Serapan B30 hingga Agustus Capai 58% dari Alokasi
Katadata.co.id | Senin, 13 September 2021
Serapan B30 hingga Agustus Capai 58% dari Alokasi
Kementerian ESDM mencatat realisasi serapan dari program mandatori B30 hingga Agustus 2021 mulai menunjukkan peningkatan. Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan realisasi penyaluran program B30 hingga Agustus telah mencapai 5,72 juta Kilo liter (KL). “Sampai dengan Agustus sudah 58% dari alokasi yang ditetapkan tahun ini,” kata Feby kepada Katadata.co.id, Senin (13/9). Pada semester I 2021, realisasinya baru mencapai 46,7% dari alokasi yang ditetapkan pada tahun ini. Feby pun optimistis serapan B30 hingga akhir tahun ini dapat mencapai target sesuai alokasi yang telah ditetapkan pemerintah. Meskipun penyerapan biodiesel sendiri berlangsung di tengah kondisi pandemi Covid-19. Pada 2021, pemerintah menetapkan alokasi biodiesel sebesar 9,2 juta KL. Hal itu didukung oleh 20 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU-BBN) yang mengikuti pengadaan FAME dan 20 BU-BBN yang wajib mencampur BBN jenis biodiesel dengan BBM jenis minyak solar. Rata-rata serapan setiap bulan diperkirakan sebesar 766 ribu kL. Sejak Januari hingga Juni 2021, capaian rerata pemenuhan pemesanan pembelian (purchase order) bulanan mencapai 93,03%, dengan serapan terendah pada Januari dan tertinggi pada Juni 2021. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pandemi Covid-19 diperkirakan memperlambat penyerapan biodiesel akibat adanya pembatasan mobilitas, sehingga terjadi penurunan serapan biodiesel baik di sektor transportasi maupun industri. Namun, pemerintah optimistis di akhir tahun penyerapan biodiesel dapat semaksimal mungkin. Beberapa kendala yang terjadi dalam penyaluran biodiesel pada Semester I ini antara lain, terbatasnya tangki penyimpanan, keterlambatan dalam unloading FAME yang diakibatkan kepadatan di jetty, dan terjadi kerusakan peralatan di pabrik BUBBN. Untuk memastikan penyaluran B30 berjalan lancar dan tidak adanya penyaluran B0 (solar murni) beberapa upaya terus dilakukan, antara lain mendorong percepatan penyiapan tangki penyimpanan tambahan, penambahan fasilitas jetty, meningkatkan pengawasan, dan mengimbau kepada industri BUBBN untuk menghindari unplanned maintenance.
Mongabay.co.id | Senin, 13 September 2021
Menimbang Kebijakan Bahan Bakar Nabati dari Sawit
Biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) yang saat ini mengandalkan sawit digadang-gadang bakal berperan penting dalam mencapai target nationally determined contribution (NDC) 2030. Dalam dokumen NDC terbaru yang diserahkan pemerintah Indonesia kepada PBB Juli lalu, implementasi biofuel di sektor transportasi mesti mencapai 90-100% dengan target sawit sebagai bahan baku utama. Benarkah BBN sawit berperan tekan krisis iklim, atau malah sebaliknya? Untuk mencapai net zero emission 2060 atau lebih cepat, biofuel juga akan untuk pembangkit listrik. Dalam dokumen NDC disebutkan, target kapasitas terpasang BBN 14 gigawatt dan B50 sebesar 52,3 juta kiloliter sampai 2050 atau 46% dari total energi transportasi yang akan diproduksi secara berkelanjutan. Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, pengembangan BBN nasional masih banyak tantangan, terutama karena didominasi satu komoditas feedstock, yakni, sawit. Dengan pertimbangan ekonomi yang dilematis, dampak dari single feedstock ini akan mengancam ketersediaan lahan yang berkaitan hutan dan gambut. “Penurunan emisi jadi tidak terlalu relevan jika dilihat life cycle analysis-nya,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. Selain itu, katanya, Instruksi Presiden (Inpres) No 8/2018 yang akan berakhir 19 September 2021 ini akan berpengaruh pada kebijakan tentang BBN. Instrumen ini, seharusnya efektif mencegah ekspansi lahan dan mendorong peningkatan produktivitas serta menurunkan emisi nasional. “Bagaimana memastikan BBN beragam komoditasnya, relisience, ada transparansi di rantai suplai hingga bisa menelusuri rantai pasok di Indonesia? Bagiamana agar ambang batas deforestasi tidak terlampaui?” kata Anggalia Putri, Knowledge Manger Yayasan Madani Berkelanjutan. Pemerintah menginisasi kebijakan BBN sejak 2006. Mulanya, ia bertujuan mendorong bauran energi dan melepaskan diri dari energi fosil. Langkah ini kemudian jadi strategi mencapai target penurunan emisi nasional yang tertuang dalam dokumen NDC 2030 dan pencapaian net zero emission di sektor energi. Dengan pencampuran BBN dalam bahan bakar untuk transportasi diharapkan impor solar menurun dan potensi dalam negeri dapat ditingkatkan. “Permintaan BBN dipengaruhi laju elektrifikasi tranpsortasi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Tanpa kendaraan listrik, katanya, kebijakan B30 hanya menggantikan 7% dari konsumsi bahan bakar pada 2050. Peningkatan kontribusi BBN lebih besar dapat terjadi dengan produksi drop in biofuel. Fabby bilang, elektrifikasi moda transportasi akan menurunkan kebutuhan minyak sawit untuk produksi BBN. Penggunaan kendaraan listrik di transportasi darat juga dapat menurunkan permintaan BBM. “Jika merujuk peta jalan Kementerian Perindustrian, kendaraan listrik dapat membatasi kenaikan konsumsi BBM 40% saat ini,” katanya. Selain itu, penetrasi kendaraan listrik dan peningkatan energi terbarukan pada sistem kelistrikan dan BBN rendah karbon dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor transportasi. Asumsi faktor emisi grid turun dari 820 gCO2/kWh di 2020 jadi 400 gCO2/kWh. “Dengan catatan, BBN diproduksi berkelanjutan tanpa perubahan emisi lahan.” Karena itu, kata Fabby, pengembangan infrastruktur BBN perlu mempertimbangkan perkembangan teknologi dan permintaan untuk mengurangi risiko menjadi stranded asset. Pembangunan kilang BBN juga perlu mengantisipasi perkembangan kendaraan listrik dan teknologi bahan bakar lain di masa depan. Ada peluang untuk mengkonversi kilang BBN jadi pabrik bahan kimia berbasis nabati. Pemilihan teknologi biofuel yang akan dikembangkan pun, katanya, harus menyesuaikan dengan arah permintaan. “BBN memiliki peran dalam mendukung transisi energi menuju dekarbonisasi di Indonesia dengan syarat produksi memenuhi standar keberlanjutan, keekonomian kompetitif, dan pasokan berkesinambungan,” katanya. Fabby mengingatkan, tujuan transisi energi adalah menurunkan emisi gas rumah kaca pada batas aman hingga mencegah kenaikan temperatur global tidak melebihi 1,5 derajat celcius. Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada sektor transportasi dapat dengan mensubstitusi BBM dengan bakar lain yang rendah, bahkan zero carbon. BBN berperan memasok kebutuhan bahan bakar untuk sektor transportasi terutama transportasi darat karena penetrasi kendaraan listrik tidak dapat mensubstitusi seluruh populasi kendaraan yang aktif hingga 2050. Tak hanya itu, katanya, pemanfataan BBN harus mempertimbangkan batasan keberlanjutan pada produksi bahan baku, pengumpulan, transportasi dan proses pembuatan. Dekarbonisasi sistem energi memerlukan bahan bakar rendah karbon dari hasil berkelanjutan serta harga kompetitif dengan teknologi bahan bakar lain. “Jika produksi BBN dari CPO (crude palm oil) dengan membuka lahan baru, jelas menyebabkan carbon footprint BBN lebih tinggi dan tidak compatible dengan tujuan transisi energi menuju dekarbonisasi.” Pertimbangan lain, kata Fabby, perlu eksplorasi penggunaan bahan baku BBN lain, generasi kedua dan ketiga sebagai pilihan. “CPO yang sustainable tidak cukup memenuhi kebutuhan bahan bakar di masa depan.”
Agus Saptono, Koordinator Pelayanan dan Pengawasan Usaha Bioenergi, Direktorat Bioenergi, Dirjen EBTKE KESDM bilang, program mandatori BBN bertujuan menurunkan impor solar signifikan. Catatan KESDM, impor solar pada 2020, sebesar 3,1 juta kiloliter, turun dari 2019, sejumlah 3,3 juta kiloliter dan 6,5 juta kiloliter pada 2018. Pertimbangannya, Indonesia punya potensi CPO sangat besar, 52 juta ton pada 2020. Luas lahan sawit 16,3 juta hektar, 40% petani kecil. “BBN diharapkan ikut mengurangi emisi gas rumah kaca dan menstabilkan harga CPO,” kata Agus. Konsumsi biodiesel dengan target terus meningkat dari 8,4 juta kl pada 2020 jadi 9,6 juta kl pada 2025. Kapasitas industri biodiesel terpasang target naik 13,43 juta kl pada 2020 jadi 15,99 juta kl pada 2025. Data realisasi distribusi biodiesel hingga semester pertama 2021 mencapai 4,3 juta kl atau 46,8% dari alokasi, sampai Juli naik 5,05 kl atau 54,99%. Sementara alokasinya, berdasarkan Kepmen ESDM No 103/2021, volume biodiesel 9,2 juta kl dengan 22 badan usaha BBN dan 19 badan usaha BBM. Catatan Serikat Petani Sawit (SPKS) masih banyak petani sawit swadaya radius lima kilometer dari pabrik rantai pasok biodiesel, tak terlibat dalam kebijakan BBN ini. “Petani masih menjual ke tengkulak,” kata Sabarudin, Ketua Bidang Organisasi dan Anggota SPKS. Ini berdasarkan hasil survei SPKS di Kabupaten Pelalawan, Siak, Kampar dan Rokan Hulu, di Riau. Rata-rata, kata Sabar, kelompok tani atau koperasi tidak memiliki manajemen baik. Mereka menjual tandan buah segar ke agen. “Kita berharap ada kebijakan KESDM dan kebijakan biodiesel,” katanya. Subsidi BPDPKS untuk petani swadaya jauh lebih kecil, hanya Rp5 triliun, dibanding untuk biodiesel yang mencapai Rp28 triliun. Subsidi untuk petani, baru sebatas untuk replanting tanaman setiap tahun. Belum ada untuk pengembangan sumber daya manusia, pelatihan ataupun pembentukan koperasi. Pun dibentuk koperasi, katanya, belum ada pihak yang bertanggungjawab seperti pemerintah kabupaten karena memang tak ada dukungan dari pemerintah pusat untuk pemkab terkait ini. Padahal, sejumlah regulasi seperti Inpres Moratorium Sawit mendorong kelembagaan petani berupa koperasi. “Setelah dibangun koperasi perusahaan tetap tak mau kemitraan karena banyak faktor,” kata Sabar. Menanggapi ini, ke depan, kata Agus, biofuel tak terbatas pada biodiesel, tak terbatas pada pengusahaan skala besar, dan akan didorong berbasis kerakyatan. “Spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen, pemanfataan by product biodiesel hingga pemanfaatan hasil sawit non-CPO.” Arifin Rudiyanto, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas mengatakan, program mandatori BBN merupakan prioritas pemerintah dalam meningkatkan ketahanan energi nasional. Pada 2025, produksi BBN nasional diperkirakan mencapai 13,8 juta kl. “Melalui program mandatori BBN, impor solar diharapkan menurun signifikan,” katanya. Mengutip data BPS, kata Arifin, impor BBM satu faktor yang menyebabkan defisit neraca perdagangan nasional. Program mandatori BBN B30 resmi berlaku sejak 1 Januari 2020 dan diharapkan dapat dipenuhi oleh seluruh sektor Januari 2025. Catatan Bappenas sejak September 2018, berlaku perluasan insentif biodiesel ke seluruh sektor (public service obligation/PSO dan non PSO). Pada 2019, pemerintah menerapkan B20 menyeluruh dan pada 2020, presentasi pencampuran BBN naik jadi 30%. “Implementasi program B20 dan B30 mendorong kenaikan realisasi volume biodiesel pada sektor domestik secara signifikan,” katanya.
Pada 2011, pemanfaatan biodiesel domestik hanya 19,8%, naik jadi 60% pada 2018 dan 97% pada 2020. Bappenas menyadari, potensi konflik antara pemanfaatan bahan baku untuk bioenergi dengan pemenuhan kebutuhan pangan, pakan dan pupuk. Juga ada tantangan kesiapan industri penunjang, mekanisme insentif yang sangat bergantung pada pungutan dan pajak keluar produk CPO dan turunannya. Juga keterbatasan sarana dan prasarana seperti jetty, terminal bahan bakar minyak (TBBM), kapal pengangkut sesuai dengan spesifikasi fatty acid methyl ester (Fame), dan lain-lain. “Perlu pengetahuan handling dan storing sesuai standar untuk menjaga kualitas BBN dan perlu ada standar kualitas BBN yang ketat,” katanya. Pengembangan BBN, katanya, mesti dengan mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, mendorong keterlibatan petani, meningkatkan standar mutu, meningkatkan efisiensi dalam pelaksanaan proses, serta menjaga harga biodiesel agar stabil dan terkendali. Ke depan, katanya, pemerintah akan memastikan program B30 berjalan sesuai target dengan cara monitoring dan evaluasi ketat dan berkala. Juga, mengembangkan program B40 dan B50 dengan kajian teknis formulasi yang tepat, mengembangkan program greenfuel melalui pengembangan green refinery untuk menghasilkan green diesel, green gasoline dan bio-avtur. Selain itu pemerintah juga akan mendorong kerja sama PT Pertamina (Persero) & PT Pupuk Indonesia di Bidang Hidrogenasi CPO dan memanfaatkan bekas tambang untuk lahan energi terbarukan PLTS dan biofuel sawit. Pada 2022, katanya, kalau memungkinkan akan berlaku B40 dengan mempersiapkan produsen, infrastruktur, manufaktur, dan pendanaan untuk insentif. Menurut Arifin, kebijakan mencapai NDC dan net zero emission (NZE) 2060 terdiri dari kebijakan sektor energi, lahan, limbah dan fiskal. Penurunan intensitas energi atau efisiensi energi secara bertahap dari 1% ke 6%. “Energi terbarukan hingga mendekati 100% pada 2060. Transisi ke kendaraan listrik hingga 95% dari total kendaraan yang digunakan.” Di sektor lahan, reforestasi hutan yang berangsur meningkat hingga 250.000 hektar per tahun. Restorasi gambut mencapai puncak hingga 390 hektar, rehabilitasi mangrove sesuai target RPJMN yakni 150.000 hektar dan pencegahan deforestasi dari hutan ke lahan pertanian total pada 2025. Disesuaikan dengan skenario NZE, katanya, pada skenario business as usual (BAU) sektor energi berkontribusi hingga lebih dari 70% emisi gas rumah kaca pada 2060. Sedangan skenario NZE memproyeksikan, emisi sektor energi terus menurun mendekati nol pada 2060. Yang jelas, katanya, dalam skenario 2060 pemanfaatan BBN mendukung dengan menggantikan BBM hingga 2060 baik untuk jenis bahan bakar maupun diesel. “Peningkatan proporsi diproyeksikan berangsur hingga BBN dapat mensubstitusi 30% penggunaan BBM pada 2060 dengan adanya biodiesel dan greenfuel.” Untuk itu, katanya, perlu penyusunan regulasi dan peraturan perundangan yang mendukung keberpihakan pengembangan bahan bakar nabati, penguatan kajian dan skema pendanaan alternatif untuk pengembangan bahan bakar nabati. Juga, penguatan penguasaan, riset dan pengembangan teknologi dalam negeri, dalam memproduksi BBN sesuai kebutuhan domestik.
https://www.mongabay.co.id/2021/09/13/menimbang-kebijakan-bahan-bakar-nabati-dari-sawit/
Beritasatu.com | Senin, 13 September 2021
Kebijakan Biodiesel yang Progresif Timbulkan Risiko Ekonomi dan Lingkungan
Dalam studi yang dirilis oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) bertajuk “Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan” terdapat kekhawatiran tentang bagaimana kebijakan biodiesel yang semakin progresif berpotensi menimbulkan tekanan terhadap neraca perdagangan, besaran subsidi atau insentif untuk industri biodiesel, dan risiko ekspansi lahan yang menimbulkan resiko lingkungan. “Melalui studi ini, kami hanya ingin mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan biodiesel harus memiliki target yang terukur, sehingga tidak berdampak buruk pada lingkungan. Saat biodiesel mulai digunakan secara luas, maka kebutuhan terhadap minyak sawit untuk biodiesel akan meningkat. Terkait itu, keberlanjutan setiap tahapan pengelolaan kelapa sawit mulai dari perkebunan sampai menjadi biodiesel memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan cermat,” kata Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah, melalui keterangannya yang diterima Beritasatu.com, Senin (13/9/2021). Alin mengatakan, risiko dari kebijakan biodiesel yang progresif akan memengaruhi ekonomi dari sisi fiskal, karena kebijakan ini membawa risiko yang semakin besar seiring dengan target campuran dan produksi biodiesel. Hal ini karena insentif yang diberikan kepada industri biodiesel tergantung dari selisih harga minyak sawit untuk biodiesel dengan harga solar, dan adakalanya selisih harga tersebut sangat signifikan, sehingga membuat besaran insentif membengkak. Risiko lainnya, kata Alin, adalah dari sisi lingkungan, rencana pemerintah untuk meningkatkan campuran minyak sawit dalam biodiesel membawa risiko ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel domestik. Dengan asumsi tren ekspor tetap, tentunya peningkatan campuran dan volume produksi biodiesel akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik. Studi ini mengestimasi dampak kebijakan biodiesel menggunakan tiga skenario. Skenario pertama mengasumsikan pemerintah menerapkan bauran sebesar B20, skenario kedua B30 dan skenario ketiga B50. Skenario 1 sampai dengan 3 memperlihatkan kebijakan biodiesel yang semakin progresif, yang terlihat dari tingkat campuran yang semakin besar. Proyeksi dampak skenario dibuat sampai dengan tahun 2025. Alin menjelaskan, dari hasil analisis estimasi dampak ketiga skenario didapatkan beberapa implikasi. Pertama, penghematan devisa yang tidak sesuai harapan. Alin menjelaskan, saat kebijakan B20 ini pertama kali diluncurkan, pemerintah memperkirakan penghematan impor solar pada neraca berjalan akan mencapai Rp 79,2 trilliun. Akan tetapi, penghematan impor solar yang dilaporkan pada tahun 2019 hanya mencapai Rp 48,9 triliun. Selain itu, pemerintah memperkirakan bahwa penghematan impor solar untuk neraca berjalan di tahun 2020 bisa mencapai Rp 112,8 triliun akibat implementasi B30, namun perkiraan tersebut belum memperhitungkan penurunan potensi ekspor kelapa sawit. Pada bulan Juli 2020, sebut Alin, sesuai data Buletin Statistik Perdagangan Internasional Ekspor Indonesia yang diterbitkan oleh BPS menunjukkan bahwa nilai ekspor CPO sepanjang Januari-Juli 2020 mencapai US$ 2,7 miliar (setara dengan Rp 38,4 triliun). Sementara, untuk produk turunannya mencapai US$ 6,2 miliar (setara dengan Rp 88,3 triliun). Kebijakan biodiesel yang agresif mendorong penggunaan CPO yang semakin banyak di dalam negeri, sehingga dapat berpotensi menurunkan nilai ekspor CPO. Berdasarkan proyeksi perhitungan LPEM FEB UI, akumulasi potensi kehilangan ekspor CPO terendah mencapai Rp 782 triliun pada periode 2020-2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20 dan untuk proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp 1,825 trilliun pada periode yang sama. “Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah,” tambah Alin. Dari simulasi perhitungan berdasarkan skenario implementasi B30, akumulasi penghematan bersih (netto) dari neraca berjalan yang dapat dicapai pada tahun 2020-2025 adalah sebesar Rp 44 triliun, yang berarti penghematan proyeksi bersihnya lebih rendah dari perkiraan pemerintah (Rp 112,8 triliun). “Penghematan impor solar yang dinarasikan pemerintah lebih besar dibandingkan dengan hasil proyeksi perhitungan yang kami lakukan pada periode yang sama. Kami mempertimbangkan perhitungan faktor hilangnya potensi ekspor kelapa sawit yang bisa menjadi devisa negara. Menurut kami, faktor ini perlu diperhitungkan pemerintah karena adanya proyeksi keterbatasan pasokan kelapa sawit untuk keperluan domestik,” jelas Alin. Kemudian Alin juga menambahkan bahwa dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan juga sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia. “Apabila perbedaan harga CPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya,” tambah Alin. Kedua, lanjut Alin, berpotensi meniingkatkan beban fiskal negara. Dikatakan, pengembangan biodiesel saat ini masih tergantung pada insentif yang diberikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk industri biodiesel. Insentif yang diberikan akan membengkak jika selisih harga fatty acid methyl ester (FAME) dari sawit sebagai input biodiesel lebih tinggi dari harga solar. Insentif akan lebih besar lagi jika tingkat bauran FAME dalam biodiesel meningkat. Hal ini akan membawa dampak pada beban anggaran BPDP-KS. Selama ini BPDP-KS mendapatkan dana dari pungutan ekspor CPO. Terdapat beberapa kali perubahan kebijakan pungutan ekspor, dan ada masa di mana BPDP-KS tidak mendapatkan penerimaan karena ketika harga CPO dibawah harga tertentu, tidak dikenai pungutan ekspor. Hal ini tentunya menjadi risiko keuangan tersendiri bagi BPDP-KS, dimana penerimaan sangat tergantung dari harga ekspor, sedangkan pengeluaran tergantung dari perbedaan harga CPO dengan harga solar. Dengan risiko ekspor yang dapat menurun karena terserap oleh kebutuhan domestik, serta tingkat bauran dan volume produksi yang cenderung meningkat, maka risiko keuangan BPDP-KS akan semakin tertekan. “Jika anggaran BPDPKS tidak mencukupi untuk memenuhi insentif FAME, maka pengadaannya berpotensi membebani fiskal negara” tambahnya. Pada tahun 2020 Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,78 triliun dari APBN untuk BPDP-KS, yang menurut BPDP-KS akan digunakan untuk mendukung pengembangan sawit berkelanjutan. Ini merupakan kali pertama pemerintah mengalokasikan anggaran langsung ke BPDP-KS, yang bertepatan dengan tahun pandemi. Jika saja keuangan BPDP-KS cukup tangguh, maka anggaran pemerintah tidak perlu terbebani, karena program sawit berkelanjutan sejatinya merupakan salah satu program BPDP-KS,” kata Alin. Ketiga, meningkatkan risiko ekspansi terhadap lahan sawit. Menurut Alin, permintaan akan minyak sawit untuk biodiesel akan semakin tinggi jika kadar FAME yang dibutuhkan meningkat. Berdasarkan proyeksi dari studi, kebutuhan untuk implementasi skenario B50 berpotensi menyebabkan terjadinya pembukaan lahan sawit baru seluas 9,29 juta hektare secara akumulasi hingga tahun 2025. Angka ini setara dengan 70% dari luas lahan sawit produktif tahun 2019. “Kebutuhan minyak sawit untuk biodiesel dikhawatirkan akan mendorong ekspansi lahan ke kawasan dengan nilai karbon yang tinggi atau high conservation value area (HCVA). Ini tentunya perlu dicegah melalui aturan yang kuat. Sebetulnya sudah ada sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), tetapi perlu dilihat lagi penerapannya seperti apa, belum lagi moratorium sawit yang belum ada kepastian akan diperpanjang atau tidak,” kata Alin.
Bahaya CPO Menjadi Satu-satunya Bahan Baku Biodiesel
Sementara itu, Engagement Unit Manager Traction Energy Asia Ricky Amukti menyoroti soal potensi bahaya yang mengancam lingkungan jika CPO dijadikan satu-satunya bahan baku biodiesel. “Kalau biodiesel Indonesia masih single feedstock, ini akan sangat berbahaya bagi lingkungan karena ada kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan,” katanya. Ricky mengatakan bahwa tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga belum sepenuhnya memenuhi kaidah keberlangsungan lingkungan disokong dari lemahnya transparansi, keterlacakan dan rekam jejak beragam persoalan yang membelenggu baik dari sisi efektivitas terhadap pengurangan emisi, pembukaan lahan, hingga ketenagakerjaan. “Penggunaan biodiesel memang mengurangi emisi CO2. Namun, jika dihitung dari analisis daur hidup (life cycle) dari sektor hulu (perkebunan sawit) hingga hilir (konsumsi biodiesel), alih fungsi lahan akan menyebabkan emisi CO2 yang jauh lebih tinggi,” kata Ricky. Traction pernah melakukan sebuah perhitungan terhadap emisi. Hasilnya menunjukkan, jika emisi diesel solar fosil itu sebesar 3,14 kg CO2 equivalent per liter, maka alih fungsi dari hutan primer akan menyebabkan emisi hingga 68,61kg/CO2 equivalent per liter atau lebih dari 20 kali lipat dari emisi diesel soal fosil. Dalam peryataannya, Ricky menekankan jika pemerintah perlu melihat alternatif bahan baku atau feedstock lain selain sawit, agar ancaman alih fungsi lahan tidak terjadi. Salah satu yang menjadi rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak jelantah alias used cooking oil (UCO). Pemanfaatan UCO memiliki peluang untuk menekan emisi yang jauh lebih rendah hingga kisaran 80-90 persen dibandingkan energi yang dihasilkan dari bahan fosil. “Sebagai komparasi, jika emisi diesel solar fosil itu adalah 3,14 kg CO2 equivalent per liter, maka dengan UCO bisa hanya 0,314% dari emisi tersebut. Kenapa bisa seperti itu? Karena bahan baku UCO ini dianggap sebagai biodiesel generasi kedua atau biodiesel yang tidak langsung didapatkan dari sumber tanaman tapi dari pemanfaatan minyak yang telah digunakan untuk memasak,” kata Ricky. Selain itu, pemanfaatan UCO juga berpeluang mencegah adanya pembukaan lahan seluas 939 ribu hingga 1,48 juta hektare yang sekaligus memberikan kontribusi bagi perekonomian dan kesehatan masyarakat. “Apalagi pada kenyataannya Indonesia memiliki sekitar 2,43 juta kilo liter UCO yang berhasil dikumpulkan dan diolah menjadi minyak goreng daur ulang yang sangat membahayakan untuk kesehatan. Jika UCO ini didorong untuk bahan baku biodiesel, maka masyarakat dapat menjual sisa minyak jelantahnya, dari pada mengonsumsi kembali” kata Ricky.