampaui konsumsi untuk kebutuhan pangan. Di sisi lain, produksi serta ekspor CPO dan produk turunannya pada awal tahun ini turun. Pemerintah dinilai perlu mengatur pemanfaatan CPO secara bijak di tengah perkiraan defisit pasokan berbagai jenis minyak nabati pada semester 1-2022. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, produksi CPO pada Januari 2022 mencapai 3,862 juta ton dan minyak inti Kelapa Sawit (PKO) 365.000 ton. Produksi CPO dan PKO tersebut lebih rendah masing-masing 3 persen dan 3,9 persen dari Desember 2021. Dari jumlah produksi itu, total konsumsi CPO dalam negeri pada Januari 2022 mencapai 1.506 juta ton, turun 9.6 pawn atau sekitar 160.000 ton dari Desember 2021. Konsumsi terbesar adalah untuk biodiesel, yakni mencapai 732.000 ton. diikuti industri pangan 591.000 ton dan oleokimia 183.000 ton, “Konsumsi minyak sawit untuk biodiesel itu melampaui untuk kebutuhan industri pangan. Hal ini telah terjadi sejak November 2021,” kata Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono melalui siaran pers, Jumat (11/3/2022). Gapki juga menyebutkan, ekspor CPO dan produk turunannya pada Januari 2022 turun 11,4 persen dari Desember 2021 menjadi 2.179 juta ton. Penurunan ekspor terbesar terjadi untuk tujuan China, yakni 149.000 ton dan Pakistan 108.000 ton. Menurut Mukti, penurunan produksi dan ekspor itu merupakan pola musiman. Penu- runan ekspor juga terjadi lantaran terbatasnya pasokan dan kenaikan harga CPO global. Konflik Rusia-Ukraina mendorong kenaikan harga minyak mentah hingga di atas 100 dollar AS per barel. Ini menambah beban Pemerintah Indonesia dan negara lain.

Bergejolak

Kenaikan harga minyak nabati, lanjut Mukti, juga perlu dicermati. Gapki memperkirakan akan terjadi defisit pasokan berbagai jenis minyak nabati pada semester 1-2022, apalagi Ukraina merupakan salah satu negara produsen biji bunga matahari dan rapeseed. Selama ini Indonesia juga mengimpor berbagai minyak nabati dari negara lain. Pada Januari 2022, Indonesia meng- impor oleokimia dan produk olahan CPO yang masih banyak mengandung ;isam lemak (jmlm fitly acid dbflUate/PFAD) dari Malaysia, masing-masing sekitar 4.800 ton dan 316 ton. Di samping itu, terdapat impor minyak kedelai, bunga matahari, dan minyak nabati lain dengan total volume mencapai 5.500 ton. Indonesia, antara lain, mengimpor minyak kedelai dari Malaysia 2.300 ton dan dari Thailand 1.500 ton. Mukti berpendapat, terbatasnya pasokan minyak nabati dan konflik Rusia-Ukraina akan mendorong kenaikan harga minyak nabati. CPO juga akan menjadi harapan utama bagi negara-negara importir minyak nabati. “Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatur secara bijak pe- manfaatan CPO di dalam negeri (baik untuk kebutuhan biodiesel maupun pangan) dan ekspor untuk menjaga neraca perdagangan nasional. Bagi pekebun, peningkatan efisiensi dan produksi merupakan dua hal yang harus terus-menerus diupayakan,” ujarnya. Sejak Indonesia mengumumkan kebijakan menaikkan kuota kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market obliga-fr\’on/DMO) dari 20 persen menjadi 30 persen dari total ekspor pada 9 Maret 2022, harga CPO global turut bergejolak dan masih tinggi. Saat itu, harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia tembus 7.074 ringgit Malaysia per ton. Pada akhir perdagangan Jumat (11/3), harga CPO kem- bali turun menjadi 6.707 ringgit Malaysia per ton. Namun, harga itu sudah naik 18.35 persen secara bulanan dan 62.59 persen secara tahunan.

Operasi pasar

ID Food. Holding BUMN Pangan, berkomitmen membantu pemerintah menggelar operasi pasar minyak goreng di sejumlah daerah. I Iai itu dalam rangka menjaga stabilitas stok dan harga sekaligus meratakan distribusi minyak goreng di seluruh Indonesia. Direktur Komersial ID Food Frans M Tambunan menuturkan, sejak Januari 2022 hingga 10 Maret 2022. ID Food telah mendistribusikan minyak goreng1 sebanyak 8.1 juta liter. . Jumlah itu terdiri daii 6.4 juta liter minyak goreng curah, 1,6 juta liter minyak goreng kemasan, dan 27.000 liter minyak goreng jeriken. Minyak goreng itu telah didistribusikan ke 402 titik di sejumlah daerah di Indonesia. “ID Food akan melanjutkan pendistribusian ilu seiring dengan perkembangan harga minyak goreng yang masih fluktuatif. Pendistribusian akan menyasar pasar-pasar rakyat atau pasar tradisional dengan mengandalkan cabang perdagangan dan logistik ID Food Group yang tersebar di seluruh Indonesia,” ujarnya melalui siaran pers. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir berpendapat, kolaborasi pemerintah dengan pelaku usaha amat penting untuk mengurai persoalan ini. “Saya berharap perusahaan swasta dan pelaku usaha minyak goreng yang memiliki kapasitas produksi lebih tinggi turut membantu agar dapat menstabilkan harga minyak goreng di pasaran,” kata Erick.