RI Sudah Jalankan B30, Malaysia Baru Mau B20 di Akhir 2022!

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

CNBCIndonesia.com | Rabu, 5 Januari 2022

RI Sudah Jalankan B30, Malaysia Baru Mau B20 di Akhir 2022!

Negeri Jiran Malaysia berencana untuk menerapkan program mandatori biodiesel 20% atau B20 pada akhir 2022. Hal tersebut diungkapkan oleh Dewan Kelapa Sawit Malaysia pada hari ini, Rabu (05/01/2022), seperti dikutip dari Reuters. Program mandatori pencampuran kandungan Bahan Bakar Nabati (BBN) berbasis minyak sawit atau Fatty Acid Methyl Esters (FAME) sebesar 20% pada minyak solar (gas oil) atau B20 di Malaysia ini mulanya direncanakan diterapkan untuk sektor transportasi pada Januari 2020, namun harus ditunda karena adanya pembatasan aktivitas masyarakat saat pandemi Covid-19 melanda. “Kita akan menjalankannya setahap demi setahap tergantung kemampuan keuangan pemerintah,” ungkap Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Malaysia Ravi Muthayah dalam sebuah seminar, seperti dikutip dari Reuters. Berbeda dari Malaysia, Indonesia sudah lebih maju untuk penerapan biodiesel. Indonesia kini telah menjalankan program mandatori biodiesel 30% atau B30 dan bahkan sedang menuju tahap B40. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan alokasi biodiesel untuk dalam negeri pada 2022 sebesar 10.151.018 kilo liter (kl), naik dari alokasi biodiesel 2021 yang telah direvisi menjadi 9.413.033 kl. Penetapan alokasi biodiesel 2022 ini telah disahkan melalui Keputusan Menteri ESDM No. 150.K/EK.05/DJE/2021, tanggal 30 November 2021 tentang Penetapan Badan Usaha Bahan Bakar Minyak dan Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel serta Alokasi Besaran Volume untuk Pencampuran Bahan Bakar Minyak Jenis Minyak Solar Periode Januari – Desember 2022. Adapun untuk penyaluran program biodiesel pada 2022 ini akan didukung oleh 22 Badan Usaha (BU) BBM dengan kapasitas terpasang sebesar 15.493.187 kl dan kemampuan produksi tahunan sebesar 13.527.527 kl. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, peningkatan alokasi biodiesel pada 2022 ini dengan pertimbangan asumsi pertumbuhan permintaan Solar sebesar 5,5%, estimasi permintaan Solar sebesar 33,84 juta kl, sehingga kebutuhan alokasi biodiesel pada 2022 diestimasikan sebesar 10,1 juta kl. “Pemerintah berharap penyaluran biodiesel tahun 2022 dapat dilakukan dengan lebih efisien dan meminimalkan terjadinya keterlambatan atau gagal supply (B0),” ujarnya, seperti dikutip dari keterangan resmi Kementerian, dikutip Rabu (01/12/2021). Sementara terkait kesiapan RI menjalankan program B40, Dadan mengatakan saat ini kajian teknis di laboratorium sudah dilakukan. Dia menyampaikan, untuk menjalankan mandatori ini, perlu dukungan semua pihak, mulai dari kalangan pabrikan seperti kendaraan dari Agen Pemegang Merk (APM). “Untuk B40 ya sudah selesaikan kajian teknis di lab, supaya program ini jalan baik harus dapatkan dukungan,” ungkapnya. Pemerintah saat ini juga sedang menyiapkan rencana untuk sosialisasi dari B40 ini ke masyarakat. Langkah selanjutnya kata Dadan adalah mengetes kondisi di lapangan, di mana ini menjadi bagian dari langkah setiap kali meningkatkan campuran biodiesel. “Kami sedang siapkan untuk proses sosialisasi B40, sedang disusun perencanaan dan kenalkan pada masyarakat dan tes kondisi di lapangan yang sebenarnya setiap peningkatan campuran biodiesel step gitu,” lanjutnya. Lebih lanjut dia mengatakan, tes di lapangan dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan khususnya produsen teknologi. Ketika sudah terjadi kesepakatan, maka bisa diimplementasikan. “Dengan step seperti itu, enam bulan pertama di 2022 tetap di B30. Rencana sekarang 2022 masih akan pastikan juga dari sisi pendanaan,” ujarnya. Dadan menjelaskan, selama ini pendanaan berasal dari pungutan ekspor sawit. Jumlah pungutan dia sebut cukup untuk B30, namun dengan pola saat ini belum cukup untuk B40. “Kalau pastikan B40 jalan, nilai pungutan diperbesar atau harapkan selisihnya sedikit, sekarang Rp 5.100 solar dan biodiesel, berapa insentif, Rp 5.100 ditambah ongkos angkut,” paparnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220105194921-4-304948/ri-sudah-jalankan-b30-malaysia-baru-mau-b20-di-akhir-2022

CNBCIndonesia.com | Rabu, 5 Januari 2022

Ngeri! Pertarungan Energi Vs Pangan, Terjadi di Minyak Goreng

Pertarungan kepentingan energi dan pangan kini benar-benar terjadi. Saat terjadi lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri, ada desakan dari pengusaha agar mandatori B30 atau kewajiban pencampuran minyak sawit sebanyak 30% pada solar kembali dikurangi. Dengan kata lain kebijakan mandatori B30 turut menjadi sasaran untuk menekan lonjakan harga minyak goreng di Tanah Air. Produsen minyak nabati nasional, GIMNI menyebutkan, untuk menahan laju harga minyak goreng, harus dilakukan dengan memangkas konsumsi CPO di dalam negeri. Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang adalah bahan baku minyak goreng, memang tengah bergerak liar di pasar internasional. Akibat kurang pasokan global saat permintaan bergerak naik pasca pelonggaran PPKM di sejumlah negara dan daerah Indonesia. Ditambah gangguan cuaca yang menekan tingkat produksi minyak nabati dunia. Jelang akhir tahun 2020, permintaan CPO dunia bergerak naik 2,3% dan meningkat jadi 3,2% di tahun 2021. Sementara produksi Indonesia meleset dari target 51,5 juta ton menjadi hanya 50,3 juta ton. Produksi CPO Malaysia juga diperkirakan drop 12% dari sebelum pandemi Covid-19. Dipicu pengetatan pembatasan aktivitas masyarakat saat pandemi, berdampak pada terbatasnya pemanen. “Produksi rapeseed oil dan kedelai global juga drop. Secara total, produksi minyak nabati dunia anjlok 3,5% di tahun 2021. Padahal, setelah lockdown mulai dilonggarkan, permintaan meningkat. Jadi, short supply picu kenaikan harga,” Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/1/2022). Produksi minyak nabati dunia tahun 2022 diprediksi tidak akan berbeda dibandingkan tahun 2021. Sementara permintaan dunia diprediksi naik jadi 240,4 juta ton dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 240,1 juta ton. Menurut Sahat, sekitar 84,7 juta ton diantaranya adalah minyak sawit (CPO dan PKO). “Dengan ekspektasi produksi minyak sawit Indonesia tahun 2022 relatif baik, short supply global diprediksi masih berlanjut. Sehingga harga CPO kemungkinan masih akan bertengger di rentang RM 4.900 per metrik ton atau Rp 14.300 per kg untuk harga Dumai,” kata Sahat. Untuk menekan laju permintaan yang diharapkan bisa membatasi lonjakan harga CPO dan produk turunannya, Sahat mengusulkan pemerintah untuk sementara menurunkan mandatori biodisel dari B30 menjadi B20. Hal ini bisa mengurangi tekanan permintaan, sehingga bisa berimbas pada turunnya harga bahan baku minyak goreng. “Dengan begitu, konsumsi CPO untuk biodiesel akan berkurang 3 juta ton. Ini cukup untuk memenuhi kebutuhan 1 tahun minyak goreng curah di dalam negeri,” kata Sahat. Di sisi lain, dia menambahkan, pemerintah bisa membantu mengurangi beban masyarakat berpenghasilan rendah yang paling terpengaruh lonjakan harga minyak goreng. Dengan memberikan subsidi langsung dengan menggunakan dana APBN. “Tapi, subsidi harus langsung kepada konsumen yang berpenghasilan rendah. Bisa dengan kartu. Jangan diberikan subsidi kepada produsen, apalagi menggunakan dana BPDPKS. Nanti bisa-bisa kita diajukan ke WTO, jadi malapetaka,” kata Sahat.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220105101521-4-304699/ngeri-pertarungan-energi-vs-pangan-terjadi-di-minyak-goreng