Kesejahteraan Petani Sawit Menjadi Syarat Biodiesel (BAHAN BAKAR NABATI)
Kompas | Kamis, 8 Juli 2021
Kesejahteraan Petani Sawit Menjadi Syarat Biodiesel (BAHAN BAKAR NABATI)
Biodiesel berbahan baku minyak Kelapa Sawit mentah atau CPO diandalkan sebagai bahan bakar nabati Hal ini bertujuan untuk mendukung proses transisi energi di sektor transportasi. Aspek kesejahteraan petani sawit dimasukkan sebagai kriteria yang diterapkan bagi pemasok CPO, bahan baku biodiesel. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pi-i haknya sedang menguji coba penelusuran sumber CPO yang menjadi bahan baku biodiesel. Pemerintah akan menyusun kriteria pasokan CPO yang mesti dipenuhi produsen biodiesel. Kriteria itu juga akan mencakup aspek kesejahteraan petani sawit. “Produsen mesti membuktikan dampak langsung penyerapan CPO untuk bahan baku biodiesel dengan terjaminnya harga, tandan buah segar,” kata Dadan dalam webinar “Menjawab Tantangan Industri biodiesel dan Kendaraan Listrik yang Lebih Bersih” yang diadakan Koaksi Indonesia, Rabu (7/7/2621). Dadan menambahkan, sebanyak 18 persen dari produksi Kelapa Sawit di Indonesia yang rata-rata 55 juta ton per tahun dimanfaatkan untuk bahan baku biodiesel. Saat ini, biodiesel dicampurkan dalam solar murni dengan kadar pencampuran 30 persen untuk biodiesel dan 70 persen solar murni. Bahan bakar ini dikenal sebagai solar B-30. Sepanjang 2020, Kementerian ESDM mencatat realisasi pemanfaatan biodiesel mencapai 8,4 juta kiloliter. Realisasi tersebut berdampak pada pengurangan emisi sebanyak 22,3 juta ton gas karbon dioksida. Tahun ini, / target serapan biodiesel diharapkan sebanyak 9,2 juta kiloliter. Pengajar pada Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung, Agung Wicaksono, berpendapat bahwa kebijakan penggunaan biodiesel mesti terpadu. “Keterkaitan an-tarfaktor yang meliputi emisi, pembukaan lahan, subsidi, kesejahteraan petani, dan devisa negara perlu ditinjau secara terintegrasi,” ujarnya. Periset Koaksi Indonesia Siti Koiromah mengatakan, pemanfaatan biodiesel sebagai bahan baku BBM berpotensi pada terjadinya pembukaan lahan sawit baru. “Oleh sebab itu, kami mendorong adanya standar keberlanjutan pada industri biodiesel,” katanya pada acara yang sama.
Kendaraan listrik
Selain pemanfaatan BBN, pemerintah juga mengandalkan kendaraan listrik berbasis baterai demi menekan konsumsi BBM. Pada 2030 diproyeksikan terdapat 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik yang beroperasi di Indonesia. Menurut Siti, prinsip-prinsip kelestarian pada industri baterai dan kendaraan listrik perlu dirumuskan bersamaan dengan pembangunan rantai pasok. Dia mencontohkan, ekstraksi nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik harus memenuhi praktik pertambangan yang berkelanjutan. Executive Vice President of Engineering and Technology PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Zainal Arifin menambahkan, perseroan siap memasok daya untuk kendaraan listrik. Saat ini ada kelebihan daya sebesar 14.000 megawatt, sedangkan kebutuhan listrik untuk 1 juta unit kendaraan roda empat sebanyak 2.600 megawatt.
CNBCIndonesia.com | Kamis, 8 Juli 2021
Konsumsi Premium Rendah, Solar Subsidi Sudah Capai 46% Kuota
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat serapan solar subsidi sampai dengan semester I 2021 sudah mencapai 7,26 juta kilo liter (kl), atau mencapai 45,99% dari kuota tahun ini sebesar 15,8 juta kl. Penyerapan solar bersubsidi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penyerapan BBM jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 88 atau Premium, yakni baru sebesar 2,34 juta kilo liter (kl) hingga semester I 2021. Penyerapan Premium hingga Juni tersebut baru mencapai 23,50% dari kuota tahun ini sebesar 10 juta kl. Adapun serapan solar subsidi tersebut berasal dari penjualan solar bersubsidi PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) yang mendapatkan kuota penjualan BBM bersubsidi tahun ini. Penjualan solar subsidi oleh Pertamina selama Januari-Juni 2021 tercatat sebesar 7,18 juta kl, atau sekitar 46,11% dari kuota penyaluran solar subsidi tahun ini sebesar 15,58 juta kl. Sementara penjualan solar subsidi oleh AKR hingga semester I ini mencapai 82.394 kl, atau baru sekitar 37,46% dari kuota tahun ini 219.960 kl. Secara rinci, total serapan solar subsidi per bulan yaitu 1,14 juta kl pada Januari 2021, lalu turun pada Februari menjadi sebesar 1,08 juta kl, dan Maret melonjak menjadi 1,29 juta kl. Lalu, pada April turun tipis menjadi 1,28 juta kl, Mei kembali turun menjadi 1,13 juta kl, dan kembali naik di bulan Juni menjadi 1,32 juta kl. Adapun untuk realisasi penyerapan kerosene (minyak tanah) bersubsidi hingga semester I 2021 ini mencapai 242.610 kl, atau sekitar 48,52% dari kuota tahun ini 500 ribu kl. Untuk penjualan kerosene bersubsidi ini hanya ditugaskan kepada PT Pertamina (Persero). Seperti diketahui, pemerintah memberikan subsidi untuk solar per liternya sebesar Rp 500. Besaran subsidi ini diusulkan akan dilanjutkan untuk tahun depan sebagaimana disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif. “Mengenai subsidi minyak solar di RAPBN 2022, diusulkan subsidi minyak solar tetap yakni Rp 500 per liter, sama dengan 2021,” papar Arifin kepada Komisi VII DPR, Rabu (02/06/2021). Sementara dari sisi volume, volume minyak solar di dalam RAPBN 2022 diusulkan mencapai 14,34-15,10 juta kilo liter (kl), turun dari target solar bersubsidi di APBN 2021 yang ditetapkan sebesar 15,80 juta kl.
Bisnis.com | Kamis, 8 Juli 2021
Kementerian ESDM Dorong Peningkatan Biogas Jadi Bio-CNG
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pengembangan bio-compressed natural gas atau bio-CNG dalam skala komersial sebagai bahan bakar transportasi dan substitusi liquefied petroleum gas untuk industri. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan, bio-CNG atau biomethane merupakan hasil pemurnian biogas (pure methane), di mana senyawa gas pengotor dibuang untuk menghasilkan gas methane dengan kadar di atas 95 persen, sehingga karakteristiknya menyerupai CNG. “Pengembangan biomethane skala komersial bisa digunakan sebagai bahan bakar nonlistrik, seperti transportasi dan juga sebagai subtitusi untuk LPG [liquefied petroleum gas] yang dapat digunakan untuk industri. Kalau bio-CNG ini kami kembangkan dengan baik, harapan kami bisa mereduksi impor LPG,” ujar Feby dalam sebuah webinar, Kamis (8/7/2021). Feby menuturkan, sebagai negara penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan sumber daya alam, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan limbah CPO, limbah pertanian, dan peternakan menjadi biogas serta biomethane. Dalam mendorong pengembangan bio-CNG, Kementerian ESDM bersama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) telah melakukan studi pasar pengembangannya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Studi itu akan segera dilanjutkan dengan pendampingan teknis untuk persiapan implementasi pembangunan bio-CNG. “Walaupun kita punya potensi bio-CNG cukup besar, tapi belum bisa berkembang komersial. Banyak tantangan yang jadi PR [pekerjaan rumah] kita bersama, baik dari sisi kebijakan, keekonomian, dan tata niaga,” kata Feby. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI) Dian Kuncoro mengatakan, investasi untuk distribusi dan infrastruktur pemanfaatan CNG membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal dibandingkan dengan LPG. Hal itu disebabkan oleh karakteristik keduanya yang berbeda. Misalnya, CNG memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan LPG sehingga untuk mengangkutnya ke pelanggan membutuhkan material tabung yang lebih kuat. Itu akan membuat ongkos dari sisi material menjadi lebih mahal. “Harga jual CNG di industri range US$10—US$13 per MMBTU, itu rangkaian cost strucure sampai industri,” kata Dian. Oleh karena itu, untuk mendorong pemanfaatan bio-CNG sebagai energi alternatif harus dipastikan bahwa biaya pengolahan biogas memiliki nilai kompetisi dengan harga gas pipa. “Cost dari biogas untuk jadi gas berapa? Ini belum jadi bio-CNG nih. Apakah bisa US$6—US$7 MMBTU? Ini harus punya nilai kompetisi dengan harga gas pipa, karena kami sebagai pemain CNG kalau nanti biogasnya lebih mahal dari gas pipa, ya kami tidak mungkin beli yang lebih mahal,” ucapnya.
Kompas | Jum’at, 9 Juli 2021
Limbah Biomassa Berpotensi
Indonesia memiliki potensi biomassa tertinggi di dunia. Limbah biomassa juga dapat dimanfaatkan untuk sumber energi masa depan. Namun, pemanfaatan limbah biomassa perlu upaya lebih karena bentuk dan karakter yang bervariasi. Koordinator Riset, Inovasi, dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) Pandji Prawisudha menyampaikan, Indonesia memiliki potensi biomassa dari produk pertanian dan perkebunan. Produksi pertanian dan perkebunan juga akan menghasilkan limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi masa depan. Data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada 2017 menunjukkan, Indonesia berada di urutan pertama produksi sawit di dunia Untuk produksi gabah, Indonesia berada di urutan ketiga setelah China dan India. “Potensi limbah Kelapa Sawit paling banyak di Sumatera dan Kalimantan, mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun. Sementara potensi limbah padi paling banyak di Jawa dan Sulawesi Selatan dengan jumlah 4 juta ton. Ini potensi yang sangat besar jika bisa dikonversikan menjadi energi,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Pemanfaatan Biomassa untuk Sumber Energi Masa Depan”, Kamis (8/7/2021). Potensi lain bisa dari jagung, singkong, kelapa, tebu, hingga cokelat. Data Kementerian Pertanian pada 2018 mencatat, setiap limbah dari sawit, jagung, kelapa, tebu, dan cokelat bahkan lebih besar dari produk buah yang dihasilkan. Ada pula tebu serta limbah pengolahannya di pabrik gula. Hasil studi Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB pada 2002, biomassa dari sekam dan jerami di Jawa berpotensi menghasilkan listrik sebesar 700 megawatt. Selain itu, hasil studi ITB lainnya juga menyatakan pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) sangat besar, terutama di Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
Tantangan
Namun, Pandji memandang pemanfaatan limbah biomassa perlu upaya lebih dan menghadapi sejumlah tantangan. Hal ini terkait bentuk dan karakter limbah biomassa yang bervariasi sehingga menyulitkan proses perawatan. Densitas energi yang rendah juga akan mem- buat ongkos transportasi semakin tinggi. Guna mengoptimalkan pemanfaatan limbah biomassa menjadi sumber energi mendekati batubara, perlu dilakukan proses peningkatan nilai kalor. Proses ini dilakukan dengan cara mengurangi kandungan oksigen dan hidrogen dalam limbah. “Salah satu yang kami lakukan di laboratorium adalah melakukan proses pengeringan limbah biomassa dengan menggunakan uap super panas atau dikenal dengan istilan torefaksi. Dengan demikian, produknya bisa dianggap dekat dengan batubara karena nilai kalornya sangat tinggi,” kata Pandji. Pengajar Departemen Teknik Mesin Universiti Teknologi Petronas, Malaysia, Jundika Candra Kurnia, mengatakan, pemanfaatan limbah sawit, terutama yang berbentuk cair, dapat mengatasi permasalahan lingkungan. Jika tak diolah baik, limbah cair dari kilang industri sawit kerap menimbulkan bau dan mencemari lingkungan. Limbah dari produksi minyak sawit yang bisa dimanfaatkan berasal dari tandan buah kosong, sabut, cangkang, dan limbah cair. Pengembangannya untuk kompos, bahan bakar boiler, biogas, dan pakan.