Pertamina Berharap Ada Insentif B35
Harian Kontan | Selasa, 21 Februari 2023
Pertamina Berharap Ada Insentif B35
PT Pertamina Patra Niaga selaku Subholding Commercial and Trading PT Pertamina menyalurkan ba-han bakar minyak (BBM) jenis solar yang sudah dicampur bahan bakar nabati 35% (B35) secara bertahap. Strategi ini dijalani untuk mempersiapkan infrastruktur dan operasional perusahaan. Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting menjelaskan, proses penjualan B35 tetap dilakukan secara bertahap. “Bertahap berdasarkan wilayah, di tahap awal ke region 1. 2, 8 dan sebagian region 5,” jelas dia kepada KONTAN, Senin (20/2). Selama 20 hari, penyaluran pertama BS”, Irto mengakui penerimaan masyarakat masih sama karena dari segi harga tidak ada perubahan. Namun dia mengakui, Pertamina akan melakukan beberapa perubahan dari sisi proses daii penambahan biaya dalam penyimpanan maupun proses blending. Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis Pertamina Patra Niaga. Harsono Budi Santoso mengatakan, saat RDP dengan Komisi VH, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses penyaluran B35 yakni tambahan infrastruktur tangki dan blending system, tambahan biaya capex dan kontrol kualitas harus diperketat. Adapun dukungan yang diperlukan Pertamina dalam j proses penyaluran B35 ialah insentif blending Solar dengan Biodiesel (FAME) sebagai kompensasi penugasan sejumlah Rp 110 per liter atas biaya peningkatan infrastruk-tur yang ditanggung Pertamina Patra Niaga. “Kami mengidentifikasi adanya tambahan biaya Rp 110 per liter atas peningkatan infrastruktur, capex maupun untuk operasional.” luar dia Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan-memastikan penyaluran biodiesel ke hilir sejauh ini tidak mengalami hambatan. “Dari industri, penyaluran biodiesel lancar,” kata dia, kemarin.
BERITA BIOFUEL
Kontan.co.id | Selasa, 21 Februari 2023
Ada Program B35, Intip Rekomendasi Saham CPO
Tren kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) berpeluang menjadi katalis positif bagi kinerja emiten perkebunan. Dalam sepekan terakhir hingga Selasa (21/2), harga CPO kontrak Mei 2023 di Bursa Malaysia mengakumulasi kenaikan 4,54%. Alrich Paskalis, Analis Phintraco Sekuritas menilai secara sektoral, optimisme pulihnya permintaan CPO di China dan implementasi biodiesel B35 di Indonesia dapat menjadi katalis positif untuk harga CPO. Alhasil, indikasi penguatan lanjutan harga CPO masih potensial. “Kenaikan harga CPO dipicu oleh adanya kenaikan harga minyak nabati dan minyak mentah dunia,” kata Alrich kepada Kontan.co.id, Selasa (21/2). Pembukaan kembali aktivitas ekonomi China sejak awal tahun memicu harapan bahwa permintaan komoditas tahun ini akan meningkat. Terlebih lagi, China adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Sehingga pemulihan ekonomi di negara tersebut akan memberikan dampak positif untuk Indonesia. Dari domestik, adanya pemberlakuan B35 turut menjadi katalis positif untuk emiten perkebunan. Implementasi B30 berdampak positif untuk emiten perkebunan pada tahun 2021. Alrich mengatakan dampak ini tercermin dari peningkatan pendapatan secara tahunan seperti PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) sebesar 29,72%, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) 29,32%, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) 28,36%, dan PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) 19,22%. Sedangkan di tahun 2023 ini naik menjadi B35. Artinya, kadar bahan bakar nabati yang berasal dari CPO meningkat menjadi 35%. “Hal tersebut dapat memicu potensi kenaikan permintaan yang harusnya akan sejalan dengan peningkatan pendapatan emiten perkebunan,” tutur dia. Sebagai informasi, Indonesia dan Tiongkok adalah konsumen CPO terbesar di dunia. Adanya pemulihan konsumsi di China dan implementasi B35 di Indonesia, secara keseluruhan dapat memberikan kontribusi yang positif untuk emiten CPO di tahun ini. Alrich menyebut, mayoritas emiten CPO masih mampu mencatatkan pertumbuhan pendapatan secara tahunan pada akhir kuartal ketiga 2022. Misanya saja BWPT dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 61,14%, TAPG 51,51%, SSMS 38,46% dan DSNG 30,34%. Di sisi lain, beberapa emiten mencatatkan penurunan pendapatan seperti SIMP -12,67%, LSIP -8,82% dan AALI -8,31%.’
https://investasi.kontan.co.
Bisnis Indonesia | Selasa, 21 Februari 2023
Program E5 Bisa Kerek Harga Pertalite (BAHAN BAKAR NABATI)
Pemerintah memutuskan untuk mencampur bioetanol dengan bahan bakar minyak yang memiliki research octane number atau RON 92, yakni Pertamax untuk menjaga harga jual produk itu di tengah masyarakat. Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, mengatakan pencampuran bioetanol dengan Pertalite yang memiliki RON 90 dikhawatirkan bakal mengerek harga jual bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi tersebut. Alasannya, saat ini harga jual Pertalite yang sebesar RplO.000 per liter masih di bawah harga bioetanol yang senilai Rpl 3.000 per liter. Atas dasar hal tersebut, pemerintah kemudian memutuskan untuk mencampur bioetanol ke Pertamax yang memiliki harga satu level dengan bioetanol. “Kalau dicampur dengan Pertalite nanti ada komponen harga tambahan yang harus dicari cara penyelesaiannya, sehingga sekarang kita melihatnya ke Pertamax,” kata Dadan, Senin (20/2). Dia pun berharap pemilihan Pertamax sebagai BBM yang akan dicampur dengan bioetanol dengan porsi 5 % itu bakal mempercepat implementasi program E5. Targetnya, E5 bisa diterapkan secara efektif pada semester pertama tahun ini seperti yang telah disampaikan oleh Kementerian BUMN. Rencananya, penyaluran perdana Pertamax yang telah dicampur 5% bioetanol per liter itu dilaksanakan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) khusus yang yang ada di Surabaya, karena dekat dengan lokasi produsen bioetanol. Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan distribusi bioetanol membutuhkan proses logistik yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan bahan bakar berbasis fosil. Pasalnya, bioetanol lebih cepat busuk karena berasal dari batangan tebu. “Bahan bakar ini tidak bisa terlalu jauh dari SPBU-nya atau lokasi pengisiannya, karena itu bisa busuk,” katanya. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyebut provinsi yang dipimpinnya memiliki potensi besar dalam pengembangan industri bioetanol dari tebu. Dia pun meyakini bahan bakar nabati yang ada di wilayahnya bisa mendukung penguatan EBT Jawa Timur.
Otobisnis.com | Selasa, 21 Februari 2023
UD Trucks Quester Bersahabat dengan Biodiesel 35%
Mulai 1 Februari 2023, Pemerintah Indonesia menerapkan bahan bakar minyak (BBM) B35, yakni campuran biodiesel 35% dalam minyak Solar, secara nasional. Sebelumnya, berlaku B30. Menurut Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) implementasi B35 dapat mengurangi impor Solar dan diproyeksikan dapat menghemat devisa hingga Rp 161,25 triliun, turut mengurangi emisi gas rumah kaca/GRK hingga 34,9 juta ton CO2e. Salah satu pemain truk di Indonesia, UD Trucks menyambut baik program Pemerintah tersebut. Bahkan, produknya UD Trucks Quester — diluncurkan pada Maret 2022 dan memenuhi regulasi Euro 5 — dapat menggunakan B35. “UD Trucks sebagai salah satu produsen truk di Indonesia juga memiliki komitmen yang sejalan dengan Pemerintah Indonesia untuk menyediakan solusi transportasi ramah lingkungan dan hemat energi dengan Quester. Indonesia menjadi negara pertama untuk mengadaptasi program B35 dengan tujuan untuk mengatasi dampak ubahan iklim. Hal ini sejalan dengan moto kami di UD Trucks untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi planet, masyarakat dan logistik,” kata Vice President PT UD Astra Motor Indonesia, Rahmat Samulo Sementara Christine Arifin, Marketing and Business Development Head UD Astra Motor Indonesia, berharap produk-produk mereka dapat terus dipercaya untuk dapat membantu para pelanggan menjalankan bisnis dan berkontribusi pada lingkungan yang lebih sehat bagi masyarakat. Sejak tahun lalu mereka telah menyiapkan model baru yang dapat memenuhi standar B35, yakni Quester Euro 5. Quester Euro 5 didesain sesuai dengan standar emisi Euro 5 yang menggunakan teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR). Sistem ini memastikan emisi gas buang lebih rendah dengan nitrogen oksida (NOX) diminimalkan. Teknologi SCR dapat menggunakan bahan bakar diesel B35 sambil tetap mempertahankan emisi gas buang karena pengolahan gas buang dilakukan di saluran pembuangan yaitu melalui Catalytic Converter yang mengubah NOX menjadi gas nitrogen dan uap air dengan menyuntikkan cairan AdBlue ke dalam gas buang. Indikator AdBlue dapat dilihat pada instrument cluster kendaraan sehingga pengguna dapat dengan mudah memantau jumlahnya saat beroperasi.
https://otobisnis.com/ud-
Kompas.com | Selasa, 21 Februari 2023
Pertamax Bakal Dicampur Bioetanol, Pengamat: Harganya Akan Lebih Mahal
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk mencampurkan bioetanol atau bahan bakar nabati dengan Pertamax atau BBM dengan kadar RON 92. Terkait dengan hal ini, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai pencampuran 5 persen bioetanol ke BBM Pertamax pada dasarnya menyumbang hanya sedikit pada pengurangan emisi CO2. “Upaya blending atau pencampuran, apakah untuk BBM jenis Pertamax atau Pertalite dengan bietanol tidak tepat sama sekali. Karena untuk menggunakan BBM (bersih), kadarnya hanya 5 persen, menurut saya sisanya masih kotor,” ujar Fahmy saat dihubungi Kompas.com, Selasa (21/2/2023). Di sisi lain, Fahmy menilai blending bioetanol dengan Pertamax, hanya akan membuat harga BBM mengalami kenaikan. Misalkan, jika blending dilakukan pada Pertalite, dari harga Rp 10.000 per liter menjadi Rp 12.000 per liter. “Dengan blending itu harganya kan jadi lebih mahal, karena untuk Pertalite yang harga Rp 10.000, dengan blending itu menjadi Rp 12.000. Dengan begitu, nanti subsidinya jadi naik, begitu juga dengan Pertamax,” lanjutnya. Dia menuturkan, dari pengalaman sebelumnya untuk BBM jenis Premium juga dilakukan blending. Upaya menaikkan kualitas BBM melalui blending dinilai hanya akan menambah biaya, namun hasil yang diharapkan tidak signifikan. “Ini biayanya akan lebih mahal dan tidak ada harga preferensi, atau berapa harga sebenarnya. Jadi kalau Pertamax dicampur bioetanol, akan kesulitan mendapat berapa harga sebenarnya,” kata Fahmi. Fahmi menjelaskan, pengembangan bioetanol 100 persen, lebih efektif daripada 5 persen. Namun demikian, kendala yang terjadi adalah penguasaan teknologi yang masih belum memumpuni. “Lebih baik bioetanol 100 persen, lebih efektif, atau bioetanol yang dikembangkan secara invovatif dikembangkan sebagai BBM yang bersih. Tapi memang pengalaman di Biodiesel baru sampai B35, untuk mencapai B100 butuh teknologi,” ujarnya. “Indonesia harus kerja sama dengan negara lain, jadi lebih baik mengembangkan bioetanol menjadi BBM bersih lingkungan, daripada mencampur dengan Pertamax,” sambungnya. Sebelumnya, Kementerian ESDM menyebutkan, pihaknya berencana untuk mencampur Bioetanol dengan Pertamax. Hal ini dilakukan mengingat komponen harga pembentuk Pertamax sama dengan Bioetanol. Di sisi lain, akan ada harga tambahan yang dibebankan. Hingga berita ini diturukan, Kompas.com masih menunggu jawaban dari Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana terkait rencana tersebut.