Kebutuhan BBM Meningkat, Pemerintah Tambah Alokasi Biodisel
Jurnas.com | Rabu, 1 Desember 2021
Kebutuhan BBM Meningkat, Pemerintah Tambah Alokasi Biodisel
Pemerintah melalui Kementerian ESDM, menetapkan tambahan alokasi bahan bakar minyak jenis biodiesel sebesar 213.033 kiloliter menjadi total 9.413.033 kiloliter untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sampai akhir 2021. Sampai pekan keempat November 2021, dari alokasi awal biodiesel sebesar 9,2 juta kiloliter tercatat sudah terealisasi 8,08 juta kiloliter atau 87,9 persen dari total alokasi. Penambahan ini dikarenakan aktivitas masyarakat yang terus meningkat menuju kembali pada kondisi normal berdampak pada peningkatan kebutuhan BBM. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Rabu (1/12). “Keberhasilan program pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah telah membuat aktivitas masyarakat berangsur pulih menuju kembali pada kondisi normal. Hal ini juga berdampak pada peningkatan kebutuhan atau demand BBM, termasuk solar yang mulai menunjukkan tren meningkat sejak September 2021,” ujarnya. Sesuai dengan tahapan pelaksanaan mandatori biodiesel yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM No 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Pemerintah resmi mengimplementasikan program mandatori pencampuran 70 persen solar dengan 30 persen biodiesel (program B30) pada 1 Januari 2020. Program ini menjadi salah satu program prioritas nasional untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencapai transisi energi bersih, khususnya di sektor transportasi. Ketetapan penambahan alokasi biodiesel ini tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM No 149.K/EK.05/DJE/2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri ESDM No 252.K/10/MEM/2021 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel, serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari-Desember 2021 tertanggal 30 November 2021. Untuk tahun 2022, menurut Dadan, berdasarkan realisasi impor minyak solar dan realisasi penyaluran biodiesel pada 2021, serta asumsi pertumbuhan demand sebesar 5,5 persen, estimasi demand solar sebesar 33,84 juta kiloliter, sehingga kebutuhan alokasi biodiesel di 2022 diestimasikan sebesar 10,1 juta kiloliter. Untuk itu, Kementerian ESDM menetapkan alokasi biodiesel untuk 2022 sebesar 10.151.018 kiloliter melalui Keputusan Menteri ESDM No 150.K/EK.05/DJE/2021 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari-Desember 2022 tertanggal 30 November 2021.
https://www.jurnas.com/artikel/106802/Kebutuhan-BBM-Meningkat-Pemerintah-Tambah-Alokasi-Biodisel/
Kompas.com | Rabu, 1 Desember 2021
Permintaan Meningkat, Alokasi Biodiesel Naik Jadi 10 Juta Kilo Liter
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan alokasi biodiesel di 2022 sebesar 10,1 juta kilo liter, naik dari alokasi 2021 yang hanya 9,4 juta kilo liter. Salah satu petimbangan alokasi itu yakni tren peningkatan permintaan. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, aktivitas masyarakat yang terus meningkat menuju kembali pada kondisi normal berdampak pada peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya, kondisi itu tak lepas dari keberhasilan program PPKM yang membuat aktivitas masyarakat pun berangsur pulih menuju pada kondisi normal. Oleh sebab itu, penghitungan alokasi biodiesel di tahun depan telah mempertimbangkan realisasi impor minyak solar, realisasi penyaluran biodiesel di 2021, dan asumsi pertumbuhan permintaan sebesar 5,5 persen. “Estimasi demand (permintaan) solar sebesar 33,84 juta kilo liter, sehingga kebutuhan alokasi biodiesel di tahun 2022 diestimasikan sebesar 10,1 juta kilo liter,” ujar Dadan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/12/2021). Ia menjelaskan, tren peningkatan permintaan sudah terlihat sejak September 2021, sehingga alokasi biodiesel di tahun ini yang sebanyak 9,4 juta kilo liter, pada dasarnya telah bertambah 213.033 kilo liter dari alokasi semula sebesar 9,2 juta kilo liter. Meningkatnya permintaan tercermin dari data hingga akhir November 2021 sudah terealiasi sebesar 8,08 juta kilo liter biodiesel yang terserap atau sekitar 87,9 persen dari total alokasi. “Pulihnya aktivitas masyarakat berdampak pada peningkatan kebutuhan atau demand BBM, termasuk solar yang mulai menunjukkan tren meningkat sejak September 2021,” ungkap Dadan. Adapun ketetapan alokasi biodiesel di 2022 itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No.150.K/EK.05/DJE/2021, tanggal 30 November 2021 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari-Desember 2022. Program biodiesel ini menjadi salah satu program prioritas nasional untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencapai transisi energi bersih, khususnya di sektor transportasi. Ia menambahkan, untuk penyaluran program biodiesel pada 2022, akan didukung oleh 22 badan usaha bahan bakar minyak (BU BBM) dengan kapasitas terpasang sekitar 15,49 juta kilo liter dan kemampuan produksi tahunan sekitar 13,52 juta kilo liter. Dadan mengatakan, pemerintah berharap penyaluran biodiesel di 2022 dapat dilakukan dengan lebih efisien dan meminimalkan terjadinya keterlambatan atau gagal supply (B0), maka telah dilakukan beberapa perbaikan. Diantaranya melalui pembagian alokasi dengan memperhitungkan kinerja badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) dalam melakukan penyaluran biodiesel periode 1 November 2020 hingga 31 Oktober tahun 2021. Selain itu ada juga upaya agar setiap titik serah minimal ada 2 BU BBN yang menyuplai, menyiapkan formula penentuan ongkos angkut, serta pemilihan BU BBN dan BU BBM berdasarkan optimalisasi rute sehingga ongkos angkut menjadi efisien. “Juga membuat aplikasi pengawasan distribusi BBN secara online untuk mempermudah mitigasi jika terjadi potensi B0 di suatu titik serah,” kata Dadan.
https://money.kompas.com/read/2021/12/01/103000626/permintaan-meningkat-alokasi-biodiesel-naik-jadi-10-juta-kilo-liter-?page=all
Suara.com | Rabu, 1 Desember 2021
Ingin Hemat Devisa, Indonesia Bakal Berhenti Impor BBM
Indonesia akan berhenti impor bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2027. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif melalui Webinar Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel: Indonesia Menuju B40. Guna memenuhi target ini, kata dia, pemerintah merencanakan beberapa strategi antara lain penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai dan penggunaan biodiesel yang terus dipertahankan serta ditingkatkan. Saat ini Indonesia mengonsumsi BBM lebih tinggi dari kapasitas produksinya sehingga mengakibatkan peningkatan impor minyak dan defisit neraca perdagangan. “Dengan berbagai kebijakan tersebut diharapkan pada tahun 2027 kita tidak lagi impor BBM sehingga kita bisa dapat menghemat devisa serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani sawit melalui program mandatori BBN,” ujarnya dalam, Selasa (30/11/2021) lalu. Ia menambahkan, implementasi biodiesel telah berjalan dengan sukses selama 15 tahun dan menjadikan Indonesia pionir dalam pemanfaatan biodiesel. Pemerintah kini tengah menerapkan kebijakan mandatory B30 hingga terus meningkatkan hal ini Selain itu keberhasilan uji coba terbang pesawat CN235-220 dari Bandung ke Jakarta menggunakan bahan bakar nabati bioavtur 2,4% juga jadi kabar baik. “Hasilnya cukup memuaskan sehingga kita harus bisa meningkatkan. Jadi ada sektor baru yang akan kita kembangkan dengan memanfaatkan keunggulan alam kita apakah bioavtur kita akan bisa masuk pasar internasional,” jelasnya. Saat ini Kementerian ESDM bersama pihak terkait tengah menyusun rencana strategi pengembangan B40 dengan menerapkan bahan bakar hijau. Beberapa strategi yang dilakukan untuk mencapai pengembangan BBN antara lain pengembangan green diesel melalui co-processing di kilang Pertamina RU II Dumai yang diperkirakan masuk pada tahun 2022. Selanjutnya, pengembangan green diesel melalui Pertamina standalone diperkirakan masuk pada tahun 2022 melalui revamping tahap I dan 2023 revamping tahap II pada kilang Pertamina unit TDHT RU IV Cilacap serta unit green refinery standalone RU III Plaju pada tahun 2024. “Saat ini sedang disiapkan percobaan pilot demonstration plan yang terus dicoba di Bandung. Ini nanti akan menghasilkan unit-unit kecil yang diharapkan bisa dipakai di daerah-daerah tersebut,” ungkapnya. Selanjutnya, pengembangan bioavtur untuk pengembangan komersial dan katalis merah putih mulai digunakan pada 2022.
https://www.suara.com/bisnis/2021/12/01/110408/ingin-hemat-devisa-indonesia-bakal-berhenti-impor-bbm?page=all
Sawitindonesia.com | Rabu, 1 Desember 2021
Pemerintah Persiapkan Kebijakan Mandatori B40
Rencana peningkatan bauran FAME sebesar 40% atau B40 sedang dipersiapkan oleh pemerintah di tahun depan. “Kementerian ESDM sedang menyusun pengembangan B40 dengan menerapkan bahan bakar hijau,” ujar Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI dalam webinar “Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel: Indonesia Menuju B40” yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, Selasa (30 November 2021). “Beberapa strategi yang dilakukan untuk mencapai target tersebut antara lain melalui pengembangan green diesel melalui co-processing di kilang Pertamina (RU II Dumai) pada tahun 2022,” ujar Arifin. Dalam presentasinya, Arifin Tasrif menjelaskan bahwa Pemanfaatan EBT dan Gas Bumi diharapkan meningkatkan pemanfaatan energi bersih, sedangkan Minyak Bumi dan Batubara mulai dikurangi. Selain itu, pemanfaatan EBT sebagai sumber energi ramah lingkungan masih rendah. Arifin menjelaskan bahwa pemerintah telah menerapkan kebijakan mandatori B30 sebagai upaya menyetop impor Bahan Bakar Minyak (BMM) di tahun 2027 mendatang. Tujuannya Indonesia dapat menghemat devisa serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani melalui mandatori Bahan Bakar Nabati (BBN). Pertamina disebut juga, akan membangun dua standalone biorefinery, di Cilacap, Jawa Tengah, pada tahun 2022 dan Plaju Sumatera Selatan, di tahun 2024. Kedua kilang tersebut akan memproduksi green diesel dan green avtur, dengan bahan baku 100 persen minyak nabati. Selanjutnya, Kementerian ESDM akan mengembangkan bensin hijau berbasis sawit atau green gasoline yang dikenal dengan proyek Bensin Sawit Rakyat. Program ini melibatkan petani dan koperasi di Musi Banyuasin. “Saat ini, sedang disiapkan percobaan pilot demonstration plan yang terus dicoba di Bandung. Ini nanti akan menghasilkan unit-unit kecil yang kita harapkan bisa dipakai di daerah-daerah di mana daerah-daerah tersebut akan mandiri energi dengan menggunakan bahan baku sawit masyarakat,” kata Arifin. Implementasi biodesel di Indonesia telah berjalan sukses selama 15 tahun. Indonesia menjadi negara pengguna terbesar biodiesel di dunia mencapai 30%. Berpijak dari keberhasilan inilah yang mendorong pemerintah untuk meningkatkan pencampuran atau blending rate menjadi B40 atau 40 persen BBN dengan diesel.
Sawitindonesia.com | Rabu, 1 Desember 2021
Inilah Tiga Skenario Bauran B40
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM terus mengoptimalkan pemanfaatan potensi energi baru yang melimpah di Indonesia. Telah dimulai kajian pemanfaatan B40 sebelum diimplementasikan di masyarakat. “Ada beberapa opsi untuk masuk ke generasi berikutnya dari sisi pemanfaatan Biofuels. Baik dari pengembangan Co-Proccesing green diesel dan stand alone green diesel serta green gasoline yaitu stand alone gasoline dan Co-proccesing green gasoline,” ujar Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, saat menjadi salah satu pembicara, pada Webinar Menjaga Keberlanjutan Mandatori Biodiesel : Indonesia Menuju B40 yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia, pada Selasa (30 November 2021). Dadan menjelaskan bahwa pengembangan Biofuels tentu tidak akan terbatas pada Biodiesel. Selain itu, tidak terbatas pada pengusahaan skala besar didorong yang berbasis kerakyatan dan spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen. “Kami juga ingin mendorong bagaimana pemanfaatan by product biodiesel agar memberikan nilai tambahan terhadap industri sawit. Kemudian pemanfaatan sawit untuk non CPO yaitu mengembangan advance generation Biofuels tentu dengan mengikuti prinsip-prinsip dari berkelanjutan dari sisi produksi maupun proses, meningkatkan keterlibatan petani ini adalah aspek yang sangat penting, standar mutu yang semakin baik, diikuti dengan proses yang semakin efisien, pada akhirnya mendapat harga yang stabil dan terkendali,” jelasnya. Terkait pemanfaatan Biodiesel 40% atau B40 yang sudah dilakukan Kementerian ESDM. Pihaknya sudah melakukan uji lab terkait B40 untuk tiga komposisi. Pertama, bauran B40 dimana Endapan presipitasi terbentuk pada B-40 lebih besar dibandingkan dengan B-30 (FAME>DPME>HVO). Periode penyimpanan yang lebih lama dan temperatur yang lebih rendah berpengaruh pada pembentukan endapan presipitat yang lebih tinggi. Kedua, B40 dengan menggunakan spek FAME yang berlaku saat ini yaitu B30 (FAME) ditambah dengan DPME 10%. Uji kinerja terbatas pada sampel B-40 dan B30+DPME10 terhadap B-30 menunjukkan penurunan torsi dan daya (1,1 – 2,1%), peningkatan konsumsi #(1,1%) dan penurunan opasitas gas buang (1,6 – 3,2%). Ketiga, B30 (FAME) ditambah dengan HVO 10% yang memberikan nilai tambah pada Daya Maksimal 0,6% dan Torsi Maksimal 2,6%. “Uji lab dengan uji karakteristik fisika kimia B30 + HVO10 dengan aspek kinerja (angka setana dan nilai kalor), aspek lingkungan/emisi (kandungan sulphur), kemudian handling & storage (kandungan air, stabilitas oksidari, angka asam, titik nyala dan titik kabur) dan aspek kebersihan/filter plugging (FBT, kontaminasi partikulat, cleanliness),” urai Dadan. Dari hasil uji lab menunjukkan B40 bisa diaplikasikan dan berjalan di dalam engine (mesin). B30 FAME+DPME10% menunjukkan penurunan torsi dan daya 1,1 – 2,1% dan diikuti dengan peningkatan konsumsi 1,1% dan penurunan opasitas gas buang 1,6 – 3,2%. Sedangkan B30 FAME+HVO10% memberikan nilai tambah pada daya maksimal 0,6% dan torsi maksimal 2,6%. “Dari hal tersebut kami berpendapat, produksi FAME mencukupi untuk penerapan B40 dari sisi kapasitas. Tetapi, apabila memilih B30+DPME10% dari sisi produsen masih memerlukan waktu untuk melakukan destilasi ulang terkait untuk penurunan kandungan air. Kemudian, jika Pertamina mulai memproduksi HVO dalam jumlah besar mulai tahun 2024,” kata Dadan. Terkait dengan persiapan B40 atau yang lebih besar di masa mendatang, Dadan menyiapkan 10 langkah stategis di antaranya menyusun SNI, kajian teknis dan tekno ekonomi, mempersiapkan kebijakan pendukung, mempersiapkan intensif, mempersiapkan road test/performance test. “Selanjutnya, memastikan kesiapan BU BBN, proper handling and storage system, memastikan kesiapan infrastruktur, program strstegis nasional dan sosialisasi secara massif,” ucapnya. Selanjutnya, ia menambahkan pihaknya terus mendorong bagaimana Biodiesel berkelanjutan. “ESDM mendorong untuk Indonesian Biodiesel Sustainable Indicators (IBSI). Kami sama-sama ingin berkontribusi dan sama-sama ingin pemanfaatan biodiesel berbasis sawit berkelanjutan,” pungkas Dadan.
Investor Daily Indonesia | Kamis, 2 Desember 2021
Setop Impor BBM, Butuh Subsidi biodiesel Rp 113 T
Mandatori penggunaan biodiesel perlu dinaikkan dari tahun ini sekitar 9,2 juta kilo liter (kl) menjadi 20,8 juta kl, guna mendukung rencana penghentian impor BBM pada 2027 atau dipercepat tiga tahun dari rencana semula 2030. Dana yang dibutuhkan untuk menutup selisih biaya produksi dengan harga biodiesel subsidi diperkirakan akan naik, dari sekitar Rp 50 trliun tahun ini menjadi Rp 113 triliun. Selain meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati biodiesel dari minyak sawit, untuk menyetop impor BBM harus didukung pula tiga rencana strategis yang lain. Ini mencakup program percepatan peningkatan kapasitas kilang minyak melalui pembangunan 1 kilang baru dan 4 pengembangan untuk memproduksi solar sesuai kebutuhan, mendorong penggunaan kendaraan bahan bakar gas (BBG) sebanyak 440 ribu unit, serta mendorong penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) sebanyak 2 juta mobil dan 13 juta sepeda motor. Peningkatan penggunaan biodiesel yang dapat diproduksi di dalam negeri ini akan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas (migas) yang masih tinggi, yang selama ini banyak menggerogoti surplus neraca perdagangan nonmigas. Selain itu, renewable fuel ini akan mendorong laju pemulihan ekonomi nasional; mendukung implementasi environmental, social, and governance (ESG) atau tata kelola lingkungan, sosial, dan perusahaan yang baik; serta bisa menopang komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Hal ini juga mendorong transformasi green economy, termasuk transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan yang sejalan dengan tren global. Demikian benang merah rangkuman keterangan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto, serta Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana. Mereka memberikan keterangan secara terpisah. Komaidi Notonegoro mengatakan, secara objektif, kebijakan pemerintah mempercepat penghentian impor BBM berbasis fosil ini tentu baik dalam program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) maupun memperbaiki defisit neraca perdagangan. Ia mengapresiasi arah kebijakan pemerintah menyetop impor BBM, yang di antaranya ditempuh dengan melanjutkan mandatori penggunaan biodiesel dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dalam negeri. “Penghentian impor BBM itu tentu juga akan menghemat devisa hingga meningkatkan nilai tambah dari hilirisasi kelapa sawit, dan pada ujungnya akan menaikkan penerimaan pajak. Kebijakan tersebut perlu dikalkulasi secara matang dari tinjauan aspek fiskal dan moneter, ini ibarat masuk kantong kanan, keluar dari kantong kiri untuk subsidi,” ujarnya kepada Investor Daily, Rabu (1/12) malam. Sebagai gambaran, Komaidi menyebutkan, selisih biaya produksi solar dari minyak mentah dibanding solar dari minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) berkisar Rp 2.000-3.000 per liter. Biaya produksi pencampuran fatty acid methyl esters (FAME) dalam minyak diesel berbasis minyak fosil sebesar 30% (B30), lanjut dia, masih lebih mahal dari solar biasa. Apalagi, harga CPO saat ini sedang ting-gi-tingginya. Dengan menggunakan asumsi selisih biaya produksi tersebut, lanjut Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti ini, bisa dihitung gambaran besaran dana subsidi yang mesti disiapkan pemerintah untuk menyetop impor BBM. Saat ini, kuota solar subsidi sebesar 15,8 juta kilo liter per tahun dan premium sekitar 11 juta kilo liter per tahun. Berdasarkan kuota itu, selisih biaya produksi dengan harga jual B30 mencapai Rp 50 triliunan per tahun. Selisih yang disebut sebagai insentif untuk program biodiesel ini dibayar dari sebagian hasil pungutan ekspor sawit yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Nah, berapa kilo liter yang akan disubsidi pemerintah per tahun dan besaran subsidi tetap yang akan diberikan pemerintah? Bagaimana agar dana subsidi itu setara dengan dampaknya pada laju perekonomian dan transformasi ke green economy”? Ini perlu dikaji lebih mendalam dari aspek finansial dan moneter,” ujarnya.
Komaidi menuturkan, program mandatori biodiesel yang berjalan saat ini baru sampai pada tahap biodiesel 30% (B30). Komaidi mendukung keberlanjutan mandatori penggunaan B30 yang akan dinaikkan menjadi B40. Ia berharap pemerintah juga memperbaiki masalah teknis penggunaan biodiesel ini, sehingga serapannya lebih optimal. Dadan menjelaskan, pada tahun 2021, pemerintah menargetkan serapan biodiesel mencapai 9,20 juta kl untuk pelaksanaan mandatori B30. “Penyerapan akan naik, dan alokasi biodiesel tahun 2022 menjadi sekitar 10 juta kilo liter,” ujarnya dalam acara “17th Indonesian Palm Oil Conference and 2022 Price Outlook (IPOC 2021)”, Rabu (1/12). Defisit Migas Cerogoti Surplus Dagang Indonesia Indonesia mulai mengimpor produk migas lebih banyak dari ekspornya pada tahun 2012. Sejak saat itu, negara ini belum pernah lagi mencatatatkan surplus di neraca perdagangan migas. Diagram area di bawah ini menggambarkan nilai impor dan ekspor migas tahunan Indonesia sejak 2009. Sejak 2012, perdagangan migas selalu defisit sehingga mengurangi neraca perdagangan Indonesia yang selalu surplus di sektor non-migas. Diagram batang di bawah ini menggambarkan neraca perdagangan migas dan non-migas tahunan Indonesia sejak 2009 sampai 2021. Sementara itu, Djoko Siswanto mengatakan dalam kesempatan terpisah, pemerintah sebelumnya menargetkan untuk menghentikan impor BBM tahun 2030. Ini antara lain dengan didukung pemakaian bahan bakar nabati atau BBN yang dinaikkan menjadi 20,8 juta kl, dari tahun 2020 yang sekitar 8 juta kl, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). “Penghentikan impor BBM itu dilakukan dengan empat langkah utama. Ini mencakup percepatan peningkatan kapasitas kilang minyak melalui pembangunan 1 kilang baru dan yang untuk 4 pengembangan produksi solar disesuaikan dengan kebutuhan, mendorong penggunaan kendaraan BBG sebesar 440 ribu kendaraan, mendorong penggunaan KBLBB sebesar 2 juta mobil dan 13 juta motor dan untuk itu butuh insentif pembebasan pajak 10 tahun, serta mengoptimalkan biofuel dengan mengintensifkan penggunaan B30-B100, serta produksi BBN,” katanya belum lama ini.
Tingkatkan Produksi Minyak
Djoko Siswanto juga menjelaskan mengenai upaya yang dilakukan untuk percepatan peningkatan produksi minyak mentah, dengan meningkatkan produksi menjadi 1 juta bopd tahun 2030. “Ini melalui R to P (reserves4o-production), EOR, dan eksplorasi, melakukan akuisisi lapangan minyak luar negeri dan membuat usulan kebijakan pemberian insentif yang fleksibel dan kompetitif. Sehingga, penghematan devisa dapat mencapai sebesar US$ 14,1 miliar per tahun,” imbuhnya. Strategi dalam mencapai target 1 juta bpod juga dilakukan dengan mening-katan kinerja pegawai dan organisasi, peningkatan eksplorasi, percepatan dan penyederhanaan kegiatan, serta efisiensi biaya operasional. Selain itu, kerja sama yang harmonis antara pemerintah, industri, akademisi, dan asosiasi profesi. Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan baru-baru ini, pemerintah berharap dapat menyetop impor bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2027. Saat ini, impor BBM tak terhindarkan akibat tingkat konsumsi yang lebih tinggi dari kapasitas produksi di dalam negeri. Untuk menurunkan impor BBM, pemerintah telah merencanakan beberapa strategi. Ini di antaranya dengan memasifkan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai dan penggunaan biodiesel. Konsumsi BBM di Indonesia tahun 2021 diperkirakan mulai naik kembali ke 75,27 juta kl. Pada 2020, konsumsi anjlok akibat merebaknya pandemi Covid-19 dan berdampak pembatasan sosial maupun kegiatan usaha. Defisit neraca perdagangan minyak Indonesia menyempit pada 2020, setelah terjadi pandemi Covid-19. Berda- sarkan data BP, defisit neraca minyak Indonesia menurun 42,33% dari 844,74 ribu barel per hari (bph) pada 2019 menjadi 487,16 ribu bph pada tahun lalu. Menyempitnya defisit neraca minyak Indonesia seiring turunnya konsumsi domestik secara signifikan. Tercatat, konsumsi minyak Indonesia berkurang 24,35% dari 1,6 juta barel per hari (bph) pada 2019 menjadi 1,2 juta bph pada 2020. BP memperkirakan, sebelum pandemi impor sekitar 52,8% dari konsumsi minyak Indonesia 1,6 juta barel per hari pada 2019. Sementara menurut data SKK Migas sebelumnya, produksi terangkut {lifting) minyak hingga 30 November 2020 mencapai 703.700 bph, turun 5,7% dibandingkan realisasi pada 2019 yang rata-rata mencapai 746.300 bph.
Menkeu: Tingkatkan Hilirisasi
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyebut, penggunaan biodiesel dari sawit dilakukan Indonesia sejak sekitar 2015. Hingga saat ini, lanjut dia, tercatat penggunaannya sudah mencapai 31,4 juta kilo liter. Sri Mulyani juga mengatakan bahwa hilirisasi sawit sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah ekspor, mengingat komoditas ini menjadi andal-an ekspor Indonesia. “Semakin meningkat hilirisasi, nilai tambahnya semakin besar, sehingga jika diekspor pastinya mendatangkan devisa yang lebih besar, yang bisa dipergunakan bagi kesejahteraan Indonesia,” ujar Sri Mulyani dalam acara yang sama, kemarin. Ia menilai komoditas sawit memiliki potensi yang sangat besar sebagai bahan baku industri dan diolah untuk menjadi berbagai macam produk-produk industri. Hanya saja, menurut dia, hilirisasi produk Kelapa Sawit Indonesia belum berkembang optimal. “Kami juga meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk mendorong peningkatan produktivitas petani sawit mandiri. Kami juga mencatat, jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam sektor perkebunan ini, sebagai petani, sebanyak 4,2 juta orang. Sedangkan sebanyak 12 juta tenaga kerja terlibat secara tidak langsung dengan produk kelapa sawit,” imbuhnya. Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani mengungkapkan, sebagian besar perkebunan Kelapa Sawit dimi- liki oleh petani mandiri yang lahannya terbatas, dan produktivitasnya lebih rendah dibandingkan perusahaan sawit swasta besar. “Ini tugas BPD PKS untuk membantu petani mandiri dari sisi replanting dan produktivitas sawit per hektare, sehingga bisa meningkat kesejahteraan petani sawit. Sementara itu, sumbangan devisa dari sektor ini sebanyak US$ 21,4 miliar, atau lebih dari 14% dari total penerimaan devisa ekspor nonmigas. Lalu, Indonesia juga menggunakan sawit untuk mengatasi ketergantungan pada impor minyak melalui program biodiesel,” katanya. Sedangkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan minyak sawit berperan besar dalam membantu pemulihan ekonomi. Indonesia mampu menjadi negara produsen minyak sawit terbesar dan menguasai sekitar 55% pangsa pasar minyak sawit dunia.
Solusi Atasi Krisis Energi
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan, energi terbarukan berbasis minyak Kelapa Sawit akan menjadi primadona di pasar global. Minyak nabati ini dinilai mampu membantu mengatasi krisis energi yang dihadapi banyak negara. “Sektor Kelapa Sawit merupakan industri yang berperan signifikan di sektor energi terbarukan. Dan, permintaan minyak sawit diperkirakan terus meningkat, terutama pada saat krisis energi terjadi di sejumlah negara seperti saat ini,” kata Joko Supriyono saat diskusi dalam IPOC 2021 yang digelar secara daring, Rabu (1/12). Saat ini, lanjut dia, persoalan kekurangan pasokan energi melanda negara-negara ekonomi utama, termasuk Inggris dan Tiongkok. Bahkan, Bloomberg sebelumnya melaporkan, selama lebih dari sepekan, musim dingin yang hebat telah memperburuk krisis energi di Eropa. “Karena itu, Gapki meyakini energi terbarukan berbasis sawit, seperti biodiesel, akan menjadi pilihan untuk mengatasi krisis tersebut. Pertanyaannya kemudian, apakah tingginya harga sawit yang terjadi saat ini akan berlanjut pada 2022, kita optimistis hal itu akan terjadi,” ujarnya. Menurut dia, 2021 merupakan tahun yang luar biasa bagi industri sawit sawit, sebab rata-rata harga minyak sawit mentah atau CPO di pasar internasional telah melampaui US$ 1.000 per ton sepanjang tahun. Saat negara-negara lain menuju pemulihan ekonomi setelah tertekan akibat pandemi Covid-19, minyak sawit mampu melesat dan mencatatkan peningkatan permintaan. Sebelumnya, Ketua Panitia IPOC 2021 Mona Surya mengatakan, 2021 merupakan tahun keemasan industri sawit, karena harga CPO di pasar global mencapai puncak tertinggi dalam sejarah. Sepanjang 2021, harga rata-rata CPO di atas US$ 1.000 per ton dan bahkan mencapai puncak tertinggi US$ 1.390 per ton pada Oktober lalu. “Sebagai negara produsen utama sawit dunia, kenaikan harga CPO tentu memberikan dampak positif pada peningkatan pendapatan petani. Selain itu, menjaga neraca perdagangan Indonesia tetap positif di tengah pandemi Covid-19,” tandas dia.
Insentif Biodiesel
Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Eddy Abdurrachman mengatakan, dalam rangka menstabilkan harga CPO, maka pemerintah telah menginisiasi pemanfaatan dana pungutan ekspor (PE) sawit untuk insentif pengembangan biofuel. “Kebijakan ini tidak hanya mendorong hilirisasi melalui pengembangan biofuel, namun juga memperbesar kapasitas pasar domestik dalam menyerap kelebihan stok sawit yang produksinya dari tahun ke tahun terus meningkat,” ungkap Eddy. Eddy memperkirakan, besaran kebutuhan pendanaan insentif pengembangan biodiesel untuk campuran solar 30% (B30) pada tahun ini sekitar Rp 49 triliun. Dananya akan diambilkan dari hasil penghimpunan pungutan ekspor (PE) sawit yang tahun ini diperkirakan tembus Rp 70 triliun -71 triliun. “Sesuai amanah peraturan perundangan, maka dana yang telah dihimpun BPDPKS selanjutnya digunakan salah satunya untuk program pengembangan BBN biodiesel. Tahun ini, kebutuhan untuk insentif biodiesel itu Rp 49 triliun, karena volume biodiesel yang disalurkan cukup besar dan juga gap antara harga biodiesel dan harga solar yang cukup tinggi karena harga CPO yang terus naik,” ujar dia. Eddy menuturkan, harga CPO saat ini sudah mencapai US$ 1.200-1.300 per ton, sedangkan harga solar kenaikannya tidak begitu tinggi. Hal inilah yang membuat gap antara harga CPO dan solar besar dan dana dari BPDPKS untuk menutupnya pun relatif besar. “Kalau ditanya apakah dana yang dihimpun BPDPKS nantinya cukup untuk mendanai B40, kami belum tahu. Ini karena program B40 masih terus (sedang) dilakukan kajian, sehingga kami belum melakukan perhitungan-perhitungan terkait dana apabila B40 dilaksanakan,” ujar dia.
Pendanaan Alternatif
Sedangkan Tungkot Sipayung mengatakan, untuk saat ini, besaran subsidi biofuel per tahun yang harus dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini BPDPKS, demi harapan menyetop impor bahan bakar minyak (BBM) pada 2027 belum bisa dihitung. Sebab, skenario pemerintah dalam upaya menyetop impor BBM tidak hanya akan mengandalkan biofuel, tapi energi ramah lingkungan yang lain. “Biofuel, dalam hal ini B30, yang sudah berjalan sukses. Menyetop impor BBM itu prinsipnya adalah mempercepat substitusi energi fosil, baik BBM solar, BBM premium, dan avtur dengan energi ramah lingkungan,” ungkap Tungkot. Kepada Investor Daily, Tungkot menjelaskan, saat ini, kelanjutan program biofuel dari B30 ke tingkat lebih tinggi masih tahap pengkajian mendalam. Ini termasuk apakah nantinya program B40 merupakan perpaduan antara B30 dan BIO atau B30 dengan D100 atau green diesel. Green diesel sebenarnya sudah merupakan diesel terbaik yang secara kimia bisa menggantikan 100% diesel. “Sebenarnya, yang cukup mendesak dilakukan saat ini adalah menyubsti-tusi premium impor, yang dari total kebutuhan 35 juta kilo liter per tahun, hampir 60-70% berasal dari impor. Ini bisa dengan solusi green gasoline dari sawit, namun untuk upaya ini harus menunggu katalis yang sedang dibangun,” ungkap Tungkot. Lebih jauh Tungkot mengatakan, apabila tahun 2021 insentif biofuel dalam hal ini biodiesel sebesar Rp 49 triliun, maka untuk tahun depan dengan asumsi tetap diberlakukan B30 dan harga CPO seperti saat ini, besaran insentifnya mungkin tidak terlalu berbeda. Namun, hal ini tergantung besarnya selisih antara harga CPO dan harga minyak. “Hal inilah yang membuat besaran insentif biodiesel selalu dievaluasi pemerintah, karena harga CPO dan minyak juga bergerak terus. Kalau memang berniat konsisten mengurangi energi fosil, maka seharusnya untuk insentifnya tidak hanya mengandalkan dana dari pungutan sawit. Namun, juga dengan membebankan pajak karbon yang lebih besar bagi siapa pun yang menggunakan energi fosil, entah itu batu bara atau fosil lainnya. Inilah yang nantinya digunakan juga untuk meningkatkan insentif bagi pengembangan energi ramah lingkungan. Artinya, ada dua cara (sumber) untuk pendanaannya,” ucap dia.