Sawit Strategis Dukung Ketahanan Energi dan Berkontribusi Entas Kemiskinan

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Gatra.com | Selasa, 14 September 2021

Sawit Strategis Dukung Ketahanan Energi dan Berkontribusi Entas Kemiskinan

Deputi Pengkajian Strategik Lembaga Ketahanan Nasional RI, Prof. Reni Mayreni, mengatakan bahwa sektor pengembangan industri kelapa sawit sangat strategis bagi pembangunan perkebunan di Indonesia karena mampu menjadi pengungkit dan pelopor pembangunan agrobisnis nasional. “Minyak sawit merupakan produk pertanian yang paling siap sebagai sumber energi terbarukan, kehadiran minyak sawit menjadi biodiesel sangat strategis untuk mendukung upaya pemerintah mengantisipasi krisis energi di masa depan serta membantu menekan subsidi Bahan Bakar Minyak atau BBM yang berasal dari energi minyak mentah,” ungkapnya. “Ada dua potensi energi yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit, yaitu biodiesel dan biopower. Biodiesel dihasilkan dari pengolahan lebih lanjut dari minyak kelapa sawit, sementara biopower dihasilkan melalui penggunaan residu pengolahan tandan buah segar atau TBS sebagai bahan bakar bagi pembangkit listrik,” kata Prof Reni. Hal ini disampaikan Prof Reni dalam webinar nasional Strategi Penguatan Kebijakan Pengelolaan Sawit Secara Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional yang diselenggarakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Membawa materi “Menjaga Kedaulatan Negara Melalui Optimalisasi Pemanfaatan Kelapa Sawit Sebagai Sumber Energi Terbarukan”, Prof Reni menuturkan bahwa industri ini juga berkontribusi dalam pembangunan daerah, sebagai sumber daya penting untuk pengentasan kemiskinan. Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurachman menyatakan bahwa ekonomi Indonesia akan mulai pulih di tahun 2021 ini. Kebijakan pemerintah melanjutkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN di APBN, serta implementasi UU Cipta Kerja dan pelaksanaan vaksinasi, akan dapat mendorong aktivitas ekonomi, peningkatan konsumsi dan investasi, sehingga ekonomi akan pulih di tahun 2021. “Faktor utama pendorong ekonomi Indonesia 2021 antara lain penanganan pandemi Covid-19, yakni pengendalian kasus Covid-19 serta ketersediaan vaksin di tahun 2021,” kata Eddy.

Faktor lainnya, lanjut Eddy, yakni dukungan kebijakan fiskal ekspansif untuk melanjutkan Program Ekonomi Nasional. Dukungan sisi permintaan melalui penguatan bantuan sosial, dukungan sisi penawaran berfokus pada insentif pajak, serta bantuan kredit dan jaminan untuk UMKM dan koperasi. “Lalu faktor lainnya seperti percepatan reformasi dan sumbangan sektor industri sawit dan energi sangat berpengaruh. Implementasi program Mandatori B30 yang dapat dipertahankan selama pandemi.” tuturnya. Eddy juga menuturkan bahwa BPDPKS diberikan amanah untuk membuat program-program untuk pembangunan sektor perkebunan sawit. “Semua program yang kami lakukan tujuannya untuk sustainability perkebunan sawit, bukan hanya corporate tetapi juga perkebunan rakyat,” kata Eddy lagi. Sementara itu, Akademisi yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia atau IKABI, Tatang H Soerawidjaja mengumpamakan bahwa pohon Kelapa Sawit adalah anugerah Yang Maha Kuasa bagi wilayah tropika. “Kenapa saya katakan anugerah, karena pohon kelapa sawit adalah pohon penghasil minyak-lemak pangan paling produktif yakni sekitar 5 ton/ha/tahun minyak sawit mentah + sekitar 0,5 ton/ha/tahun minyak inti-sawit mentah. Kedua minyaknya bermutu sangat baik, mudah untuk dibuat produk apa pun, baik itu aneka produk pangan, energi seperti bahan bakar nabati, dan BBN, maupun aneka produk industri pengolahan,” kata Tatang. Ketua Umum APKASINDO, Gulat Medali Emas Manurung menyampaikan bahwa kebijakan Biodiesel B30 telah membantu stabilisasi harga CPO dan berdampak positif bagi peningkatan harga TBS di tingkat petani. Selain itu, Gulat juga menawarkan solusi untuk keberlanjutan industri sawit, yakni dengan melakukan koordinasi ke Kementerian LHK/BPN/Kementan untuk memfasilitasi Pekebun terkait pelepasan status kawasan khususnya perkebunan kelapa sawit rakyat dalam RPP UU Cipta Kerja. Webinar Nasional Strategi Penguatan Kebijakan Pengelolaan Sawit Secara Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat dalam Rangka Ketahanan Nasional diselenggarakan BPDPKS bekerja sama dengan Jurnalisme Profesional untuk Bangsa. Kegiatan yang dilaksanakan secara daring ini di hadiri oleh Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn.) Dr. Moeldoko selaku keynote speaker dan narasumber-narasumber yaitu Dr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc. Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Prof. Dr. Reni Mayerni, MP. Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas, Eddy Abdurrachman Direktur Utama BPDPKS, Dr. Ir. Tatang Hernas S. Dosen Fakultas Teknik Industri ITB, Master Parulian Tumanggor Ketua Umum APROBI, dan Gulat Medali Emas Manurung Ketua Umum APKASINDO.

https://www.gatra.com/detail/news/522717/info-sawit/sawit-strategis-dukung-ketahanan-energi-dan-berkontribusi-entas-kemiskinan

 

 

BERITA BIOFUEL

 

 

 

Bisnis.com | Selasa, 14 September 2021

Gawat! Indonesia Bisa Kehilangan Ekspor CPO hingga Ribuan Triliun

Indonesia berpotensi kehilangan ekspor kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) hingga ribuan triliun pada periode 2020-2025. Hal itu tertuang dalam kajian yang dikeluarkan LPEM FEB UI dengan judul “Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan”. Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah mengatakan kebijakan biodiesel yang progresif turut berdampak pada penghematan devisa yang tidak sesuai harapan. Mengacu pada estimasi dari tiga skenario kebijakan biodiesel (B20, B30, dan B50), potensi kehilangan ekspor CPO terendah mencapai Rp782 triliun pada periode 2020-2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20. “Proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp1.825 trilliun pada periode yang sama,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti dikutip, Selasa (14/9/2021). Selain akan mengganggu kinerja ekspor CPO, dia mengatakan potensi kehilangan tersebut juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah. Pada Juli 2020, data Buletin Statistik Perdagangan Internasional Ekspor Indonesia yang diterbitkan oleh BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai US$2,7 miliar atau setara dengan Rp38,4 triliun. Sementara itu, untuk produk turunannya mencapai US$6,2 miliar atau setara dengan Rp 88,3 triliun. Kebijakan biodiesel yang agresif menurutnya akan mendorong penggunaan CPO yang semakin banyak di dalam negeri sehingga berpotensi menurunkan nilai ekspor CPO. Saat kebijakan B20 ini pertama kali diluncurkan, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar pada neraca berjalan akan mencapai Rp79,2 trilliun. “Ternyata penghematan impor solar yang dilaporkan pada 2019 hanya mencapai Rp48,9 triliun,” jelasnya. Selain itu, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar untuk neraca berjalan di tahun 2020 bisa mencapai Rp112,8 triliun akibat implementasi B30. Namun, perkiraan tersebut belum memperhitungkan penurunan potensi ekspor kelapa sawit. Dari simulasi perhitungan berdasarkan skenario implementasi B30, akumulasi penghematan netto dari neraca berjalan yang dapat dicapai pada 2020 hingga 2025 sebesar Rp44 triliun. Dia menuturkan penghematan proyeksi bersihnya lebih rendah dari perkiraan pemerintah. Menurutnya, Penghematan impor solar yang dinarasikan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan hasil proyeksi perhitungan dilakukan LPEM FEB UI pada periode yang sama. “Kami mempertimbangkan perhitungan faktor hilangnya potensi ekspor kelapa sawit yang bisa menjadi devisa negara. Menurut kami, faktor ini perlu diperhitungkan pemerintah karena adanya proyeksi keterbatasan pasokan kelapa sawit untuk keperluan domestik,” jelasnya. Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan pun sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia. Apabila perbedaan harga CPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. “Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” tambah Alin.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20210914/9/1441989/gawat-indonesia-bisa-kehilangan-ekspor-cpo-hingga-ribuan-triliun