Minyak Jelantah Bisa Jadi Alternatif Bahan Baku Biodiesel

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

 

Republika.co.id | Minggu, 12 September 2021

Minyak Jelantah Bisa Jadi Alternatif Bahan Baku Biodiesel

Pemerintah tengah mendorong program B30 yang merupakan pengembangan bahan bakar dengan sumber utama campuran minyak kelapa sawit dan solar atau biodiesel yang diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menghemat impor solar, hingga berpotensi menekan emisi karbon. Sejak 2008, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI telah menerapkan program biodiesel, yaitu dengan pencampuran solar dan FAME dari olahan crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit.  Per 2016, kadar FAME yang dicampurkan sebanyak 20 persen dan solar 80 persen, yang kemudian dikenal dengan B20. Program pencampuran telah dikembangkan hingga menjadi B30 pada awal 2020. Pemerintah berencana untuk meningkatkan tingkat campuran FAME dalam biodiesel sampai dengan B50.  Namun, Engagement Unit Manager Traction Energy Asia, Ricky Amukti, mengatakan perlu ada alternatif bahan baku lainnya, seperti minyak jelantah.  Hal ini karena ada bahaya yang mengancam lingkungan jika CPO dijadikan satu-satunya bahan baku biodiesel. “Kalau biodiesel Indonesia masih single feedstock, ini akan sangat berbahaya bagi lingkungan karena ada kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan,” kata Ricky dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (11/9). Ricky mengatakan, tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga belum sepenuhnya memenuhi kaidah keberlangsungan lingkungan disokong dari lemahnya transparansi, keterlacakan, dan rekam jejak beragam persoalan yang membelenggu baik dari sisi efektivitas terhadap pengurangan emisi, pembukaan lahan, hingga ketenagakerjaan. “Penggunaan biodiesel memang mengurangi emisi CO2. Namun, jika dihitung dari analisis daur hidup (life-cycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), alih fungsi lahan akan menyebabkan emisi CO2 yang jauh lebih tinggi,” kata Ricky. 

Untuk diketahui, dari perhitungan yang pernah dilakukan Traction menunjukkan, jika emisi diesel solar fosil itu sebesar 3,14 kg CO2 equivalent per liter, maka alih fungsi dari hutan primer akan menyebabkan emisi hingga 68,61kg/CO2 equivalent per liter atau lebih dari 20 kali lipat dari emisi diesel soal fosil.  Ricky menekankan, pemerintah perlu melihat alternatif bahan baku atau feedstock lain selain sawit, agar ancaman alih fungsi lahan tidak terjadi. Salah satu yang menjadi rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak jelantah alias used cooking oil (UCO).  Pihaknya mengatakan, pemanfaatan UCO memiliki peluang untuk menekan emisi yang jauh lebih rendah hingga kisaran 80-90 persen dibandingkan energi yang dihasilkan dari bahan fosil.   Sebagai komparasi, jika emisi diesel solar fosil itu adalah 3,14 kg CO2 equivalent per liter, maka dengan UCO bisa hanya 0,314 persen dari emisi tersebut. “Mengapa bisa seperti itu? Karena bahan baku UCO ini dianggap sebagai biodiesel generasi kedua atau biodiesel yang tidak langsung didapatkan dari sumber tanaman tapi dari pemanfaatan minyak yang telah digunakan untuk memasak,” kata Ricky. Tidak sampai di situ saja, pemanfaatan UCO juga berpeluang mencegah adanya pembukaan lahan seluas 939 ribu hingga 1,48 juta hektare yang sekaligus memberikan kontribusi bagi perekonomian dan Kesehatan masyaralat. “Apalagi pada kenyataannya Indonesia memiliki sekitar 2,43 juta kilo liter UCO yang berhasil dikumpulkan dan diolah menjadi minyak goreng daur ulang yang sangat membahayakan untuk kesehatan. Jika UCO ini didorong untuk bahan baku biodiesel, maka masyarakat dapat menjual sisa minyak jelantahnya, dari pada menkonsumsi kembali,” kata Ricky.  

https://republika.co.id/berita/qzaw7o320/minyak-jelantah-bisa-jadi-alternatif-bahan-baku-biodiesel

 

Detik.com | Sabtu, 11 September 2021

Studi LPEM FEB UI Ingatkan Risiko Ekonomi-Lingkungan Kebijakan Biodiesel

Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menemukan, kebijakan biodiesel B30 terhadap ekonomi hingga lingkungan. Risiko tersebut muncul apabila tidak diimbangi dengan rencana dan pelaksanaan yang tepat. Program B30 merupakan pengembangan bahan bakar dengan sumber utama campuran minyak kelapa sawit dan solar atau biodiesel. Program tersebut diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menghemat impor solar, hingga berpotensi menekan emisi karbon. Berdasarkan studi yang dirilis oleh LPEM FEB UI bertajuk “Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan”, kebijakan ini membawa risiko yang semakin besar seiring dengan target campuran dan produksi biodiesel. Selisih harga minyak sawit untuk biodiesel dengan harga solar yang signifikan membuat besaran insentif yang diberikan kepada industri biodiesel membengkak. Selain itu, kebijakan biodiesel membawa risiko ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel domestik. Dengan asumsi tren ekspor tetap, peningkatan campuran dan volume produksi biodiesel akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik. Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI, Alin Halimatussadiah mengatakan, kebijakan biodiesel memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan cermat. Diperlukan target yang terukur untuk menghindari dampak buruk pada lingkungan. “Melalui studi ini, kami hanya ingin mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan biodiesel harus memiliki target yang terukur, sehingga tidak berdampak buruk pada lingkungan. Saat biodiesel mulai digunakan secara luas, maka kebutuhan terhadap minyak sawit untuk biodiesel akan meningkat. Maka, keberlanjutan setiap tahapan pengelolaan kelapa sawit mulai dari perkebunan sampai menjadi biodiesel memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan cermat,” kata Alin dalam keterangannya, seperti dikutip, Sabtu (11/9/2021).

Penghematan Devisa Tidak Sesuai Harapan

Alin menjelaskan, kebijakan biodiesel yang progresif turut berdampak pada penghematan devisa yang tidak sesuai harapan. Berdasarkan estimasi dari tiga skenario kebijakan biodiesel, B20, B30, dan B50, potensi kehilangan ekspor crude palm oil (CPO) terendah mencapai Rp782 triliun pada periode 2020-2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20. Proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp1.825 trilliun pada periode yang sama. “Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah,” tambah Alin. Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan juga sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia. “Apabila perbedaan hargaCPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” tambah Alin.

Potensi Meningkatnya Beban Fiskal

Studi LPEM FEB UI ini menunjukkan, kebijakan biodiesel berpotensi meningkatkan beban fiskal akibat peningkatan permintaan minyak sawit untuk biodiesel. Pengembangan biodiesel saat ini masih tergantung pada insentif yang diberikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk industri biodiesel. “Jika anggaran BPDPKS tidak mencukupi untuk memenuhi insentif FAME, maka pengadaannya berpotensi membebani fiskal negara” tambahnya.

Ekspansi Lahan Sawit untuk Memenuhi Kebutuhan Minyak Biodiesel

Berdasarkan proyeksi dari studi yang dilakukan, kebutuhan untuk implementasi skenario B50 berpotensi menyebabkan terjadinya pembukaan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektar secara akumulasi hingga tahun 2025. Angka ini setara dengan 70% dari luas lahan sawit produktif tahun 2019. Semakin tinggi bauran FAME dalam biodiesel, maka semakin tinggi pula permintaan akan minyak sawit untuk biodiesel. “Kebutuhan minyak sawit untuk biodiesel dikhawatirkan akan mendorong ekspansi lahan ke kawasan dengan nilai karbon yang tinggi atau high conservation value area (HCVA). Ini tentunya perlu dicegah melalui aturan yang kuat. Sebetulnya sudah ada sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), tetapi perlu dilihat lagi penerapannya seperti apa, belum lagi moratorium sawit yang belum ada kepastian akan diperpanjang atau tidak,” kata Alin. Alternatif yang ditawarkan dalam kebijakan biodiesel ini dapat menggunakan minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) sebagai bahan baku biodiesel. Pemanfaatan UCO juga berpeluang mencegah adanya pembukaan lahan seluas 939 ribu hingga 1,48 juta hektare yang sekaligus memberikan kontribusi bagi perekonomian dan kesehatan masyarakat.

https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5719442/studi-lpem-feb-ui-ingatkan-risiko-ekonomi-lingkungan-kebijakan-biodiesel?single=1

 

 

The Jakarta Post | Senin, 13 September 2021

Palm oil-based jet fuel makes late debut in Indonesia

A consortium of Indonesian companies, regulators and one university has begun a series of tests on an aviation fuel containing a small share of biofuel derived from palm oil, responding to a government mandate to increase the domestic use of the commodity through biofuel blending. The consortium started nine days of flight tests on Thursday for an aviation turbine fuel (avtur) dubbed Bioavtur J2.4, 2.4 percent of which is biofuel made from refined palm oil. The first test was conducted using a CN 235-220 plane that flew 10,000 feet above West Java, according to several press statements. Earlier in the week on Monday, the consortium completed a ground test with an aircraft at Husein Sastranegara International Airport in Bandung, West Java. Aircraft Capt. Adi Budi Atmo-ko found that “the engine\’s response was norma!, with no discernible difference from [regular jet] fuel”. State-owned oil and gas giant Pertamina produced the fuel using a catalyst developed by the Bandung Institute of Technology (ITB), while state-owned aircraft manufacturer PT Dirgantara Indonesia (PTDI) provided the aircraft and test site, and the Energy and Mineral Resources Ministry supervised the test. “It is hoped that this test will support the use of vegetable oil-based fuels in the aerospace industry and improve energy security, especially in combining avtur with palm oil,” said PTDI commerce, technology and development director Gita Ampe riawan. He said a test flight to Soekarno Hatta International Airport was planned for Sept. 15, pending approval from the Indonesian Military Airworthdr ness Authority (IMAA). The test results would provide input for the IMAA, the Transportation Ministry and PTDI about adopting bioavtur, better known globally as sustainable aviation fuel (SAF). Indonesia meant to start using avtur containing 2 percent biofuel in 2016 and 3 percent last year under Energy and Mineral Resources Ministerial Regulation No. 12/2015 but failed to do so for technical and economic reasons. The regulation also mandates biofuel blending for diesel and gasoline, but the latter never took off. Bioavtur\’s debut signals a possible resumption of Indonesia\’s biofuel blending policy, which is meant to reduce the country\’s reliance on imported oil, raise the consumption of homegrown Palm Oil and cut carbon emissions in the transportation sector. “Producing [bioavtur] would be good for domestic interests, but similar to the biodiesel program, there are issues related to climate change and social conflicts, such as land conflicts […] – basically, the issues of the Palm Oil industry,” Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) energy economist Alloysius Joko Purwanto said on Thursday. Citing an International Energy Agency (IEA) report, he estimated that a 2 percent biofu-el-based avtur would be 2.5 to 4 percent more expensive than regular fuel. He also pointed out that Pertamina\’s aviation fuel refining capacity was relatively small. “The problem is how to compensate for the price difference of mixing bioavtur if this were implemented,” said Joko. SAF has been gaining popularity worldwide over the past decade with the influential International Air Transport Association (IATA) underscoring it as a key element in reducing aviation industry emissions. Norway and Finland have introduced mandatory biofuel blending requirements for aviation fuel, while other European countries and the United States are either planning similar regulations or have regulations expected to spur adoption. “Bioavtur niust be used as soon as possible, especially for international flights that mandate biofuel usage to lower greenhouse gas emissions,” said the energy ministry\’s bioenergy director, Adriah Feby Misnah. The ministry said this month\’s flight test was its third with bioavtur, following static engine tests in December 2020 and in May of this year. The engine tests, which used a test cell owned by state-owned PT Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia, found a similar performance between regular Jet AI fuel and Bioavtur J2.0 and J2.4. Pertamina\’s refining subsidiary, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), wrote in a statement on Wednesday that the company had been developing and testing bioavtur at a laboratory scale since 2014 at its Dumai and Cilacap refineries. The oil company found that bioavtur\’s performance was only 0.2 to 0.6 percent lower than that of regular avtur. The refineries convert Palm Oil into refined, bleached and deodorized palm kernel oil (RBDPKO), which can be used to make green diesel (D100) and bioavtur. KPI corporate secretary Ifki Sukarya said the Cilacap refinery had the technical capacity to produce 8,000 barrels of bioavtur per day, with plans to increase output capacity starting in 2023. The refinery produced 1.85 million barrels of regular avtur in 2020, making it the biggest producer of such fuel in Indonesia. “Bioavtur J2.4 contains 2.4 percent vegetable fuel, which is the maximum we can achieve with existing catalyst technology,” he said.