Menghitung Besarnya Kontribusi Industri Sawit bagi Perekonomian Nasional

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bisnis.com | Senin, 31 Mei 2021

Menghitung Besarnya Kontribusi Industri Sawit bagi Perekonomian Nasional

Keberadaan industri sawit dinilai strategis bagi perekonomian nasional. Industri sawit juga dinilai mampu membangun ketahanan pangan dan kedaulatan energi, dan saat ini terus didorong untuk mengembangkan hilirisasi guna mendongkrak peningkatan kegiatan perekonomian dalam negeri. Perkebunan sawit nasional telah berkembang pesat, meluas baik ke hulu maupun hilir. Hingga saat ini perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit telah tersebar lebih dari 200 kabupaten di Indonesia. Produksi minyak sawit mentah (CPO), minyak sawit inti (PKO), dan biomass telah menjadi penopang perekonomian bagi daerah-daerah sentra industri sawit tersebut. Sektor hilir sawit pun berkembang dengan produk olahan, baik produk setengah jadi maupun produk jadi, termasuk di dalamnya, industri oleo pangan, industri oleokimia, biolubrikan, biofarmasi, dan bioenergi (biodiesel, biopremium, bioavtur). Industri sawit juga mampu menghidupkan sektor jasa lainnya, salah satunya perdagangan. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Kanya Lakhsmi Sidarta mengatakan hingga saat ini, produk turunan sawit sudah merambah ke bidang makanan, kecantikan, obat-obatan atau nutrisi kesehatan, kebersihan, bahkan energi untuk bahan bakar hingga listrik. Selain dapat diolah menjadi bahan bakar diesel, dalam pengembangan lebih lanjut juga dapat diolah menjadi bensin dan avtur. Saat ini, produk CPO Indonesia dan turunannya sebanyak 70% dari total produksi per tahun diekspor untuk kebutuhan global. “Lebih dari 50% digunakan masyarakat internasional untuk kebutuhan pangan, sisanya digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan produk kecantikan, obat-obatan, pembersih, dan lain sebagainya, bahkan juga untuk kebutuhan biofuel di negara lain. Dari total ekspor tersebut, sekitar 80% berupa produk turunan CPO,” kata Kanya belum lama ini di Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, industri kelapa sawit menyumbang lebih dari 14% dari total penerimaan devisa ekspor nonmigas, dan kelapa sawit juga digunakan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak melalui program biodiesel. Karena itu, Indonesia masih harus terus mengembangkan hilirisasi industri sawit untuk mendorong peningkatan kegiatan perekonomian dalam negeri. Tidak hanya untuk meningkatkan nilai ekonomi, tapi juga kesempatan kerja dan kemandirian untuk sektor pangan maupun sektor lainnya. Industri sawit dinilai mampu menjadi big-push industry yang juga memiliki big-impact dalam perekonomian Indonesia. Industri ini telah membuka lapangan pekerjaan yang cukup banyak, bahkan tidak terdampak pandemi yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para pekerjanya, serta menghasilkan devisa ekspor yang besar. Lebih dari 16 juta pekerja bekerja di industri sawit, yakni 4,2 juta tenaga kerja langsung, dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Selain itu, juga ada lapangan pekerjaan yang terkait, yakni ada sekitar 2,4 juta petani sawit swadaya yang melibatkan sekitar 4,6 juta pekerja. Melalui industri sawit, Indonesia bisa membangun kedaulatan energi.

Terkait hal ini, Indonesia telah mengembangkan energi substitusi terbarukan (renewable energy) sejak beberapa tahun lalu melalui kebijakan mandatori biodiesel sawit yang saat ini telah menjadi B30. Melalui kebijakan mandatori B15 (2015) dan B20 (2016), Indonesia mampu menurunkan BBM impor yang secara otomatis menghemat devisa impor. Pada 2015 setidaknya terjadi penghematan sebesar USD 5,6 miliar. Sedangkan, pada 2020 berdasarkan data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), tercatat volume biodiesel yang terserap untuk program B30 mencapai 8,4 juta kiloliter. Artinya, terdapat penghematan devisa impor solar fosil sebesar USD 2,66 miliar dengan menggunakan harga rata-rata MOPS (Mean of Platts Singapore) solar sebesar USD 50 per barel. Selain kedaulatan energi, Indonesia juga bisa membangun ketahanan pangan. Beberapa waktu belakangan ini para pelaku usaha di sektor sawit yang tergabung dalam GAPKI, telah mengembangkan tanaman sela berupa sorgum di lahan sawit. Penanaman tanaman sela tersebut dilakukan di lahan sawit yang tengah peremajaan (replanting). Selain memiliki nilai ekonomi, sorgum memberikan manfaat bagi tanaman sawit karena kandungan fungi mikoriza arbuscula (FMA), yakni sebagai makanan bagi trichoderma atau musuh alami ganoderma yang merusak tanaman sawit. Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud menegaskan ekspor produk hilir sawit Indonesia sudah jauh lebih besar dari produk hulu. Jika pada 2006, ekspor hulu masih sekitar 60–70%, saat ini ekspor produk hilir justru mencapai 60–70% dan produk hulu hanya sekitar 30%–40%. “Kita mendorong supaya investasi bukan hanya di hulu tetapi juga di hilir. Ini kan untuk menjaga daya saing produk kita. Kita harus perluas diversifikasi sawit sebagai bahan industri seperti farmasi, pangan, juga untuk keperluan sehari-hari seperti sabun, lilin, makanan juga pakai kelapa sawit,” ungkapnya. Terkait besarnya potensi komoditas sawit, pemerintah tengah berupaya mengubah posisi Indonesia dari Raja CPO menjadi Raja Hilir Sawit pada 2045 mendatang. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggelar berbagai kebijakan dalam rangka mendorong percepatan hilirisasi industri sawit nasional, diantaranya kebijakan insentif pajak, pengembangan kawasan industri integrasi industri hilir sawit dengan fasilitas/jasa pelabuhan, kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor, serta kebijakan mandatori biodiesel untuk substitusi solar impor. Salah satu produk turunan yang cukup diperhitungkan yakni oleochemical (oleokimia). Menurut Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), kapasitas produksi industri oleokimia berbasis sawit RI merupakan yang terbesar di dunia dengan kapasitas produksi mencapai 23,3 juta ton per tahun. Rinciannya 12 juta ton untuk produksi fatty acid methyl ester (FAME) atau yang dikenal saat ini sebagai biodiesel, dan sisanya berupa produk lain seperti methyl ester, glycerin, dan soap noodle. Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, Kasan Muhri mengungkapkan sawit kini memainkan peran penting dalam neraca dagang sebagai komoditas non migas. Beruntungnya, kata Kasan, kontribusi ekspor tersebut memiliki kesinambungan karena diversifikasi produk turunan. “Dalam beberapa kesempatan [kami] sampaikan, minyak sawit dan turunannya itu salah satu kontributor terbesar terhadap ekspor khususnya non migas. Sekarang syukurnya 70 persen lebih produk turunan yang diekspor,” tutupnya.

 

https://ekonomi.bisnis.com/read/20210531/257/1399956/menghitung-besarnya-kontribusi-industri-sawit-bagi-perekonomian-nasional

 

Investor.id | Senin, 31 Mei 2021

Industri Sawit Tempati Posisi Strategis bagi Perekonomian Nasional

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Kanya Lakshmi Sidarta mengatakan, keberadaan industri sawit menempati posisi strategis bagi perekonomian nasional. Selain mampu membangun ketahanan pangan dan kedaulatan energi, industri sawit juga terus didorong untuk mengembangkan hilirisasi agar dapat  mendongkrak peningkatan kegiatan perekonomian dalam negeri. “Perkebunan sawit nasional telah berkembang pesat, meluas baik ke hulu maupun hilir,” kata Kanya melalui keterangan tertulis yang diterima Senin (31/5/2021). Ia mengatakan, hingga saat ini perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit telah tersebar lebih dari 200 kabupaten di Indonesia. Produksi minyak sawit mentah (CPO), minyak sawit inti (PKO), dan biomasa telah menjadi penopang perekonomian bagi daerah-daerah sentra industri sawit tersebut. Sektor hilir sawit pun berkembang dengan produk olahan, baik produk setengah jadi maupun produk jadi, termasuk di dalamnya, industri oleo pangan, industri oleokimia, biolubrikan, biofarmasi, dan bioenergi (biodiesel, biopremium, bioavtur). Industri sawit juga mampu menghidupkan sektor jasa lainnya, salah satunya perdagangan. “Hingga saat ini, produk turunan sawit sudah merambah ke bidang makanan, kecantikan, obat-obatan atau nutrisi kesehatan, kebersihan, bahkan energi untuk bahan bakar hingga listrik,” katanya. Menurut Kanya, selain dapat diolah menjadi bahan bakar diesel, dalam pengembangan lebih lanjut juga dapat diolah menjadi bensin dan avtur. Saat ini, produk CPO Indonesia dan turunannya sebanyak 70% dari total produksi per tahun diekspor untuk kebutuhan global. “Lebih dari 50% digunakan masyarakat internasional untuk kebutuhan pangan, sisanya digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan produk kecantikan, obat-obatan, pembersih, dan lain sebagainya, bahkan juga untuk kebutuhan biofuel di negara lain. Dari total ekspor tersebut, sekitar 80% berupa produk turunan CPO,” jelas Kanya.

Kurangi Ketergantungan

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, industri kelapa sawit menyumbang lebih dari 14% dari total penerimaan devisa ekspor nonmigas, dan kelapa sawit juga digunakan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak melalui program biodiesel. Indonesia masih harus terus mengembangkan hilirisasi industri sawit untuk mendorong peningkatan kegiatan perekonomian dalam negeri. Tidak hanya untuk meningkatkan nilai ekonomi, tapi juga kesempatan kerja dan kemandirian untuk sektor pangan maupun sektor lainnya. Industri sawit dinilai mampu menjadi big-push industry yang juga memiliki big-impact dalam perekonomian Indonesia. Industri ini telah membuka lapangan pekerjaan yang cukup banyak, bahkan tidak terdampak pandemi yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para pekerjanya, serta menghasilkan devisa ekspor yang besar. Lebih dari 16 juta pekerja bekerja di industri sawit, yakni 4,2 juta tenaga kerja langsung, dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Selain itu, juga ada lapangan pekerjaan yang terkait, yakni ada sekitar 2,4 juta petani sawit swadaya yang melibatkan sekitar 4,6 juta pekerja. Melalui industri sawit, Indonesia bisa membangun kedaulatan energi. Terkait hal ini, Indonesia telah mengembangkan energi substitusi terbarukan (renewable energy) sejak beberapa tahun lalu melalui kebijakan mandatori biodiesel sawit yang saat ini telah menjadi B30. Melalui kebijakan mandatori B15 (2015) dan B20 (2016), Indonesia mampu menurunkan BBM impor yang secara otomatis menghemat devisa impor. Pada tahun 2015  terjadi penghematan sebesar US$ 5,6 miliar.  Berdasarkan data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), pada tahun 2020 tercatat volume biodiesel yang terserap untuk program B30 mencapai 8,4 juta kiloliter. Artinya, terdapat penghematan devisa impor solar fosil sebesar US$ 2,66 miliar  dengan menggunakan harga rata-rata MOPS (Mean of Platts Singapore) solar sebesar US$ 50 per barel. Selain kedaulatan energi, Indonesia juga bisa membangun ketahanan pangan. Beberapa waktu belakangan ini para pelaku usaha di sektor sawit yang tergabung dalam Gapki, telah mengembangkan tanaman sela berupa sorgum di lahan sawit. Penanaman tanaman sela tersebut dilakukan di lahan sawit yang tengah peremajaan (replanting). Selain memiliki nilai ekonomi, sorgum memberikan manfaat bagi tanaman sawit karena kandungan fungi mikoriza arbuscula (FMA), yakni sebagai makanan bagi trichoderma atau musuh alami ganoderma yang merusak tanaman sawit.

Jauh Lebih Besar

Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud menegaskan ekspor produk hilir sawit Indonesia sudah jauh lebih besar dari produk hulu. Jika pada 2006, ekspor hulu masih sekitar 60–70%, saat ini ekspor produk hilir justru mencapai 60–70% dan produk hulu hanya sekitar 30%–40%. “Kita mendorong supaya investasi bukan hanya di hulu tetapi juga di hilir. Ini kan untuk menjaga daya saing produk kita. Kita harus perluas diversifikasi sawit sebagai bahan industri seperti farmasi, pangan, juga untuk keperluan sehari-hari seperti sabun, lilin, makanan juga pakai kelapa sawit,” ungkapnya.  Terkait besarnya potensi komoditas sawit, pemerintah tengah berupaya mengubah posisi Indonesia dari Raja CPO menjadi Raja Hilir Sawit pada 2045 mendatang. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggelar berbagai kebijakan dalam rangka mendorong percepatan hilirisasi industri sawit nasional, diantaranya kebijakan insentif pajak, pengembangan kawasan industri integrasi industri hilir sawit dengan fasilitas/jasa pelabuhan, kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor, serta kebijakan mandatori biodiesel untuk substitusi solar impor. Salah satu produk turunan yang cukup diperhitungkan yakni oleochemical (oleokimia). Menurut Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), kapasitas produksi industri oleokimia berbasis sawit RI merupakan yang terbesar di dunia dengan kapasitas produksi mencapai 23,3 juta ton per tahun. Rinciannya 12 juta ton untuk produksi fatty acid methyl ester (FAME) atau yang dikenal saat ini sebagai biodiesel, dan sisanya berupa produk lain seperti methyl ester, glycerin, dan soap noodle. Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, Kasan Muhri mengungkapkan sawit kini memainkan peran penting dalam neraca dagang sebagai komoditas non migas. Beruntungnya, kata Kasan, kontribusi ekspor tersebut memiliki kesinambungan karena diversifikasi produk turunan. “Dalam beberapa kesempatan [kami] sampaikan, minyak sawit dan turunannya itu salah satu kontributor terbesar terhadap ekspor khususnya non migas. Sekarang syukurnya 70% lebih produk turunan yang diekspor,” katanya.

 

https://investor.id/business/industri-sawit-tempati-posisi-strategis-bagi-perekonomian-nasional

 

BERITA BIOFUEL

Infosawit.com | Selasa, 1 Juni 2021

WTO Bentuk Panel Guna Selesaikan Kendala Dagang Biodiesel Sawit UE

Merujuk informasi dari Pemerintah Malaysia mengatakan pada Senin (31/5/2021), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyetujui permintaan pemerintah Malaysia untuk membentuk panel yang memeriksa undang-undang Uni Eropa yang membatasi penggunaan biofuel berbasis minyak sawit. Sebelumnya berdasarkan kebijakan EU Directived II, bahan bakar berbasis minyak sawit akan dihapuskan pada tahun 2030 mendatang, lantaran minyak sawit masuk dalam klasifikasi komoditas yang dianggap merusak hutan, sehingga tudak bisa dianggap sebagai bahan bakar transportasi yang dapat diperbarui. Sementara informasi dari produsen minyak sawit, beberapa negara anggota UE bahkan telah mulai menghapus minyak sawit dari program biofuel mereka sebelum tenggat waktu yang  ditetapkan. Kedua Negara produsen minyak sawit dunia, Indonesia dan Malaysia, dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan gugatan terhadap EU secara terpisah ke WTO, lantaran kebijakan tersebut dianggap diskriminatif. Dikutip Channel News Asia, Menteri Komoditas Malaysia Mohd Khairuddin Aman Razali mengungkapkan, pihaknya  akan tetap berkomitmen untuk melakukan tindakan hukum terhadap UE. Lebih lanjut tutur Mohd Khairuddin,  WTO pada hari Jumat (28/5/2021), telah menyetujui permintaan kedua dari Malaysia agar sebuah panel dibentuk. Permohonan itu dibuat sejak konsultasi dengan UE pada 17 Maret lalu  gagal menghasilkan solusi.

 

https://www.infosawit.com/news/10872/wto-bentuk-panel-guna-selesaikan-kendala-dagang-biodiesel-sawit-ue

 

Wartaekonomi.co.id | Selasa, 1 Juni 2021

Potensi POME Indonesia Terbang Jauh ke Inggris

Meskipun limbah, Palm Oil Mill Effluent (POME) terbukti berpotensi menghasilkan energi listrik dan menjadi bahan baku biofuel. Tidak hanya telah dimanfaatkan oleh perusahaan di Indonesia, POME ternyata juga sangat dibutuhkan Inggris sebagai bahan baku biofuel. Duta Besar (Dubes) RI untuk Inggris, Desra Percaya saat melakukan kunjungan ke Argent Energy, salah satu produsen biodiesel Inggris di Ellesmere Port pada Rabu (26/5/2021) menjelaskan bahwa POME merupakan peluang ekspor bagi Indonesia, yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan di Inggris.  Dalam kunjungan tersebut, ia memimpin tim KBRI London yang disambut CEO Argent Energy, Erik Rietkerk dan manajer lapangan perusahaan tersebut, Joe O’Kane. “Saya undang Argent Energy untuk memanfaatkan peluang ini. Peluang untuk investasi biodiesel di Indonesia juga terbuka lebar, dalam rangka mendukung rantai pasok kelapa sawit yang sustainable. KBRI London siap memfasilitasi kerja sama yang baik ini,” ujar Desra dalam keterangan tertulis Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London yang diterima di Jakarta, Jumat (28/5/2021) seperti dilansir dari sawitindonesia.com. Lebih lanjut dikatakan Erik Rietkerk, hampir 50 persen dari bahan baku biodiesel yang diolah oleh Argent Energy merupakan limbah cair kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME), yang mana sebagian besarnya didatangkan dari Indonesia. Argent Energy berencana untuk menambah impor POME dari Indonesia sampai dengan sekitar 250 ribu ton pada 2022, khususnya karena kualitas POME asal Indonesia dianggap lebih baik dibandingkan dari negara lain.  Data Her Majesty’s Revenue & Customs mencatat, pada 2020, Inggris mengimpor kelapa sawit Indonesia (HS Code 1511 dan 1513) senilai US$67,9 atau meningkat 10,2 persen dibandingkan periode 2019 yang senilai US$61,6. Perlu diketahui, Her Majesty’s Revenue and Customs merupakan departemen non-kementerian Pemerintah Inggris yang bertanggung jawab atas pengumpulan pajak, pembayaran beberapa bentuk dukungan negara, administrasi peraturan lainnya, termasuk upah minimum nasional dan penerbitan nomor asuransi nasional.

 

https://www.wartaekonomi.co.id/read343822/potensi-pome-indonesia-terbang-jauh-ke-inggris

 

Gatra.com | Senin, 31 Mei 2021

BIPN 308 Hingga ‘Macan Dunia’ BBN

Webinar Palm O’Corner bertajuk “Sawit sebagai Tambang Energi Berkelanjutan” yang digelar oleh PASPI X HIMATEK ITB dua hari lalu itu, menyisakan cerita panjang. Bahwa sesungguhnya Energi Baru Terbarukan (EBT) berupa Bahan Bakar Nabati (BBN) yang dibilang Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) Tatang Hernas Soerawidjaja dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, sudah tinggal jalankan saja. Dan hasilnya dipastikan akan sangat luar biasa. Sebab bahan bakunya ada di minimal 22 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia penghasil sawit. Artinya, 22 provinsi ini bakal bisa menghasilkan biodiesel, Industrial Vegetable Oil (IVO), Bensin Super, hingga Avtur sekalipun. Dan semua petani kelapa sawit yang ada di semua daerah tadi, akan terlibat dalam industri itu. Sebab mereka pemilik 6,8 juta dari 16,38 juta hektar hamparan kebun kelapa sawit itu. Soal teknologi, semua sudah ada. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) jauh-jauh hari sudah mengajak sederet stakeholder untuk menghasilkan teknologi untuk menghasilkan ragam BBN itu. Mulai dari peralatan metal deguming, hingga Katalis BPDP-ITB Perengkahan Nabati (BIPN) 308-1T, sudah ada, meski masih tahap pilot project. Kalau semua ini berjalan, maka keruwetan sistim distribusi Pertamina yang kata Tatang selama ini terjadi, akan terurai. Dan Indonesia akan muncul sebagai Macan Dunia BBN. “Tak hanya kelapa sawit, semua pohon yang dibutuhkan untuk membikin BBN itu, ada di Indonesia. Tinggal lagi seberapa besar keinginan kita untuk berinovasi,” ujar Tatang. Tapi kalau Indonesia masih terus bergantung pada posisinya sebagai pemasok tunggal bahan mentah BBN, “justru itu malah akan menjadi indikator ketidakberlanjutan BBN di Indonesia,” Tatang mengingatkan.

Kalau kemudian ditengok apa yang dijelaskan oleh Tungkot ini, sebenarnya fokus pada potensi kelapa sawit saja, urusan EBT, Indonesia sudah juaranya. Katakanlah potensi minyak sawit Indonesia saat ini 55 juta ton pertahun, tapi ada potensi Biomas sawit sebanyak 268 juta ton per tahun, biolistrik dari tandan kosong sawit 1.173 MW dan Biogas dari Palm Oil Mill Effluent (POME) sebanyak 5,7 miliar meter kubik. Ini setara dengan 931 MW biolistrik. Lagi-lagi, distribusi hasil dari semua ini tak akan bikin pusing lantaran kebun kelapa sawit tadi tidak terkonsentrasi pada satu provinsi, tapi di 22 provinsi, bahkan ada di Pulau Jawa. “Kalau kita optimalkan potensi sawit, pertama dia hemat lahan lantaran produksinya 4,3 ton per hektar. Rapeseed hanya 0,7 ton perhektar, Sunflower 0,5 ton dan Soybean malah hanya 0,4 ton per hektar,” Tungkot merinci. Sawit juga hemat polusi tanah dan air. Dalam tiap ton minyaknya, hanya menyisakan pospat 2 kilogram, nitrogen 5 kilogram dan herbisida 0,4 kilogram Beda dengan Soybean yang menyisakan nitrogen 32 kilogram, pospat 23 kilogram dan herbisida 23 kilogram. Bayangkan berapa banyak polusi ini kalau luas kebun Soybean saja mencapai 127 juta hektar! Andriah kemudian menambahkan bahwa kalau pakai Biodiesel bauran 30 saja, devisa yang bisa dihemat mencapai Rp38,04 triliun. Nilai tambah Crude Palm Oil (CPO) menjadi biodiesel Rp13,19 triliun dan mengurangi emisi gas rumah kaca 22,3 juta ton CO2. Gimana pula kalau kemudian sudah ada bio bensin super, bahkan bio avtur?

 

https://www.gatra.com/detail/news/513295/info%20sawit/bipn-308-hingga-macan-dunia-bbn

 

Kompas | Rabu, 2 Juni 2021

Pertamina Pangkas Rencana Peningkatan Kapasitas Kilang

Pertamina (Persero) memangkas total kapasitas kilang baru yang tengah dilaksanakan dari 2 juta barel per hari (bph) menjadi sebesar 1,42 juta bph. Revisi ini dilakukan menyusul disrupsi yang terjadi dimana pengembangan ke depan bakal terfokus pada mobil listrik dan Energi Baru Terbarukan (EBT). “Kami review lagi dengan pemerintah. Electric Vehicle dan New Renewable Energy (NRE) jadi fokus pemerintah, maka Pertamina melakukan alignment. Maka program kilang tadinya double kapasitas 1 juta barel ke 2 juta menjadi 425 kuta bph,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati di Jakarta, Selasa (1/6). Adapun, rinciannya tambahan 425 ribu bph ini nantinya akan berasal dari Proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban sebesar 300 ribu bph, sisanya 100 bph dari Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan dan dari Kilang Balongan sebesar 25 ribu bph. Sebelumnya, Pertamina memastikan proyek pembangunan kilang baru dan upgrade kilang eksisting membutuhkan investasi sebesar US$ 40 miliar. Nantinya, nilai investasi ini akan digunakan hingga 2027 mendatang. Dia mengatakan, salah satu kapasitas kilang terbesar adalah GRR Tuban. Ia pun memahami alasan DPR untuk meminta penjelasan Pertamina. “Yang terbesar hanya adalah GRR Tuban sehingga sangat revelan sekali kalau dari Komosi VII meminta untuk mengetahui, bagaimana progresnya karena tambahan kapasitas terbesar adalah dari GRR Tuban,” katanya. Meski dipangkas, hal itu diklaim tidak berpengaruh pada pasokan atau pemenuhan BBM di Tanah Air. Sebab, pamangkasan tersebut telah disesuaikan dengan proyeksi permintaan, dan shifting dari penggunaan BBM ke listrik dan biofuel di masa depan.