Pemerintah Persiapkan Pelaksanaan Program B40
Harian Kontan | Jum’at, 8 Oktober 2021
Pemerintah Persiapkan Pelaksanaan Program B40
Pemerintah tengah mempersiapkan program pencampuran biodiesel ke dalam bahan bakar minyak sebanyak 40% (B40). Persiapan ini tak lepas dari mulusnya program B30 yang sudah berjalan sejak tahun lalu. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, rangkaian kegiatan dari kajian penerapan B40 tengah dilakukan, yakni uji karakteristik, penyimpanan, unjuk kerja dan ketahanan mesin diesel pada engine test bench serta aspek tekno ekonomi. “Kajian teknis di laboratorium sudah selesai, B40 dapat berjalan dengan rekomendasi perbaikan spesifikasi dari biodiesel nya,” terang Dadan, Kamis (7/10). Seperti diketahui, pada Juli 2020, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi memulai uji ketahanan biodiesel B40/ BBO pada mesin pada Ertgine Test Bench di laboratorium mereka selama 1.000 jam. Hasil pengujian ini ditargetkan menghasilkan rekomendasi teknis, baik terhadap mutu biodiesel maupun pertimbangan tentang aspek keekonomiannya. Kajian keekonomian mencakup sejumlah aspek, di antaranya proyeksi permintaan biodiesel, analisa pasokan biodiesel, harga komponen, proyeksi insentif dan subsidi pemerintah terhadap bahan bakar yang bara. Selain itu, Dadan memastikan pelaksanaan program B30 sejak Januari 2020 berjalan lancar meski saat ini tengah terjadi kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Dadan bilang tidak ada kendala pelaksanaan program B30 sampai saat ini. Pelaksanaan program B30 tetap berjalan sesuai target awal yakni sebanyak 9,2 juta kiloliter (KL). “Pelaksanaan B30 sudah berjalan lancar sesuai rencana dan Ufrget kami. Sekarang re- alisasinya di sekitar 70%,”iuar Dadan. Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, melihat positif upaya pemerintah untuk mengembangkan bahan bakar berbasis bio diesel ini dengan melakukan uji ketahanan yakni B40. “Kami yakin dan optimistis B40 tetap dilanjutkan walaupun ditunda tahun ini. Kegiatan uji teknis B40 membuktikan komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan program mandatori biodiesel,” ujar Paulus.
Kontan.co.id | Kamis, 7 Oktober 2021
Kementerian ESDM pastikan program B30 berjalan lancar meski harga CPO meroket
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan pelaksanaan program B30 berjalan lancar meski saat ini tengah terjadi kenaikan harga CPO. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, tidak ada kendala pelaksanaan program B30 sampai saat ini. Pelaksanaan program B30 tetap berjalan sesuai target awal yakni sebanyak 9.2 juta kiloliter (KL). “Pelaksanaan B30 berjalan lancar sesuai rencana dan target. Sekarang realisasinya di sekitar 70%,” kata dia saat dihubungi, Kamis (7/10). Lebih lanjut Dadan mengatakan, saat ini Kementerian ESDM terus mempersiapkan program B40. Misalnya terkait kajian yang saat ini masih terus dilakukan. “Kajian teknis di lab sudah selesai, B40 dapat berjalan dengan rekomendasi perbaikan spek dari biodiesel nya,” terang dia. Seperti diketahui, pada Juli 2020, PPPTMGB “LEMIGAS”, Badan Litbang ESDM memulai uji ketahanan biodiesel B40/B50 pada mesin pada Engine Test Bench di laboratorium PPPTMGB “LEMIGAS” selama 1.000 jam. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari kajian penerapan bahan bakar biodiesel B40/B50, melalui uji karakteristik, penyimpanan, unjuk kerja dan ketahanan mesin diesel pada engine test bench serta aspek tekno ekonomi. Hasil pengujian ini ditargetkan menghasilkan rekomendasi teknis, baik terhadap mutu biodiesel maupun pertimbangan tentang aspek keekonomian nya. Kajian keekonomian mencakup sejumlah aspek, di antaranya proyeksi permintaan (demand) biodiesel, analisis pasokan biodiesel, harga komponen, proyeksi insentif dan subsidi pemerintah terhadap bahan bakar yang baru. Ketua Harian APROBI Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, mengapresiasi kesiapan pemerintah untuk menjalankan uji ketahanan B40 di mesin kendaraan di laboratorium PPPTMGB LEMIGAS selama 1.000 jam. Uji ini sangatlah penting untuk memperoleh rekomendasi teknis baik terhadap mutu biodiesel dan pertimbangan aspek keekonomian nya. “APROBI sangat yakin dan optimis B40 tetap dilanjutkan walaupun ditunda tahun ini. Kegiatan uji teknis B40 membuktikan komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan program mandatori biodiesel,” ujar Paulus. Paulus menjelaskan bahwa perusahaan biodiesel yang menjadi anggota APROBI sangat siap untuk mendukung program biofuel pemerintah. Program ini sudah terbukti mampu menghemat devisa pemerintah dan menekan emisi karbon. “Aprobi secara khusus mengapresiasi Presiden Jokowi yang berkomitmen penuh mengimplementasikan program B30 secara bertahap sehingga membangun ketahanan energi nasional. Dampak positifnya anggaran pemerintah dapat dialihkan untuk program pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan infrastruktur,” pungkas Paulus. Asal tahu saja, penyerapan biodiesel sepanjang tahun 2020 melalui program B30 mencapai 8,46 juta kiloliter (kl) berdampak pada penghematan devisa sekitar US$ 2,66 miliar.
Jawapos.com | Kamis, 7 Oktober 2021
Indonesia Negara Pertama yang Campurkan Minyak Nabati 30 Persen ke BBM
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) ingin masyarakat dan generasi muda mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang sudah mencampurkan energi terbarukan ke dalam minyak solar mencapai 30 persen melalui Biodiesel B30. Ketua Bidang Marketing Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Irma Rachmania mengungkapkan, di negara-negara lain seperti Argentina, Brasil, hingga Amerika Serikat masing-masing baru memasuki B10, B12, dan B20. “Ternyata, di tahun ini, kita sudah berhasil hampir tidak impor minyak solar lagi. Karena sudah dicukupi oleh biodiesel yang menggantikan minyak solar. Biodiesel B30 adalah bahan bakar yang berasal dari campuran minyak sawit 30 persen dan minyak solar 70 persen,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (7/10). Dengan kondisi tersebut, kata Irma, pada 2020 Indonesia berhasil menghemat devisa sebesar Rp 63,4 triliun dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 14,34 juta ton CO2 “Produksi biodiesel Indonesia pada 2020 sudah lebih dari 11,62 miliar liter,” ucapnya. Irma memaparkan, bahwa di Indonesia terdapat banyak tanaman sumber bahan baku biodiesel seperti kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nyamplung, kelor, dan kemiri sunan. Tapi, alasan Indonesia mayoritas menggunakan kelapa sawit karena kaya akan pasokan minyak sawit. “Kita harus mengoptimalkan sumber daya yang kita miliki,” imbuhnya. Selain itu, program B30 juga menyerap lebih dari 1 juta pekerja di sektor hulu dan dapat meningkatkan pendapatan petani. “Dengan kita menggunakan biodiesel yang berasal dari kelapa sawit, maka itu juga membantu kelangsungan hidup dari para petani kelapa sawit,” tegas Irma. Irma menambahkan, ke depannya biodiesel tidak hanya berhenti pada B30 saja, tetapi akan terus dikembangkan, baik dari bahan baku maupun teknologi. Produksi B30 di tahun 2021 diproyeksikan sekitar 9,2 juta kiloliter atau setara dengan 57,86 juta barel dari 20 produsen di Indonesia. Penggunaan B30 pada 2021 diperkirakan akan mengurangi emisi gas rumah kaca mencapai 24,6 juta ton CO2. Jumlah ini mencapai 7,8 persen dari target capaian energi terbarukan untuk tahun 2030. Saat ini minyak kelapa sawit dapat diolah menjadi green diesel pengganti minyak solar, green gasoline pengganti bensin, dan bioavtur pengganti avtur fosil yang sudah masuk pada tahap uji terbang. “Dan dari kelapa sawit, cangkangnya bisa menjadi biomass sebagai bahan baku biomassa pembangkit listrik,” pungkasnya.
BERITA BIOFUEL
Antaranews.com | Kamis, 7 Oktober 2021
Riset: Jakarta potensial pasok 20 persen biodiesel minyak jelantah
Lembaga riset independen Traction Energy Asia menyebutkan Jakarta memiliki potensi memasok 20 persen bahan mentah untuk diproses menjadi biodiesel dari sekitar 12 juta liter minyak jelantah yang dihasilkan rumah tangga dan UMKM di ibu kota. “Jakarta punya potensi minyak jelantah 12 juta liter atau 12 ribu kiloliter per tahun. Itu hanya dari rumah tangga dan UMKM,” kata Engagement Manager Traction Energy Asia, Ricky Amukti dalam diskusi daring, di Jakarta, Kamis (7/10/2021). Analis kebijakan energi dari lembaga riset independen ini menyatakan, dapat menambahkan emisi biodiesel minyak jelantah 80 hingga 90 persen lebih rendah dari pada solar atau diesel. Ricky berharap, peluang itu dapat dimanfaatkan oleh Pemprov DKI untuk memanfaatkan potensi minyak jelantah sebagai alternatif bahan biodiesel. Berdasarkan data PT Pertamina tahun 2020, ujar dia, kuota biosolar (B30) di DKI Jakarta pada 2020 mencapai 703.517 kiloliter berdasarkan Keputusan Kepala BPH Migas RI. “Itu (minyak jelantah) baru 20 persen dari rumah tangga dan UMKM, belum termasuk hotel, restoran dan kafe, angkanya akan jauh lebih tinggi,” ujarnya. Pemanfaatan sumber alternatif lain, seperti minyak jelantah untuk biodiesel itu juga diharapkan mengurangi penggunaan sawit yang selama ini menjadi pemasok tunggal biodiesel. Menurut dia, saat ini sudah ada beberapa inisiasi pengolahan biodiesel minyak jelantah dari Makassar, Bali, Kalimantan Timur, Bogor, dan Yogyakarta. Penggunaan energi baru terbarukan itu diharapkan menjadi salah satu solusi menjawab tantangan energi ramah lingkungan untuk mendukung udara bersih di Jakarta. Ricky menambahkan, selama ini ada tiga sumber polusi udara di DKI yakni, pembangkit listrik sebesar 30 persen, transportasi 50 persen, dan sisanya dari sampah. “Untuk transportasi jumlahnya sangat besar. Di Jakarta, sepeda motor ada sekitar 16 juta, mobil penumpang 3,6 juta unit, bus dan lainnya, itu pasti membutuhkan bahan bakar minyak yang berkontribusi terhadap polusi di Jakarta,” katanya.
Sawitindonesia.com | Kamis, 7 Oktober 2021
Sumbang Emisi 2%, Bioavtur Jadi Solusi Penurunan Emisi Sektor Transportasi Udara
Arah kebijakan energi nasional ke depan yaitu transisi dari energi fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia pada Paris Agreement yaitu penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan Nationally Determined Contributions/NDC pada 2030 sebesar 29% dari Business as Usual (BaU) dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan Bantuan Internasional. Sektor energi diharapkan dapat menurunkan emisi sebesar 314 – 446 juta ton CO2e. Aksi mitigasi yang berperan paling besar dalam upaya penurunan emisi GRK di sektor energi adalah pengembangan EBT. Salah satu upaya yang saat ini sudah dilakukan Pemerintah adalah menurunan emisi disektor transportasi baik darat dan udara menggunakan biodiesel dan bioavtur sebagai bahan bakar pesawat yang telah sukses dilaksanakan uji terbangnya pagi tadi, Rabu (6/10). “Salah satu strategi yang didorong untuk percepatan implementasi EBT dan penurunan emisi gas rumah kaca adalah melakukan substitusi energi primer dan final pada teknologi eksisting. Pada sub sektor transportasi darat kita sudah cukup berhasil dengan program mandatori B30, dimana manfaatnya cukup besar dalam pencapaian target EBT dan penurunan emisi gas rumah kaca,” ujar Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sambutannya di Acara Seremonial Keberhasilan Uji Terbang dengan Menggunakan Bahan Bakar Bioavtur J2,4. Kementerian ESDM, lanjut Arifin, telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015, yang mengatur kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur dengan persentase sebesar 3% pada tahun 2020, dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 5%.
Sektor transportasi udara turut menyumbang 2% dari total emisi C02 global dan diperkirakan akan meningkat di masa mendatang. hal ini tentunya memberi andil yang signifikan terhadapa isu pemanasan global dan perubahan iklim serta keberlangsungan bisnis kegaitan penerbangan. oleh sebab itu, sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk turut mencegah atau memperlambat dampak negatif dari emisi gas rumah kaca tersebut termasuk di bidang transportasi udara. Sinergitas antar Kementerian untuk mengupayakan penurunan emisi di sektor transportasi udara dilakukan antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Perhubungan yang ditandai dengan Penandatanganan Kesepakatan Bersama pada tanggal 27 Desember 2013. “Untuk menguatkan kerja sama dalam upaya pemanfaatan bahan bakar nabati pada pesawat udara (Aviation Biofuel) dan energi terbarukan (Renewable energi) secara berkelanjutan, Kementerian Perhubungan melalui Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM,” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Novie Rianto saat membacakan sambutan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Selain penandatangan kesepakatan tersebut, melalui Keputusan Menteri Perhubungan Tahun 2013 Tentang Rencana Aksi Nasional Gas rumah Kaca dan Keputusan Menteri ESDM Tahun 2015 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) telah ditetapkan rencana penggunaan campuran bioavtur pada sektor transportasi udara dimulai dari 2% mulai tahun 2016, 3% mulai tahun 2020 dan 5% sejak tahun 2025. “Pengembangan bioavtur merupakan isu strategis bukan hanya di dalam negeri tapi juga di dalam negeri, hal ini memerlukan proses teknis yang panjang dan koordinasi tanpa henti untuk meyakinkan stakeholder mengingat ini merupakan terobosan baru di Indonesia untuk sektor penerbangan,” terangnya. Indonesia, lanjut Novie, telah berkomitmen dalam forum internasional maupun nasional untuk menjalankan upaya-upaya yang diperlukan dalam hal mitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi. seperti diketahui bersama bahwa bulan Juli 2021, Indoensia telah menetapkan target yang lebih ambisius dalan updated NDC dan Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilient 2050. “Khusus pada sektor transportasi udara, Kementerian Perhubungan berkomitmen pada upaya penurunan emisi baik dalam tingkat nasional dan internasional melalui penerbitan regulasi pendukung, keterlibatan langsung dalam diskusi strategis pada tingkat kelompok kerja atau working group di International Civil Aviation Organtization atau ICAO, serta berperan aktif dalam mengimplementasikan kebijakan ICAO untuk menurunkan emisi karbon dari aktifitas penerbangan,” pungkasnya.
CNBCIndonesia.com | Kamis, 7 Oktober 2021
Harga Bioavtur Lebih Tinggi dari Avtur, Bakal Ada Insentif?
PT Pertamina (Persero) sudah berhasil memproduksi bioavtur sebesar 2,4% yang dikenal dengan nama Jet Avtur 2,4 (J2.4) di Kilang Cilacap. Dan tidak lama lagi Pertamina punya target bisa mengembangkan sampai bioavtur 5%. Bioavtur ini merupakan produksi avtur dari minyak inti sawit refined bleached degummed palm kernel oil (RBDPKO) dengan menggunakan katalis “merah putih” buatan ITB dicampur dengan kerosene (co-processing) di Kilang Cilacap Pertamina. Khusus J2.4 artinya campuran RBDPKO di kilang co-processing ini mencapai 2,4%. Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) kini sudah dilakukan pada biodiesel. Dalam mandatori biodiesel, insentif diberikan untuk menutup selisih harga biodiesel yang masih lebih mahal daripada diesel berbasis fosil. Lalu, apakah insentif juga akan diberikan pada bioavtur? Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, sampai saat ini belum ada perintah ke BPDPKS untuk memberikan insentif untuk bioavtur. Meski belum ada, namun menurutnya pemerintah berkomitmen dalam meningkatkan biofuel, baik biodiesel dan bioavtur. Eddy menyebut, dalam mengembangkan biodiesel, pemerintah memberikan insentif dengan tujuan untuk menutup selisih harga solar dan biodiesel, karena harga diesel berbasis sawit ini relatif lebih tinggi dibandingkan diesel berbasis fosil atau minyak mentah. “Sampai saat ini belum (belum ada insentif), namun demikian sesuai dengan kebijakan pemerintah meningkatkan biofuel, baik biodiesel, bioavtur dan sebagainya,” ungkapnya dalam konferensi pers “Seremoni Keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB Menggunakan Campuran Bahan Bakar Bioavtur 2,4% (J2.4)”, Rabu (06/10/2021). Lebih lanjut dia mengatakan, sama halnya dengan biodiesel, bioavtur harganya masih relatif lebih tinggi karena stoknya berasal dari palm kernel oil (PKO), lebih tinggi dari harga crude palm oil (CPO). “Sehingga ini pasti akan lebih tinggi daripada avtur tersebut. Tapi sampai saat ini regulasi belum ada perintahkan BPDPKS, apakah insentif sebagaimana diberikan B30,” paparnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati meminta kebijakan terintegrasi dari hulu sampai hilir, termasuk volume dan harga khusus minyak sawit (CPO) bagi keperluan biofuel di dalam negeri. Tujuannya, agar produksi bioavtur dan biodiesel ini bisa berkelanjutan. “Bicara kesiapan dan keberlangsungan, tentu harus melihatnya secara value chain utuh, ada bahan baku yang tidak dikontrol Pertamina yakni CPO. Namun di sini dengan komitmen pemerintah dan industri CPO, kami harap ini ada kebijakan utuh,” paparnya. Dia mengatakan, saat ini campuran bioavtur sudah di level 2,5%, dan selanjutnya akan dikembangkan menjadi 5%, kemudian 10% dan seterusnya secara bertahap. “Kita harap ada komitmen, baik volume yang dialokasikan untuk bioavtur dan kedua komersialisasi,” ujarnya. Lebih lanjut dia mengatakan, secara komersial ada aspek lain yang perlu dilihat, yakni rencana pemberlakuan pajak karbon (carbon tax) oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hal ini menurutnya akan berpengaruh pada keekonomian. “Tahun depan dari Kemenkeu akan terapkan carbon tax, tentu harus lihat ini sebagai mekanisme, kita match dengan harga akan pengaruh pada keekonomian,” paparnya. Seperti diketahui, harga CPO masih mengalami lonjakan. Pada Rabu (6/10/2021) pukul 10:24 WIB, harga CPO di Bursa Malaysia tercatat MYR 4.869/ton, melesat 2,76% dibandingkan posisi hari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah perdagangan CPO. Harga CPO terus berada di tren bullish (penguatan). Dalam sepekan terakhir, harga komoditas ini melonjak 9,29%. Selama sebulan ke belakang, kenaikannya mencapai nyaris 11%. Faktor pendongkrak harga CPO adalah harga minyak bumi. Dalam sepekan terakhir, harga minyak jenis Brent dan light sweet melejit masing-masing 5,62% dan 5,32%. Selama sebulan ke belakang, kenaikannya masing-masing 15,05% dan 15,3%. Saat harga minyak makin mahal, apalagi di tengah krisis energi yang dihadapi berbagai negara, maka insentif untuk beralih ke bahan bakar nabati atau biofuel kian tinggi. CPO adalah salah satu komoditas yang bisa digunakan sebagai bahan baku biofuel. Jadi, tidak heran permintaan CPO meningkat saat harga minyak bumi naik. Hasilnya, harga CPO pun melambung tinggi. Selain itu, kenaikan harga juga ditopang oleh keketatan pasokan. Survei Reuters memperkirakan stok CPO Malaysia pada September 2021 adalah 1,87 juta ton. Turun 0,36% dibandingkan bulan sebelumnya.
Tempo.co | Kamis, 7 Oktober 2021
Bioavtur Buatan Pertamina dan ITB, Potensi Pasar Ditaksir Rp 1,1 Triliun
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memaparkan potensi dari pengembangan bioavtur lokal buatan Indonesia, J2.4. Bioavtur ini dikembangkan bersama Pertamina dan ITB serta telah sukses digunakan dalam uji terbang perdana dari Bandung ke Jakarta dan kembali lagi ke Bandung pada Rabu 6 Oktober 2021. Hadir secara daring dalam seremoni keberhasilan uji terbang perdana dengan Bioavtur J2.4 yang digelar di Hanggar 2 PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMF) itu, Airlangga menyatakan bahwa kelapa sawit lebih efisien dibandingkan sebagai bahan baku bioavtur, dibandingkan bahan baku alternatif lainnya. Dia membandingkannya dengan rapeseed, biji bunga matahari dan kedelai. “Kelapa sawit lebih efisien dan produktivitasnya lebih tinggi dengan perbandingan 1 ton minyak sawit membutuhkan 0,3 hektare,” katanya sambil memaparkan, “Rapeseed butuh 1,3 hektare, sun flower oil membutuhkan 1,5 hektare, dan soybean oil 2,2 hektare.” Airlangga mengatakan, sawit saat ini juga tengah mencapai harga tertinggi yakni 1.200 dolar AS per ton. Nilai tukar petani Rp 1.800-2.200 tandan buah segar per kilogram. Airlangga menghitung, dengan asumsi konsumsi harian avtur 14 ribu kiloliter maka potensi pasar bahan bakar bioavtur menembus Rp 1,1 triliun per tahun. Untuk para pemrakarsa bioavtur dipastikannya pula bisa mendapatkan insentif pajak. Airlangga merujuk kepada kebijakan pemerintah memberikan super deduction tax untuk kegiatan-kegiatan industri yang terlibat dalam program pendidikan vokasi, meliputi kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan inovasi. “Apakan itu PTDI, Pertamina, tergantung leading sector-nya, dan pemerintah bisa memberikan sampai 300 persen, dan kliringnya dari Ristek, dari BRIN,” kata dia sambil menambahkan harapannya, terjadi peningkatan kontribusi biofuel bagi transportasi udara. Bioavtur J2.4 lahir dari penelitian bersama Pertamina dan Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung pada 2012 untuk pengembangan katalis Merah Putih untuk mengkonversi minyak inti sawit menjadi bioavtur. Pengujian bioavtur secara akademis dimulai di Fakultas Mesin dan Dirgantara ITB dalam skala laboratorium. Kerja sama kemudian diperluas dengan melibatkan PT KPI (Kilang Pertamina Internasional) untuk uji produksi skala industri di Refinery Unit (RU) IV Cilacap untuk mengolah campuran RBDPKO (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil) dan kerosin menggunakan katalis Merah Putih untuk memproduksi bioavtur 2,4 persen atau J2.4. Disusul dengan serangkaian pengujian hingga uji terbang perdana digelar menggunakan pesawat CN235-220 FTB milik PT Dirgantara Indonesia. Serangkaian uji teknis dilakukan salah satunya uji statis di fasilitas milik GMF. Pengujian dilakukan mengikuti manual yang diterbitkan manufaktur mesin pesawat. Prosedur khusus juga dijalankan dalam testing agar avtur jet A1, bahan bakar avtur fosil, tidak bercampur dengan bioavtur J2.4. Hasilnya, performa keduanya diniai sangat dekat. “Tidak ada perbedaan yang signifikan, sehingga bioavtur J2.4 diputuskan layak untuk menjalani tahapan uji non-statis ke pesawat CN235-220,” kata Direktur Utama GMF Andi Fahrurrozi, dikutip dari keterangannya, Rabu, 6 Oktober 2021. Uji terbang menggunakan bioavtur J2.4 pada mesin pesawat kanan CN235-220 FTB. Sementara mesin kiri dipasok bahan bakar fosil avtur Jet A1. Menurut Direktur Niaga, Teknologi, dan Pengembangan PTDI, Gita Amperiawan, pengembangan Bioavtur J2.4 telah memberikan hasil yang sesuai harapan karena fungsi pesawat semuanya normal, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan penggunaan avtur Jet A1. “Penggunaan Bioavtur J2.4 sudah relatif aman dan diharapkan kedepannya ada peningkatan presentase biofuel dalam campuran avtur, dengan tetap perlu dilakukannya penelitian jangka panjang terhadap penggunaan bahan bakar Bioavtur tersebut pada komponen mesin maupun sistem bahan bakar pesawat,” kata dia.
Republika.co.id | Kamis, 7 Oktober 2021
Pengembangan Bioavtur J2.4 Jadi Momentum Bagi Inovasi Negara
Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit yang menguasai sekitar 55 persen pangsa pasar sawit dunia. Dibandingkan komoditas pesaing lainnya, produksi kelapa sawit lebih efisien dan produktivitas yang lebih tinggi dalam pemanfaatan lahan. Sebagai perbandingan, untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit hanya membutuhkan lahan 0,3 hektare. Sedangkan rapeseed oil membutuhkan lahan seluas 1,3 hektare, sunflower oil seluas 1,5 hektare, dan soybean oil seluas 2,2 hektare. “Pemerintah berkomitmen mendukung program B30 pada 2021 dengan target alokasi penyaluran sebesar 9,2 juta kiloliter. Hal ini bertujuan menjaga stabilisasi harga CPO. Dengan kebijakan tersebut, target 23 persen bauran energi yang berasal dari Energi Baru Terbarukan pada 2025 sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional akan dapat tercapai,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada acara Seremonial Keberhasilan Uji Terbang Dengan Bahan Bakar Campuran Bahan Bakar Bioavtur 2,4 persen (J2.4) yang dilakukan secara virtual, Rabu (6/10). Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan rendah karbon. Program B30 telah berkontribusi dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk sekitar 23,3 juta ton karbondioksida (CO2) pada 2020. Program ini juga berdampak positif pada penghematan devisa negara dengan pengurangan impor solar sebesar kurang lebih 8 miliar dolar AS. Airlangga juga menyampaikan arahan dari Presiden Joko Widodo terkait keterbukaan dan kesiapan Indonesia mendukung investasi dan transfer teknologi termasuk investasi bagi transisi energi melalui pembangunan biofuel, industri baterai lithium, dan implementasi dari kendaraan listrik. Keberhasilan uji terbang bioavtur ini telah memberikan kepercayaan tinggi terhadap kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan sumber daya domestik, khususnya minyak sawit. Hal itu dimanfaatkan sebagai upaya membangun kemandirian energi nasional. Melalui terobosan ini diharapkan dapat berdampak pada pengurangan ketergantungan energi dari impor, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Memperhatikan potensi pasar Bioavtur J2.4 yang dapat mencapai sekitar Rp 1,1 triliun per tahun, inovasi ini perlu didukung dengan kebijakan fiskal, baik melalui kebijakan perpajakan maupun dana riset, dalam rangka peningkatan keekonomian Bioavtur J2.4 guna merealisasikan potensi ekonomi tersebut bagi pembangunan bangsa. Ke depannya, diharapkan agar Bioavtur J2.4 juga dapat diujiterbangkan pada pesawat-pesawat komersial. Dengan begitu, potensi pasar bahan bakar hasil inovasi anak bangsa ini dapat terus dikembangkan. Upaya pemerintah dalam pengembangan J2.4, keberhasilan katalis merah putih, dan keberhasilan uji terbang J2.4, merupakan momentum yang perlu dikomunikasikan dan mendapat perhatian dari semua stakeholders terkait serta masyarakat luas. “Kita patut berbangga pagi ini kita dapat menyaksikan keberhasilan anak bangsa yang dapat mewujudkan pembuatan bioavtur atau J2.4 yang juga telah diuji terbangkan dengan menggunakan pesawat CN235-220 milik PT Dirgantara Indonesia,” tegas Airlangga. Keberhasilan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal bagi peningkatan kontribusi biofuel bagi sektor transportasi udara, penguatan ketahanan energi nasional, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Saya mengapresiasi kepada Kementerian ESDM dan seluruh pihak yang terlibat aktif dalam penyelenggaraan acara ini, dan juga tim peneliti yang beranggotakan para tenaga ahli dari ITB, PT Pertamina, PT DI, PT GMF, Kementerian Perhubungan, serta didukung oleh BPDPKS. Kolaborasi antara Perguruan Tinggi, industri dan Pemerintah yang telah diimplementasikan dengan baik sehingga menjadi momentum bagi pengembangan riset dan inovasi di dalam negeri,” tuturnya.