Program B35 Bisa Mengangkat Harga CPO, Tapi Cuma Jangka Pendek
Kontan.co.id | Senin, 16 Januari 2023
Program B35 Bisa Mengangkat Harga CPO, Tapi Cuma Jangka Pendek
Harga crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah masih belum kembali ke level akhir tahun 2022 lalu. Sejumlah kebijakan seperti penerapan penggunaan biodiesel B35 mulai 1 Februari 2023 diprediksi bakal membantu mengangkat harga CPO. Melansir Trading Economics, Senin (16/1) pukul 18.02 WIB, harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia naik ke RM 3.852 per ton. Namun, angka itu lebih rendah dibandingkan dengan penutupan harga CPO tahun 2022, sebesar RM 4.174 per ton. Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuabi mengatakan, implementasi program bahan bakar nabati B35 akan menjadi sentimen positif agar harga CPO kembali menyentuh RM 4.000 per ton. Namun, ada ketidakpastian produksi CPO yang masih terjadi, sehingga langkah tersebut tetap menjadi tantangan. “Pemerintah RI dan Malaysia saat ini memang sudah melakukan produksi besar-besaran. Namun, kondisi saat ini berbeda, terutama setelah RI menutup ekspor CPO untuk menjaga stabilitas minyak goreng di dalam negeri,” kata Ibrahim. Akibat dari langkah tersebut, kata Ibrahim, harga CPO mulai sesuai dengan harga fundamental. Oleh karena itu, sangat wajar jika CPO masih akan berada di bawah RM 4 000 per ton selama 2023. “Kebijakan B35 memang punya potensi menguatkan harga CPO, tetapi tak akan bertahan lama dan akan kembali di bawah RM 4000 per ton tahun ini,” katanya. Senada, Analis DCFX Futures Lukman Leong mengatakan, kebijakan B35 bisa membantu menaikkan harga CPO, tetapi hanya short-term. “Kita juga belum tahu kebijakan ini realisasinya akan seperti apa. Perlu diingat juga Eropa masih dalam usaha phase out penggunaan CPO, sehingga kemungkinan bisa menjadi sentimen penurunan harga CPO,” ujar Lukman.
https://investasi.kontan.co.
CNBCIndonesia.com | Senin, 16 Januari 2023
Meski Dilema, Pemerintah Gencar Kembangkan Biodisel
Pemerintah berulang kali menegaskan bahwa pengembangan biodiesel yang merupakan salah satu sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) memiliki peran strategis dalam berbagai aspek pembangunan. Salah satunya, berkontribusi dalam aksi perubahan iklim Tanah Air. Terbukti, Pada 2021, nilai ekonomi dari implementasi B30 mencapai lebih dari US$ 4 miliar dan berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 25 juta CO2e. Kalau kita telusuri lebih dalam, kebijakan ini didukung oleh kondisi pandemi di mana pergerakan orang masih terbatas. Pemenuhan permintaan energi seiring dengan pulihnya kegiatan ekonomi pasca pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya energi terbarukan dalam bauran energi primer. Pemerintah menargetkan peningkatan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi 23% pada 2025 dari 11% saat ini. Bersama dengan sektor Forest and Land Use (FoLU), energi menjadi sektor prioritas pemerintah dalam upaya penurunan emisi GRK. Pemerintah mencatat kontribusi sektor energi terhadap emisi GRK mencapai 36%. Kalau melihat faktanya, dari Handbook of Energy & Economic Statictic of Indonesia 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, realisasi bauran EBT tahun 2021 sebesar 12,2%. Meskipun dalam tren yang meningkat, tapi masih jauh dari target. Dengan capaian tersebut, Indonesia memiliki waktu kurang lebih 3 tahun untuk mencapai targetnya. Secara historis, program biodiesel telah menjadi pendorong utama energi terbarukan peningkatan bauran energi primer, terutama sejak diperkenalkannya subsidi biodiesel dari BPDPKS pada tahun 2016. Pangsa biodiesel cepat meningkat dari 0,7% pada 2015 menjadi 3% pada 2019. Dengan demikian, biodiesel menjadi salah satu upaya pemerintah mewujudkan transisi energi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel menyumbang 4,1% dari total 11,7% bauran EBT nasional. Meski berperan dalam transisi energi, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan bahan bakar. Ada banyak penyebab juga yang akarnya dari sini yang dapat memunculkan sejumlah risiko jika tidak dikelola secara keberlanjutan. Hal ini justru akan kontradiktif dengan upaya Indonesia dalam menurunkan emisi GRK serta memberi sejumlah dampak negatif dari sisi lingkungan maupun sosial dan ekonomi. Pemerintah mencanangkan program mandatori biodiesel dengan campuran sawit sejak 2008. Bermula dengan kadar campuran 2,5% kini persentase campuran biodiesel telah mencapai 30%. Meski demikian, pemanfaatan biodiesel dengan campuran crude palm oil (CPO) yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) tersebut memicu kekhawatiran sejumlah pihak. Biodiesel memang berperan sebagai langkah awal Indonesia beralih dari energi fosil ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya di sektor transportasi. Namun, mengingat berbagai risiko yang mungkin muncul, tapi peran biodiesel di masa depan perlu dipertimbangkan. Biodiesel masih berperan dalam kendaraan atau alat berat yang bahan bakarnya tidak dapat digantikan tenaga listrik seperti genset, kapal, pesawat, hingga truk. Sebab, kebutuhan tenaga listrik untuk sektor energi akan semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi kendaraan listrik. Meski begitu, emisi yang dihasilkan biodiesel berbasis CPO cukup besar. misi biodiesel sudah dihasilkan sejak fase perkebunan sawit. Sumber emisi itu berasal dari proses alih fungsi lahan, pembibitan, pemupukan, penggunaan BBM untuk kendaraan pengangkut, hingga penggunaan listrik. Malaysia juga mulai mengakui hal ini. Seperti diketahui, Malaysia pada Kamis (12/1/2023) mengancam akan menghentikan ekspor CPO ke Uni Eropa (UE) sebagai bentuk protes diskriminasi kawasan tersebut terhadap komoditas CPO. Undang-Undang (UU) Uni Eropa yang baru akan mengatur pembelian/penjualan CPO secara ketat sebagai upaya untuk melindungi hutan. UU tersebut akan melarang minyak sawit dan komoditas lain yang ditengarai melakukan deforestasi. Pengecualian diberikan jika mereka bisa menunjukkan komoditas tersebut tidak andil dalam merusak hutan. Menteri Komoditas Malaysia Fadillah Yusof mengatakan Indonesia dan Malaysia terus mendiskusikan UU baru tersebut. “Jika kita kita harus menggandeng ahli-ahli dari luar negeri untuk melawan balik langkah Uni Eropa maka langkah itu akan kita lakukan,” tutur Fadilah seperti dikutip dari Reuters. “Atau opsi lainnya adalah kita bisa saja menghentikan ekspor ke Eropa. Kita akan fokus ke negara lain jika Uni Eropa mempersulit kami untuk melakukan ekspor ke mereka,” tambah Fadillah. Berdasarkan data Dewan Sawit Malaysia (MPOBD), Uni Eropa adalah pasar terbesar ketiga bagi CPO Malaysia dengan kontribusi sekitar 9,4%. Ekspor CPO dan produk turunannya dari Malaysia ke Uni Eropa diperkirakan mencapai 1,47 juta ton pada 2022, turun 10,5% dibandingkan 2021.