Pertamax Green 95: Kunci Indonesia Bebas Polusi Udara

Di tengah desakan global untuk energi yang lebih bersih, bahan bakar minyak (BBM) berbasis biofuel muncul sebagai solusi ekonomis dan ramah lingkungan yang menjanjikan. Inilah yang menjadi landasan bagi Pertamina untuk meluncurkan Pertamax Green 95 pada awal Juni mendatang, sebuah inovasi yang digadang-gadang akan mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Bioetanol: Keajaiban Karbon dari Udara
Prof. Mohammad Nurcholis, Guru Besar Ilmu Tanah UPN Veteran Yogyakarta (UPNV YK), menjelaskan secara gamblang mengapa biofuel ini disebut “hijau”. Menurut beliau, semua tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dari udara selama proses fotosintesis, mengubahnya menjadi biomassa, termasuk gula. “Biomassa itu kan bermacam-macam di antaranya gula. Gula itu misalnya di situ tebu, ya tebu itu kemudian menyimpan biomassa sebagai zat gula,” jelas Prof. Nurcholis.
Industri bioetanol yang kini berkembang pesat memanfaatkan molase, produk samping dari industri gula. Molase, meskipun memiliki kadar gula tinggi, tidak ekonomis untuk dijadikan gula konsumsi. “Makanya molase itu difermentasi menjadi etanol. Kemudian jadi etanol itulah kemudian dicampurkan dengan bensin gitu maka itu dinamakan green, karena karbonnya itu bukan dari dalam tanah,” ucap beliau.
Berbeda dengan bahan bakar fosil seperti bensin, solar, atau batubara yang mengambil material karbon dari dalam bumi dan melepaskannya ke atmosfer saat dibakar, etanol yang berasal dari tumbuhan menyerap karbon dari udara. Oleh karena itu, biofuel berbasis etanol tebu ini secara signifikan dapat mengurangi emisi karbon. “Ya secara umum seperti itu, jadi apa tadi saya sampaikan tanaman tebu menyerap karbon dari udara di fotosintesis jadilah gula,” kata Prof. Nurcholis.
Pertamax Green 95: Kontribusi Nyata Terhadap Net Zero Emission 2060
Penggunaan biofuel, imbuh Prof. Nurcholis, akan berkontribusi pada pengurangan emisi karbon secara nasional. Meskipun besaran kontribusinya bergantung pada seberapa banyak bioetanol yang digunakan. “Kalau itu 5 persen jadi E5 itu kan 5 persen bioetanol kemudian 95 persen dari minyak bumi. Maka kemudian ya 5 persen itu secara kasar [mengurangi emisi karbon] sehingga nanti bisa ditingkatkan misalnya di E10 itu kan berarti dia meningkatkan atau mengurangi emisi karbon,” jelas beliau.
Selain persentase campuran bioetanol, cakupan wilayah yang dapat mengakses biofuel juga akan berpengaruh pada besaran pengurangan emisi karbon. Semakin banyak masyarakat yang beralih memanfaatkan energi dari tumbuhan, semakin besar pula pengurangan persentase penggunaan energi fosil dari dalam perut bumi. Upaya ini akan selaras dengan cita-cita besar Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.
Diversifikasi Lahan dan Tantangan Distribusi
Prof. Nurcholis menekankan pentingnya menghitung porsi biofuel dalam proses transisi energi nasional. Ia mengingatkan agar budi daya tanaman penghasil bioetanol tidak mengalahkan porsi budi daya untuk kebutuhan pangan. “Itu kan sudah dipetakan secara nasional. Jangan kemudian lantas nanti pangan itu kalah dengan energi, jangan. Makanya kan harus dipetakan berapa potensinya itu,” tegasnya.
Untuk mendukung distribusi yang efisien, Prof. Nurcholis menyarankan agar setiap provinsi atau pulau memiliki pabrik pembuatan bioetanol. Pendekatan desentralisasi ini akan mengurangi biaya transportasi dan menekan potensi bahan bakar yang hilang. Selain itu, keberadaan pabrik di tiap wilayah juga akan memastikan penyerapan potensi tanaman sumber bioetanol yang dibudidayakan masyarakat sekitar.
Pengembangan BBM biofuel juga berpotensi menciptakan peluang di berbagai sektor, termasuk pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti bekas tambang hasil reklamasi untuk budi daya tanaman penghasil energi. “Yang penting adalah bagaimana mengembangkan biofuel itu di lahan-lahan marginal lahan-lahan yang tidak baik untuk memproduksi pangan mari manfaatkan untuk tanaman-tanaman energi atau energy crops,” tandasnya.
Meskipun tantangan distribusi dan pembangunan pabrik yang tersebar perlu diatasi, Prof. Nurcholis percaya bahwa manfaat bioetanol sangat besar. Dengan proyeksi kebutuhan bensin 50 juta kiloliter pada 2030, penggunaan 5% bioetanol saja akan mengurangi emisi secara signifikan. Beliau juga membagikan pengalaman pribadinya, di mana kendaraannya tidak mengalami masalah saat menggunakan biosolar, memberikan optimisme untuk adopsi yang lebih luas.
Pada prinsipnya, peralihan ke BBM berbasis biofuel akan secara fundamental mengurangi penggunaan energi fosil. “Sepemahaman saya jadi kalau kita ini beralih menggunakan green biofuel, green energy terutama adalah bahan bakar yang ramah lingkungan. Hal yang utama adalah mengurangi penggunaan energi fosil,” pungkas Prof. Nurcholis. Beliau menggarisbawahi pentingnya langkah ini demi masa depan energi Indonesia yang lebih bersih dan berkelanjutan.