Kemendag Kenakan DMO dan DPO Biodiesel, Ini Komentar Aprobi

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bisnis.com | Senin, 14 Februari 2022

Kemendag Kenakan DMO dan DPO Biodiesel, Ini Komentar Aprobi

Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) meyakini kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk produk turunan sawit biodiesel tidak akan mengurangi kapasitas produksi bahan bakar nabati itu pada tahun ini. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan asosiasinya tetap mampu memproduksi bahan bakar hasil olahan dari minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) itu sebesar 10,1 juta kiloliter. Angka ini naik dari alokasi 2021 yang berada di posisi 9,4 juta kiloliter. Perkiraan kebutuhan itu berdasarkan pada realisasi impor minyak solar dan realisasi penyaluran biodiesel pada tahun lalu. “Betul malam nanti peraturan tersebut berlaku. Untuk biodiesel dalam negeri tidak ada perubahan dan tidak terpengaruh. Namun jika untuk ekspor tentu harus memenuhi kebijakan DMO dan DPO tersebut,” kata Paulus melalui pesan WhatsApp, Senin (14/2/2022). Menurut Paulus, kebijakan DMO dan DPO itu tidak akan mengganggu kinerja ekspor bahan bakar nabati tersebut sepanjang 2022. Alasannya, kapasitas terpasang produksi biodiesel saat ini sebesar 14,5 juta kiloliter. Sebaliknya, pemakaian solar diperkirakan sekitar 33 juta kiloliter. “Kemungkinan [penurunan ekspor] tidak ada karena pemakaian biodiesel dalam negeri sekitar 10,1 juta kiloliter, maka rekomendasi untuk ekspor lebih besar daripada rata-rata ekspor kita per tahun,” kata dia. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membekukan izin ekspor produk turunan kelapa sawit biodiesel yang telah mendapat persetujuan ekspor sebelum implementasi kebijakan DPO dan DMO pada akhir Januari lalu. Kebijakan pembekuan izin ekspor itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor yang disahkan pada 8 Februari, 2022. Pembekuan izin ekspor itu dikenakan pada sejumlah produk biodiesel dengan pos tarif atau HS meliputi 3826.00.21 dengan kandungan alkil ester 96,5 persen atau lebih tetapi tidak melebihi 98 persen, 3826.00.22 dengan kandungan alkil ester melebihi 98 persen dan 3826.00.90 untuk biodiesel lainnya. “Dibekukan secara otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW sampai dengan eksportir menyesuaikan ketentuan dalam peraturan menteri ini,” tulis Lutfi dalam Permendag itu yang dilihat Bisnis, Senin (14/2/2022).

https://ekonomi.bisnis.com/read/20220214/12/1500308/kemendag-kenakan-dmo-dan-dpo-biodiesel-ini-komentar-aprobi

BERITA BIOFUEL

Bisnis.com | Senin, 14 Februari 2022

DPO dan DMO untuk Biodiesel, Efektif Tekan Harga Minyak Goreng?

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menilai kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk produk turunan sawit biodiesel tidak efektif menstabilkan gejolak harga dan pasokan minyak goreng dalam negeri. Andry mengatakan alokasi bahan baku biodiesel yang dialihkan untuk produksi minyak goreng tidak bakal terserap optimal. Alasannya, alokasi bahan baku itu akan kembali digunakan untuk memproduksi biodiesel yang telah mendapat subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Pada akhirnya tidak diproduksi menjadi minyak goreng, pasti akan diproduksi menjadi B30 karena mekanisme untuk subsidi B30, perbedaan harga antara internasional dan domestik itu sudah diakomodasi oleh BPDPKS sementara minyak goreng tidak,” kata Andry melalui pesan suara, Senin (14/2/2022). Di sisi lain, Andry mengatakan produksi minyak goreng tidak mendapatkan subsidi dari BPDPKS untuk mengatasi selisih harga di tingkat internasional dan domestik. Seharusnya, kata dia, pemerintah memberikan subsidi untuk produksi minyak goreng seiring dengan kebijakan DMO dan DPO bahan baku komoditas strategis tersebut. “Sementara kalau DMO pasti larinya ke biodiesel lagi karena biodiesel tersebut produk yang disubsidi pemerintah, ada subsidi dari harga pasokan internasional dengan gap dalam negeri,” kata dia. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membekukan izin ekspor produk turunan kelapa sawit biodiesel yang telah mendapat persetujuan ekspor sebelum implementasi kebijakan DMO dan DPO pada akhir Januari 2022. Kebijakan pembekuan izin ekspor itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor yang disahkan pada 8 Februari, 2022. Pembekuan izin ekspor itu dikenakan pada sejumlah produk biodiesel dengan pos tarif atau HS meliputi 3826.00.21 dengan kandungan alkil ester 96,5 persen atau lebih tetapi tidak melebihi 98 persen, 3826.00.22 dengan kandungan alkil ester melebihi 98 persen dan 3826.00.90 untuk biodiesel lainnya. “Dibekukan secara otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW sampai dengan eksportir menyesuaikan ketentuan dalam peraturan menteri ini,” tulis Lutfi dalam Permendag itu yang dilihat Bisnis, Senin (14/2/2022). Adapun persetujuan ekspor itu diaktifkan kembali, lanjut Lutfi, apabila eksportir telah menyampaikan realisasi distribusi sebesar sisa jumlah biodiesel yang belum direalisasikan sebagaimana tercantum dalam persetujuan ekspor disesuaikan dengan jumlah untuk DMO dan DPO. Artinya, eksportir biodiesel belakangan mesti mengikuti ketentuan DMO dan DPO yang lebih dulu diterapkan kepada eksportir produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada 27 Januari 2022 lalu. Seperti diketahui, mekanisme kebijakan DMO sebesar 20 persen atau kewajiban pasok ke dalam negeri berlaku wajib untuk seluruh eksportir yang menggunakan bahan baku CPO.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20220214/12/1500338/dpo-dan-dmo-untuk-biodiesel-efektif-tekan-harga-minyak-goreng

Infosawit.com | Senin, 14 Februari 2022

Perluas Jangkauan DMO dan DPO Sawit, Mendag Bekukan Izin Ekspor Biodiesel

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi membekukan izin ekspor produk turunan kelapa sawit biodiesel yang telah mendapat persetujuan ekspor. Kebijakan ini ternyata diberlakukan sebelum implementasi kebijakan distribusi kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dan harga penjualan di dalam negeri (domestic price obligation/DPO) pada akhir Januari 2022. Kebijakan pembekuan izin ekspor itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor yang disahkan pada 8 Februari, 2022. Pembekuan izin ekspor itu dikenakan pada sejumlah produk biodiesel dengan pos tarif atau HS meliputi 3826.00.21 dengan kandungan alkil ester 96,5 persen atau lebih tetapi tidak melebihi 98 persen, 3826.00.22 dengan kandungan alkil ester melebihi 98 persen dan 3826.00.90 untuk biodiesel lainnya. “Dibekukan secara otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW sampai dengan eksportir menyesuaikan ketentuan dalam peraturan menteri ini,” tulis Lutfi dalam Permendag itu yang dilihat Bisnis, Senin (14/2/2022). Adapun persetujuan ekspor itu diaktifkan kembali, lanjut Lutfi, apabila eksportir telah menyampaikan realisasi distribusi sebesar sisa jumlah biodiesel yang belum direalisasikan sebagaimana tercantum dalam persetujuan ekspor disesuaikan dengan jumlah untuk DMO dan DPO. Artinya, eksportir biodiesel belakangan mesti mengikuti ketentuan DMO dan DPO yang lebih dulu diterapkan kepada eksportir produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada 27 Januari 2022 lalu. Seperti diketahui, mekanisme kebijakan DMO sebesar 20 persen atau kewajiban pasok ke dalam negeri berlaku wajib untuk seluruh eksportir yang menggunakan bahan baku CPO. Seluruh eksportir yang akan mengekspor wajib memasok atau mengalokasikan 20 persen dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp9.300 per kilogram untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300 per kilogram. “Eksportir yang telah mengajukan permohonan perizinan berusaha di bidang ekspor berupa Persetujuan Ekspor crude palm oil, refined, bleached, and deodorized palm olein, dan used cooking oil, serta Persetujuan Ekspor bahan bakar lain berupa Biodiesel sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan masih dalam proses penerbitan, harus memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri ini,” kata Lutfi. Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melaporkan volume ekspor produk minyak sawit sepanjang 2021 naik hanya 0,6 persen dibandingkan dengan realisasi 2020. Pasokan yang terbatas imbas turunnya produksi menjadi penyebab kinerja 2021. Ekspor produk minyak sawit Indonesia 2021 yang mencakup minyak sawit mentah atau CPO, olahan CPO, palm kernel oil (PKO), oleokimia (termasuk dengan kode HS 2905, 2915, 3401 dan 3823) dan biodiesel (kode HS 3826) mencapai 34,2 juta ton atau naik 0,6 persen dibandingkan dengan realisasi ekspor 2020 sebesar 34,0 juta ton. “Rendahnya kenaikan ekspor disebabkan keterbatasan pasokan, harga yang tinggi dan semakin kecilnya perbedaan harga minyak sawit dengan minyak nabati lainnya terutama minyak kedelai,” kata Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono melalui siaran pers, Jumat (28/1/2022). Sementara itu, konsumsi domestik produk minyak sawit pada 2021 memperlihatkan kenaikan sampai 6 persen dibandingkan dengan 2020. Volume konsumsi domestik menyentuh 18,42 juta ton pada 2021 mencapai 18,422 juta ton. Konsumsi untuk pangan naik 6 persen secara tahunan, oleokimia naik 25 persen dan biodiesel naik 2 persen daripada 2020. Mukti mengatakan konsistensi pemerintah Indonesia dalam penerapan program mandatori biodiesel turut mengurangi pasokan dan mempengaruhi pasar ekspor minyak nabati dunia.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20220214/12/1500099/perluas-jangkauan-dmo-dan-dpo-sawit-mendag-bekukan-izin-ekspor-biodiesel

Bisnis.com | Senin, 14 Februari 2022

Mengejar Target Emisi Karbon Otomotif, Mesin Flexi Jadi Anak Tiri?

Program kendaraan ramah lingkungan yang digulirkan pemerintah seakan menitiberatkan kepada proses elektrifikasi. Tetapi, potensi lainnya seolah terabaikan, seperti kehadiran mobil bermesin fleksi/flexi engine yang kurang didukung infrastruktur. Pemerintah sangat serius mengarahkan industri otomotif kepada tren elektrifikasi. Hal ini sejalan dengan tren global serta potensi kandungan mineral Indonesia yang digadang-gadang siap menjadi produsen baterai kendaraan. Upaya itupun tercermin dalam berbagai kebijakan seperti penerbitan Perpres No. 55/2019, serta kebijakan insentif lainnya bagi produk berbasis electric vehicle (EV). Sebaliknya, populasi EV baik secara global maupun domestik, masih terbilang kecil dari total keseluruhan penjualan mobil. Meskipun laju pertumbuhan EV sangat fantastis. Jika pada 2020, penjualan EV (BEV dan PHEV) mencapai 3 juta unit, pada tahun lalu jumlah itu menembus kisaran 6 juta unit. Salah satu faktor utama kendala memassalkan EV adalah harga yang lebih mahal, serta investasi infrastruktur yang cukup tinggi. Tidak heran, pasar terbesar EV masih berkisar di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa Barat. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, problem menggenjot EV jauh lebih kompleks. Sumber energi listrik masih dalam tahap awal transisi dari sumber fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) yang juga menelan investasi besar. Namun ada jalan alternatif guna mengejar target penghapusan emisi karbon. Pemerintah pun telah menyusun perangkat kebijakan, seperti adanya Permenperin No.36/2021 tentang kendaraan bermotor roda empat rendah emisi (LCEV/low carbon emission vehicle). Beleid itu menyatu dengan ketentuan perpajakan sebagaimana diatur PP No.73/2019 dan revisinya. Mobil berteknologi rendah emisi dan berpotensi mendorong tingkat industrialisasi berdasarkan beleid tersebut mencakup LCGC, HEV, PHEV, BEV, FCEV, dan satu lagi Flexi Engine. Untuk yang disebut terakhir, teknologi mesin Fleksi sepertinya kurang populer di tengah masyarakat. Padahal program tersebut telah berjalan cukup lama. Sebagaimana Permenperin No. 36/2021, disebutkan teknologi Fleksi adalah kendaraan bermotor yang menggunakan sumber bahan bakar berupa BBN 100 persen. Di Indonesia dikenal dengan D100 dan E100. Jika dibandingkan dengan mobil jenis lain seperti LCGC maupun grup EV, dorongan program dan kesiapan infrastruktur untuk mobil Fleksi sangat lamban. Hingga kini, program terkait yang maju secara perlahan adalah Biodiesel yang baru mencapai fase percobaan B40. Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara membenarkan kondisi tersebut. “Arahnya kan memang bukan langsung sepenuhnya nol emisi, melainkan netral karbon. Kalau demikian, sepertinya masuk akal untuk mengebut pengembangan Flexi Engine. Selama ini persoalannya pada standardisasi bahan bakar nabati,” ungkapnya kepada Bisnis belum lama ini. Dia menilai meski ada kemajuan pada segmen diesel dengan ujicoba B40, guna menggapai target sebenarnya seperti netral karbon, masih cukup jauh. “Apalagi kalau diesel itu hanya sekitar 25% di pasar domestik, sisanya gasoline yang bisa dikembangkan teknologi Fleksi menggunakan ethanol,” kata Kukuh. Sejauh ini, lanjut Kukuh, pabrikan di Indonesia telah mempunyai teknologi Fleksi ini, bahkan ada yang sudah mampu mengekspor. Di negara tujuan, katanya, teknologi Fleksi tersebut malah menggunakan E85. “Mengingat saat ini kita masih dalam tahap transisi energi, pilihan netral karbon menggunakan Fleksi merupakan opsi paling memungkinkan, jadi tidak tergantung dengan listrik saja, ada keseimbangan bauran energi,” jelas Kukuh. Lebih jauh, menengok Thailand yang juga menyerap teknologi Fleksi, sumber bahan ethanol pun bisa dicari dengan mudah. “Di kita bisa dari tanaman umbi seperti Singkong, atau ragam lainnya, jadi ke depan kalau ini difokuskan juga, Indonesia memiliki banyak pilihan sumber energi seiring juga menyelesaikan persoalan emisi,” tutup Kukuh.

https://otomotif.bisnis.com/read/20220214/46/1500012/mengejar-target-emisi-karbon-otomotif-mesin-flexi-jadi-anak-tiri

Bisnis.com | Senin, 14 Februari 2022

Kendaraan Mesin Flexy Bisa Turunkan Emisi Karbon, Ini Buktinya

Indonesia harus membuka diri untuk mendukung keberadaan kendaraan berbahan bakar fleksibel atau alternatif yang disebut “flexy” guna mengurangi emisi karbon. Flexy engine adalah sebutan untuk mobil yang menggunakan campuran dua bahan bakar yang berbeda, contohnya, mobil yang menggunakan bahan bakar campuran bensin dan etanol. Untuk kendaraan berbahan bakar ethanol, Indonesia sudah mampu memproduksinya. Bahkan, mobil berbahan bakar ethanol buatan Indonesia sudah diekspor. “[Mobil ethanol] telah diproduksi di Indonesia bahkan sudah diekspor ke Argentina dan Brasil, untuk di sana digunakan dengan E85 [ethanol 85 persen]. Inilah alternatif-alternatif yang ada untuk menuju ke arah green mobility, ke arah dekarbonisasi. Opsi-opsi tadi akan menarik sekali kalau misalnya tebu bisa kita optimalkan bikin gula, tapi sisi lain juga untuk membuat ethanol. Jagung, singkong dan sebagainya,” kata Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara dalam diskusi virtual dengan Forum Wartawan Otomotif (Forwot). Seperti diketahui, industri otomotif termasuk industri prioritas yang tercantum dalam kebijakan masa depan terkait wacana Making Indonesia 4.0. Produsen kendaraan ditantang untuk menciptakan produk yang lebih ramah lingkungan guna mengurangi emisi karbon. Pemerintah Indonesia telah menyusun serangkaian kebijakan, seperti adanya Permenperin No.36/2021 tentang kendaraan bermotor roda empat rendah emisi (LCEV/low carbon emission vehicle). Beleid itu menyatu dengan ketentuan perpajakan sebagaimana diatur PP No.73/2019 dan revisinya. Mobil berteknologi rendah emisi dan berpotensi mendorong tingkat industrialisasi berdasarkan beleid tersebut mencakup LCGC, HEV, PHEV, BEV, FCEV, dan kendaraan mesin flexy. Selain itu, untuk menumbuhkan produksi kendaraan berbahan bakar alternatif ini, pemerintah akan memberikan insentif. Hal ini diatur dalam program low carbon emission vehicle (LCEV). Untuk bahan bakar terbarukan, di Indonesia saat ini ada biodiesel B30 yang mencampurkan 30 persen bahan bakar nabati. Program biodiesel 30 ini sudah berlangsung sejak tahun lalu. “Ini bisa ditingkatkan sampai B40 walaupun perlu waktu pengembangan. Teknologi engine masih sama tapi yang perlu dikembangkan adalah teknologi bahan bakar, bagaimana spesifikasinya memenuhi engine yang ada. Ini mampu menurunkan emisi gas buang,” jelasnya. Tetapi, bahan bakar nabati di Indonesia baru tersedia versi diesel. Padahal, 75 persen kendaraan di Indonesia menggunakan mesin bensin. “Bahan bakar alternatif pengganti/campuran bensin bisa kita kembangkan atau bisa memanfaatkan sumber nabati, ethanol. Sumbernya banyak. Kita bisa gunakan jagung, kita bisa mengolah singkong, kita bisa manfaatkan tebu, dan lain sebagainya,” kata Kukuh. Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mendukung pengembangan kendaraan mesin flexy, yang menurutnya dapat berkontribusi dalam pengurangan gas rumah kaca. “Kementrian ESDM terus mendorong pemanfaatan bahan bakar yang semakin mengurangi dampak terhadap lingkungan, khususnya emisi gas rumah kaca. Beberapa yang tengah berjalan saat ini adalah pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN), salah satunya pengembangan kendaraan mesin flexy ini,” ujar Dadan kepada Bisnis, Senin (14/02/2022). Kementerian ESDM masih terus mengkaji kendaraan-kendaraan rendah emisi untuk mengetahui jenis kendaraan yang paling feasible diterapkan di masa kini maupun masa yang akan datang. “Kami tengah mengkaji pemanfaatan Bahan Bakar Gas [BBG], kendaraan listrik, dan juga Bahan Bakar Nabati [BBN] termasuk kendaraan flexy engine ini. Pemilihan opsi kendaraan mana yang paling feasible tentu akan merujuk pada pengalaman sebelumnya,” tutup Dadan.

https://otomotif.bisnis.com/read/20220214/46/1500346/kendaraan-mesin-flexy-bisa-turunkan-emisi-karbon-ini-buktinya

Bisnis.com | Senin, 14 Februari 2022

Duh! Produsen Minyak Goreng Sebut Kebijakan DMO & DPO Sawit Tak Efektif

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil dan turunannya tidak efektif menstabilkan gejolak harga minyak goreng. Sahat menilai sebagian besar eksportir CPO dan produk turunannya masih belum menjalankan aturan DMO dan DPO sesuai dengan amanat Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk memastikan pasokan bahan baku minyak goreng domestik stabil. “Menurut saya belum efektif karena hanya sebagian eksportir yang sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan domestik, banyak eksportir yang mungkin belum tahu sehingga mereka diam. Konsekuensinya pasokan dan harga minyak goreng belum stabil,” kata Sahat melalui sambungan telepon, Senin (14/2/2022). Di sisi lain, kata Sahat, ketersediaan minyak goreng di sebagian besar ritel modern relatif terbatas hingga pekan kedua Februari 2022. Sementara, sejumlah intervensi sudah dilakukan Kemendag untuk memastikan ketersediaan minyak goreng domestik tersebut. “Berarti ada orang yang bermain di belakang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi, karena minyak goreng untuk industri tidak diatur harganya, ini pada lari ke situ saya kira,” kata dia. Terpisah, tiga pemasok minyak kelapa sawit mentah (CPO) Wilmar berkomitmen memasok produknya dengan harga DMO Rp9.300 per kg. Ketiganya adalah PT Bumitama Gunajaya Agro, PT Union Sampoerna Triputra Persada, dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk. Presiden Direktur Consumer Pack Business Wilmar Thomas Muksim menjelaskan langkah itu dimaksudkan sebagai dukungan perusahaan perkebunan tersebut terhadap kebijakan Kementerian Perdagangan dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri. “Upaya ini adalah komitmen supplier kami, perusahan perkebunan dalam mendukung program pemerintah. Dengan tersedianya CPO DMO tersebut, perusahaan mampu menyediakan lebih banyak lagi minyak goreng ke pasar dalam negeri,” ujarnya dalam siaran pers Senin (14/2/2022).

https://ekonomi.bisnis.com/read/20220214/12/1500388/duh-produsen-minyak-goreng-sebut-kebijakan-dmo-dpo-sawit-tak-efektif

Alinea.id | Senin, 14 Februari 2022

Avtur minyak sawit 100% tidak berdampak signifikan pada permintaan CPO

PT Pertamina (Persero) berencana terus mengembangkan avtur dengan campuran minyak inti sawit. Setelah berhasil memproduksi avtur dengan kandungan minyak inti sawit 2,4% atau dikenal dengan Jet Avtur 2,4 (J2.4), Pertamina bakal mengembangkan lagi hingga ke J5, bahkan J100. Lalu apakah permintaan pada crude palm oil (CPO) akan naik signifikan jika avtur minyak sawit dikembangkan hingga 100%? Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan konsumsi avtur rata-rata pertumbuhannya kecil. Konsumsinya rata-rata di 15,5-16,5 ribu kilo liter (kl) per tahun. Sehingga menurutnya sangat mungkin Pertamina mengembangkan avtur minyak sawit 100%. “Jadi secara volume sangat mungkin Pertamina mengembangkan avtur dari CPO, apalagi teknologi untuk itu tersedia,” ungkapnya kepada Alinea.id dikutip. Senin, (14/2). Fabby menjelaskan dampak pada permintaan CPO tidak terlalu besar, 20-22 ribu kl per tahunnya. Jauh lebih kecil dari produksi CPO tahunan. “Dan lebih kecil dari alokasi BBN yang mencapai 10 juta kl per tahun,” jelasnya. Rencana pengembangan avtur minyak sawit 100% disampaikan oleh Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI), Ifki Sukarya. Menurutnya, ketentuan untuk pengembangan produk bioavtur J5 tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. “Mengatur kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur dengan persentase pada tahun 2025 bioavtur 5%,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (10/2). Menurutnya, pertamina juga berencana untuk melakukan pengembangan produk J100 sebagai komponen campuran bioavtur. “Yang akan dihasilkan pada proyek pengembangan TDHT Fase 2 Biorefinery Cilacap yang ditargetkan selesai pada awal tahun 2025,” ujarnya.

https://www.alinea.id/bisnis/avtur-minyak-sawit-100-tidak-berdampak-signifikan-pada-permintaan-cpo-b2feV9BqM

Harian Neraca | Selasa, 15 Februari 2022

G20 Bawa Komitmen Energi Hijau

Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (KTT G20) membawa komitmen untuk mengganti ke energi hijau alias lebih ramah lingkungan. Ajang G20 juga menjadi momentum untuk menunjukkan bahwa Indonesia sudah siap untuk mengganti sumber energi ke energi hijau. Saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20 tahun 2022 maka yangdibahas tidakhanya tema besar yakni: recover together, recover stronger.\’ Akan tetapi juga dibahas topik lain, seperti ekonomi di sherpa meeting, pemberdayaan perempuan melalui forum Woman of Twenty (W20), dan energi hijau di KTTG20 dan The Business 20 (B20). Terutama bahasan tentang energi hijau karena menarik perhatian seluruh peserta forum yangmemangingin tahu lebih lanjut manfaatnya. Nicke Widyawati, Chair Task Force Energy, Sustainability, and climate menjelaskan pentingnya energi hi jau seperti yangsudah disampaikan oleh Presiden lokowi. Akan ada transisi energi hijau yang nantinya dipaparkan pada pertemuan G20 mendatang. Hal ini sudah disepakati pada pertemuan B20 alias inception meeting business, yang diselenggarakan secara virtual pada akhir januari 2022. Nicke melanjutkan, transisi energihijau merupakan tantangan bagi semua, tetapi juga peluang untuk menciptakan masa depan dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam artian, energi hijau dari Indonesia bisa sangat dijual kepada peserta G20, dan ketika mereka cocokjuga akan bisa tersebar lagi ke seluruh dunia. Indonesia akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang bagus karena menjual energi hijau kebanyaktempat. Yang dimaksud energi hijau adalah energi masa kini yang tidak tergantung dari pengolahan fosil, tetapi merupakan energi dari hy-dro-energi, biodiesel, dll. Hijaubu-k.ml.ih warnanya melainkan istilah yang digunakan karena memanfaatkan bahan-bahan alam sebagai sumber energi baru. Se-1 hingga kita punya altematif kare- na cadangan fosil makin menipis, dan ketika benar-benar habis tidak akan kelimpungan. Manfaat dari energi hijau adalah selain tidak usah menggunakan fosii sebagai bahan baku, juga lebih ramah lingkungan dan cinta bumi. Penyebabnya karena saat pengolahan dan penggunaan energi ini tidak akan membuat kepu-lan asap tebal yang hitam, yang bisa menipiskan lapisanozon. Kita harusmenjagakesehatanbumi sehingga beralih ke energi hijau. Ada tiga isu prioritas yang menjadi fokus rekomendasi kebijakan transisi energi. Pertama adalah percepatan transisi ke tenaga berkelanjutan dan energi hijau, misalnya biofuel dan hidrogen. Harus ada percepatan agar suhu bumi tidak memanas dan maksimal batasnya adalah naik 1,5 derajat celcius, saat belum 100% berpindah ke energi hijau. Kedua, memastikan transisi yang adil dan terjangkau. Dalam artian, bahan bakar hijau alias biodiesel dll tak hanya ramah lingkungan tetapi harganya juga tidak terlalu mahal. Penyebabnya karena jika harga terlalu mahal, maka masyarakat tak mau memakainya, karena akan menguras kantor. Jadi pemerintah harus pintar berhitung agar tak rugi sekaligus tak memberatkan masyarakat. Sedangkan yang ketiga adalah kerja sama global untuk meningkatkan ketahanan energi. Misalnya untuk UMKM dan rumah tangga. Dalam artian, seluruh anggota G20 wajib bekerja sama untuk membentuk dan menyalurkan energi hijau. Sehingga rakyatnya yang diuntungkan karena menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan, dan harganya tak terlalu mahal. KTT G20 dan B20 membawa komiunen untuk terus mempromosikan energi hijau, karena ia memiliki banyak keunggulan, di antaranya lebih ramah lingkungan dan merupakan sumber yang sustainable. Selain itu sumbernya juga dari alam sehingga tidak me-rusaklaipsanozonataumemanas-kansuhubumi.sehinggaaman bagi semua orang. Anggota G20 juga mendukungnya sehingga kompak dalam menggunakan energi hijau.