Optimalisasi Bioetanol: Ini 3 Tantangan Besar dan Peluangnya!

| Articles, News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp
Optimalisasi Bioetanol: Ini 3 Tantangan Besar dan Peluangnya. Sumber: Forest Insight

Pemerintah didorong untuk lebih serius dalam mengembangkan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN) setelah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menekankan bahwa dengan status ini, diperlukan intervensi dari pemerintah, terutama dalam hal ketersediaan bahan baku. Pasalnya, ada tiga tantangan utama yang harus diatasi dalam pengembangan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan di Indonesia.

Tantangan Bioetanol 1: Keterbatasan Bahan Baku

Salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan bioetanol adalah ketersediaan bahan baku. Jika dibandingkan dengan kelapa sawit yang menjadi sumber utama biodiesel, tanaman penghasil bioetanol masih sangat terbatas. Tanaman penghasil bioetanol antara lain seperti tebu, jagung, sorghum, dan singkong Sementara itu, produksi gula nasional juga masih mengandalkan impor, sehingga pasokan molase—produk sampingan dari gula yang digunakan sebagai bahan baku etanol—tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi bioetanol dalam skala besar. Dibandingkan biodiesel B40 yang lebih mudah dikembangkan karena pasokan minyak sawit yang melimpah, produksi bioetanol memerlukan strategi yang lebih matang dalam pengelolaan bahan baku.

Tantangan Bioetanol 2: Produksi Etanol dengan Standar Fuel-Grade

Tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa bioetanol yang dihasilkan memenuhi standar kualitas bahan bakar atau fuel-grade ethanol. Untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar, etanol harus memiliki kemurnian minimal 99 persen. Proses pemurnian ini tidak sederhana dan membutuhkan dukungan teknologi serta investasi yang besar. Oleh karena itu, intervensi dari pemerintah sangat dibutuhkan dalam mendukung riset, pengembangan, serta peningkatan kapasitas produksi bioetanol berkualitas tinggi.

Tantangan Bioetanol 3: Harga dan Skema Subsidi

Dari segi ekonomi, harga bioetanol di pasar internasional cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga minyak bumi. Selain itu, bioetanol juga memiliki nilai ekonomi tinggi karena digunakan dalam industri dan sektor pangan. Berbeda dengan biodiesel yang mendapat dukungan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), bioetanol belum memiliki skema pembiayaan yang serupa. Tanpa mekanisme subsidi yang jelas, harga bioetanol berpotensi tidak kompetitif dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Jika pemerintah ingin memastikan harga bioetanol tetap terjangkau, diperlukan kesiapan untuk menyediakan subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Langkah Strategis untuk Pengembangan Bioetanol

Untuk mengatasi tantangan ini, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, menyarankan agar pemerintah lebih aktif dalam mendorong pengembangan bioetanol. Misalnya dengan mengerahkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan institusi keuangan untuk mendukung produksi bahan baku dalam skala besar. Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah memperluas lahan perkebunan singkong atau tebu. Hal ini agar dapat menghasilkan bahan baku bioetanol yang cukup dan berharga lebih murah. Jika tidak, produksi bioetanol dikhawatirkan tidak akan mampu menyaingi produksi minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel.

Dengan mengatasi ketiga tantangan utama tersebut, Indonesia dapat lebih siap dalam mengembangkan bioetanol sebagai sumber energi terbarukan yang berkelanjutan, sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.