Minyak Goreng Mahal, Kemendag Minta Masyarakat Tak Salahkan Program Biodiesel
Kumparan.com | Selasa, 8 Maret 2022
Minyak Goreng Mahal, Kemendag Minta Masyarakat Tak Salahkan Program Biodiesel
Imbas dari kelangkaan dan masih mahalnya minyak goreng di pasaran, tidak sedikit masyarakat yang menyalahkan penyerapan crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit untuk program B30 atau campuran biodiesel sebesar 30 persen dan 70 persen solar. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, mengatakan program B30 seharusnya tidak dipermasalahkan dan menjadi biang kerok dalam persoalan sulitnya akses minyak goreng sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) oleh masyarakat. “Jangan salahkan biodiesel, pertama biodiesel itu sudah ada sebelum kebijakan penurunan harga minyak goreng dan sudah berjalan bertahap dari mulai B10, B20, dan terakhir B30,” ujar Oke saat Dialog Aktual, Selasa (8/3). Dia menuturkan, program B30 malah sangat menguntungkan bagi perekonomian Indonesia dan berkontribusi besar bagi kinerja ekspor dari sektor non migas di tahun 2021 kemarin, di mana produksi CPO menurun tapi tetap menjadi komoditas ekspor terbesar kedua setelah batu bara. Oke menjelaskan, kebijakan minyak goreng dan biodiesel tidak bisa disangkut pautkan karena alokasinya berbeda. Selain itu, harga minyak goreng memang sudah bergantung kepada harga CPO internasional sejak sebelum ada kebijakan hilirisasi CPO untuk program biodiesel di tahun 2012. “Setelah 2012 dengan penerapan bea keluar ada program hilirisasi, produsen sawit akan lebih tertarik memasok ke dalam negeri daripada ekspor. Kombinasi antara bea keluar dan pungutan ekspor menjamin ketersediaan pasokan dalam negeri karena lebih menarik,” tutur Oke. Hal ini membuat pasar dalam negeri tidak bisa lagi menampung produksi CPO yang besar, sehingga sisanya diekspor. Oke melanjutkan, saat kemunculan program hilirisasi biodiesel ini pun harga minyak goreng masih bergantung kepada harga CPO internasional. Sehingga, pemerintah akhirnya menetapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sawit bagi para produsen sebesar 20 persen dari total produksi, dan penetapan Domestic Price Obligation (DPO) untuk CPO seharga Rp 9.300 per kg dan olein Rp 10.300 per kg, melalui Permendag No 6 Tahun 2022. “Sekarang ternyata melonjaknya harga CPO internasional berdampak tidak berkah bagi minyak goreng jadi tinggi, dengan Permendag bisa melepas harga minyak goreng dari harga internasional dengan bantuan para eksportir,” jelas Oke.
“Ini prosesnya sampai sekarang, jadi biodiesel tidak ada kaitannya karena sudah ada alokasinya sendiri,” tambahnya.
Kontan.co.id | Selasa, 8 Maret 2022
Kemendag Pastikan Pasokan Minyak Goreng Aman Hingga 1,5 Bulan ke Depan
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menampik adanya isu bahwa minyak goreng langka di pasaran. Oke menyebut, pasokan minyak goreng tidak langka. Namun diakuinya bahwa masyarakat masih kesulitan mendapatkan akses minyak goreng dengan harga yang terjangkau atau yang sesuai harga eceran tertinggi (HET). “Ketersediaan saya pastikan stok nya itu kita maintance di 628.000 ton, ada kurang lebih kebutuhan 1,5 bulan pasti kita amankan,” ujar Oke dalam diskusi virtual, Selasa (8/3). Oke menyebut, sebelumnya harga rata-rata minyak goreng sempat berada di kisaran Rp 18.000 per liter. Namun saat ini harga rata-rata nasional sudah berada di kisaran Rp 15.000 per liter. Hal itu menunjukkan bahwa indikator mulai membaik. Oke menyebut, pihaknya saat ini terus melakukan perbaikan distribusi minyak goreng. Ia menegaskan kebijakan mengutamakan kepentingan rakyat, harga harus terjangkau dan mudah diakses merupakan kebijakan yang permanen.“Kami pastikan puasa dan lebaran InsyaAllah harga eceran tertinggi akan semakin mudah diakses masyarakat,” ucap Oke. Selain itu, Ia menyatakan, tidak ada kaitannya kebijakan biodiesel (B30) dengan minyak goreng. Sebab, pasokan CPO untuk biodiesel dan minyak goreng telah dialokasikan sesuai kebutuhan masing-masing. “Jadi biodiesel tidak ada kaitannya karena sudah ada alokasinya,” tutur Oke. Anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade mengatakan, pemerintah perlu memastikan bahwa harga CPO sudah sesuai dengan harga yang ditetapkan dalam kebijakan domestic price obligation (DPO). Lalu setelah itu mesti diperhatikan alur distribusi agar sampai ke masyarakat dengan harga sesuai HET. “Jika ada masalah cabut izin nya, berikan sanksi,” ucap Andre. Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 6 tahun 2022, Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.
Liputan6.com | Selasa, 8 Maret 2022
Minyak Goreng Langka, Dampak Program B30?
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai, kelangkaan minyak goreng di pasaran saat ini bukan terjadi akibat program biodiesel (B30) yang dicanangkan pemerintah. B30 merupakan implementasi penyediaan solar dengan kandungan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) berbahan dasar sawit sebesar 30 persen. Sementara minyak sawit mentah (CPO) sendiri merupakan bahan baku dari produksi minyak goreng. “Sejauh ini, berdasarkan data yang saya miliki kebutuhan FAME, dalam hal ini CPO untuk program biodiesel Pertamina tidak banyak. Jadi minyak goreng langka bukan karena B30,” ujar Mamit kepada Liputan6.com, Selasa (8/3/2022). Pada 2021 lalu, ia menyebut, kebutuhan FAME PT Pertamina (Persero) hanya sebesar 7,5 juta kilo liter atau 6,5 juta metrik ton per tahun. Di sisi lain, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi CPO sepanjang 2021 sebesar 46.88 juta ton. Ini berarti kebutuhan FAME Pertamina hanya 13 persen saja dari total produksi CPO secara nasional. Pada 2022 ini, GAPKI memproyeksikan produksi CPO sebesar 49 juta ton, dan kebutuhan untuk progam biodiesel B30 mandatori kebutuhannya sebesar 8,83 juta ton. “Jadi menurut saya, program biodiesel ini tidak terlalu berpengaruh secara signifikan terhadap kebutuhan CPO dalam negeri,” kata Mamit.
Ekspor Besar
Sebaliknya, ia menambahkan, justru ekspor nasional untuk komoditas CPO sangat besar sekali sepanjang 2021 kemarin. Sehingga itu turut membuat stok bahan baku produksi minyak goreng tahun ini jadi menipis. “Minyak sawit yang termasuk CPO, CPO Olahan, oleokomia, dan biodiesel mencapai 34,2 juta ton. Sedangkan yang dijual di dalam negeri hanya 18,42 juta ton saja,” seru Mamit.
https://www.liputan6.com/
Detik.com | Selasa, 8 Maret 2022
Pertamina Ungkap Sebab Kelangkaan Biosolar di Riau
Sulitnya mencari bahan bakar minyak (BBM) jenis Biosolar masih terjadi di sejumlah wilayah di Riau. Pertamina pun menjawab keluhan masyarakat terkait kelangkaan BBM Biosolar. Section Head Communication dan Relation PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut, Agustiawan mengatakan kuota bio solar terjadi penurunan. Hanya saja dia tidak menjelaskan berapa turunnya kuota BBM subsidi tersebut. “Kuota bio solar tahun ini sedikit menurun jika dibandingkan kuota tahun lalu. Ini mungkin dilakukan pemerintah agar subsidi BBM lebih tepat sasaran sehingga bukan mobil-mobil mewah yang menikmati BBM bersubsidi,” terang Agus saat dimintai konfirmasi, Selasa (8/3/2022). Selain penurunan kuota, ada juga beberapa alasan lain. Sebab BPH Migas juga sudah menyiapkan kuota Biosolar untuk setiap lembaga penyalur agar tidak melebihi dari kuota yang ditentukan. “Mengacu SK Kepala BPH Migas Nomor 101/P3JBT/BPH Migas/KOM/2021 bahwa kuota volume penyaluran Jenis BBM Jenis Tertentu (Biosolar) sudah berdasarkan per lembaga penyalur (SPBU, SPBUN, SPBB). Artinya pihak SPBU sudah tahu berapa kuota per Tahun yang dibagikan oleh BPH Migas kepada setiap SPBU,” katanya. Oleh sebab itu, setiap SPBU menyesuaikan pembelian BBM agar tidak over dari kuota. Sebab jika pembelian BBM yang dilakukan SPBU over kuota, maka itu akan menjadi tanggungjawab SPBU untuk membayar selisih keekonomian dari kuota yang over tersebut. Terkait kelangkaan, Agus membantah dan memastikan stok masih aman untuk wilayah Riau. Bahkan Pertamina juga telah bersurat kepada Gubernur Riau, Syamsuar 1 Maret lalu perihal penyaluran bahan bakar jenis Biosolar sampai 28 Februari lalu. “Sejauh ini dapat kami sampaikan bahwa stok Biosolar untuk wilayah Riau dalam kondisi aman. Pertamina juga sudah bersurat kepada Gubernur Provinsi Riau pada tanggal 01 Maret 2022 perihal Penyaluran Jenis Bahan Bakar Tertentu (biosolar) sampai tanggal 28 Februari 2022,” katanya. Melalui surat itu Pertamina menyampaikan bahwa total realisasi penyaluran bio solar untuk Provinsi Riau hingga 28 Februari 2022 sebesar 144.737 KL vs kuota 2022 794.787 KL atau sekitar 18% dari total kuota yang sudah ditetapkan oleh BPH Migas. Itu artinya rata-rata penyaluran Biosolar sebesar 2.453 KL/hari. Untuk menjaga penyaluran BBM bio solar Subsidi terpenuhi sampai 31 Desember 2022. Sesuai kuota yang ditetapkan ada beberapa hal yang dilakukan Pertamina, seperti melarang pengisian bio solar ke pengguna truk bakal kayu, CPO dan mobil molen serta sejenisnya. Untuk itu, semua penyalur menyediakan produk substitusi yang lebih baik, yaitu Dexlite dan Pertamina Dex. Termasuk melakukan sosialisasi peruntukkan penggunaan BBM kepada konsumen agar tepat sasaran.
https://news.detik.com/berita/
Medcom.com | Selasa, 8 Maret 2022
Kelapa Sawit Tak Lagi Layak untuk Biodiesel, Kok Bisa?
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan penggunaan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel sudah tidak lagi layak secara ekonomi. Hal ini seiring melonjaknya harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). “Harga biodiesel menjadi sangat mahal, bahkan bisa lebih mahal dari harga energi fosil,” kata Fahmy kepada Antara, Selasa, 8 Maret 2022. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan harga indeks pasar untuk produk biodiesel sebesar Rp14.436 per liter pada Maret 2022. Sedangkan, harga rata-rata minyak kelapa sawit selama periode 25 Januari 2022 sampai 24 Februari 2022 mencapai angka Rp15.373 per kilogram. Fahmy menjelaskan bahwa tingginya harga biodiesel di pasaran dapat membuat konsumen beralih menggunakan bahan bakar minyak yang terbuat dari fosil. “Dalam kondisi tersebut tidak bisa dihindari konsumen akan kembali beralih ke energi fosil,” ujar dia. Lebih lanjut, sawit bukan satu-satunya bahan baku biodiesel sehingga pemerintah perlu mengembangkan bahan baku alternatif agar tidak mengganggu pasokan minyak kelapa sawit untuk produk pangan, seperti minyak goreng yang kini mengalami kelangkaan dan kenaikan harga. Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang terdiri dari campuran senyawa metil ester dari rantai panjang asam lemak yang diperuntukkan sebagai bahan bakar alternatif mesin diesel. Produk biodiesel di Indonesia memiliki komposisi 30 persen minyak sawit dan 70 persen minyak solar. “Selain kelapa sawit, tanaman yang juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel adalah jarak pagar,” tambah dia. Adapun kandungan minyak dari biji jarak pagar punya rendemen minyak nabati sebanyak 35 sampai 45 persen. Namun, sejumlah tantangan masih ditemui terkait pemanfaatan jarak pagar untuk biodiesel mulai dari harga keekonomian hingga kepastian ketersediaan pasokan. “Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pemerintah belum memaksimalkan potensi jarak pagar dan lebih memilih kelapa sawit karena budidaya kelapa sawit sudah mapan di dalam negeri,” pungkas Fahmy. Pada 2020, Indonesia menduduki posisi pertama sebagai eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Total ekspor minyak kelapa sawit Indonesia saat itu mencapai 37,3 juta ton dengan pangsa pasar global mencapai 55 persen. Kementerian ESDM mengalokasikan biodiesel untuk pasar dalam negeri sebanyak 9,41 juta kiloliter pada 2021. Adapun alokasi biodiesel untuk tahun ini mencapai 10,15 juta kiloliter dengan pertimbangan asumsi pertumbuhan permintaan solar sebesar 5,5 persen dengan estimasi permintaan solar sebanyak 33,84 juta kiloliter.
https://www.medcom.id/ekonomi/