CNNIndonesia.com | Senin, 17 Mei 2021
Pertamina Jual Metanol Perdana ke Produsen Biodiesel
PT Pertamina (Persero) menjual produk metanol perdana sebanyak 3.000 metrik ton di pasar domestik. Produk tersebut dijual kepada produsen biodiesel di wilayah Kalimantan Selatan. Wakil Direktur Utama Bisnis Industri Petrokimia Pertamina Oos Kosasih mengungkapkan penjualan metanol merupakan strategi bisnis perseroan dalam melebarkan sayap ke sektor petrokimia. “Strategi ini diturunkan menjadi salah satu program yakni Go Petchem, di mana produk Petrokimia dijadikan ‘engine’ baru perusahaan dalam mencapai growth yang lebih baik lagi,” ujar Oos dalam keterangan resmi, Senin (17/5). Bisnis petrokimia perseroan selanjutnya dijalankan oleh PT Pertamina Patra Niaga selaku Sub Holding Commercial & Trading. Menurut Oos, penjualan metanol kepada industri produsen biodiesel merupakan bentuk sinergi dan simbiosis mutualisme dalam rangka mendukung program pemerintah dalam pemanfaatan metanol untuk dijadikan produk biodiesel sebagai bahan campuran Solar menjadi Biosolar. “Metanol adalah salah satu bahan campuran utama dalam produksi Fatty Acid Methyl Ester atau FAME. FAME inilah yang kemudian dicampur dengan Solar untuk dijadikan produk Biosolar,” lanjutnya. Saat ini, kebijakan pemerintah untuk pemanfaatan biodiesel dalam campuran solar adalah 30 persen atau biasa disebuat Biosolar 30 (B30). SH Commercial & Trading memproyeksikan penjualan produk Metanol nasional bisa mencapai 50 ribu MT pada 2021. Ia berharap komitmen ekspansi perseroan di produk petrokimia dapat memenuhi kebutuhan Metanol khususnya di pasar domestik. Di tahun perdana ini, perusahaan akan terus mengembangkan layanan dalam menyediakan produk-produk petrokimia yang dibutuhkan di Indonesia. “Potensi pasar produk petrokimia ini masih sangat besar, tidak hanya metanol dan kami yakin Pertamina siap memenuhi kebutuhan ini. Kami akan terus menggenjot pemasaran produk Petrokimia ini untuk mendukung ketahanan energi nasional,” jelasnya.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210517121840-85-643231/pertamina-jual-metanol-perdana-ke-produsen-biodiesel
Bisnis.com | Senin, 17 Mei 2021
Genjot Produk Petrokimia, Pertamina Jual Metanol Perdana
PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) memastikan pemasaran produk Petrokimia di pasar domestik. Petrochemical Industry Business SH Commercial & Trading melalui Petrochemical Regional Kalimantan melakukan penjualan 3.000 metrik ton (MT) produk Metanol kepada produsen biodiesel di wilayah Kalimantan Selatan. Vice President Petrochemical Industry Business SH Commercial & Trading Oos Kosasih mengatakan langkah itu adalah komitmen awal Pertamina dalam menyediakan layanan penjualan produk Petrokimia di pasar domestik. Selanjutnya, bisnis Petrokimia akan dijalankan oleh PT Pertamina Patra Niaga selaku Sub Holding Commercial & Trading. “Di tahun ini, SH Commercial & Trading memiliki strategi besar yakni Strategi Ekspansi, salah satunya ekspansi ke produk baru yakni produk-produk Petrokimia. Strategi ini diturunkan menjadi salah satu program yakni Go Petchem, dimana produk Petrokimia dijadikan ‘engine’ baru perusahaan dalam mencapai growth yang lebih baik lagi,” kata Oos Kosasih melalui keterangan tertulis, Senin (17/5/2021). Oos Kosasih melanjutkan, penjualan Metanol kepada industri produsen biodiesel ini adalah bentuk sinergi dalam rangka mendukung program pemerintah terkait pemanfaatan metanol untuk dijadikan produk biodiesel sebagai bahan campuran solar menjadi biosolar. “Metanol adalah salah satu bahan campuran utama dalam produksi Fatty Acid Methyl Ester atau FAME. FAME inilah yang kemudian dicampur dengan solar untuk dijadikan produk biosolar. Saat ini kebiijakan pemerintah untuk pemanfaatan biodiesel dalam campuran solar adalah 30 persen atau biasa kita ketahui sebagai Biosolar 30,” kata dia. Saat ini, SH Commercial & Trading memproyeksikan penjualan produk Metanol nasional di tahun 2021 bisa mencapai 50.000 MT. Harapannya, komitmen Pertamina dalam ekspansi di produk Petrokimia ini dapat memenuhi kebutuhan Metanol khususnya di pasar domestik. “Di tahun perdana ini, Pertamina akan terus mengembangkan layanan dalam menyediakan produk-produk petrokimia yang dibutuhkan di Indonesia. Potensi pasar produk petrokimia ini masih sangat besar, tidak hanya Metanol dan kami yakin Pertamina siap memenuhi kebutuhan ini,” tuturnya.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210517/44/1394416/genjot-produk-petrokimia-pertamina-jual-metanol-perdana
Neraca.co.id | Senin, 17 Mei 2021
Pemanfaatan Jelantah dan Implementasi Nyata Ekonomi Sirkular
Tidak ada satupun masyarakat yang tidak mengenal minyak jelantah. Produk jelantah bahkan mampu menembus batas sekat golongan masyarakat. Sayangnya keterpopuleran tersebut tidak diiringi dengan pemahaman yang memadai mengenai bahaya minyak jelantah jika dikonsumsi secara terus-menerus dalam periode tertentu. Atau premis lainnya menyebutkan bahwa mereka mengerti dampak negatifnya, namun sengaja tidak memperdulikan hal tersebut. Secara teori, minyak jelantah dikenal dengan nama used cooking oil (UCO) yang dapat dikategorikan sebagai limbah atau input jika digunakan untuk menghasilkan produk lainnya. Jika di Indonesia, minyak jelantah sebagian besar justru dikonsumsi oleh masyarakat, di banyak negara, minyak jelantah digunakan sebagai bahan input untuk memproduksi barang lainnya. Seperti halnya yang ada di Indonesia, minyak jelantah juga diproduksi dalam skala masif khususnya di negara-negara berkembang lainnya. Konsumsi minyak jelantah yang tinggi memiliki tingkat korelasi yang erat dengan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan makanan. Padahal seiring dengan kenaikan laju pertumbuhan ekonomi yang disertai ledakan jumlah penduduk, potensi peningkatan produksi minyak jelantah juga ikut membesar. Ditambah dengan makin gencarnya berbagai promosi dan kampanye iklan minyak goreng yang memunculkan faktor ketergantungan masyarakat terhadap minyak jelantah. Dari sisi kesehatan dan medik, minyak jelantah masuk kategori berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan dan terus menerus dalam periode waktu tertentu. Kondisi ini juga diperkuat adanya temuan beberapa zat pemicu munculnya penyakit degenerative seperti kanker, stroke dan penyempitan pembuluh darah. Dari hasil analisis berbagai penelitian kesehatan, minyak goreng yang sudah dipanaskan selama 30 menit pada suhu 1250 C, akan memutuskan rantai-rantai asam lemak serta memunculkan senyawa-senyawa baru yang mengandung racun. Beberapa penelitian lainnya juga memberikan penguatan. Minyak goreng yang dipanaskan secara berulang-ulang, akan mengubah lemak menjadi jenuh sekaligus melepaskan radikal bebas yang bersifat karsinogenik. Di saat bersamaan akan terbentuk akrolein yang sangat berbahaya karena bersifat toxic serta menimbulkan rasa gatal luar biasa pada tenggorokan. Bagi beberapa orang, minyak goreng yang berulang juga meningkatkan konsentrasi kolesterol yang dapat mengganggu peredaran darah sehingga berisiko munculnya aterosklerosis berupa penyumbatan pembuluh darah.
Peran Pemerintah
Mengingat besarnya dampak negatif yang dihasilkan dari konsumsi minyak jelantah oleh masyarakat, sekiranya sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mengelolanya baik di level pemerintah pusat maupun di pemerintahan daerah. Pemerintah pusat dapat mengelola pemanfaatan minyak jelantah untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel ataupun green disesel. Banyak penelitian menyebutkan bahwa biodiesel berbahan baku minyak jelantah terbukti memiliki level emisi yang lebih rendah dibandingkan biodiesel berbahan baku minyak sawit (CPO). Di sisi lain, opsi minyak jelantah menjadi bahan baku biodiesel juga akan mendukung berbagai komitmen pemerintah terkait dengan target Nationally Determined Contribution (NDC) sektor energi, SDG global serta mandatory pengembangan program B30. Jika dirunut sejarahnya, pemenuhan komponen nabati sudah dimulai sejak 2008 dengan program B2,5 yang dilanjutkan program B10 di tahun 2014 kemudian B40 mulai tahun 2020 serta B50 pada 2021. Di beberapa daerah, selain menjadi biodiesel, minyak jelantah juga dapat diolah menjadi minyak bakar serta berbagai jenis produk kecantikan. Karenanya peran pemerintah daerah (Pemda) menjadi sangat vital sebab pemerintah daerah wajib menyusun regulasi baik Peraturan daerah (Perda) atau minimal Peraturan Gubernur/Walikota/Bupati untuk menarik peredaran minyak jelantah di daerah masing-masing. Perlu diinvestigasi juga berapa besar potensi pasokan minyak jelantah yang dihasilkan baik dari hotel/restoran/rumah sakit maupun sekolah melalui survei yang komprehensif. Survei tersebut sekaligus menghitung potensi ekonomi dari pengelolaan minyak jelantah untuk dikembangkan menjadi industri baru. Hasil pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel, dimanfaatkan ulang Pemda menjadi bahan bakar seluruh armada transportasi baik jemputan pegawai, mobil dinas pejabat ataupun truk angkutan sampah. Ketika skala operasionalnya sudah membesar, dapat juga dijalankan untuk armada Trans Kota milik pemda Jika sudah dijalankan, tentu dibutuhkan sebuah mekanisme pengelolaan bisnis di daerah yang lebih memadai. Bentuk yang direkomendasikan dapat berupa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau minimal Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai institusi bisnis yang mewadahinya. Di tahap akhir, perspektif industri dapat ditingkatkan untuk melayani kepentingan ekspor daerah-daerah lainnya. Jika sudah demikian, maka daerah akan menikmati berbagai benefit yang dihasilkan: dampak negatif minyak jelantah dapat diatasi dan masyarakat semakin sehat. Di saat bersamaan, APBD menjadi kuat karena tumbuhnya industri baru pengolahan minyak jelantah menjadi barang yang bernilai positif. Selain pengelolaan minyak jelantah, BLUD juga dapat memperluas skala bisnis pengelolaan sampah karena dalam banyak kasus, pengelolaan jelantah dan sampah di banyak daerah lokasinya berdampingan. Pemerintah juga terus memperbaiki komitmen dan tata kelola terkait sampah mengingat status Indonesia sudah dianggap masuk dalam kategori darurat sampah baik sampah darat maupun sampah laut. Peran pemerintah juga diharapkan terkait mekanisme insentif dan dis-insentif. Insentif pemerintah pusat dapat dilewatkan melalui skema dana kelolaan yang berada di Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS). Perlu dipahami bahwa komitmen pemenuhan mandatory B30 meski memiliki tujuan positif, juga memiliki potensi negatif berupa perluasan lahan perkebunan kelapa sawit apabila tidak dihadirkan opsi lainnya. Akan sangat kontradiksi jika nantinya di satu sisi pemerintah memiliki target NDC, di sisi lain justru terjadi pola progresivitas perluasan pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit demi memenuhi mandatory B30 yang sesungguhnya juga mendukung pemenuhan NDC.
Pemerintah daerah dapat berperan memberikan insentif dan dis-insentif berupa pengurangan tarif pajak hotel dan restoran dapat dijalankan bagi pihak-pihak yang mau menyetorkan minyak jelantahnya kepada pemerintah. Hasil pengumpulan minyak jelantah kemudian diolah secara mandiri melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) atau diserahkan kepada perusahaan swasta yang ada di daerah via kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan pemanfaatan ini diharapkan belanja APBD untuk operasional bahan bakar dapat lebih dihemat untuk mengkompensasi penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akibat memberikan penurunan tarif pajak hotel dan restoran. Keseriusan pemerintah mengatasi permasalahan sampah nasional sekaligus mengupayakan adanya perubahan menuju paradigma circular economy dari pemanfaatan daur ulang sampah. Secara teori, circular economy ini sendiri merupakan respon atas besarnya tekanan produksi dan konsumsi sumber daya alam dan lingkungan. Di sisi lain circular economy ini sebetulnya dapat dimaknai lebih sederhana ketika dinyatakan bahwa semua sistem kehidupan berfungsi secara maksimal ketika komponen satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Produksi barang dilakukan dengan mendesain material agar dapat di daur ulang sehingga selalu ada nilai tambah dari setiap perubahan yang dilakukan dan menekan residu sampah hingga nol. Dan pemanfaatan minyak jelantah sebagai biodisel jelas menjadi contoh implementasi terbaik dari konsep ekonomi sirkular tersebut.
https://www.neraca.co.id/article/146290/pemanfaatan-jelantah-dan-implementasi-nyata-ekonomi-sirkular
Wartaekonomi.co.id | Senin, 17 Mei 2021
Tips Membeli Kebun Kelapa Sawit Ini di Era Penerapan B30
Kelapa sawit sudah menjadi isu sentral, terkhusus setelah diberlaukannya B-30 (blending 30% minyak sawit dengan 70% solar). Dampaknya adalah sangat mempesona, harga CPO (minyak sawit mentah) dunia melambung tinggi (tertinggi pada periode 20 tahun terakhir). Tidak ada teori lain mengapa harga CPO sampai melambung tinggi kecuali hanya satu ‘serapan domestik CPO adalah control harga CPO dunia’. Harga TBS Petani sawit yang mengelola 42% Perkebunan sawit Indonesia pun terdampak positif. Dua kali penghujung bulan Ramadhan pun berbuah senyum bagi petani sawit di 22 Provinsi Perwakilan APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia). Akibat melambungnya harga CPO tentu berdampak naiknya harga semua bahan makanan dan energi baru terbarukan (EBT), mulai dari kosmetik, makanan, obat-obatan, industri pewarna, biodiesel, dan ribuan material kebutuhan manusia yang berbahan baku minyak sawit lainnya. Petani sawit yang 42% pengelola perkebunan sawit di Indonesia patut mendapat bintang lima, mengapa? Ya karena produk Biodiesel (B30) adalah sumbangsih maha karya dari petani sawit, sekalipun harga CPO melambung tinggi namun harga Biodisel di SPBU tetap stabil, ini dikarenakan sumbangan Petani sawit melalui Pungutan Eksport (PE) 255 USD per ton CPO tujuan eksport, yang di pungut-kelola oleh BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, di bawah kendali Kementerian Keuangan). Semakin melambung harga CPO dunia maka sumbangan Petani yang dipungut (PE) oleh BPDPKS akan semakin naik (progresif). Bagi kami pungutan ini adalah cara kami petani sawit berguna untuk negara yaitu NKRI. Perlu dicatat bahwa PE ini bukan pajak, bukan APBN, tapi lebih tepat disebut sumbangan yang dikelola oleh BPDPKS, berbeda dengan Bea Keluar (BK) CPO yang disetor ke negara (pajak). Jika menggunakan harga patokan CPO dunia, maka harga Biodisel (biosolar) di SPBU bisa pada angka Rp. 10.600/liter atau lebih, karena faktanya harga CPO (minyak mentah sawit) pada dua tahun terakhir jauh diatas minyak bumi. Maka dengan Pungutan Ekspor tadi masyarakat Indonesia cukup membayar Rp.5.150/liter Biosolar di SPBU, kren kan?. Bauran (blending) minyak sawit dengan minyak solar murni ini adalah pilihan matematis berwarna merah putih, itu adalah fakta, bukan hoaks, dan petani sawit menyumbang 42% untuk bauran tersebut, semakin terpesona kepada petani sawit Indonesia. Kami petani sudah melakukan perhitungan dan pembanding. Setelah Presiden Jokowi meresmikan Mandatori B30 berlaku per Januari 2020, harga TBS praktis naik terus (di atas Rp.1.900/kg), ya benar kami memang menyumbang melalui PE, harga TBS kami berkurang rerata Rp.363/Kg TBS tiap pungutan ekspor 255 USD tersebut dan ini yang kami sebut give, tapi kami Petani menerima (take atau receive) kenaikan (sebagai dampak) harga TBS Rp. Rp.1.755/kg (harga TBS saat ini Rp.2.555 dimana sebelum B30 harga TBS Rp.800/kg), jadi kami masih untung Rp. 1.392/kg, dan ini lah yang kami sebut take. loh kok bisa? Ya karena sebelum Mandatori B-30, harga TBS kami hanya berputar diangka Rp. 800-1.200/kg TBS. Tapi saat ini (periode minggu ke dua Mei 2021) harga TBS berkisar Rp.2.250-2.555/kg, karena teori serapan domestic CPO tadi, harga TBS terjaga. Selain untuk bauran B30 tadi (serapan domestic), sebagian dari take kami tadi (Rp.363/kg TBS) kami sumbang untuk riset, peningkatan SDM, Sarpras, beasiswa anak-anak petani buruh tani serta pemerhati sawit Indonesia melalui BPDPKS, terimakasih BPDPKS untuk visi dan misinya. Namun timbul gejolak : Karena ingin disebut sebagai Petani Sawit Terpesona dan tergiur dengan kenaikan harga TBS tadi, membuat masyarakat Indonesia banyak gelap mata membeli kebun sawit atau tanah kosong untuk dijadikan kebun sawit dan sedihnya kebanyakan berujung terperosok (bukan terpesona), sebagian ke rumah sakit dan sebagian lagi ke aparat hukum. Mengapa demikian ? karena kebun atau tanah yang dibeli tersebut bukan panen TBS tapi panen masalah. Nah untuk itu, jika ingin membeli kebun sawit atau membeli lahan untuk dijadikan kebun sawit, dan supaya menjadi Petani yang Terpesona penyumbang PE, harus memperhatikan hal-hal berikut ini.
I. Jika ingin membeli kebun sawit, kaji-teliti:
1. Konflik vertikal
yaitu Status Kawasan kebun sawit tersebut, apakah Kawasan hutan atau tidak (non-kawasan hutan). Konflik Vertikal ini adalah konflik dengan negara sebagai pemangku Kawasan hutan. Untuk mengetahuinya mudah sekali, dengan mendowload aplikasi pintar GPS di hp android yang saat ini sangat banyak, semisal aplikasi Avenza. Atau bisa berkordinasi ke Dinas Kehutanan/Perkebunan setempat atau bisa langsung menghubungi perwakilan DPD APKASINDO yang tersebar di 144 Kabupaten Kota di 22 DPW Provinsi APKASINDO, kami siap membantu. Memang saat ini sudah terakomodir untuk sawit dalam Kawasan hutan atas dasar keterlanjuran, di didenda melalui PP UUCK (UU Omnibuslaw), namun tetap saja menambah biaya karena harus kena denda sekian rupiah per hektar (jika penanaman sebelum Oktober 2020).
2. Konflik horizontal
Konflik Horizontal ini adalah konflik antara petani dengan petani, petani dengan masyarakat adat, dan petani dengan pemegang izin konsesi/HGU/HPH. Konflik horizontal ini lebih pelik dan ribet dibanding dengan konflik Vertikal apalagi dengan konflik pemegang izin konsesi HGU atau HPH. Untuk mensiasati jangan sampai kejadian membeli kebun yang berkonflik horizontal ini sebaiknya beratanya ke aparat desa atau tetangga kebun yang akan dibeli. Dan untuk menghindari konflik dengan pemegang konsesi harus bertanya ke Dinas Perkebunan atau Kehutanan, jangan bertanya ke tetangga kebun, sebab jawabannya akan selalu bias (mencari teman sependeritaan).
3. Cek lokasi kebun ke akses jalan umum
Kebun yang berlokasi jauh dipedalaman cenderung menambah biaya. Seperti biaya pembuatan jalan, perawatan jalan dan Apalagi jika harus melewati jalan perkampungan, ini akan lain lagi ceritanya.
4. Jarak kebun dengan PKS
PKS (pabrik kelapa sawit) adalah tujuan dari kita berkebun sawit. Jika jarak kebun ke PKS jauh (melebihi 10-20 km) maka akan menambah biaya produksi yang cukup lumayan. Idealnya ongkos memindahkan TBS sampai ke PKS maksimum Rp. 150/kg TBS.
5. Surat kepemilikan kebun
Surat tanah ditengah masyarakat seperti SKGR (surat keterangan ganti rugi) atau SKT (surat keterangan tanah), kedua surat ini adalah syah karena diteken para sempadan tanah dan diketahui/diverifikasi oleh aparat desa/kelurahan melalui tanda tangan masing-masing. Alangkah lebih baik memang jika sudah sertifikat hak milik. Yang perlu diperhatikan di SKT dan SKGR adalah letak posisi tanah, karena dengan keterbatasan aparat desa/kelurahan mengenai teknik perpetaan maka sering terjadi salah meletak posisi tanah.
6. Luasan tanah yang dibeli
Idealnya jika kita berkebun sawit dengan tujuan menambah penghasilan atau tabungan masa tua/pensiun kelak dan kita tidak tinggal diseputaran kebun, idealnya luas yang dibeli adalah 6-25 hektar. Namun jika kita mengerjakan sendiri kebun yang kita beli tersebut, luasan 4 ha sudah cukuplah, dengan asumsi penghasilan bersih 1,2 juta/ha/bulan (jika memenuhi kriteria GAP, good agricultural practices).
7. Asal dan jenis bibit sawit yang sudah tertanam
Untuk memastikan sumber bibit sawit memang hal yang rumit karena pemilik kebun yang akan dibeli tersebut pasti berdalih ASLI. Jika pemilik kebun masih memiliki sertifikat sumber bibit/kecambah, maka dapat menghubungi produsen bahan tanaman tersebut, semisal PPKS Medan, Damimas atau dapat menghubungi perwakilan APKSINDO setempat untuk memastikan kebenarannya. Bagaimana jika samasekali tidak memiliki dokumen sertifikat bibit? Nah jika tanamannya sudah berumur panen (TM=Tanaman Menghasilkan), maka dapat dilihat dari brondolan TBS, jika daging buahnya tebal dan cangkangnya kecil (jenis Tenera) maka dapat di indikasikan pohon sawit nya adalah hasil persilangan DxP (hybrid, berasal dari produsen bahan tanaman resmi). Cara pengambilan brondolan ini harus diambil secara acak, minimum sampel brondolan yang diambil hasilnya 80% jenis Tenera (DxP). Misalnya jika 2 Ha (260 batang), maka Brondolan yang diambil harus 25% dari total populasi (65 pohon). Bibit yang tidak hybrid, hasil panennya sekitar 30% dari produksi normal selama 25 tahun masa produktif sawit.
8. Aspek agronomis
Kebun yang akan kita beli harus kita perhatikan juga aspek perawatan kebun oleh pemilik sebelumnya. Pernahkah dipupuk, ditunas, jarak tanam, populasi tanaman per hektar, badan jalan panen dan batas sempadan. Yang perlu disoroti adalah jarak tanam, banyak yang mengasumsikan semakin banyak populasi per hektar maka semakin banyak hasilnya. Hal ini salah dan fatal. Pada umumnya jarak tanam kelapa sawit adalah 8x9m atau 9×9 m, namun dengan menggunakan metode tertentu dapat juga 7,8 x 9m. Jika kecil dari jarak tanam ini sebaiknya jangan dibeli, sekalipun bibitnya hybrid (DxP), dengan jarak tanam yang terlampau sempit maka tidak akan pernah menghasilkan panen yang optimum. Populasi per hektar nya juga harus juga kita cermati. Kadang-kadang luas kebun 10 ha, namun populasinya hanya setara dengan luasan 6 hektar, karena sawitnya banyak yang mati atau rusak, sementara ketika membeli kebun tersebut yang dihitung luasnya tetap 10 hektar.
II. Jika membeli tanah Kosong
Jika kita ingin membeli tanah kosong, cukup memperhatikan poin I.1 sampai poin I.6. jangan pernah terkecoh, harus ikuti prosedur 1-6 tersebut jika tidak ingin bermasalah kedepannya.
https://www.wartaekonomi.co.id/read341712/tips-membeli-kebun-kelapa-sawit-ini-di-era-penerapan-b30
Sindonews.com | Senin, 17 Mei 2021
Tim Mahasiswa UNAIR Gagas Bahan Bakar Biodiesel Alternatif bagi Nelayan
Tim mahasiswa FKM PSDKU Universitas Airlangga (UNAIR) Banyuwangi menggagas inovasi bahan bakar biodiesel alternative untuk nelayan. Melalui gagasannya ini, tim inipun berhasil meraih prestasi yakni mendapatkan pendanaan atas proposal yang diajukan pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2021. PKM bidang pengabdian masyarakat yang berasal dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) PSDKU UNAIR ini terdiri dari Wulan Syarani Asdam, Muhammad Bahtiar Afandi, Indah Ayu Afsari, Sarda Ika Devi, dan A’yun Zul Silmi. Ketua Tim PKMPM Wulan Syarani Asdam menjelaskan, inovasi ini berawal dari permasalahan konsumsi minyak bumi di dunia yang tinggi, bertolak belakang dengan ketersediaan minyak bumi tersebut. Hal ini menyebabkan harga minyak bumi melonjak tinggi. Harga bahan bakar tinggi merupakan suatu masalah tersendiri bagi nelayan. “Jadi kami berinovasi untuk menggantikan bahan bakar fosil menjadi bahan bakar yang terbarukan. Yang mana salah satu dari energi terbarukan itu dapat berasal dari limbah minyak kelapa sawit atau biasa disebut sebagai minyak jelantah,” katanya dilansir dari laman resmi UNAIR di unair.ac.id, Senin (17/5). Minyak jelantah, sambungnya, merupakan salah satu limbah atau sampah rumah tangga yang sangat mudah ditemukan. Selain itu, pengelolaan minyak jelantah yang kurang baik dapat menyebabkan pencemaran pada lingkungan. Ia dan tim pun berinovasi menggantikan bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan yakni minyak jelantah. “Kami ingin memanfaatkannya dengan memberdayakan ibu rumah tangga di daerah pantai ujung muncar agar dapat mengolah limbah minyak jelantah menjadi bahan yang lebih bermanfaat yaitu biodiesel. Sehingga dapat digunakan nelayan di daerah tersebut sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan dan ekonomis,” ujarnya. Anggota Tim Indah Ayu Afsari menuturkan, tujuan dari PKM BIOTA ini yaitu, untuk mengenalkan biodesel yang terbuat dari minyak jelantah kepada nelayan pantai ujung muncar. Selain itu, sambungnya, sebagai sarana dalam mengurangi pencemaran akibat limbah minyak jelantah. “Tujuan PKM BIOTA selain untuk memberdayakan masyarakat khususnya ibu rumah tangga yang berada di daerah pantai ujung muncar, yaitu, sebagai edukasi untuk mengurangi pencemaran akibat terbuangnya limbah minyak jelantah. Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar biodiesel alternatif bagi nelayan,” ujarnya.
https://edukasi.sindonews.com/read/428948/211/tim-mahasiswa-unair-gagas-bahan-bakar-biodiesel-alternatif-bagi-nelayan-1621217146