Peluang Pacu Ekspor Melayang
Bisnis Indonesia | Rabu, 8 April 2020
Indonesia belum bisa mengambil peluang memacu ekspor minyak Kelapa Sawit mentah setelah pasokan dari Malaysia terganggu akibat kebijakan karantina wilayah dan pembatasan gerak yang diberlakukan negeri jiran. Negera produsen sawit terbesar kedua di dunia tersebut sebelumnya memerintahkan penutupan perkebunan Kelapa Sawit di enam distrik sampai dengan 14 April 2020. Keputusan diambil setelah sejumlah pekerja di wilayah perkebunan seluas 1,54 juta hektare (ha) itu dinyatakan positif mengidap COVID-19. Di sisi lain, meski produksi minyak Kelapa Sawit mentah [crude palm oil/CPO) di Indonesia cenderung normal, peluang ekspor untuk mengisi pasokan global yang ditinggalkan Malaysia sulit dicapai. Penyebabnya, pasar utama CPO RI-seperti India dan negara-negara Eropa-telah memberlakukan karantina wilayah. Selain itu, konsumsi di China pun belum pulih secara utuh. “Peluang [ekspor CPO bagi] Indonesia terbatas karena permintaan memang lemah di pasar utama seperti India dan China. Memang, permintaan pangan besar, tetapi tidak banyak tumbuh. Selain itu, permintaan biodiesel tak bisa terkerek karena harga minyak dunia sedang rendah,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan, awal pekan ini.
Meski neraca permintaan dan pasokan sawit tetap ketat seiring dengan berkurangnya ekspor dari Malaysia, Fadhil menyatakan harga CPO pun belum bisa banyak pulih karena amat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Namun, Fadhil menilai serapan dalam negeri justru berpeluang terkerek dengan adanya tren permintaan pada produk-produk kebersihan yang memang menggunakan CPO sebagai bahan baku. Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan efek dari pasokan yang berkurang dari Malaysia setidaknya berimbas pada harga tandan buah segar (TBS) yang memperlihatkan kenaikan. “Harga TBS saat ini naik Rpl 50 Ag-Rp250/kg dan tren ini akan terus [berlanjut selama Malaysia menerapkan lockdown],” jelasnya kepada Bisnis. Menurutnya, sejauh ini serapan TBS di berbagai perkebunan rakyat masih berjalan normal. Hal tersebut dinilainya menjadi sinyal bahwa pabrik pengolah sawit masih beroperasi seperti biasa. “Harapan kami memang demikian, jangan sampai menganggu aktivitas perkebunan. Prinsipnya adalah sepanjang ekspor CPO masih berjalan dan pabrik masih beroperasi, maka aktivitas kebun petani masih tetap berlangsung.”
PABRIK BEROPERASI
Kendati pabrik-pabrik pengolahan Kelapa Sawit Tanah Air sejauh ini masih beroperasi, lambat laun aliran pemasukan perusahaan tetap akan tergerus seiring dengan kinerja ekspor CPO yang melemah. Menyitir data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor sawit Indonesia pada Januari 2020 mengalami penurunan cukup besar dibandingkan dengan Desember 2019, yakni dari 3,72 juta ton menjadi hanya 2,39 juta ton. Penurunan ekspor terjadi pada CPO, PKO, biodiesel, sementara oleokimia naik dengan 22,9%. Penurunan ekspor terjadi hampir ke semua negara tujuan yaitu ke China turun 381.000 ton, Uni Eropa turun 188.000 ton ribu ton, ke India turun 141.000 ton dan ke Amerika Serikat turun 129.000 ribu ton. Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta menjelaskan produksi minyak sawit Indonesia memang lebih banyak yang dipasok untuk memenuhi kebutuhan global. Dari total produksi sebesar 51,82 juta ton sepanjang 2019, sekitar 37,39 juta ton atau 70% dipasok untuk ekspor. Sementara sisanya sekitar 16,73 juta ton diserap pasar dalam negeri. “Penutupan pabrik sampai saat ini belum ada. Namun, jika ada gejolak kesulitan cash flow dan tangki stok dirasa tidak bisa menampung, kelihatannya pada 1 sampai 2 bulan ke depan bisa saja sudah ada yang mulai mengurangi pembelian buah dari luar dan hanya mengolah buah internal atau bahkan mengurangi jam operasi pabrik,” kata Kanya.
Dalam situasi yang dipenuhi ketidakpastian ini, Kanya mengatakan sejumlah perusahaan sawit memutuskan untuk mengatur kembali rencana keuangan perusahaan, termasuk merealokasi peruntukkan dengan merevisi prioritas anggaran, menyiapkan alternatif skenario krisis beserta solusi, dan meninjau rencana yang perlu dilanjutkan atau ditunda. “Selain terus menjalankan protokol melawan COVID-19 di semua lini aktivitas, untuk dapat bertahan tentu saja melakukan efisiensi besar-besaran.” Di sisi lain, dia pun berharap pemerintah dapat menyiapkan kebijakan untuk merespons turunnya ekspor sawit. Dukungan disebutnya bisa dilakukan dengan memfasilitasi kemudahan penyerapan lebih besar di dalam negeri. Sedangkan untuk ekspor, Kanya mengemukakan perlunya bantuan untuk mengimbangi peningkatan biaya transportasi dan ekspedisi kapal yang melonjak signifikan mengingat sawit merupakan salah satu bahan pangan.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengonfrimasi pelemahan ekspor sawit ke sejumlah negara tujuan utama. Untuk India, misalnya, impor CPO dan minyak kernel sepanjang Maret tercatat mengalami penurunan sampai 38 % dibandingkan dengan Maret 2019. Impor sawit sepanjang April diperkirakan bakal terkoreksi lebih dalam seiring tekanan COVID-19 yang membesar. “Sumber saya di India mengatakan bahwa pada April 2020 di estimasi impor CPO dan PKO akan turun lagi dari Maret,” kata Derom kepada Bisnis.Terkait dengan pasokan dari Malaysia yang disebut berpotensi terganggu akibat penutupan perkebunan, Derom menilai hal tersebut tak bakal banyak berpengaruh pada ekspor negara tersebut mengingat masih ada stok yang tersedia untuk pengiriman. Di sisi lain, sejauh ini Malaysia pun tak melakukan pengiriman ke India untuk sejumlah produk turunan. “India memang tidak mengimpor dari Malaysia, terutama karena adanya pembatasan dari pemerintah Malaysia untuk impor olein. Jadi yang lebih menentukan saat ini adalah permintaan dari negara-negara pengimpor yang menurun drastis,” imbuh Derom.