Seminar Nasional Kolaborasi untuk Negeri dari ExxonMobil Sosialisasikan Biodiesel untuk Industri Pertambangan dan Otomotif Indonesia

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas.com | Minggu, 26 Maret 2023

Seminar Nasional Kolaborasi untuk Negeri dari ExxonMobil Sosialisasikan Biodiesel untuk Industri Pertambangan dan Otomotif Indonesia

Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (PERTAABI) bersama PT ExxonMobil Lubricants Indonesia (EMLI) menyelenggarakan Seminar Nasional Kolaborasi untuk Negeri di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Rabu (22/2/2023). Seminar bertema “Peluang, Tantangan, dan Solusi Penggunaan Biodiesel, B35 dan B40, untuk Mendukung Iklim Usaha Pertambangan dan Otomotif di Indonesia” tersebut bertujuan untuk mendukung penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan di sektor industri. “Pemilihan pelumas yang tepat akan mendukung para pelaku industri dalam mengimplementasikan program perubahan (penggunaan biodiesel B30) ke B35 dan B40,” ujar President Director PT EMLI Syah Reza dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (1/3/2023). Sebagai informasi, sektor industri terus mengembangkan teknologi ramah lingkungan dengan cara memanfaatkan bahan-bahan organik dan juga hemat energi. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan perubahan iklim, emisi gas, limbah, dan polusi di Indonesia. Salah satu yang dikembangkan adalah pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif yang memiliki manfaat lebih baik untuk lingkungan dan alat-alat industri. Penggunaan biodiesel juga telah menjadi program pemerintah. Pada 2023, pemerintah meningkatkan pencampuran biodiesel menjadi 35 persen sampai 40 persen atau disebut B35 dan B40. Adapun seminar nasional tersebut merupakan bentuk kesadaran dari pelaku sektor industri untuk dapat berkolaborasi dengan pemerintah dalam penerapan B35 dan B40. Tujuannya, agar hasil dari penerapan kebijakan tersebut dapat meningkatkan pajak dan memberikan dampak positif bagi bisnis. Acara tersebut diikuti oleh 120 orang dari berbagai sektor, seperti kontraktor pertambangan, industri alat berat dan otomotif, konstruksi dan manufaktur, fatty acid methyl ester (FAME), fuel and lubricants industry, sektor umum, lembaga pendidikan, serta asosiasi industri dan profesional. Pada seminar tersebut, biodiesel menjadi topik utama yang dibahas oleh pembicara dari berbagai asosiasi. Penjelasan mengenai biodiesel, mulai dari sejarah, latar belakang, manfaat penggunaan, tantangan, kendala, hingga solusi praktik yang disarankan untuk penggunaan biodiesel dibahas secara tuntas. Tidak hanya itu, peserta seminar juga akan mendapatkan rekomendasi produk unggulan dan berkualitas untuk mengoptimalkan alat-alat yang menggunakan bahan bakar biodiesel. Adapun pemateri yang didapuk sebagai pembicara pada seminar tersebut berasal dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT EMLI, dan berbagai asosiasi, seperti PERTAABI, Masyarakat Pelumas Indonesia (MASPI), Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATO), Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), serta Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi). Pada kesempatan tersebut, para pemangku kepentingan asosiasi juga berbagi pengetahuan dan pengalaman, termasuk strategi yang pernah diterapkan dalam penggunaan bahan bakar biodiesel. Hal ini diharapkan dapat membantu pelaku bisnis di Indonesia untuk mendapatkan manfaat dari penggunaan biodiesel.

https://biz.kompas.com/read/2023/03/26/130910728/seminar-nasional-kolaborasi-untuk-negeri-dari-exxonmobil-sosialisasikan

 

BERITA BIOFUEL

 

Bisnis.com | Jum’at, 24 Maret 2023

Permintaan Biofuel yang Tinggi Picu Krisis Bahan Baku

Tingginya permintaan biofuel sebagai bahan bakar akan mendorong kelangkaan minyak nabati sebagai sumber makanan. Hal ini meningkatkan perdebatan antara makanan versus bahan bakar. Mengutip dari Bloomberg, Jumat (24/3/2023), pemerintah AS, Brasil dan banyak negara termasuk Indonesia gencar mencari alternatif bahan bakar menggunakan tumbuhan seperti kedelai atau kanola, atau bahkan lemak hewani.  Hal ini sebagai upaya untuk beralih dari bahan bakar fosil dan mengurangi emisi. Alhasil, ini menciptakan peluang bagi biofuel berbasis kelapa sawit, bahan alami kontroversial yang ditemukan hampir dalam semua produk pangan.  Permintaan yang begitu tinggi membuat produsen memburu minyak jelantah dan sludge, produk limbah dari pengolahan minyak sawit, sebagai bahan baku biofuel. Ambisi yang tinggi ini mungkin menghadapi tantangan. Perang dan cuaca ekstrem membatasi pasokan minyak nabati dari sumber lain seperti kedelai dan bunga matahari.  Di Argentina, kekeringan parah telah menghancurkan produksi kedelai dari negara juara piala dunia ini, yang memang dikenal sebagai pengekspor utama minyak tersebut. Sedangkan di Eropa, pembatasan penggunaan pestisida beracun lebah akan mengekang penanaman tumbuhan Rapeseed yang bergantung pada penyerbuk.  Sementara invasi Rusia yang sedang berlangsung ke Ukraina akan memangkas ekspor minyak bunga matahari. Direktur Eksekutif Oil World Thomas Mielke menerangkan dengan pertumbuhan produksi minyak nabati yang diperkirakan akan melambat, biofuel dapat mendorong pasar global ke dalam defisit pada paruh kedua tahun ini. Ia menilai AS, Eropa, Brasil, dan Indonesia bertanggung jawab atas sebagian besar pertumbuhan konsumsi bahan bakar biodiesel, solar terbarukan, dan biojet.  AS menggunakan campuran bahan baku seperti minyak kedelai, minyak lobak, minyak goreng bekas, dan lemak hewani.  Eropa memproduksi dari limbah, residu, dan minyak rapeseed. Indonesia terutama menggunakan minyak sawit untuk memproduksi biodiesel, sedangkan Brasil mengandalkan minyak kedelai. Tren ini secara luas diharapkan menguntungkan minyak sawit, sebuah produk yang mendapat sorotan dalam beberapa tahun terakhir di tengah laporan deforestasi dan kerja paksa.  Dengan minyak sayur dan minyak nabati saingan yang semakin banyak digunakan dalam biofuel, beberapa permintaan akan meluas ke kelapa sawit, menurut James Fry, Ketua Perusahaan Konsultan Pertanian yang berbasis di Oxford LMC International Ltd. Tapi pasar minyak sawit mungkin tidak bisa mengimbangi. Produksi di Indonesia dan Malaysia, yang bersama-sama menyumbang 85 persen dari pasokan dunia, mengalami stagnasi.  Hal itu dikarenakan mulai tuanya usia pohon sehingga tidak produktif dan lambatnya penanaman kembali, cuaca yang tidak menentu serta pembatasan deforestasi yang membatasi ekspansi cadangan lahan. Ancaman terhadap pasokan, terutama dari perubahan iklim, akan mendorong keniakan harga komoditas pertanian dan memperlambat upaya dunia mengubah makanan menjadi bahan bakar.  Badan Energi Internasional telah memperingatkan bahwa membengkaknya permintaan biofuel dan menjulangnya krisis bahan baku, jika tidak diatasi, akan merusak potensi biofuel untuk berkontribusi pada upaya dekarbonisasi global. Tahun lalu, invasi Rusia ke Ukraina mengganggu perdagangan minyak bunga matahari global dan mendorong permintaan minyak kelapa sawit dan kedelai, membuat harga mencapai rekor tertinggi.  Bahkan kemudian, sebagian besar negara tidak melonggarkan kebijakan biofuel mereka yang menyebabkan penurunan permintaan di beberapa konsumen minyak nabati, terutama dari negara berkembang. “Dalam periode kekurangan pasokan, penjatahan permintaan yang diperlukan tidak boleh dilakukan hanya di pundak konsumen makanan. Ini adalah pelajaran yang harus kita pelajari dari tahun lalu,” terang Mielke.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20230324/44/1640356/permintaan-biofuel-yang-tinggi-picu-krisis-bahan-baku

Tribunnews.com | Senin, 27 Maret 2023

Usli Sarsi : B30 Dapat Menyeimbangkan Harga CPO

Menurut Usli yang juga Direktur Utama PT Mahkota Group Tbk, peningkatan B30 menjadi B35 bentuk komitmen pemerintah dalam penggunaan energi baru terbarukan, demi mencapai kemandirian Indonesia di sektor energi. “Ini tentunya harus kita dukung bersama sampai akhirnya menjadi B100,” sebut Usli. Dijelaskan biodiesel merupakan campuran antara Bahan Bakar Nabati (BBN) berbasis minyak kelapa sawit dengan BBM diesel. Dengan begitu persentase pencampuran BBN ke dalam BBM jenis minyak solar dari 30 persen (B30) menjadi 35 persen(B35). Penerapan B35 yang dilakukan pemerintah per 1 Februari 2023 sangat baik untuk menjaga balancing atau menyesuaikan dari sisi permintaan atau demand. “Selama hasil sawit berupa Crude Palm Oil (CPO) lebih banyak untuk kebutuhan ekspor. Hal ini menjadi sangat rentan dipermainkan negara luar. Tapi dengan adanya peningkatan kebutuhan hasil sawit di dalam negeri salah satu dengan penerapan B30 menjadi B35 maka dapat menjaga keseimbangan harga. Negara pengimpor hasil sawit tidak akan dengan mudah mempermainkan harga sawit Indonesia.” ungkap Wakit Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumatera Utara (APINDOSU) membidangi pertanian dan perkebunan. Usli Sarsi kepada analisa melalui sambungan telepon, Jumat (24/3). Menurut Usli yang juga Direktur Utama PT Mahkota Group Tbk, peningkatan B30 menjadi B35 bentuk komitmen pemerintah dalam penggunaan energi baru terbarukan, demi mencapai kemandirian Indonesia di sektor energi. ” Ini tentunya harus kita dukung bersama sampai akhirnya menjadi B100,” sebut Usli. Dijelaskan biodiesel merupakan campuran antara Bahan Bakar Nabati (BBN) berbasis minyak kelapa sawit dengan BBM diesel. Dengan begitu persentase pencampuran BBN ke dalam BBM jenis minyak solar dari 30 persen (B30) menjadi 35 persen(B35). Itu berarti penggunaan BBM dapat dikurangi dan diganti dengan BBN. Ia mencontohkan penerapan B30 tahun 2022 lalu lebih dari 11,5 juta kiloliter (KL) BBN berbasis minyak kelapa sawit disalurkan untuk biodiesel. Pengurangan penggunaan BBM solar yang harus di impor dapat menghemat devisa sekitar US$ 8,34 miliar atau setara lebih dari Rp 122 triliun. Tidak hanya itu, dari pelaksanaan B30 telah menyerap tenaga kerja lebih dari 1,3 juta orang serta pengurangan emisi Gas Rumah Kaca(GRK) sekitar 27,8 juta ton CO2e. Dengan dilakukan peningkatan penggunaan BBN untuk biodiesel dari B30 menjadi B35 otomatis kebutuhan minyak sawit untuk kebutuhan biodisel semakin meningkat dari 11,5 juta KL menjadi sekitar 13,5 juta KL. Begitu pula penyerapan tenaga kerja dan pengurangan emisi GRK juga meningkat. Kalau sekarang terjadi penurunan harga dan ekspor CPO itu bukan berarti penerapan B35 yang dilakukan pemerintah tidak mampu meningkatkan harga CPO. “Harga CPO dunia sangat dipengaruhi dengan supply dari minyak nabati lain ” kata Usli. Negara Eropa sangat melindungi petani bunga matahari, kedelai dan nabati lainnya. Negara Eropa sangat menyadari minyak nabati bunga matahari, kedelai dan nabati lainnya tidak mampu mengimbangi minyak sawit. Dari segi biaya produksi minyak sawit jauh lebih murah, begitu juga dengan hasil produksi jauh lebih banyak. Harga minyak bunga matahari dan kedelai tidak bisa mengimbangi minyak sawit. Pada saat di negara Eropa ketersediaan minyak nabati berupa bunga matahari dan kedelai meningkat, maka permintaan minyak sawit mengalami penurunan. Sebaliknya bila persediaan minyak nabati berupa minyak bunga matahari dan kedelai berkurang maka permintaan minyak sawit meningkat. “Dengan kebutuhan minyak sawit terus ditingkatkan di dalam negeri, akan menjadi ancaman bagi negara pengimpor sawit. Mereka tidak bisa lagi mempermainkan harga sawit karena kita sudah menyeimbangkan permintaan sawit,” tegas Usli.

https://medan.tribunnews.com/2023/03/27/usli-sarsi-b30-dapat-menyeimbangkan-harga-cpo