Minyak Bumi Habis di 2052? Tenang! Indonesia Punya Solusinya

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp
Minyak Bumi Habis di 2052 Tenang! Indonesia Punya Solusinya.. Sumber: APROBI

Ketersediaan minyak bumi dunia berada di ambang krisis. Dengan konsumsi mencapai sekitar 35 miliar barel setiap tahun, sebuah studi dari Universitas Stanford memprediksi cadangan minyak bumi kita akan habis pada tahun 2052. Kondisi ini tak hanya memicu perlombaan pencarian cadangan baru—seringkali berujung pada konflik geopolitik seperti di Laut Cina Selatan yang diperebutkan enam negara—tapi juga memperparah krisis iklim. Penggunaan energi fosil secara masif menyumbangkan 36,8 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer setiap tahun, menjadi pemicu utama pemanasan global.

Menyadari urgensi ini, banyak perusahaan energi, termasuk raksasa energi nasional Indonesia, Pertamina, kini bergerak agresif mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertanggung jawab atas pasokan energi negeri, Pertamina berkomitmen penuh pada EBT. Ini bukan hanya untuk menjaga ketahanan energi nasional, tapi juga sebagai solusi fundamental untuk dekarbonisasi dan memerangi pemanasan global.

Pertamina Melaju Kencang dengan Berbagai Inovasi Bioenergi

Pertamina tidak tinggal diam. Perusahaan ini secara aktif mengembangkan berbagai jenis bioenergi, menunjukkan komitmen nyata terhadap masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan:

  • Biodiesel: Indonesia telah menjadi pemimpin dunia dalam pemanfaatan biodiesel, khususnya dengan program mandatori B35 dan rencana menuju B40 bahkan B50. Biodiesel memanfaatkan minyak nabati, terutama minyak kelapa sawit, untuk mengurangi ketergantungan pada solar fosil. Inovasi ini tak hanya menghemat devisa miliaran dolar setiap tahun, tapi juga menciptakan jutaan lapangan kerja di sektor perkebunan dan industri.
  • Bioetanol: Sebagai alternatif bensin, bioetanol menjadi fokus pengembangan Pertamina. Produk seperti Pertamax Green 95, yang mengandung 5% etanol (E5), sudah mulai didistribusikan. Bioetanol ini umumnya berasal dari tanaman seperti tebu, bahkan juga memiliki potensi besar dari nira pohon aren, yang berlimpah di beberapa daerah di Indonesia. Pengembangan bioetanol membantu mengurangi emisi karbon karena karbon yang dilepaskan berasal dari siklus karbon tanaman, bukan dari cadangan fosil di dalam bumi.
  • Biomassa: Pertamina juga serius menggarap pemanfaatan biomassa dari limbah pertanian dan perkebunan, seperti cangkang sawit dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Limbah-limbah ini, yang sebelumnya tidak termanfaatkan secara optimal, kini diubah menjadi sumber energi listrik di pembangkit biomassa atau dikonversi menjadi bahan bakar cair lainnya. Pemanfaatan biomassa bukan hanya solusi energi, tapi juga mendukung ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah yang lebih baik.
  • Bioavtur: Untuk sektor penerbangan, Pertamina sedang menjajaki pengembangan bioavtur, bahan bakar pesawat yang berasal dari bahan nabati. Ini merupakan langkah maju yang sangat signifikan dalam mengurangi jejak karbon industri aviasi. Yang dikenal sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar. Uji coba dan riset terus dilakukan untuk memastikan bioavtur aman dan efisien untuk digunakan.

Solusi Habisnya Minyak Bumi

Langkah-langkah strategis Pertamina dalam mengembangkan EBT ini menjadi bukti komitmen Indonesia dalam menghadapi tantangan menipisnya minyak bumi dan krisis iklim. Dengan investasi pada biodiesel, bioetanol, biomassa, dan bioavtur, Indonesia tidak hanya menjaga ketahanan energinya. Tapi juga memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam pembangunan energi bersih global. Inilah jalan menuju masa depan yang lebih hijau, mandiri, dan berkelanjutan.