Pemanfaatan Sawit Turunkan Emisi, Begini Penjelasannya

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Radarmukomuko | Sabtu, 27 Mei 2023

Pemanfaatan Sawit Turunkan Emisi, Begini Penjelasannya

Perkebunan Sawit merupakan perkebuman yang memiliki dampak serta pengaruh besar bagi keberlangsungan hidup di Indonesia. Pemanfaatan bagian dari tanaman sawit ternyata dapat berperan penting dalam penurunan emisi. Saat ini, pemerintah tengah mengembangkan sebuah energi terbarukan yang berbahan dasar sawit. Meski begitu, komitmen dari pengusaha perkebunan serta pabrik sawit sangat dibutuhkan untuk dapat mencapai target penurunan emisi di Indonesia. Berdasarkan pada Data Statistik Perkebungan Unggulan Nasional 2020-2022, luas lahan sawit di Indonesia mencapai 14,38 juta hektare. Dengan begitu, kemampuan untuk menyerap karbon-dioksida sebesar 64,5 ton per hektare. Sehingga, Perkebunan sawit terhitung dapat menyerap hingga 927,5 juta ton pada tahun 2022. Meika Syahbana Rusli selaku Direktur Surfactant and Bioneregy Research Center (SBBC) IPB, menerangkan bahwa sawit merupakan salah satu tanaman dengan tingkat produktivitas yang sangat tinggi.  Hal tersebut termasuk kemampuan serapan karbon-dioksida sawit yang tergolong lebih tinggi daripada tanaman lainnya. “Semakin banyak bagian dari sawit yang dimanfaatkan, maka kian besar perannya dalam penurunan emisi. Terutama untuk campuran bahan bakar, Pembangkit listrik, pupuk, dan lain sebagainya,” kata Meika. Mengutip data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Meika menemukan adanya penggunaan B30 yang merupakan campuran 30% biodisel dalam seliter bahan bakar solar dapat mengurangi emisi sebesar 24,6 juta ton di 2020. Jumlah tersebut setara dengan 7,8% dari target capaian penurunan emisi sektor energi pada tahun 2030, yaitu sebanyak 314 juta ton. Selain bahan bakar, Indonesia tentunya akan meningkatkan berbagai jenis pemanfaatan produk sawit sebagai energi terbarukan. Terutama untuk membangkit listrik berbahan baku limbah cair dan limbah padat untuk Biomassa. Saat ini terdapat lebih dari 800 pabrik kelapa sawit yang seluruhnya dapat memanfaatkan limbah tersebut untuk menghasilkan energi listrik. Dengan pemanfaatan yang maksimal tersebut, pencapaian target 0% emisi di masa depan dapat terwujud

https://radarmukomuko.disway.id/read/658947/pemanfaatan-sawit-turunkan-emisi-begini-penjelasannya

 

BERITA BIOFUEL

 

Kontan.co.id | Minggu, 28 Mei 2023

ESDM dan Pertamina Akan Uji Pasar BBM Kandungan Bioethanol 5% di Tengah Tahun 2023

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Pertamina kabarnya akan melakukan uji coba pasar bensin yang mengandung bioethanol 5% di tengah tahun ini. Melalui cara ini diharapkan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) di sektor transportasi akan semakin berkembang. Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Edi Wibowo menjelaskan penggunaan bioethanol untuk dicampur (blending) dengan gasoline merupakan salah satu program Kementerian ESDM demi peningkatan penggunaan BBN. Pemanfaatan BBN sudah memiliki payung hukum yaitu Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 12 Tahun 2015. “Tetapi dalam implementasinya masih banyak tantangan, antara lain terbatasnya produksi bioethanol dan belum adanya insentif selisih kurang Harga Indeks Pasar (HIP)  gasoline dengan bioethanol,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (26/5). Maka itu, Kementerian ESDM terus berkoordinasi dan mendorong stakeholder untuk dapat mewujudkannya. Menurut Edi, pencampuran bioethanol dengan gasoline tidak menghadapi permasalahan yang signifikan. Sejatinya di 2009 hingga 2010 proses ini sudah berjalan, bahkan Gaikindo sudah siap. Sedangkan PT Pertamina dan Lemigas juga sudah pernah mengujinya. “Dulu sudah implementasi Bioethanol 2% (E2) tetapi karena harganya terlalu tinggi dan tidak ada insentif jadi berhenti,” terangnya. Nah di tahun ini, BBN akan semakin didorong untuk menurunkan emisi di sektor transportasi. Rencananya, Kementerian ESDM akan melakukan uji coba pasar (market trial) di Surabaya bersama Pertamina pada akhir Juni atau Juli 2023. “Rencana ini terus difinalisasi dengan dikoordinasikan bersama pihak-pihak terkait, mudah-mudahan dapat segera terwujud,” terangnya. Adapun proses market trial di Surabaya akan dijalankan dan dievaluasi secara berkala yakni tiga bulan sekali. Jika berhasil tinggal kemudian implementasinya diperluas. Sebelumnya Director of Strategic Planning & Business Development PT Pertamina Power Indonesia, Fadli Rahman menyatakan, saat ini proses pencampuran bioethanol dengan gasoline sedang dalam tahap tindak lanjut uji jalan. “Selain itu proses kajian juga dilakukan untuk infrastruktur dan rantai pasok pendukungnya,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (25/5). Namun, Fadli belum bisa membeberkan rencana ini lebih rinci lantaran pihak yang berperan besar ialah fungsi RTI (Riset, Teknologi, dan Inovasi) Pertamina Holding. Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman menjelaskan dalam rangka transisi energi di sektor transportasi maka bioethanol harus segera dikembangkan. “Pemanfaatan bioethanol dapat menurunkan impor minyak mentah dan menaikkan industri lokal,” jelasnya beberapa waktu lalu. Saleh pun melihat keberhasilan negara tetangga seperti Filipina dan Thailand yang berhasil memanfaatkan bioethanol generasi satu dengan ampas tebu dan generasi dua dengan rumput gajah. Melaui upaya tersebut, kedua negara itu bisa menurunkan ketergantungannya pada bahan bakar impor. Saleh berharap agar pengembangan bioethanol diberikan insentif supaya perlahan bisa berjalan dan bisa bersaing dengan harga gasoline. Saat ini sudah ada beberapa kebijakan bahan bakar nabati yang sudah berjalan. Selain itu, menurut Saleh, peresmian pabrik bioethanol di Jawa Timur merupakan kemajuan yang sangat baik. Saleh mengatakan, berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini total produksi bioetanol fuel grade sudah mencapai 40.000 KL per tahun. Namun demikian, produksi ini masih jauh di bawah kebutuhan 696.000 KL per tahun untuk pengimplementasian tahap awal di daerah Jawa Timur dan Jakarta. Kementerian ESDM pernah menjelaskan, pasokan bioetanol yang tersedia dari PT Enero dan PT Molindo sebagai produsen bioetanol fuel grade baru dapat memasok sekitar 5.7% saja kebutuhan Jawa Timur dan Jakarta. Artinya dari sisi supply harus ditingkatkan.

https://industri.kontan.co.id/news/esdm-dan-pertamina-akan-uji-pasar-bbm-kandungan-bioethanol-5-di-tengah-tahun-2023

 

Sawitindonesia.com | Sabtu, 27 Mei 2023

Perpres No.66/2018 Dana Sawit Digunakan Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel

Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM) impor membuat ekonomi Indonesia rentan terpengaruh gejolak harga minyak. Ketika impor BBM terus meningkat, maka transaksi berjalan tertekan, cadangan devisa tergerus dan nilai tukar rupiah dalam kondisi rawan. Untuk itu, pemerintah berupaya mencari alternatif bahan bakar pengganti BBM impor yang berbasis fosil. Salah satunya mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) berbasis sawit seperti biodiesel dan bahan bakar biohidrokarbon. Selain pertimbangan pengurangan impor, pengembangan BBN berbasis sawit juga untuk menyediakan bahan bakar baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan serta berpengaruh positif terhadap penyerapan produk sawit dan turunannya di dalam negeri. Dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020 – 2024, Pembangunan Energi Terbarukan Berbasis Kelapa Sawit menjadi salah satu proyek strategis nasional. Penetapan Program Energi Terbarukan Berbasis Kelapa Sawit ditujukan untuk mendukung peningkatan porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional menuju 23% pada tahun 2025. Salah satu amanat Perpres No. 61/2015 jo. Perpres No.66/2018 adalah dana sawit digunakan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Dalam hal ini BPDPKS siap menjadi salah satu pelaksana dalam Proyek Strategis Nasional Pembangunan Energi Terbarukan Berbasis Kelapa Sawit yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dalam RPJMN 2020 – 2024. Kesiapan BPDPKS ini termasuk dalam hal dukungan pendanaan, fasilitasi, riset, serta advokasi dan sosialiasi kebijakan. Program pengembangan dan penggunaan BBN yang telah berjalan adalah program mandatori biodiesel. Program ini mewajibkan pencampuran bahan bakar solar dengan biodiesel berbasis sawit. Program mandatori biodiesel mulai diimplementasikan pada 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%. Secara bertahap kadar biodiesel meningkat hingga 7,5% pada tahun 2010. Pada periode 2011 hingga 2015  persentase biodiesel ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya pada 2016 ditingkatkan kadar biodiesel hingga 20% (B20) dan pada 23 Desember 2019 Presiden Joko Widodo meresmikan penggunaan B30.   Dukungan dan keterlibatan BPDPKS dalam program mandatori biodiesel termasuk penyediaan dana insentif biodiesel; dukungan pendanaan dan fasilitasi untuk akselerasi dari program B20 ke B30 baik dalam uji coba kendaraan, penyediaan call center, advokasi dan sosialisasi serta dukungan riset. Dalam rangka mempersiapkan implementasi B40 dan campuran yang lebih tinggi, BPDPKS telah memberikan dukungan antara lain dengan memberikan pendanaan penelitian untuk Kajian Penerapan B-40 Melalui Uji Karakteristik, Penyimpanan, Unjuk Kerja dan Ketahanan Mesin Diesel Pada Engine Test Bench Serta Aspek Tekno Ekonomi yang dilakukan oleh Balitbang ESDM. Program mandatori biodiesel berjalan baik antara lain didukung oleh insentif dari BPDPKS. Insentif ini bukan merupakan subsidi karena dana yang digunakan berasal dari dana sawit, bukan APBN. Insentif disalurkan untuk menutup selisih kurang antara harga indeks pasar (HIP) bahan bakar minyak jenis minyak solar dengan harga indeks pasar bahan bakar nabati jenis biodiesel. Selisih kurang ini berlaku untuk semua jenis bahan bakar minyak jenis minyak solar. Besaran dana untuk kepentingan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel, diberikan kepada badan usaha bahan bakar nabati jenis biodiesel, setelah dilakukan verifikasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

https://sawitindonesia.com/perpres-no-66-2018-dana-sawit-digunakan-penyediaan-dan-pemanfaatan-bahan-bakar-nabati-jenis-biodiesel/

 

Wartaekonomi.co.id | Sabtu, 27 Mei 2023

Industri Sawit Dukung Pemerintah Menuju Nol Emisi Karbon

Pemerintah mengajak pemangku kepentingan untuk mendukung pencapaian target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa kelapa sawit termasuk sektor industri komoditas agro yang mendukung penyerapan emisi karbon dan program NZE. “Dalam berbagai literatur, tanaman ini menyerap karbon lebih besar dibandingkan tanaman lain,” ujar Dadan di Jakarta, kemarin. Dia memaparkan bahwa pohon kelapa sawit mampu menyerap 25 ton CO2 per tahun sedangkan pohon lainnya hanya sebesar 6 ton CO2 per tahun. Karena itulah, tanaman kelapa sawit merupakan penyerap CO2 sama dengan tanaman lain seperti tanaman kayu hutan. Lalu Kontribusi sawit menekan emisi karbon sudah diwujudkan melalui implementasi program mandatori biodiesel. Adapun Indonesia saat ini menjadi negara terbesar dalam penggunaan biodiesel dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia. “Kita akan terus tingkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati ini baik dalam bentuk biodiesel maupun dalam bentuk bio yang lain,” tegasnya. Dia menjelaskan penggantian Bahan Bakar mesin diesel dari minyak solar ke biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 50% – 60%. “Jadi ke depan terkait dengan pemanfaatan bioenergi khususnya yang akan dimanfaatkan secara maksimal baik itu dalam bentuk bahan bakar nabati yang sifatnya cair maupun dalam bentuk biogas. Dapat pula  dimanfaatkan juga yang bentuknya padat atau biomassa misalkan pohon, tandan dan fiber yang jumlahnya cukup besar,” ujar Dadan. Sementara itu Direktur Tunas Sawa Erma Group, Luwy Leunufna mengatakan pihaknya berkomitmen untuk mengikuti semua aturan dan ketentuan pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.  Atas komitmennya tersebut, TSE Group menggunakan Science Based Targets initiative (SBTi) sebagai standar untuk menetapkan target net zero emissions. SBTi adalah inisiatif untuk mengembangkan dan mempromosikan metodologi ilmiah dalam rangka menetapkan target emisi sesuai dengan Perjanjian Paris. “Kami akan menyusun near-term dan long-term target emisi kami dalam waktu dua tahun ke depan,” jelasnya. Di sisi lain Subkoordinator Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Dwimas Suryanata Nugraha mengatakan, perkebunan sawit tidak bisa dikatakan sepenuhnya penyebab dari kenaikan gas rumah kaca. “Banyak isu yang timbul di masyarakat ini terkait dengan sawit ini salah satu penyebab sawit deforestasi lahan dan penyebab kenaikan emisi gas rumah kaca. Perkebunan kelapa sawit ini tidak bisa juga dikatakan penyebab dari kenaikan gas rumah kaca,” pungkasnya.

https://wartaekonomi.co.id/read501306/industri-sawit-dukung-pemerintah-menuju-nol-emisi-karbon