Menebar Kebaikan Sawit Hingga ke Glasgow
Gatra.com | Rabu, 3 November 2021
Menebar Kebaikan Sawit Hingga ke Glasgow
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) benar-benar mengerahkan segala kemampuannya untuk kelapa sawit. Di dalam negeri, lembaga yang dikomandani oleh Eddy Abdurrachman ini terus menggeber gimana caranya supaya sawit lebih produktif, lebih bernilai tambah dan berkelanjutan lewat Peremajaan sawit Rakyat (PSR), riset, hingga pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Di luar negeri, BPDPKS juga pasang badan. Setelah tampil menebar kebaikan sawit di Dubai Expo dua pekan lalu, kini, BPDPKS hadir pula di UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) yang berlangsung di Glasgow Scotlandia hingga pekan depan. Paviliun seluas 100 meter persegi berlantai dua sengaja disewa untuk hajat sawit itu. Paviliun ini berdekatan dengan United Kingdom (UK) Paviliun dan United Nations Framework Convention on Climate (UNFCCC) Paviliun. “Lokasinya sangat strategis. Segala keterangan tentang kebaikan sawit, termasuk juga manfaatnya, baik dalam bentuk tulisan maupun audio visual, sudah kami lengkapi di Paviliun ini,” terang Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS, Achmad Mauli kepada Gatra.com, Rabu siang waktu setempat. Lelaki ini yang bertanggungjawab atas Paviliun itu. Di Dubai Expo yang baru saja usai, BPDPKS kata Mauli juga melakukan hal yang sama. Banyak yang penasaran dengan kelapa sawit Indonesia. Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, juga ikut repot menjelaskan soal kelapa sawit Indonesia itu kepada media Uni Emirat Arab. “Sawit sudah menjadi marwah bangsa, yang telah memberikan devisa yang sangat besar. Lantaran itu, kita musti meluruskan apa yang tak baik yang dibilang orang selama ini,” ujar Mauli. Dua hari lagi kata Mauli, talkshow yang dimoderatori oleh Yuli Sri Wilanti, Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Hortikultura Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, bakal digelar. Talkshow itu mengusung tajuk; Program Biofuel Indonesia: Terdepan dalam Memberikan Dampak Positif pada Penurunan Emisi GRK dan Pembangunan Ekonomi. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) dilibatkan dalam acara live hybrid itu. Selain dua narasumber dari dua lembaga di atas, sederet narasumber lain juga sudah disiapkan. Soalnya ajang diskusi juga bakal digelar. Adalah Dr. Tatang Hernas Soerawidjaja dari Institut Teknologi Bandung (ITB) salah satunya. Lelaki ini bakal mempresentasikan Minyak Sawit Ajaib: Ilmu di balik penemuan biofuel dan Teknologi Masa Depan Bahan Bakar Biohidrokarbon Berbasis Minyak Sawit. Dr. Musdhalifah Machmud yang mewakili Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan mengurai Program Biodiesel Wajib: Komitmen Pemerintah Indonesia dalam Mencapai Pembangunan Berkelanjutan dan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dr. Dadan Kusdiana, juga terlibat di sana. Lelaki ini akan menyuguhkan topik; Minyak Sawit untuk Energi Terbarukan: Perspektif Kebijakan. Paulus Tjakrawan, Wakil Ketua APROBI didapuk memaparkan; Program Biodiesel Indonesia untuk Aksi Iklim. Dan terakhir Abdul Rochim dari Asosiasi Industri Kendaraan Bermotor Indonesia akan mengurai; Biofuel dari Minyak Sawit: Perspektif Industri Transportasi. Ada sederet alasan kuat kata Mauli, kenapa biodiesel yang jadi usungan di COP26 itu. Pertama, Indonesia adalah satu-satunya negara yang paling tinggi bauran energi terbarukannya; mencapai 30% (B30). Sementara negara lain, paling tinggi hanya B10. “Dari besaran bauran ini saja sebenarnya, sudah kelihatan begitu besarnya komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi, meski Indonesia sesungguhnya bukan penyumbang emisi besar,” katanya. Yang kedua kata Mauli, lewat biodiesel ini, Indonesia ingin membuktikan kemampuannya menghadirkan produk hilir. “Dan ternyata, produk hilir ini tidak hanya mampu memperluas pasar domestik, tapi juga bisa menstabilkan harga Crude Palm Oil (CPO). Itu terjadi lantaran hilirisasi ini membuat kita tidak lagi sepenuhnya bergantung pada permintaan pasar ekspor,” semakin detil Mauli mengurai. Keuntungan berikutnya, biodiesel telah pula menghemat devisa negara lantaran tak lagi jor-joran mengimpor solar. “Ini nih yang paling penting lagi. Produk biodiesel dalam negeri yang mencapai 8,4 juta kiloliter pada tahun 2020 telah mampu mengurangi emisi sekitar 15% atau setara dengan 22,48 juta ton CO2,” Mauli menegaskan. “Kita belum menghitung capaian serapan karbondioksida dan oksigen yang dihasilkan oleh kebun kelapa sawit lho. Sebab penelitian nyata-nyata menghasilkan bahwa sawit mampu menyerap karbon 65,4 ton pertahun dan menghasilkan oksigen 18,7 ton per tahun,” tambahnya. Mauli kemudian mengurai bahwa di dalam negeri, sektor industri kelapa sawit telah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia. Melalui ekspor CPO dan turunanannya, kinerja ekspor tahun lalu mencapai USD 24,2 miliar atau rata-rata 14,19% per tahun dari total nonmigas dan ekspor gas. Industri kelapa sawit ini juga telah menyumbang penerimaan negara berupa pajak dengan perkiraan antara Rp14 triliun hingga Rp20 triliun per tahun. “Kinerja ini menunjukkan betapa pentingnya industri kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia,” ujarnya. “Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, kami percaya, Indonesia tidak hanya akan menjadi penyedia minyak nabati mentah dunia, tapi pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan untuk mendorong industri hilir agar memiliki nilai tambah. Dengan kebijakan ini, komposisi ekspor minyak sawit Indonesia sudah didominasi oleh produk hilir sebesar 64% dan ekspor CPO tinggal 26%, Mauli merinci,. “Beginilah capaian yang ingin kita sampaikan kepada dunia. Bahwa Indonesia telah mampu meningkatkan kualitas lingkungan dan telah pula mampu mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs),” ujarnya. BPDPKS kata Mauli sangat yakin bahwa capaian tadi akan semakin baik lantaran PSR yang sudah berjalan selama ini, telah menunjukkan hasil yang bagus dan ini berarti produksi bisa ditingkatkan tanpa menambah lahan baru lagi.
https://www.gatra.com/detail/
BERITA BIOFUEL
Bisnis.com | Rabu, 3 November 2021
World Expo 2020 Dubai, Al Khaleej Sugar Co Tertarik Kembangkan Etanol di RI
Kementerian Perindustrian mengungkapkan Al Khaleej Sugar Co, pabrik gula di Dubai tertarik untuk mengembangkan pabrik gula terintegrasi di Indonesia. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan Al Khaleej Sugar Co berencana untuk mengembangkan etanol dari gula. “Mereka [Al Khaleej Sugar Co] ingin mengembangkan etanol dari gula. Nanti kita juga bisa dorong menjadi bahan bakar berbasis etanol,” katanya di sela-sela kunjungan ke Paviliun Indonesia dalam gelaran World Expo 2020 Dubai, Selasa (2/11/2021). Selain sebagai bahan bakar, etanol, yang merupakan produk sampingan dari pabrik gula, juga dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap gula rafinasi. “Dalam konteks ini, impor gula bisa ditekan dan bahkan ke depan berpeluang berkurang sekitar 750 ribu ton per tahun.” ungkapnya. Sebagai catatan, pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan impor gula mentah untuk gula kristal rafinasi (GKR) sebanyak 3,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, 1,9 juta ton dialokasikan untuk semester I/2021 dan 1,2 juta ton untuk semester II/2021. Sementara itu, etanol juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif. Pasalnya, tren pengurangan emisi karbon membuat sejumlah negara memutar otak untuk mencari sumber energi yang lebih bersih. Negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, dan Filipina sendiri telah mengembangkan etanol dalam jumlah besar sebagai alternatif bahan bakar fosil. Pemanfaatan etanol dalam energi baru dan terbarukan menjadi satu alternatif untuk pengurangan gas emisi karbon dari sektor transportasi. Peneliti Senior dari Institut Teknologi Bandung Tirto Prakoso berpendapat bahwa keberhasilan beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Thailand, dan Filipina dalam penerapan bioetanol dapat menjadi pembelajaran untuk Indonesia agar dapat memperkenalkannya di pasar domestik. Menurut dia, pengembangan bioetanol dapat menciptakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian, dan juga merangsang pertumbuhan industri pengolahan etanol domestik. Dengan demikian, ke depannya Indonesia tidak tergantung oleh impor bahan bakar jadi dan impor minyak mentah. “Selain tentu saja ada keuntungan lingkungan, di mana kita bisa mendapatkan udara yang lebih bersih, dan kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, kita harus berani terlebih dahulu memperkenalkan bioetanol ke pasar domestik,” ujarnya.