RI Punya Bahan Bakar Pengganti Bensin, Gak Perlu Impor!

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

CNBCIndonesia.com | Rabu, 15 Mei 2024

RI Punya Bahan Bakar Pengganti Bensin, Gak Perlu Impor!

Indonesia memiliki bahan bakar baru pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) yang saat ini kebutuhannya masih di dapat melalui impor. Bahan bakar itu ialah Bahan Bakar Nabati (BBN). Hal itu seperti yang dikatakan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Nicke mengungkapkan upaya mengurangi impor BBM dilakukan dengan meningkatkan ketahanan energi, keterjangkauan energi, aksesibilitas energi, hingga keberlanjutan energi. Salah satu cara yang didorong oleh Pertamina, kata Nicke, bisa melalui pengembangan program bioenergi seperti biodiesel, biogasoline, dan bioavtur. “Dan kami yakin masih banyak potensi keberlanjutan di Indonesia, kami dapat meningkatkan program bioenergi, biodiesel, bio gasoline, bahan bakar penerbangan berkelanjutan, dan juga carbon offsetting seperti natural base solution dan CCUS,” ujar Nicke dalam acara Indonesian Petroleum Association (IPA) Convex, di ICE BSD, Tangerang Selatan, Selasa (14/5/2024). Saat ini Pertamina mendorong penggunaan bahan bakar berbasis nabati untuk jenis bahan bakar diesel melalui pencampuran antara BBM dengan bahan bakar basis sawit sebesar 35% (B35). Adapun pencampuran olahan sawit dengan BBM tersebut akan terus dikembangkan hingga B60 atau pencampuran bahan bakar sawit sebesar 60% pada BBM. “Salah satu program prioritas kami adalah biofuel. Kami mulai dengan B35 saat ini dan kami akan menambahkan pencampuran hingga B60. Dan dari B25 sebenarnya kita sudah mengurangi emisi karbon sekitar 32,7 juta ton CO2 per tahun jadi kita akan tambah lagi hingga B60 sesuai dengan kebijakan energi nasional,” jelasnya. Untuk jenis biogasoline, lanjut Nicke, pihaknya saat tengah mengembangkan campuran bioetanol atau bahan bakar basis tetes tebu (molase) dengan BBM. Saat ini, perusahaan telah menjual secara komersial BBM dengan campuran bioetanol sebesar 5% (E5) yakni pada produk BBM Pertamax Green 95. Kelak, bioetanol akan mencapai E40 atau pencampuran hingga 40% pada BBM. “Bioetanol, sekarang kita mulai dari bahan bakar non subsidi dengan nama E5 dan E7 Pertamax Green 92 dan 94 dan kita akan tambahkan blendingnya hingga E40 untuk semua bahan bakar,” bebernya. Selain itu, pihaknya juga saat ini sudah mulai memproduksi bahan bakar penerbangan melalui SAF (Sustainable Aviation Fuel) dengan mencampurkan bioavtur basis sawit sebesar 2,4% pada bahan bakar pesawat. “Hal ini juga mematuhi kebijakan energi nasional dan kami akan memproduksi dan sudah mulai memproduksi SAF dengan 2,4% pencampuran CPO dengan bensin dan juga avtur kami,” tandasnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20240515094438-4-538189/ri-punya-bahan-bakar-pengganti-bensin-gak-perlu-impor

 

Bisnis Indonesia | Rabu, 15 Mei 2024

BBM Berkualitas ‘Hijau’ Perlu Perhatian

Otoritas hilir minyak dan gas bumi menyetujui usulan agar subsidi bahan bakar minyak diberikan kepada produk yang memiliki kualitas tinggi dan lebih ramah lingkungan, sesuai dengan spesifikasi Euro 4. Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Saleh Abdurrahman mengatakan, idealnya subsidi energi saat ini melekat kepada produk yang memiliki kualitas tinggi dan ramah lingkungan. Meski begitu, pemerintah tetap perlu mempertimbangkan harga jualnya dan beban subsidi atau kompensasi yang bakal dikeluarkan. “Memang idealnya yang diberikan subsidi itu BBM yang berkualitas, idealnya begitu,” katanya, Selasa (14/5). Menurutnya, pemerintah saat ini memiliki pekerjaan rumah untuk memastikan kepastian pasokan bahan baku bioetanol sebagai campuran untuk Pertamax Green Series di sisi hulu untuk keberlanjutan BBM berkualitas tinggi. “Pemerintah perlu mempertimbangkan harga, kesiapan infrastruktur dalam negeri, dan bioetanol terutama [untuk campuran] 5% sampai 7%.” Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati sebelumnya berharap usulan pengalihan subsidi Pertalite dapat menjaga harga Pertamax Green tetap sama dengan harga yang saat ini berlaku untuk Pertalite yang mendapat kompensasi dari pemerintah. Menurutnya, subsidi pada produk Pertamax Green 92 lebih menguntungkan dari sisi pengembangan industri hulu bioenergi, serta pengurangan emisi dari sektor transportasi ketimbang mengalihkan subsidi pada bensin dengan kadar oktan rendah. “Tentu ini akan kami usulkan, kami bahas lebih lanjut dan tentu saja ketika ini menjadi program pemerintah, Pertamax Green 92 harganya pun regulated, tidak mungkin diserahkan ke pasar karena ada mekanisme subsidi atau kompensasi di dalamnya.” Dengan begitu, dia menuturkan, Pertamina nantinya hanya akan menjual tiga produk BBM, yakni Pertamax 92, Pertamax 95 (hasil campuran etanol 8%), serta Pertamax.