Perkenalkan, Namanya TOM!
Gatra.com | Rabu, 7 Oktober 2020
Perkenalkan, Namanya TOM!
Sebenarnya, dari dulu orang di Indonesia sudah mencari tahu apa saja yang bisa dibikin dari minyak kelapa sawit. Selain lantaran luas kebun kelapa sawit itu sekarang sudah mencapai 16,3 juta hektar, yang butuh hasil olahan minyak sawit ini di Indonesia juga tergolong bongsor; lebih dari 250 juta jiwa. Setelah bisa dijadikan ragam bahan makanan dan non makanan, sejak tiga tahun lalu, Laboratorium CaRE Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah mengujicoba minyak sawit tadi menjadi minyak solar, bensin dan bahkan minyak pesawat terbang. Berhasil! Alhasil, bulan depan, CaRE ITB bersama alumni Teknik Kimia (TK)-ITB seperti Sahat Sinaga, Sapto Tranggono dan rekannya yang lain bakal menguji coba pabrik penghasil Bensin Super Biohydrocarbon di Kudus, Jawa Tengah. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang membiayai uji coba ini, termasuk untuk pengembangannya, Dibilang Biohydrocarbon lantaran Bensin Super (BS) ini dibikin dari minyak kelapa sawit berupa bio dan produk yang dihasilkan adalah hidrokarbon. Hydrocarbon ini serupa dengan minyak yang bersumber dari fosil. Asal tahu saja, bensin biohydrokarbon ini identik juga dengan bensin yang dipakai oleh mobil balap Formula 2 (F2). Jadi nanti, yang senang racing di Circuit Sentul, enggak perlu lagi membeli bahan bakar super-car impor yang di dalam Negeri dibanderol Rp56 ribu seliter. Sebab Bensin Biohydrokarbon ini cuma Rp38.500 seliter. “Bensin Super (BS) ini Octane Number (ON) nya 110. Jadi sudah setara minyak pesawat terbang yang ON nya 100/130. Pertamax Plus ON nya cuma 95, Pertamax apalagi, hanya 92,” cerita Sahat Sinaga kepada Gatra.com, kemarin.
Pabrik uji coba yang di Kudus itu kata Ketua Masyarakat Biohydrokarbon Indonesia (MBI) ini, masih berkapasitas kecil; baru akan menghasilkan 1000 liter sehari. Walau pabrik kecil, ayah tiga anak ini memastikan kalau 99 persen dari semua piranti pabrik itu teknologi dalam negeri, begitu juga dengan para pekerjanya. Hanya saja, lantaran ON nya setinggi itu, otomatis enggak bakal bisa langsung dijual ke masyarakat umum. ON nya musti diturunkan dulu. Untuk inilah kemudian Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN), Care ITB dan Pemkab Musi Banyuasin (Muba) Sumatera Selatan (Sumsel) berencana membikin pabrik berkapasitas 2.500 barrel per hari di Muba. Di Pelalawan Provinsi Riau juga bakal dibangun, tapi kapasitasnya lebih kecil; 1.500 barrel per hari. Dua daerah ini dipilih lantaran sama-sama dekat dengan sumber minyak fosil. Di Banyu Asin — kabupaten pemekaran dari Muba —- kata Sahat, ada ratusan tambang minyak fosil rakyat yang produksinya bisa dibeli. “Setelah disuling, minyak fosil itu bisa kita beli seharga Rp4500 per liter. Inilah yang akan kita bikin campuran Bensin Super itu supaya ON nya bisa turun menjadi 92. Premium setara Pertamax ini bakal kita jual Rp9.100 seliter,” rinci Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) ini. Tapi untuk tahap awal ini katanya, yang bakal dibikin di Muba maupun di Pelalawan itu baru pabrik penghasil produk Industry Vegetable Oil (IVO). “IVO ini adalah minyak CPO+ untuk tujuan bahan bakar yang sudah bebas dari komponen perusak oleh katalist “merah-putih” produksi CaRE ITB,” terang Sahat.
Kalau mau membikin Kilang Biohydrokarbon berkapasitas 2.500 barrel IVO perhari tadi kata Sahat, musti dibangun dulu 3 pabrik Palm Oil Mill (POM). Lalu luas lahan sumber bahan baku yang dibutuhkan sekitar 25 ribu hektar. “Jadi, jelang tiga pabrik itu ada, minyak sawit IVO yang dihasilkan di Muba, dikirim dulu ke kilang Pertamina di Plaju, Palembang. Terus yang di Pelalawan dikirim ke Kilang Pertamina Dumai. Yang bekerjasama dengan Pertamina, koperasi petani. Sebab koperasi itulah nanti yang jadi pemilik pabrik IVO itu,” katanya. Bagi Sahat, unit pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak IVO itu disebut Traga Oil Mill (TOM), ini generasi kedua setelah PO Mill. TOM lah yang menghasilkan IVO itu untuk diolah di kilang Biohydrocarbon untuk menjadi Bensin Super. Ongkos membangun TOM ini kata Sahat lebih kecil dari PKS konvensional. Sudah itu, lebih efisien dan ongkos pengolahan TBS nya pun lebih rendah. “Investasinya 90% dari belanja modal Capital expenditure (Capex) PKS konvensional. Nah, kalau ongkos olah TBS di PKS biasanya berkisar Rp153 per kilogram, di TOM hanya Rp95-Rp110 per kilogram,” rinci jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung 1973 ini. Lima tahun lagi kata Sahat, IVO ini sangat dibutuhkan. Kalau misalnya kilang Biohydrocarbon yang ada hanya berkapasitas 2500-3000 barrel IVO per hari, maka di tahun itu, dibutuhkan 158 unit kilang biohydrocarbon untuk memenuhi bauran energi 23% dari kebutuhan bensin. “Itulah makanya kilang biohydrocarbon ini akan kita bagun di seluruh wilayah Indonesia yang ada kebun kelapa sawit petaninya. Sebab sasaran kita memang petani kelapa sawit,” ujar Sahat.
Misi ini akan jalan terus, sebab selain semuanya asli dalam negeri, sawit rakyat terbeli dan minyak pun lekas terjual lantaran rentang kendalinya yang pendek. “Biaya distribusi Bensin Biohydrokarbon ini ekonomis. Sebab itu tadi, bikinnya di kabupaten itu, jualnya juga di wilayah itu,” katanya. Apakah Kilang Biohydrokarbon ini kelak akan menjadi saingan Pertamina? “Enggak sama sekali, sebab semuanya bertujuan memasarkan bahan bakar yang affordable (terjangkau), bisa Pertamina, bisa juga Koperasi . Kalau Fatty Acid Methy Ester (FAME) — biodiesel — biarlah urusan perusahaan besar. Biohydrokarbon urusan rakyat yang komandonya Kementerian Koperasi,” tegas Sahat. Jika apa yang dikatakan Sahat ini segera terwujud, bukan tidak mungkin ekspor biodiesel ke Eropa maupun Amerika, dihentikan. Soalnya, kebutuhan solar untuk domestik begitu besar. Dampaknya tentu, minyak kelapa sawit akan habis dikonsumsi di dalam Negeri. “Kalau sekarang harga CPO tinggi, jangan senang dulu, sebab harga CPO yang tinggi ini justru jadi racun atau narkoba yang membikin petani tidak produktif berkebun dan mereka akan banyak tidur. Jangan ternina bobokkan dengan itu,” pinta Sahat. Sahat kemudian berpesan, supaya harga IVO bisa affordable, satu-satunya jalan adalah produktivitas kebun musti di atas 20 Ton TBS per hektar per tahun. Untuk ini, kreatifitas petani sangat dibutuhkan. “TOM mengolah TBS menjadi IVO dengan tingkat rendemen atau OER (Oil Extraction Rate) yang tinggi. Ini sangat menguntungkan petani. Kalau koperasi-koperasi petani sudah punya TOM, dipastikan mereka akan semakin kreatif, sebab mereka merasakan manfaat lebih dan mereka akan disebut petani modern lantaran sudah masuk ke generasi kedua POM bernama TOM itu,” ujar Sahat. Biar proses kreatifitas itu tidak terganjal demi memenuhi kebutuhkan dalam Negeri yang semakin tinggi, “Pemerintah musti bersikap, lahan-lahan perkebunan yang berada di dalam klaim kawasan hutan, dilepaskan atau diputihkan saja,” pinta Sahat.
Harian Seputar Indonesia | Kamis, 8 Oktober 2020
Inovasi untuk Kemandirian Energi
Pencemaran udara dan efek gas rumah kaca yang diakibatkan emisi gas buang masih menjadi isu besar dalam sektor lingkungan. Indonesia sebagai negara dengan populasi terbesar ke empat di dunia menjadi salah satu negara dengan tingkat konsumsi energi terbesar di dunia. Tak hanya konsumsi energi rumah tangga saja tetapi juga untuk kendaraan bermotor pribadi maupun transportasi. Berbagai langkah dilakukan oleh pemerintah dan parastake-holderlainnya untukmenemukan formula yang tepat agar konsumsi energi di dalam negeri bisa dikeda-likan bahkan dihemat. Tak hanya itu, energi yang dikonsumsi pun juga ramah lingkungan, khususnya un tukkendaraan bermotor. Pada kendaraan bermotor, sejatinya telah ditemukan teknologi yangmampu menghemat energi dan ramah lingkungan dengan tingkat emisi gas buang nol, yakni kendaraan listrik (electric vehicle). Sejumlah negara telah telah membuat regulasi terkait kendaraan listrik tersebut. Seperti Amerika Serikat (AS), negara-negara di kawasan Eropa, Jepang, China hingga negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Jikadinegara-negara maju seperti AS, Jepang dan China, pengembangan kendaraan listrikyanghemat energi dengan emisi nol cukup masif, tetapi di negara-negaraberkembangter-masuk kawasan Asia Tenggara pengembangannya lambat. Salah satupenyebabnya, masih belum siapnya infrastrukturseperti’ stasiun pengisian listrik umum, juga instalasilistrik di rumah-rumah yang masih belum sesuai dengan standar pengisian energi untuk kendaraan listrik.
Meskipun masih belum siap dalam hal infrastruktur kendaraan listrik, namun angin segar berem-bus tatkala PT Pertamina (Persero) mengumumkan sukses mem-produksiGreen Diesel (D-100) dengan bahan baku dari minyak sawit 100%. Bahan bakar ini menjadi solusi di tengah penantian akan hadirnya energi bersih un tuk kendaraan bermotor melalui energi listrik. Hasil road test atau uji performa D-lOOyang dilakukan Pertamina pada mobil jenis multi purpose vehicle (MPV) bermesin diesel dengan usia tiga tahun menunjukkan performa yang baik. Penggunaan D-100 dalam campuran bahan bakar kendaraan dapat meningkatkan cetane number dan menurunkan kepekatan asap yang dibuang. Bahan bakar yang digunakan dalam uji performa tersebut adalah campuran D-100 sebanyak 20%, Dexlite sebanyak 50% dan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) sebesar 30%. Angka cetane number campuran D-100 dan Dexlite yang digunakan tersebut mencapai angka minimal 60 atau lebih tinggi dari Dexlite yang memiliki cetanenumber51. Demikian juga hasil uji emisi kendaraan yang di uji coba menunjukkan opacity (kepekatan asap gas buang) turun menjadi 1,7% dari sebelumnya 2,6% saat tidak dicampur dengan D-100. Penggunaan bahan bakar green diesel D-100 pada kendaraan tidakakan menurunkan kinerja mesin atau memerlukan modifikasi tertentupada mesin. Ujiperforma dengan hasil yang bagus tersebut, membuktikan bahwa D-100 yang diproduksi perdana di kilang milik Pertamina, Dumai provinsi Riau itu mampu menjawab kebutuhan green energy di Indonesia. D-100 dibuat dari 100% bahan nabati turunan dari CPO (crude palm oil) atau kelapasawityangbanyak terdapat di Indonesia. Dengan demikian, selain ramah lingkungan, D-100 juga menghasilkan penghematan yang sangat besar, karena tak perlu melakukan imporbahanbaku. Inovasiyangdilakukan oleh perusahaan energi milik negara itu dinilai menjadi salah satu solusi jangka menengah untuk mengatasi dampakburuk akibat emisi gas buag dari kendaraan bermotor. “Itu merupakan langkah jitu dalam mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan mengejar ketertinggalan Indonesia dalam hal dean energy,”tegas Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan di Jakarta, kemarin. Menurut dia, langkah jitu Pertamina tersebut juga harus dibarengi dengan jaminan pasokan bahanbaku. Sehingga ke depan, Pertamina tak dihadapkan pada kekurangan pasokan bahan baku. “Misalnya kelak harga sawit naik, bukan tidak mungkin harga D-lOOakanlebih mahal dari Dexlite atau Pertadex. Sehingga perlu ada jaminan pasokan bahan bakunya,”tegasnya.
Selain itu, lanjut Mamit, perlu melibatkan stakeholder lain seperti produsen kendaraan bermotor, sehingga bahan bakar D-100 tersebut bisa sesuai dengan spesifikasi kendaraan yang di produksi pabrikan di Tanah Air. Pabrikan kendaraan bermotor di dalam negeri, sejatinya telah mengikuti perkembangan inovasi yang dilakukan oleh Pertamina. “Itu sebuah langkah maju, kami sudah mencoba B20 dan B30. Per-formanya cukup bagus, termasuk emisi gas buangnya. Untuk D-100 menurut perkiraan kami tentu akan lebih bagus lagi,”uj ar Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam. Sebagai salah satu pabrikan terbesar yang memproduksi mobil di Indonesia, termasuk mobil bermesin diesel, Toyota menilai, sudah saatnya Indonesia menggunakan energi altematif secara masif. Karena selain ramah lingkungan, juga akan menghasilkan penghematan secara ekonomi. “Penggunaan energi altematif seperti biofuel maupun yang lainnya sudah harus di ting-ka tkan,”ujar Bob. Saat ini, terdapat trendshiftingpadapeng-gunaan bahan bakar, yakni penggunaan bahan bakar fosil perlahan bergeser ke bahan bakar terbarukan. Pola pemenuhan energi nasional pun mengalami perubahan dari sebelumnya mengandalkan foreign supply menjadi domestik supply. Penggunaan energi altematif, tentunya sejalan dengan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengoptimalkan sumber daya alam untukmenciptakan kemandirian dan kedaulatan energi. Pemerintah, telah mencanangkan program Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam rangka mengoptimalkan sumber daya alam yangberlimpah di Indonesia, khususnya kelapa sawit, sehingga, selain menghemat impor bahanbakar juga berdampakpada meningkatnya kesejahteraan para petani sawit.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menegaskan, hadirnya inovasi yang menghasilkan produk green energy telah menjawab tantangan energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus tantangan penyerapan minyak sawityangsaatiniproduksinya mencapai angka 42 juta hingga 46 juta metrik ton dengan serapannyasebagai FAME sekitar 11,5 %. Di kilang Plaju, Pertamina juga akan membangun unit green diesel dengan kapasitas produksi sebesar 20.000 barel per hari. “Hal ini membuktikan Pertamina memiliki kemampuan dan daya saing dalam menciptakan inovasi. Terbukti bahwa kami mampumemproduksibahan bakar renewable yang pertama di Indonesia dan hasilnya tidak kalah dengan perusahaan kelas dunia,” tegasnya. Dia menambahkan, Pertamina siap memproduksi green energy lainnya, seperti Green GasoHnedan GreenAvtur dari kilang dalam negeri. Untuk Green Gasoline, Pertamina sudah melakukan uji cobasejak 2018,2019 dan 2020 di kilang Plaju dan Cilacap. Namun, uji coba tersebut baru mampu mengolah minyak sawit RBDPO (refined, bleached, and deodorized palm oil) sebesar 20%. Sedangkan uji coba mengolah minyak sawit menjadi Green Avtur akan dilakukan di kilang Cilacap. Mengolah minyak sawit menjadi green diesel sejatinya sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan lain di dunia. Tetapi mengolah minyak sawit menjadi green gasoline belum pernah dilakukan di dunia dan Pertamina adalah perusahaan pertama yang melakukannya. Selain Dumai, Nicke menegaskan, Pertamina akan membangun Standalone Biorefinery di Cilacap dengan kapasitas 6.000barel perhari dan Standalone Biorefinery di Plaju dengan kapasitas 20.000 barel per hari. Kedua standalone Biorefinery ini kelak akan memproduksi Green Diesel maupun Green Avtur dengan bahan baku 100% minyak nabati.
Inovasi yang dilakukan Pertamina tidak hanya mengembangkan green energy dari CPO atau sawit, tetap juga dari sumber daya lainnya seperti algae, gandum, sorgum dan bahan baku lainnya. Menurut Nicke, Pertamina terus mendayagunakan segala sumber daya alam domestik, untuk mendukung kemandirian dan kedaulatan energi nasional. Mengolah Kelapa Sawit menjadi bahan bakar tentunya akan mengulangi defisittransaksiberj alan. Sebab, Total Kandungan Dalam Negeri (TKDN) produk tersebut sangat tinggi. Salah satu buktinya, implementasi program B20dan B30pada2019berhasil menghemat devisa negara sebesar Rp 43,8 triliun. Pada tahun ini, Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun. Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan apresiasi terhadap kolaborasi Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan mengembangkan inovasibahan bakar biofuel dengan bahan baku CPO. Menristek/KepalaBRIN Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, bahan bakar nabati berbasis sawit diperkirakan akan menjadikan perekonomian Indonesia bergerak lebih cepat dan dapat meminimalisir dampak perlambatan ekonomi yang ki ni mulai melanda banyaknegara di dunia. “Kita wajib memberikan apresiasi kepada semua pihak yang terlibat dalam menelurkan inovasi tersebut,” ujar Bambang. Green diesel D-100 yangdi-cracking menggunakan katalis merah putih, kata Bambang, dapat membantu kebutuhan bahan bakar fosil dalam negeri yangsangat tinggi. “Bahan bakar minyak sawit juga memberi peluangpemberdayaan petani sawit rakyat dalam industri bahan bakubiohidrocarbon, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka,” paparnya. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan sangat penting bagi kelestarian lingkungan. Sebab, selama ini, emisi gas buang kendaraan bermotor menjadi kontributor utamapencemaran udara. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Karliansyah menyatakan, emisi gas buang kendaraan bermotoryangselama ini menjadi moda transportasi sehari-hari masyarakat menyumbang sekitar 80% pencemaran udara. Namun, seiring dengan berkurangnya mobilitas masyarakat di masa pandemi, pencemaran udara akibat emisigas buang kendaraan bermotor berkurang. DataKLHKmenunjukkan, hingga periode Juli 2020, terdapat penurunan tingkat konsentrasi partikel PM 2,5 di beberapa daerah di Indonesia. PM 2,5 adalah partikulat berukuran 2,5 mikrometeryangberadadiasap yangberbahaya bagi pernapasan manusia. Di Jakarta, angkanya turun 15% dengan nilai rata-rata tahun 2020 sebesar 26,87 mg/m3. Tetapi, angka ini masih tinggi karena Indonesia menerapkan standarbaku mutu PM 2,5 sebesar 15 mg/m3, sedangkan menurut panduan WHO, standarbaku mutu PM 2,5 sebaiknya 10 mg/m3. Karenanya, penggunaan bahan bakar yangramahlingkungan wajub dilakukan. Sebab, tak hanya akan memberikan dampak positif dari sisi ekonomi saja, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat.