Pemerintah Bantah Ada Kaitan Program Biodiesel dengan Kelangkaan Minyak Goreng

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kontan.co.id | Kamis, 17 Februari 2022

Pemerintah Bantah Ada Kaitan Program Biodiesel dengan Kelangkaan Minyak Goreng

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana tidak sependapat dengan anggapan bahwa kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh CPO yang mayoritas digunakan untuk program biodiesel. “Menurut saya tidak begitu, program biodiesel kan sudah berjalan sejak 2008, dan kebutuhan minyak goreng juga ada sejak awal. Memang dua-duanya juga tumbuh, dan produksi CPO juga tumbuh,” kata Dadan saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (17/2). Maka Dadan menyebut bahwa tidak ada istilah tarik menarik antara CPO bagi industri pangan terutama minyak goreng dengan kebutuhan untuk biodiesel. Kemudian soal program B30, Dadan menyampaikan tahun ini ditargetkan mampu mencapai 10,1 juta kiloliter. Sebelumnya, Ekonomi Senior Faisal Basri menyebut, polemik minyak goreng lantaran adanya kebijakan yang kurang tepat dari pemerintah. Sehingga membuat penyerapan CPO yang tadinya didominasi oleh industri pangan termasuk minyak goreng, kini bergeser ke industri biodiesel. Hal tersebut lantaran adanya kebijakan B20 dan B30. Dimana dalam program biodiesel dialokasikan subsidi yang bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS). Produsen CPO dinilai Faisal akan lebih memilih menjual CPO mereka ke perusahaan biodiesel ketimbang perusahaan minyak goreng, lantaran harga jual CPO ke pasar biodiesel domestik lebih tinggi daripada dijual ke perusahaan minyak goreng. “CPO jual ke perusahaan minyak goreng harganya harga domestik tapi kalau jual ke perusahaan biodiesel dapatnya harga internasional ya otomatis pilih biodiesel, dan siapa itu yang buat seperti itu? ya pemerintah. Jadi biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini adalah pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel,” tegas Faisal dalam live Gelora TV, Rabu (16/2). Adanya lonjakan harga CPO Faisal menerangkan, seharusnya pemerintah dapat melakukan segala cara, misalnya dengan dana stabilisasi minyak goreng. Namun disayangkan, pemerintah tidak melakukan hal tersebut. Berbeda dengan industri biodiesel yang memperoleh subsidi yang berasal dari BPDPKS. “Masa nggak rela Rp 20 triliun untuk stabilisasi harga minyak goreng, mengapa yang namanya perusahaan biodiesel dapat ratusan triliun dari tahun 2015 sampai 2021. Tapi Rp 7 triliun dana subsidi minyak habis ngga dilanjutkan. Pelit ke rakyat,” kata Faisal. Komposisi pengguna CPO dalam negeri di industri pangan tahun 2019 58,9% menurun dari tahun ke tahun hingga 2021 menjadi 48,4%. Penurunan penggunaan CPO ke industri pangan diperkirakan masih akan berlanjut di 2022 ini, dimana Faisal memperkirakan menjadi 46,6%. Berbanding terbalik dengan komposisi pengguna CPO di industri biodiesel yang pada 2019 hanya 34,5% kemudian naik dari tahun ke tahun hingga pada 2021 menjadi 40,1%. Kemudian di tahun ini diperkirakan masih akan naik menjadi 42,9%. Demikian juga di industri oleokimia yang terus naik dari 2019 hanya 6,6% menjadi 11,5% di 2021.

https://industri.kontan.co.id/news/pemerintah-bantah-ada-kaitan-program-biodiesel-dengan-kelangkaan-minyak-goreng?page=all

Kompas.com | Kamis, 17 Februari 2022

Faisal Basri: Persoalan Minyak Goreng Ini Reaksi Kebijakan Pemerintah yang Meninabobokan Biodiesel

Ekonom Senior Faisal Basri menuding polemik yang terjadi pada minyak goreng mulai dari mahalnya harga hingga kelangkaan stok adalah ulah pemerintah sendiri. Dia menilai, perusahaan minyak kelapa sawit jelas memilih menjual produknya ke produsen biodiesel dibandingkan perusahaan minyak goreng karena harganya mengikuti harga internasional. “Kalau CPO saya jual ke perusahaan minyak goreng dalam negeri, harganya domestik. Tapi kalau saya jual ke perusahaan biodiesel saya buat harga internasional, ya otomatis pengusaha CPO jual kesana. Siapa yang buat? ya pemerintah,” ujar Faisal Basri dalam diskusi virtual, Rabu (16/2/2022). “Jadi biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini yah pemerintah,” sambung dia. Faisal menilai, pemerintah telah memanjakan pabrik biodiesel bertahun-tahun karena mendapatkan subsidi dari alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) sebesar Rp 110 triliun sejak tahun 2015 sampai 2021. “Tahun lalu saja dapat Rp 50 triliun, perusahaan minyak goreng tidak dapat apa-apa, sehingga persoalan minyak goreng ini reaksi kebijakan pemerintah yang meninabobokan biodiesel,” beber Faisal Basri. Belum lagi kata Faisal, sekarang pemerintah saat ini lebih mengedepankan kebutuhan untuk energi ketimbang untuk urusan kebutuhan masyarakat. “Makanya buat energi dimanja, buat perut tidak dimanja,” ungkapnya. “Jadi jangan cepat menyalahkan pengusaha karena pengusaha tidak dilarang untuk mendapatkan untung, tentu saja pengusaha akan mencari bidang yang untungnya lebih banyak yah untungnya lebih banyak kalau dia jual ke biodiesel,” kata Faisal Basri.

https://money.kompas.com/read/2022/02/17/071500726/faisal-basri–persoalan-minyak-goreng-ini-reaksi-kebijakan-pemerintah-yang

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 17 Februari 2022

Faisal Basri Kritik Pemerintah Soal Minyak Goreng, Ruhut Seperti Biasa Nggak Terima: Provokator!

Persoalan minyak goreng belum juga selesai. Mulai dari harga yang sulit dijangkau hingga stok yang langka. Ekonom Faisal Batubara atau yang lebih dikenal dengan Faisal Basri mengatakan, biang keladi dari permasalahan minyak goreng hingga saat ini adalah pemerintah sendiri. “Biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel,” kata Faisal, Rabu (16/2/2022). Dia menjelaskan kebijakan Program B20 yakni 20 persen kandungan CPO dalam minyak biosolar, ini rupanya membuat pengusaha sawit lebih cenderung melakukan penyaluran ke biodiesel dibandingkan ke pabrik minyak goreng sejak tahun 2020. Pasalnya, jika dikucurkan ke biodiesel, perusahaan akan mendapatkan insentif. Sebaliknya jika disalurkan ke pabrik minyak goreng, tidak ada insentif yang dijanjikan pemerintah. Lebih jauh, insentif ini berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga Internasional. Diperkirakan, pola konsumsi minyak nabati dari kelapa sawit bakal terus meningkat beriringan dengan peningkatan porsinya lewat program pemerintah B30 dan seterusnya. Menanggapi hal itu, Politisi PDIP Ruhut Sitompul meminta Faisal Basri untuk tidak melakukan provokasi atas kelangkaan minyak goreng saat ini. “Ini ngakunya pengamat faktanya kelakuannya provokator,” tulisnya melalui akun twitternya, Kamis, (17/2/2022). Dia menyebut tak ada satupun pemerintahan Presiden Joko Widodo yang benar di mata Ekonom senior tersebut. “Tdk ada Pemerintahan Bpk Joko Widodo yg benar kapan ya Capres dan Parpol yg Do’i dukung menang ?, dan harus jadi menterinya pula eh kalau tidak ya ngawur lagi mimpi di siang bolong kale MERDEKA,” imbuhnya. Warganet pun beramai-ramai mengomentari unggahan Mantan Politisi Demokrat ini. “Kau pun nggak kepake jadi Mentrinya Jokowi , sudah sering jilat nggak dapet apa²,” ujar @Revolus***. “Pengamat yg gagal, tidak ada satu rezimpun yg pernah melirik FB, orang yg perlu dikasihani,” balas @Suhairi***.

https://wartaekonomi.co.id/read393858/faisal-basri-kritik-pemerintah-soal-minyak-goreng-ruhut-seperti-biasa-nggak-terima-provokator?page=all

Kontan.co.id | Kamis, 17 Februari 2022

Ekonom Sarankan Pemerintah Prioritaskan CPO untuk Penuhi Kebutuhan Industri Pangan

Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) menuturkan pemerintah ada baiknya memperbesar alokasi penggunaan crude palm oil atau CPO untuk industri pangan terutama minyak goreng. Hal tersebut sebagai langkah memperbaiki polemik persoalan minyak goreng saat ini. Bhima mengakui bahwa, upaya mendorong program biodiesel (B30) patut diacungi jempol. Hanya saja berkaca pada kondisi saat ini perlu ada pengurangan alokasi CPO untuk biodiesel. “Pemerintah sekarang ini menunda dulu program B30 atau diturunkan alokasinya untuk B30 dan memperbesar alokasi untuk penggunaan CPO dalam negeri untuk industri minyak goreng ataupun industri pangan lainnya di luar B30,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (17/2). Bhima mengkhawatirkan kondisi harga minyak goreng saat ini justru berimbas pada inflasi ke depan. Terlebih beberapa bulan lagi mendekati periode ramadhan dan Idul Fitri. Kemudian juga tata kelola CPO khususnya domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) sawit harus diawasi dengan ketat. Pemerintah diminta untuk memastikan bahwa seluruh produsen CPO di dalam negeri mematuhi kebijakan tersebut. “Ada sanksi yang tegas bagi perusahaan kelapa sawit yang tidak memenuhi ketentuan soal DMO dan DPO artinya mungkin juga bisa dicabut izin usahanya ekspor atau tidak diberikan rekomendasi ekspor sampai dengan pencabutan izin usaha apabila dalam waktu tertentu tidak ada perbaikan untuk pemenuhan DMO dan DPO,” paparnya. Tak hanya dua hal itu, Bhima juga meminta pemerintah memastikan apa yang menjadi penyebab harga minyak goreng yang belum stabil baik dari hulu ke hilir. Rantai distribusi minyak goreng hingga ke tingkat yang paling kecil harus dipastikan berjalan sesuai dengan aturan. “Ini kan juga harus dicek juga jangan sampai terjadi spekulasi penimbunan atau kesengajaan untuk menahan pasokan di masyarakat,” imbuhnya.

https://nasional.kontan.co.id/news/ekonom-sarankan-pemerintah-prioritaskan-cpo-untuk-penuhi-kebutuhan-industri-pangan